Tamasya Surealistik Kaum Terpinggirkan
MEMAHAMI proses kreatif adalah sesuatu hal yang penting dalam melihat segi paling holistic dari karya. Terlebih lagi pada sosok perupa. Bagaimanapun karya yang lahir tidak bisa dilepaskan dari keterkaitan proses kreatif yang bernilai sebagai sejarah tersendiri.
Totok Buchori boleh jadi adalah perupa yang dalam era booming kemarin tidak ikut muncul dalam posisi yang sangat diuntungkan. Namun bukan berarti ia stagnan, atau tak lagi mempunyai mesiu kreatif. Pameran tunggalnya ini membuktikan bahwa ia masih tetap konsisten mengeksplorasi titik pijak surealistik dalam karya-karyanya sebagaimana trade mark yang melekat pada dirinya semenjak tahun 1980-an. Itulah yang juga membuatnya cukup diperhitungkan dalam khazanah percaturan dunia seni rupa Indonesia.
Apa pandangan Totok Buchori tentang proses kreatif tersebut? Apa pula pandangannya tentang pasar dan sejumlah hal lainnya? Berikut ini adalah esai naratif yang merupakan hasil wawancara dengan Totok Buchori.
Obsesi Masa Kanak-kanak
SEJAK kecil saya memang mempunyai cita-cita menjadi seorang pelukis. Hal itu merupakan satu dimensi kesadaran yang tak terbantahkan. Kisah lengkapnya adalah: suatu saat, ketika saya masih studi di tingkat SD, saya menjumpai adanya sejumlah singkatan universitas. Ada UGM, ITS, dan salah satunya adalah ASRI. Waktu itu, saya sudah tahu artinya. Saat itu pula, saya sudah mempunyai keinginan kelak jika kuliah adalah di ASRI. Tekad saya sudah bulat semenjak SD. Hal itu saya buktikan dengan terus mengasah kemampuan melukis. Apalagi, sejak kecil pula saya sudah suka mencontoh gambar umbul, jenis-jenis silat yang pakai kucir-kucir itu, bawa pedang segala. Saya merasakan itu basis kreativitas penuh eksplorasi yang amat menggugah.
Beranjak kemudian di tingkat SMP. Orientasi visual saya semakin terarah dengan membaca sejumlah komik juga cerita-cerita bergambar lainnya. Ada Ganes TH, misalnya, meskipun yang paling saya suka adalah Teguh Santosa atau Jan Mintaraga. Perhatikan saja, aspek pendekatan realismenya menarik sekali. Lulus SMP, saya bilang sama simbah (kakek-nenek) agar disekolahkan di sekolah seni karena sejak kecil saya memang ikut simbah saya. Apalagi selepas SMP itu ada kawan di Probolinggo yang memberitahu bahwa di Yogya memang ada SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa). Zaman itu namanya SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia). Sama guru SMP pun saya juga didorong-dorong agar masuk sekolah seni. Tapi, saya justru disuruh masuk SMA oleh simbah. Masuklah saya SMA di Probolinggo selama 1 tahun. Kebetulan, waktu itu, saya punya kawan SMP yang ayahnya polisi. Ia mempunyai buku tentang lukisan koleksi Presiden Soekarno di rumahnya. Lewat buku-buku koleksi lukisan Soekarno itulah saya belajar aspek seni rupanya. Sampai hafal. Itu karena saking seringnya saya ke rumahnya dan hanya bertujuan belajar seni rupa. Sampai-sampai ia bilang, “Bawa saja pulang bukunya.”
Soal gambaran awal menempuh studi di STSRI “ASRI” (Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI”) kaitannya dengan permasalahan visual dan pasar, waktu itu yang jelas situasinya kan belum seperti sekarang. Waktu itu yang menguat hanya idealisme semata. Tidak terbersit pengaruh pasar. Tidak kepikiran laku atau tidak laku. Semua berlomba-lomba ingin menjadi yang paling berbeda di antara kawan yang satu dengan yang lain. Itu jelas kontras dengan situasi sekarang yang pengaruh pasarnya cukup besar. Setidaknya, perupa zaman sekarang jadi mempunyai gambaran bisa bertahan hidup. Dulu adanya ya cuma idealisme, idealisme, dan idealisme. Begitulah realitasnya.
