Daya Hidup Sang Kartunis



KALAU di harian Kompas edisi Sabtu, 14 Agustus 2010, persisnya di rubrik “Opini” halaman 6 masih terpapar gambar kartun editorial (editorial cartoon) “Oom Pasikom”, itulah bagian penting dari daya hidup seorang Gerardus Mayela Sudarta atawa lebih populis diakrabi sebagai GM Sudarta. Hidupnya seperti didedikasikan sepenuhnya untuk seni kartun. Padahal, sehari sebelumnya, 13 Agustus 2010, tulang kering (tibia) kaki kirinya harus dioperasi untuk dipasang platina. Ini terpaksa dilakukan setelah kartunis kelahiran Klaten tersebut terjatuh di kamar mandi. Dan semuanya ini—ya operasi tulang kaki, berkarya meneruskan “nyawa” Oom Pasikom di Kompas, dan pemulihan serta mengontrol kesehatannya—dilakukannya di Ruang Carolus lantai 5 nomer 28, Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Selain patah tulang kaki, setidaknya dalam setahun terakhir ini GM Sudarta mengidap penyakit kronis yang tengah menggerogoti tubuhnya: Hepatitis C. Dokter memvonis penyakit itu berjangkit di tubuhnya justru ketika dia tengah menjadi dosen tamu di kampus Universitas Seika, Kyoto, Jepang. Maka, kontrak kerjanya sebagai pengajar mata kuliah seni kartun, mulai tahun 2008, harus diputusnya di tengah jalan saat baru memasuki kurun satu setengah tahun dari lima tahun yang telah direncanakan. Berat memang. Namun itulah "pilihan" yang mesti ditentukannya. Dengan kondisi seperti itu di Jepang, dia merasa sangat kerepotan karena tidak tinggal bersama keluarga, ditambah lagi dengan biaya pengobatan yang jauh lebih mahal ketimbang di Indonesia.

Di Indonesia pun, ayah dari dua gadis kembar yang cantik itu tak lagi menempati rumahnya di pinggiran kota Klaten yang sebelumnya seperti jadi “terminal terakhir” setelah puluhan tahun menetap dan memacu karier di Jakarta. Dia memilih tinggal di sisi utara kota Yogyakarta, tak jauh dari terminal Jombor. Dengan demikian, praktis rumah yang berpekarangan seluas 1.000 meter persegi di Klaten ditinggalkan. “Jadi rumah hantu kayaknya,” canda kartunis yang 20 September ini memasuki usia 65 tahun.

Penyakit Hepatitis C itulah yang mengharuskannya menetap di kota Gudeg kini. Paling tidak, dalam seminggu sekali dia mesti mengontrol kesehatannya yang berkait dengan penyakit peradangan hati. Dan suntikan anti-hepatitis C yang masih cukup langka mesti diberikan untuk menjaga kesehatannya. Ini hal yang belum bisa dilakukan di rumah sakit di Klaten. Sementara di Yogyakarta yang memiliki rumah sakit dengan fasilitas relatif cukup lengkap (dan relatif lebih murah daripada di Jakarta) bisa dijangkaunya dengan menetap di pinggiran kota Yogya.

Tapi jelas, jer basuki mawa beya. Semua ikhtiar tetap membutuhkan dana. Dan ini tidak murah. Peraih penghargaan jurnalistik Adinegoro untuk bidang karikatur pada tahun 1983 hingga 1987 ini harus mengeluarkan banyak dana demi kesehatannya. Bahkan dengan sangat terpaksa, beberapa barang koleksi seni yang bertahun-tahun dikumpulkannya, harus dilego. Misalnya gebyok, penutup antar-ruang dalam rumah tradisional Jawa yang penuh ornamen dan terbuat dari kayu jati, terpaksa harus lepas dari tangannya. Semua demi alasan kesehatan.

Situasi yang tak mudah ini sepertinya tak meredupkan gairah kreativitasnya untuk tetap berkarya. Seni kartun memang telah menjadi daya hidup baginya. Harian Kompas sebagai media bagi kanalisasi kreativitasnya juga masih bersetia mengakomodasi setiap gores artistik yang terlahir dari tangannya. Memang, karyanya tak lagi setangguh bertahun-tahun lalu ketika fisiknya masih jauh lebih bugar. Waktu telah merambatkan usia. Ya, ini sangat manusiawi: gerak usia telah mengabarkan sejauh mana seseorang memiliki puncak pencapaian, dan sedalam apa pengabdian hendak dijalankan. Oom GM Sudarta dalam berkarya kini banyak dibantu oleh teknologi (internet), dan seorang sopir pribadi yang setia dan cerdas untuk mengetahui kebutuhan dirinya. Bahkan, tuturnya pada Indonesia Art News, 13 Agustus lalu, sopirnya yang lulusan Seminari itu membantunya menuliskan teks dalam karya kartun editorialnya yang berlabel “Oom Pasikom”. Sebuah kolaborasi yang menarik.

Selain mengartun, sesekali GM Sudarta juga melukis di atas kanvas dengan tema yang jauh dari dunia kartun-mengartun. Bulan-bulan ini, dia juga tengah menanti kumpulan karya cerita pendeknya (yang bertema seputar efek sosial dari Gerakan 30 September 1965) diterbitkan.

Cepatlah sembuh, kembali bugar, dan teruslah berkarya, Oom GM “Pasikom” Sudarta! ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?