Pameran Seni Rupa "Menilik Akar"
(foto di atas adalah performance art oleh Ananta O'edan yang merespon karya jewelry karya Alvi Luviani, dalam pembukaan Pameran Seni Rupa Nusantara 2009: "Menilik Akar")
Oleh Kuss Indarto
/1/
Dalam sebuah artikel pendek yang kurang begitu dikenal publik, sejarawan sosialis Eric J. Hobsbawm membeberkan pendapatnya bahwa sebuah bangsa itu lahir karena “ditemukan”, dan nasionalisme adalah sebuah invented tradition, yakni sebuah tradisi yang harus terus-menerus digali. Dengan ungkapan tersebut Hobsbawm mengingatkan bahwa nasionalisme sebuah negara merupakan sebuah pencarian yang tak akan pernah berhenti karena ia bisa terus digali dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan aktual.
Sementara itu Anthony Giddens berpendapat bahwa negara adalah sebuah wadah yang berisi berbagai kekuatan yang berbeda yang saling menggesek satu sama lain. Dengan mengandaikan negara seperti apa yang dikemukakan oleh Giddens tersebut, maka titik relevansi dari hal serupa yang dikatakan oleh Clifford Geertz adalah bahwa setiap negara membutuhkan sebuah “nasionalisme” karena dari sanalah akan menjadi tali perekat antara berbagai kekuatan tersebut. Sedang pandangan bahwa sebuah nasionalisme bisa berfungsi sebagai primordialism and civic tie seperti yang dianjurkan oleh Geertz di atas, semuanya berpulang kembali pada publik di negara bersangkutan dalam menghormati segala hal yang telah mereka miliki.
Salah satu hal penting yang dimiliki publik dalam sebuah negara bangsa adalah imajinasi atas kehidupan bersama, dan ihwal identitas. Kita telah mampu membayangkan sebuah komunitas bersama yang dibatasi oleh wilayah teritorial dan pengandaian tentang sejarah yang dianggap sama (meminjam cara pandang Benedict Anderson) yang kemudian menghasilkan satu rasa tersatukan sebagai bangsa. Maka, pada dasarnya apa yang kita tunjuk dengan istilah bangsa akhirnya tidak lebih dari sejumlah pengandaian, atau impian. Dan itu bisa berarti semu belaka. Sebab antara saya/kita dengan "saudara" saya/kita si Tengku di Meulaboh, Uda Koto di Bukittinggi, Cak Rojaki di Bangkalan, Madura, atau si Mangge dari suku Kaili di Sulawesi Tengah, tidak diikat oleh garis apa pun selain oleh adanya pengandaian tentang sebuah nasib yang kurang-lebih sama. Pembayangan tentang sebuah sejarah praktis disamakan, yakni bangsa. Pembentukan kerangka imajiner untuk terus mempertahankan dan menerjemahkan "bayangan" atau khayalan kita itu di antaranya adalah dengan pendirian negara.
Negara menjadi realitas yang seolah aktual karena memiliki daya dukung untuk mengoperasikannya, menjadi jalinan relasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Negara hadir secara faktual lewat serangkaian operasi (entah via media atau perangkat kuasa lain yang terstruktur) yang dibahasakan setiap hari sehingga menjadi realitas yang langsung berhadapan dan teralami bersama kita. Negara dan bangsa adalah contoh termudah untuk melihat bagaimana sesuatu yang pada dasarnya semu, kemudian diperlakukan sebagai kenyataan nyaris tanpa bantahan. Kita seperti menerima itu sebagai sesuatu yang given (terberi).
Alhasil, negara bagai sebuah impian yang (kadang) menjadi kenyataan, karena kita bisa terlibat secara (inter)aktif dengan kerangka imajinernya itu sendiri. Negara menjadi nyata karena kita masuk ke dalamnya, menjadi bagian darinya, dan sebaliknya kalau perlu, ramai-ramai menafikkannya. Maka, dengan demikian, memandang Indonesia kini, bisa jadi, layaknya memberlakukan sebuah mimpi seperti halnya mengelola sebuah permainan. Dibutuhkan banyak eksplorasi dan eksperimentasi untuk menjadi anggota di dalamnya. Bukan statis seolah semuanya serba terberi tanpa kita berupaya untuk mencoba “mengonstruksi”.