Kebebasan dan Tren Surealisme
IDEALISME seperti apa? Tentu saja idealisme seperti yang diacu pada tema-tema lukisan itu sendiri. Misalnya, dalam hal lukisan saya adalah keberpihakan pada rakyat kecil. Itu bisa dilihat pada karya-karya saya tentang simbok-simbok di pasar. Kalau soal aliran awal-awal di ASRI saya termasuk ikut arus realisme. Sampai suatu saat, ada pemikiran soal ketidaknyamanan. Pemerintahan yang represif, Soeharto yang begitu kuat aspek militerismenya, dan keprihatinan pada kehidupan sosial-politik lainnya. Hal itu mau tidak mau juga mempengaruhi orientasi tema dan aliran dalam kelanjutan berkarya. Meski sebenarnya, perspektif berkarya dengan tema kritik terhadap represi tertentu itu sudah saya dapatkan mulai dari SSRI. Saat itu saya sudah banyak bergaul dengan mahasiswa karena notabene kawan tetangga kos. Kalau mereka mau demonstrasi, misalnya, malam hari sebelumnya saya sudah mendengar mereka kasak-kusuk di kos-kosan.
Jadi, bangunan orientasi estetik pada karya saya terkondisi semenjak ada nilai-nilai perlawanan tertentu yang muncul dalam diri saya dan hal itu terus terpelihara sampai sekarang. Bolehlah kalau disebut bahwa ekspresi yang saya ungkapkan melalui kanvas merupakan bagian dari upaya pembelaan pada rakyat kecil yang tertindas. Jangan lupa, sepanjang saya berkarya juga pernah masuk Sanggar Bambu yang amat legendaris di Yogya. Kalau dihitung-hitung, saya mulai intensif terlibat di Sanggar Bambu era tahun 1980-an. Yang saya ingat, di Sanggar Bambu cukup banyak kegiatan sastra, teater, dan seni rupa. Umar Kayam, misalnya, sering ke sana. Banyaklah pengaruh positif yang betul-betul inspiratif saya transfer karena bergaul di Sanggar Bambu.
Secara spesifik, topangan pengaruh yang makin memperkuat idealisme berkarya selama di STSRI ASRI jika dari sisi luar tentu dengan adanya diskusi dan sejenisnya. Sementara itu, jika dari dalam adalah adanya iklim kebebasan bagi mahasiswa untuk memilih apa yang ia mau. Soal wujud hasil karya, ASRI cenderung hanya menurut atau mengikuti saja apa kemauan mahasiswanya. Kedudukan ASRI seolah-olah bilang, “Terserah mahasiswa mau berkarya apa, kalau bisa ada perbedaan. Itu saja.” Kalau zaman sekarang, mungkin hal semacam itu cukup mewakili adanya tipe seniman yang tidak berkompromi dengan aspek pasar. Tema-tema yang pada saat itu digeluti banyak mahasiswa cenderung tidak populer. Seram, misalnya. Ini tentu kontras dengan pandangan kritikus seni Agus Dermawan T. yang pernah bilang, “Kamu boleh buat karya yang surealis, aneh-aneh, tapi bagaimanapun pasar harus disiasati karena kamu berhubungan dengan pecinta seni atau pembeli.”
Selama saya di ASRI memang mengalami imbas situasi Gerakan Seni Rupa Baru yang pernah muncul fenomenal itu dan juga gempita kemunculan seniman Moelyono dengan konsep seni “Kesenian Unit Desa” yang cukup menghebohkan. Tentu, itu juga menambah referensi soal bentuk-bentuk idealisme dalam kapasitas yang beragam.
Saya terhitung kuliah selama 4 tahun di ASRI setelah fase geger Desember Hitam yang begitu menyentak di ujung tahun 1976. Kalau polemik tentang Seni Kepribadian Apa sudah saya tahu ketika menginjak bangku SSRI. Yang paling saya rasakan berbeda ketika menginjak bangku ASRI adalah adanya kelonggaran berekspresi dengan rambahan bentuk visual yang relatif ke arah pop art, misalnya. Pak Widayat, Pak Aming Prayitno, dan yang lainnya adalah orang-orang yang tak kenal lelah untuk selalu menyarankan soal teknik atau sisi lainnya yang belum tergali secara maksimal. “O, ini bagusnya begini, itu begitu,” demikian tutur mereka waktu itu.
