Main-main Tommy
(Catatan pendek yang termuat dalam katalog ini untuk menyertai pameran tunggal Tommy Tanggara, Hey God, di Sangkring Artspace, Yogyakarta, 1-14 September 2009)
Tommy Tanggara masih saja suka bermain-main. Garis-garisnya yang tertoreh di atas kanvas meliukkan cecitraan yang kartunal: model-model benda, tubuh, atau apapun yang bebas dari terkaman kaidah anatomi real. Tangan dan benaknya bagai bebas bergerak meruntuti imajinasi.
Pameran tunggalnya kali ini, cukup beda dengan yang dipresentasikannya dalam “Covenant of Love” di CG Art Space, Jakarta, Desember 2008 lalu. Kala itu, tema yang berkait dengan relijiusitas yang dibopongnya begitu kental, meski penuh tarikan simbol-simbol (baru) yang menggiring persepsi segar. Apresian disuguhi, misalnya, oleh citra tentang “Perjamuan Terakhir” versi “Jawa” ketika dalam kanvas Tommy muncul 13 orang yang duduk lesehan membentuk formasi lingkaran. Bukan lewat pelukisan ala Leonardo da Vinci yang duduk berderet di sebuah meja panjang—seperti yang telah melekat kuat dalam ruang ingatan publik—yang karya aslinya menempel di gereja Santa Maria delle Grazie, Milan, Italia itu.
Sedikit mengaitkan dengan pameran sebelumnya, kali ini Tommy juga menyenggol ihwal “spiritualitas” meski tentu dengan caranya sendiri yang khas. Ada lukisan bertajuk “The Way to Heaven” yang mencitrakan sosok lelaki siap menelan mercon yang hendak meledak. Pun ada “The Fall of the Rebel Angel” yang menjungkalkan sosok “malaikat” terpanah kepalanya. Inilah, saya kira, cara bermain Tommy dalam menarik problem relijiusitas yang dirasakannya “di awang-awang” untuk kemudian diseretnya dalam realitas yang sehari-hari. Dia seperti bercanda bahwa surgapun bisa dicapainya dengan cara mati konyol, atau sosok malaikat bukanlah makhluk super yang penggambaran atasnya tak terjamah oleh angan-angan dan imajinasi awam (semisal Tommy yang kesehariannya masih jauh dari relijius).
Inilah simbol. Tommy atau manusia secara umum adalah homo symbolicum—menurut antropolog Abner Cohen (1976)—yang dihidupi dan menghidupi/kan diri dengan beragam simbol berikut segala pembaruan dan sistem pemaknaannya. Simbol atas aspek relijius (dan lainnya) yang bergerak itu ditangkap Tommy dengan otoritas kreatifnya yang menghasilkan karya cukup segar, ringan, dan sedikit jenaka. Kecenderungan seperti ini sangat dihidupi oleh lingkungan Tommy. Dalam kajian budaya popular, realitas seperti ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan terhadap hakikat kebudayaan itu sendiri yang bergantung pada konteks produksi dan distribusinya, serta juga pada konteks konsumsi dan resepsinya. Dalam pemahaman yang lebih meluas atas hal tersebut, beberapa hal bisa ditengarai sebagai “isu” perbincangan.
Apapun, di balik problem itu, nama Tommy Tanggara, mungkin, belum banyak diperhitungkan dalam peta seni rupa Yogyakarta/Indonesia. Ini jelas risiko umum yang biasa terjadi dalam pergulatan seni rupa dimanapun. Ada pencarian eksistensi pada satu sisi, namun ada pula politisasi seni di seberangnya yang memungkinkan seorang seniman—meski dia dia memiliki pencapaian kreatif yang luar biasa—namun terhimpit di sudut sejarah. Tenanglah, Tommy, teruskan bermain…