Problem ini tentu menjadi kian rumit ketika dewasa ini globalisasi telah menawarkan orientasi borderless ataupun trans(national) identity, yakni ketika semua orang berhak menentukan siapa dirinya tanpa harus terkungkung oleh nilai dan bayangan imajiner kolektif yang dibangun sebagai konstruksi resmi negara. Dengan demikian proses sosialisasi dan pengalaman interaksi tiap-tiap orang sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sangat mempengaruhi bentuk pemahaman, memori kolektif, dan orientasi sosial kultural orang-orang tersebut sebagai warga. Dalam pada itu berbagai kebijakan negara yang berusaha menciptakan “identitas” kolektif, senantiasa dirasakan sebagai sebuah tawaran tanpa pilihan, bahkan terasa sebagai sebuah pemaksaan. Akibatnya muncul respon yang beragam: dari mengakomodasi atau menerima hingga penolakan. Di sinilah sebenarnya citra ke-Indonesia-an tengah dan terus diuji hingga kini.
Dari kerangka berpikir atas fakta-fakta sosial yang terpapar singkat di atas, maka perhelatan Pameran Nusantara 2009 ini berupaya menjadi ruang bersama untuk menilik dan membicarakan lebih lanjut ihwal akar imajinasi dan identitas ke-Indonesia-an tersebut hingga orientasinya ke depan. Tentu bukan perkara yang bombastis kalau kemudian para perupa (sebagai bagian penting dari negara bangsa ini) melakukan pembacaan, pemetaan, penyikapan dan pelontaran komitmen personal atas fakta-fakta tersebut. Tentu tetap dengan bahasa visual yang menjadi perangkat utama para perupa.
/2/
Realitas estetik yang kemudian terpampang dalam pameran ini merupakan penampang kecil atas pembacaan para seniman terhadap tema yang disodorkan. Dari beragam media, mulai dari seni lukis, drawing, patung, jewelry, video art, kriya seni, seni instalasi dan lainnya, tampak bahwa para seniman masih memiliki pembayangan yang kuat akan nilai-nilai tradisi dan nasionalisme sebagai bagian yang inheren ketika mereka memperbincangkan ihwal “identitas”.
Tidak sedikit dari mereka yang membuat re-kreasi atas unsur-unsur tradisi tersebut dalam bentuk kreatif yang secara kebentukan tidak lagi utuh merepresentasikan aspek tradisi tersebut, namun lebih berusaha untuk menyerap aspek nilai dan hal-hal yang substansial atas tradisi ini. Pada karya semacam ini publik bisa menengarai sebagai sebuah upaya seniman untuk melakukan “kontinuitas nilai” yang berpotensi untuk menghasilkan “nilai baru” dengan perpektif pandang seniman yang lebih mengayakan. Bukan lagi sekadar “nguri-uri” yang kesulitan untuk memberi kebaruan nilai dan substansi, namun lebih sebagai upaya untuk mengawetkan “kemandegan” masa lalu. Namun tidak sedikit pula karya yang belum banyak bergerak mengarah pada proses dinamisasi nilai atas tradisi tersebut.
Pembacaan atas nilai-nilai tersebut (entah itu tentang pokok soal tradisi, nasionalisme dan sebagainya) secara mendasar juga diasumsikan telah dipengaruhi oleh banyak faktor pendukung. Antara lain faktor latar belakang pendidikan, faktor geografis, faktor informasi, dan lainnya. Asumsi ini, tentu masih bersifat tentatif karena lebih banyak didasarkan oleh pengamatan sekilas, belum sampai pada penelitian yang lebih serius dan menyeluruh.
Namun sedikit banyak publik bisa mengamini bahwa faktor pendidikan, sebagai contoh menarik, telah memberi pengaruh begitu kuat terhadap banyak seniman dalam memperbarui sistem pengetahuan mereka dalam membaca sekian banyak fenomena dan tanda-tanda zaman. Hingga, yang terpenting, kemampuan praktik berkesenian. Tentu publik bisa berkaca pada banyak contoh kasus tentang para (calon) seniman yang bergerak menuju lembaga pendidikan seni rupa untuk menjadikannya sebagai bagian penting dalam pembentukan proses kesenimanan. Entah mereka yang bergerak dari Bali, Minangkabau, atau kawasan lain menuju Yogyakarta (dalam hal ini lembaga ISI Yogyakarta) pada perkembangan berikutnya telah menghasilkan imbas progresif bagi keberadaan dan proses seniman.