Memang, saya tidak sempat menyelesaikan studi di ASRI. Padahal waktu itu saya sudah KKN segala. Bahkan sudah ancang-ancang mau meneliti soal aspek tekstur karya-karya Aming Prayitno. Ya, akhirnya saya justru ditanting (diajak) Pak Subroto SM mau melanjutkan studi atau tidak dan saya memutuskan keluar.
Selama saya di ASRI pula sempat merasakan kecenderungan aliran surealisme yang menguat. Rupanya, pengaruh Ivan Sagito waktu itu cukup lumayan. Ia kakak kelas saya. Hanya saja, keberadaan Ivan Sagito masih kalah kuat pengaruhnya jika dibandingkan dengan Agus Kamal. Pak Sudarisman juga di bawahnya. (Kedua nama terakhir itu sekarang dosen di FSR ISI Yogyakarta). Memang, secara teknis, saya juga suka dengan acuan sebagaimana yang dikerjakan “raksasa” surealisme asal Spanyol, Salvador Dali. Nah, sisi surealistik yang kemudian saya kembangkan merupakan perpanjangan dari idealisasi kritik visual ala Jawa. Semacam filosofi ngono ya ngono ning aja ngono.
Lompatan Identitas Visual
SAYA pun semakin mendapatkan pengayaan perspektif berkarya dengan belajar tentang teknik pada era renaisans, misalnya. Yang pasti, semua hal yang merupakan acuan benang merah pengayaan kreativitas saya pelajari menjadi mengkristal dan bermuara dalam aliran surealistik sebagai satu kecenderungan estetik yang relatif menguat dalam karya saya. Meski bagi saya tren kecenderungan surealistik di Indonesia boleh dikatakan yang punya posisi penting ya Ivan Sagito atau Agus Kamal.
Kalau soal pengalaman stagnasi dan ingin berubah gaya itu juga pernah saya alami. Jika kini banyak pelukis muda yang ingin mencoba teknik dengan gaya yang lebih riang atau bebas, eksperimen itu pernah saya lakukan salah satunya ketika saya di tempat Pak Widayat. Waktu itu menggambar bentuk sejenis orang berwarna hijau dengan background polos adalah lumrah.
Adanya pergeseran tema lukisan surealistik saya menjadi seperti yang ada sekarang tentu saja didorong adanya faktor internal dan eksternal. Secara eksternal jelas berkaitan dengan tema kebebasan berekspresi. Sisi internal, inilah kesempatan bagi saya untuk bisa lebih berkembang dan eksis. Katakanlah lebih diperhitungkan publik yang luas. Terus terang, kalau saya stagnan surealis terus dengan perspektif seperti yang dulu jelas saya kalah dengan Ivan Sagito, Agus Kamal, bahkan Lucia Hartini.
“Nah, ngapain saya terus-terusan di situ? Bukankah ada baiknya jika saya mengambil pilihan estetik seperti dalam karya pameran kali ini?” Itulah bagian dari keinginan saya untuk hijrah secara estetik, setidaknya ada lompatan identitas tentang tema demonstrasi yang cukup berbeda dengan karya terdahulu.
Saya kira, karya-karya saya seperti yang ada dalam pameran kali ini tetap ada relevansinya dengan tema kritik zaman seperti yang dikerjakan seniman Djoko Pekik dengan muatan kekentalan unsur sosial-politiknya. Kiranya, dengan pijakan tema itu saya memang tetap menganggap sangat penting apalagi karena sejumlah ketidakadilan masih terus terjadi sampai hari ini. Sepertinya, tak akan kehabisan masa aktualitasnya. Lihat saja, bagaimana perlakuan antara buruh dan majikan dalam situasi sekarang, misalnya, apa sudah adil? Bagaimana dengan nasib Pembantu Rumah Tangga? Bagaimana dengan nasib orang-orang yang bisanya hanya berjualan di kaki lima? Sementara mereka terus saja digusur-gusur dengan cara cukup kasar padahal bertahan hidup dengan berjualan semacam itulah yang paling bisa mereka lakukan.