Berikutnya, faktor geografis, memiliki dampak yang dalam kurun waktu cukup lama terasa berpengaruh terhadap progres kesenimanan seorang seniman. Ada wilayah yang mampat sebagai daerah kering untuk berkesenian, namun ada pula kawasan lain yang secara umum telah membentuk komunalitas yang luas dan berpengaruh begitu melekat bagi pembentukan sekaligus pendalaman kreatif seorang seniman. Ini, lagi-lagi (maaf), menempatkan kawasan Yogyakarta sebagai contoh menarik untuk wilayah perbincangan tentang aspek komunalitas ini. Di sini publik bisa menyimak bahwa atmosfir kampus atau proses pembelajaran kreatif tidak hanya berlangsung di ruang-ruang kelas berpagar gedung formal, namun juga terjadi dalam lingkungan pergaulan yang meluas dan dalam modus komunikasi serta cara “pembelajaran” yang khas.
Namun demikian asumsi yang dibentuk oleh dua hal di atas, dewasa ini, telah pula mendapatkan pembanding yang baik dengan menempatkan faktor informasi sebagai aspek penting dalam meretas kekurangan pada dua aspek di atas. Dengan sistem informasi yang melaju kencang dan luar biasa saat ini, telah sangat membantu para seniman untuk mengakses sebanyak-banyaknya informasi yang membanjir lewat jalur cyber. Tanpa didukung oleh aspek pendidikan dan berada dalam wilayah geografis yang “tepat”, seorang seniman yang berkehendak melakukan progresivitas pun kini dapat melakukan pengayaan kreatifnya dengan lebih kaya, cepat, sekaligus instan lewat jalur informasi cyber yang tersedia. Kebuntuan yang sebelumnya terjadi telah bisa sedikit banyak diretas. Hanya saja, pertanyaan besar yang mengggelayuti adalah: apakah membanjirnya informasi tanpa didasari oleh sistem pengetahuan yang baik akan juga melahirkan bentuk-bentuk kreatif yang berkembang pula? Atau sebaliknya, meluapnya “air bah” informasi ini mampu memberi peluang bagi terbentuknya sistem pengetahuan yang lebih baik?
Dalam pameran kali ini, kiranya gelagat ke arah itu telah sedikit banyak tercium lewat karya-karya yang terpampang. Ada beberapa karya yang dikreasi seniman dari kawasan tertentu yang kurang diperhitungkan pencapaian artistiknya selama ini, ternyata telah muncul dalam kerangka pemikiran seolah yang melintasi problem di lingkungannya. Ini sebuah gejala menarik yang perlu dilihat sebagai sumber gagasan untuk diteliti lebih lanjut.
/3/
Akhirnya, sebagai sebuah perhelatan seni, Pameran Seni Rupa Nusantara ini sebenarnya bisa dikehendaki bersama sebagai media investasi atau penanaman modal kultural dan estetik. Tanpa merancang fungsi ini dengan sadar, perhelatan semacam ini di tahun mendatang bisa mengalami dekadensi. Kalau toh berjalan, bisa jadi produksi tersebut hanya terjadi di lingkungan atau pihak-pihak yang sudah melimpah dengan modal kultural dan estetiknya.
Sehingga, bagi para perupa—entah yang sudah mapan ataupun belum—investasi ini berupa proses pendidikan seni yang, seperti disebut di atas, berpotensi untuk meningkatkan dan menyebarkan lebih lanjut aesthetic literacy, pencerdasan estetik. Memang, harus diakui bahwa dalam masyarakat yang kapitalis tak ada produk yang lepas dari komoditi dan esensi yang tak lain adalah “passion to exchange with another of its kind” seperti yang pernah ditengarai oleh kritisi Terry Eagleton (1990). Jenis pertukaran yang kita butuhkan sekarang ini bukan hanya pertukaran barang dan uang namun juga antara bentuk dan referensi atau rujukan. Ini merupakan pertukaran paling mendasar dalam jagat seni rupa sekarang ini.
Kita juga bisa mengandaikan bahwa perhelatan ini bisa menjadi media transaksi. Publik seni rupa boleh mengapresiasi lebih lanjut karena mempunyai pengalaman menukarkan modal kultural dan estetik yang sudah dipunyai dengan rupa-rupa bentuk estetik yang dijumpai dalam ruang pameran. Maka, transaksi tidaklah mesti berupa pertukaran antara seni rupa dan gemerincing rupiah. Transaksi pertama bisa mendukung transaksi kedua dalam arti transaksi pertama bisa membangun nilai estetik pada transaksi kedua.
Maka, bisa jadi, transaksi kultural dan estetik merupakan penyelesaian akhir dari sebuah tawar-menawar yang panjang. Barangkali tak semua/banyak pengunjung sebuah pameran seni rupa itu tidak memiliki kompetensi ekonomis untuk melakukan transaksi ekonomi. Namun demikian dari merekalah kita bisa banyak berharap akan terajadi transaksi kultural dan estetik yang bermanfaat untuk jangka panjang bagi sang seniman. Para perupa menyerahkan simbol-simbol ciptaannya kepada publik dan publik mengapropriasinya dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Di sinilah ada potensi bahwa Pameran Seni Rupa Nusantara ini mampu menyumbangkan terjadinya konsensus di ruang publik atau kontrak sosial-kultural yang sebenar-benarnya.
Dengan obssesi semacam ini, maka, mau tak mau publik sebaiknya mencari alat ukur baru untuk melihat keberadaan dan keberhasilan perhelatan semacam Pameran Seni Rupa Nusantara ini. Kalau hanya diukur dari keberhasilannya dalam melahirkan selebritas seni rupa yang lebih baru, bisa jadi bukan di sinilah ajangnya. Atau seandainya keberhasilan pameran ini diukur dari nilai bisnis yang terjadi, tentu ada forum lain yang lebih menjanjikan dan berkompeten. Selebritas dan nilai komoditi memang penting, namun keduanya tak menutup kemungkinan untuk “dinisbikan” dengan transaksi kultural-estetik. Forum seperti ini, kiranya, dimungkinkan menuju ke arah itu. Siapa tahu?
Kuss Indarto, kurator Pameran Seni RupaNusantara 2009: “Menilik Akar”.
Oleh Kuss Indarto
/1/
Dalam sebuah artikel pendek yang kurang begitu dikenal publik, sejarawan sosialis Eric J. Hobsbawm membeberkan pendapatnya bahwa sebuah bangsa itu lahir karena “ditemukan”, dan nasionalisme adalah sebuah invented tradition, yakni sebuah tradisi yang harus terus-menerus digali. Dengan ungkapan tersebut Hobsbawm mengingatkan bahwa nasionalisme sebuah negara merupakan sebuah pencarian yang tak akan pernah berhenti karena ia bisa terus digali dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan aktual.
Sementara itu Anthony Giddens berpendapat bahwa negara adalah sebuah wadah yang berisi berbagai kekuatan yang berbeda yang saling menggesek satu sama lain. Dengan mengandaikan negara seperti apa yang dikemukakan oleh Giddens tersebut, maka titik relevansi dari hal serupa yang dikatakan oleh Clifford Geertz adalah bahwa setiap negara membutuhkan sebuah “nasionalisme” karena dari sanalah akan menjadi tali perekat antara berbagai kekuatan tersebut. Sedang pandangan bahwa sebuah nasionalisme bisa berfungsi sebagai primordialism and civic tie seperti yang dianjurkan oleh Geertz di atas, semuanya berpulang kembali pada publik di negara bersangkutan dalam menghormati segala hal yang telah mereka miliki.
Salah satu hal penting yang dimiliki publik dalam sebuah negara bangsa adalah imajinasi atas kehidupan bersama, dan ihwal identitas. Kita telah mampu membayangkan sebuah komunitas bersama yang dibatasi oleh wilayah teritorial dan pengandaian tentang sejarah yang dianggap sama (meminjam cara pandang Benedict Anderson) yang kemudian menghasilkan satu rasa tersatukan sebagai bangsa. Maka, pada dasarnya apa yang kita tunjuk dengan istilah bangsa akhirnya tidak lebih dari sejumlah pengandaian, atau impian. Dan itu bisa berarti semu belaka. Sebab antara saya/kita dengan "saudara" saya/kita si Tengku di Meulaboh, Uda Koto di Bukittinggi, Cak Rojaki di Bangkalan, Madura, atau si Mangge dari suku Kaili di Sulawesi Tengah, tidak diikat oleh garis apa pun selain oleh adanya pengandaian tentang sebuah nasib yang kurang-lebih sama. Pembayangan tentang sebuah sejarah praktis disamakan, yakni bangsa. Pembentukan kerangka imajiner untuk terus mempertahankan dan menerjemahkan "bayangan" atau khayalan kita itu di antaranya adalah dengan pendirian negara.
Negara menjadi realitas yang seolah aktual karena memiliki daya dukung untuk mengoperasikannya, menjadi jalinan relasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Negara hadir secara faktual lewat serangkaian operasi (entah via media atau perangkat kuasa lain yang terstruktur) yang dibahasakan setiap hari sehingga menjadi realitas yang langsung berhadapan dan teralami bersama kita. Negara dan bangsa adalah contoh termudah untuk melihat bagaimana sesuatu yang pada dasarnya semu, kemudian diperlakukan sebagai kenyataan nyaris tanpa bantahan. Kita seperti menerima itu sebagai sesuatu yang given (terberi).
Alhasil, negara bagai sebuah impian yang (kadang) menjadi kenyataan, karena kita bisa terlibat secara (inter)aktif dengan kerangka imajinernya itu sendiri. Negara menjadi nyata karena kita masuk ke dalamnya, menjadi bagian darinya, dan sebaliknya kalau perlu, ramai-ramai menafikkannya. Maka, dengan demikian, memandang Indonesia kini, bisa jadi, layaknya memberlakukan sebuah mimpi seperti halnya mengelola sebuah permainan. Dibutuhkan banyak eksplorasi dan eksperimentasi untuk menjadi anggota di dalamnya. Bukan statis seolah semuanya serba terberi tanpa kita berupaya untuk mencoba “mengonstruksi”.
Problem ini tentu menjadi kian rumit ketika dewasa ini globalisasi telah menawarkan orientasi borderless ataupun trans(national) identity, yakni ketika semua orang berhak menentukan siapa dirinya tanpa harus terkungkung oleh nilai dan bayangan imajiner kolektif yang dibangun sebagai konstruksi resmi negara. Dengan demikian proses sosialisasi dan pengalaman interaksi tiap-tiap orang sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sangat mempengaruhi bentuk pemahaman, memori kolektif, dan orientasi sosial kultural orang-orang tersebut sebagai warga. Dalam pada itu berbagai kebijakan negara yang berusaha menciptakan “identitas” kolektif, senantiasa dirasakan sebagai sebuah tawaran tanpa pilihan, bahkan terasa sebagai sebuah pemaksaan. Akibatnya muncul respon yang beragam: dari mengakomodasi atau menerima hingga penolakan. Di sinilah sebenarnya citra ke-Indonesia-an tengah dan terus diuji hingga kini.
Dari kerangka berpikir atas fakta-fakta sosial yang terpapar singkat di atas, maka perhelatan Pameran Nusantara 2009 ini berupaya menjadi ruang bersama untuk menilik dan membicarakan lebih lanjut ihwal akar imajinasi dan identitas ke-Indonesia-an tersebut hingga orientasinya ke depan. Tentu bukan perkara yang bombastis kalau kemudian para perupa (sebagai bagian penting dari negara bangsa ini) melakukan pembacaan, pemetaan, penyikapan dan pelontaran komitmen personal atas fakta-fakta tersebut. Tentu tetap dengan bahasa visual yang menjadi perangkat utama para perupa.
/2/
Realitas estetik yang kemudian terpampang dalam pameran ini merupakan penampang kecil atas pembacaan para seniman terhadap tema yang disodorkan. Dari beragam media, mulai dari seni lukis, drawing, patung, jewelry, video art, kriya seni, seni instalasi dan lainnya, tampak bahwa para seniman masih memiliki pembayangan yang kuat akan nilai-nilai tradisi dan nasionalisme sebagai bagian yang inheren ketika mereka memperbincangkan ihwal “identitas”.
Tidak sedikit dari mereka yang membuat re-kreasi atas unsur-unsur tradisi tersebut dalam bentuk kreatif yang secara kebentukan tidak lagi utuh merepresentasikan aspek tradisi tersebut, namun lebih berusaha untuk menyerap aspek nilai dan hal-hal yang substansial atas tradisi ini. Pada karya semacam ini publik bisa menengarai sebagai sebuah upaya seniman untuk melakukan “kontinuitas nilai” yang berpotensi untuk menghasilkan “nilai baru” dengan perpektif pandang seniman yang lebih mengayakan. Bukan lagi sekadar “nguri-uri” yang kesulitan untuk memberi kebaruan nilai dan substansi, namun lebih sebagai upaya untuk mengawetkan “kemandegan” masa lalu. Namun tidak sedikit pula karya yang belum banyak bergerak mengarah pada proses dinamisasi nilai atas tradisi tersebut.
Pembacaan atas nilai-nilai tersebut (entah itu tentang pokok soal tradisi, nasionalisme dan sebagainya) secara mendasar juga diasumsikan telah dipengaruhi oleh banyak faktor pendukung. Antara lain faktor latar belakang pendidikan, faktor geografis, faktor informasi, dan lainnya. Asumsi ini, tentu masih bersifat tentatif karena lebih banyak didasarkan oleh pengamatan sekilas, belum sampai pada penelitian yang lebih serius dan menyeluruh.
Namun sedikit banyak publik bisa mengamini bahwa faktor pendidikan, sebagai contoh menarik, telah memberi pengaruh begitu kuat terhadap banyak seniman dalam memperbarui sistem pengetahuan mereka dalam membaca sekian banyak fenomena dan tanda-tanda zaman. Hingga, yang terpenting, kemampuan praktik berkesenian. Tentu publik bisa berkaca pada banyak contoh kasus tentang para (calon) seniman yang bergerak menuju lembaga pendidikan seni rupa untuk menjadikannya sebagai bagian penting dalam pembentukan proses kesenimanan. Entah mereka yang bergerak dari Bali, Minangkabau, atau kawasan lain menuju Yogyakarta (dalam hal ini lembaga ISI Yogyakarta) pada perkembangan berikutnya telah menghasilkan imbas progresif bagi keberadaan dan proses seniman.
Berikutnya, faktor geografis, memiliki dampak yang dalam kurun waktu cukup lama terasa berpengaruh terhadap progres kesenimanan seorang seniman. Ada wilayah yang mampat sebagai daerah kering untuk berkesenian, namun ada pula kawasan lain yang secara umum telah membentuk komunalitas yang luas dan berpengaruh begitu melekat bagi pembentukan sekaligus pendalaman kreatif seorang seniman. Ini, lagi-lagi (maaf), menempatkan kawasan Yogyakarta sebagai contoh menarik untuk wilayah perbincangan tentang aspek komunalitas ini. Di sini publik bisa menyimak bahwa atmosfir kampus atau proses pembelajaran kreatif tidak hanya berlangsung di ruang-ruang kelas berpagar gedung formal, namun juga terjadi dalam lingkungan pergaulan yang meluas dan dalam modus komunikasi serta cara “pembelajaran” yang khas.
Namun demikian asumsi yang dibentuk oleh dua hal di atas, dewasa ini, telah pula mendapatkan pembanding yang baik dengan menempatkan faktor informasi sebagai aspek penting dalam meretas kekurangan pada dua aspek di atas. Dengan sistem informasi yang melaju kencang dan luar biasa saat ini, telah sangat membantu para seniman untuk mengakses sebanyak-banyaknya informasi yang membanjir lewat jalur cyber. Tanpa didukung oleh aspek pendidikan dan berada dalam wilayah geografis yang “tepat”, seorang seniman yang berkehendak melakukan progresivitas pun kini dapat melakukan pengayaan kreatifnya dengan lebih kaya, cepat, sekaligus instan lewat jalur informasi cyber yang tersedia. Kebuntuan yang sebelumnya terjadi telah bisa sedikit banyak diretas. Hanya saja, pertanyaan besar yang mengggelayuti adalah: apakah membanjirnya informasi tanpa didasari oleh sistem pengetahuan yang baik akan juga melahirkan bentuk-bentuk kreatif yang berkembang pula? Atau sebaliknya, meluapnya “air bah” informasi ini mampu memberi peluang bagi terbentuknya sistem pengetahuan yang lebih baik?
Dalam pameran kali ini, kiranya gelagat ke arah itu telah sedikit banyak tercium lewat karya-karya yang terpampang. Ada beberapa karya yang dikreasi seniman dari kawasan tertentu yang kurang diperhitungkan pencapaian artistiknya selama ini, ternyata telah muncul dalam kerangka pemikiran seolah yang melintasi problem di lingkungannya. Ini sebuah gejala menarik yang perlu dilihat sebagai sumber gagasan untuk diteliti lebih lanjut.
/3/
Akhirnya, sebagai sebuah perhelatan seni, Pameran Seni Rupa Nusantara ini sebenarnya bisa dikehendaki bersama sebagai media investasi atau penanaman modal kultural dan estetik. Tanpa merancang fungsi ini dengan sadar, perhelatan semacam ini di tahun mendatang bisa mengalami dekadensi. Kalau toh berjalan, bisa jadi produksi tersebut hanya terjadi di lingkungan atau pihak-pihak yang sudah melimpah dengan modal kultural dan estetiknya.
Sehingga, bagi para perupa—entah yang sudah mapan ataupun belum—investasi ini berupa proses pendidikan seni yang, seperti disebut di atas, berpotensi untuk meningkatkan dan menyebarkan lebih lanjut aesthetic literacy, pencerdasan estetik. Memang, harus diakui bahwa dalam masyarakat yang kapitalis tak ada produk yang lepas dari komoditi dan esensi yang tak lain adalah “passion to exchange with another of its kind” seperti yang pernah ditengarai oleh kritisi Terry Eagleton (1990). Jenis pertukaran yang kita butuhkan sekarang ini bukan hanya pertukaran barang dan uang namun juga antara bentuk dan referensi atau rujukan. Ini merupakan pertukaran paling mendasar dalam jagat seni rupa sekarang ini.
Kita juga bisa mengandaikan bahwa perhelatan ini bisa menjadi media transaksi. Publik seni rupa boleh mengapresiasi lebih lanjut karena mempunyai pengalaman menukarkan modal kultural dan estetik yang sudah dipunyai dengan rupa-rupa bentuk estetik yang dijumpai dalam ruang pameran. Maka, transaksi tidaklah mesti berupa pertukaran antara seni rupa dan gemerincing rupiah. Transaksi pertama bisa mendukung transaksi kedua dalam arti transaksi pertama bisa membangun nilai estetik pada transaksi kedua.
Maka, bisa jadi, transaksi kultural dan estetik merupakan penyelesaian akhir dari sebuah tawar-menawar yang panjang. Barangkali tak semua/banyak pengunjung sebuah pameran seni rupa itu tidak memiliki kompetensi ekonomis untuk melakukan transaksi ekonomi. Namun demikian dari merekalah kita bisa banyak berharap akan terajadi transaksi kultural dan estetik yang bermanfaat untuk jangka panjang bagi sang seniman. Para perupa menyerahkan simbol-simbol ciptaannya kepada publik dan publik mengapropriasinya dengan berbagai kemampuan yang dimiliki. Di sinilah ada potensi bahwa Pameran Seni Rupa Nusantara ini mampu menyumbangkan terjadinya konsensus di ruang publik atau kontrak sosial-kultural yang sebenar-benarnya.
Dengan obssesi semacam ini, maka, mau tak mau publik sebaiknya mencari alat ukur baru untuk melihat keberadaan dan keberhasilan perhelatan semacam Pameran Seni Rupa Nusantara ini. Kalau hanya diukur dari keberhasilannya dalam melahirkan selebritas seni rupa yang lebih baru, bisa jadi bukan di sinilah ajangnya. Atau seandainya keberhasilan pameran ini diukur dari nilai bisnis yang terjadi, tentu ada forum lain yang lebih menjanjikan dan berkompeten. Selebritas dan nilai komoditi memang penting, namun keduanya tak menutup kemungkinan untuk “dinisbikan” dengan transaksi kultural-estetik. Forum seperti ini, kiranya, dimungkinkan menuju ke arah itu. Siapa tahu?
Kuss Indarto, kurator Pameran Seni RupaNusantara 2009: “Menilik Akar”.