Tamasya Ideologi Kerakyatan
JIKA diamati, dalam lukisan-lukisan saya kali ini ada 2 sosok dominan yang mengemuka. Sosok saya dan seorang pantomimer yakni Jemek Supardi. Kehadiran saya di dalam sejumlah lukisan boleh dikatakan merupakan satu simbol: biarlah saya yang menjadi martir. Tak perlu ikon dengan model foto Soe Hok Gie (tokoh demonstran Angkatan 66) atau Wiji Thukul Wijaya (penyair dan demonstran asal Solo yng hilang tahun 1998). Titik penanda visual itu merupakan bagian dari eksplorasi wilayah ekspresi berupa kritik zaman supaya orang tetap bisa mendengar kritikan sebagai suara hati yang bening.
Pertimbangan saya dalam menghadirkan sosok pantomimer Jemek Supardi lebih disebabkan karena adanya alasan bahwa ada gestur di dalam diri Jemek Supardi yang menggelitik. Cukup artistik jika disinkronkan menjadi bagian keutuhan kesebadanan kepentingan visual karya saya. Ekspresi tingkah Jemek Supardi dalam melakoni sejumlah adegan ketika berpantomim merupakan hal-hal yang merupakan bagian dari idealisasi visual yang sungguh saya inginkan.
Banyak yang bilang fenomena estetika perihal potret diri cukup menguat di Indonesia. Kalau dikatakan bahwa apa yang saya lakukan merupakan terusan atau kelanjutan dari kecenderungan perupa yang eksis dengan pendekatan estetik berupa pengelolaan bentuk tubuh, maka apa yang saya lakukan jelas berbeda. Persamaannya ya hanya dalam kadar objek sebagai pelaku. Perbedaannya jelas pada sisi eksplorasi estetik tentang objek demonstrasi itu. Adanya visualisasi gambar yang menyoal rebutan suara, orang-orang yang terluka secara sosial-politik, tentu saja mempunyai kaitan dengan ranah eksplorasi seputar estetika demonstrasi. Ekspresi Jemek Supardi yang berteriak namun seolah sia-sia itu bukankah merupakan perpanjangan idealisasi visual tentang demonstrasi? Belum lagi jika mencermati lukisan saya yang berobjek tentang megapon, topeng-topeng, atau lainnya yang merujuk pada idiom seputar demonstrasi.
Saat ini boleh dikatakan bahwa tema-tema surealistik tidak sebanyak era dahulu. Mudah-mudahan apa yang saya pamerkan kali ini cukup bisa menjadi garis penegas bahwa objek lukisan yang saya tekuni sekarang merupakan pilihan yang mempunyai spesifikasi tertentu. Sepanjang saya mengikuti perkembangan visual pencapaian estetik seni rupa Indonesia, menjatuhkan pilihan berupa objek demo tergolong tidak biasa digambar orang. Itulah salah satu wujud wilayah kreatif yang menurut saya sangat perlu dieksplorasi lebih mendalam sebagai identitas estetik yang khas. Bukankah hal itu cukup jarang atau tidak biasa diekspresikan sebagai karya seni? Jadi, saya memilih aspek cara ucap tanda-tanda visual tentang demo bukanlah sebuah keserta-mertaan yang tanpa landasan proses.
Buat saya, aspek pengalaman empiris haruslah digarap sebagai fokus yang tak ada habisnya. Bolehlah kalau dikatakan bahwa dengan melihat karya saya juga merupakan apresiasi terhadap keberagaman ideologi. Anggap saja sebagai satu bentuk tamasya ideologi kerakyatan. Misalnya saja, paham Karl Marx yang sosialis terepresentasikan juga di dalam karya saya. Jika kita mengritisi pemikiran Karl Marx memang ia tetap menjunjung tinggi agar kehidupan demokrasi yang terbangun tidaklah anarkhis. Berbeda dengan jika kita mengritisi pemikiran ideolog lainnya di luar Karl Marx yang seringkali justru menyarankan agar dalam kehidupan demokrasi justru menggunakan sisi kekerasan guna mencapai cita-cita tertentu.
Nah, dalam konstelasi semacam itu maka di manakah letak arti substansial terhadap ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan?