Jogja Gumregah! Jogja Bangkit!
Jogja Gumregah! Jogja Bangkit!
AKHIRNYA, gunung Merapi kembali “bekerja”. 26 Oktober 2010 lalu Merapi, gunung berapi paling aktif di Indonesia, bahkan di dunia, ini menunjukkan kebesarannya. Puncaknya, Kamis malam, 4 November 2010, ketika gunung dengan ketinggian 2.968 meter dpl (di atas permukaan laut) ini memuntahkan banyak kandungan materialnya berupa awan panas, lava pijar, lahar dingin, juga debu vulkanik. Diperkirakan, secara keseluruhan gunung Merapi kali ini menggelontorkan material hingga sekitar 140 juta meter kubik. Ini jauh lebih besar dibanding dengan letusan Merapi yang terakhir, tahun 2006 lalu.
Dampak dari meletusnya gunung yang mempertemukan empat kabupaten (dan dua propinsi) ini begitu luas dan masif. Ratusan orang tewas, ribuan orang cedera, dan ribuan orang kehilangan tempat tinggal, lahan tanah, hingga mata pencaharian utama. Jutaan hektar hutan dan lahan pertanian dan perkebunan lenyap menjadi “padang pasir” yang perlu bertahun-tahun untuk bisa kembali seperti semula. Angka-angka mengenai hal ini akan begitu beragam sesuai perkembangan waktu yang terus bergerak.
Para korban tersebut kini membutuhkan uluran tangan kepedulian dari semua kalangan, tak terkecuali kita dari masyarakat seni (rupa). Kepedulian masyarakat seni ini sudah banyak dilakukan sejak awal setelah (gejala) bencana ini terjadi. Tidak sedikit dari sahabat kita telah lebih dahulu bergerak langsung di lapangan dengan membuat posko bantuan, bergabung dengan komunitas lain, LSM dan lainnya untuk menyegerakan kebutuhan dasariah bagi para korban letusan Gunung Merapi.
Kini, setelah sebulan berlalu, sumber bencana, letusan gunung Merapi telah luruh. Tanggal 4 Desember statusnya telah diturunkan menjagi “Siaga” setelah sebelumnya dalam level “Waspada” dan “Awas” (saat puncak-puncaknya Merapi “bekerja”). Kondisi telah “membaik” meski tentu saja banyak hal telah berubah menimpa para korban. Barangkali kebutuhan sandang pangan sedikit tertangani untuk jangka waktu yang relatif pendek. Namun demikian, ada sekian banyak persoalan yang mengemuka, seperti kebutuhan pendidikan pendidikan anak-anak, kebutuhan spiritual bagi keluarga, terutama ibu dan anak, dan sebagainya.
Dalam kerangka pemikiran untuk memberi kontribusi bagi para korban bencana gunung Merapi ini pameran seni rupa ini diwujudkan. Tajuk pameran ini, “Jogja Gumregah! Jogja Bangkit!” dengan jelas mengindikasikan sebuah harapan yang besar untuk memompa semangat kebersamaan sebagai warga Yogyakarta dan Indonesia dalam mengatasi masalah kebencanaan. Kami sengaja mengedepankan istilah dalam bahasa lokal (Jawa), yakni ‘gumregah’, untuk memberi penekanan yang kuat atas tendensi utama pameran ini, yakni spirit untuk bangun. Secuil dari hasrat itu terwadahi dalam pameran yang bertajuk “Jogja Gumregah! Jogja Bangkit!” Penjudulan pameran ini memberi penegasan bahwa ada hasrat yang kuat untuk menguatkan spirit masyarakat korban bencana Merapi agar kembali bangkit menapaki semua aspek perikehidupan ke depan. Kata “gumregah” adalah istilah Jawa yang berarti “terjaga dengan sigap dari tidur lelap”. Maka, spirit untuk bangkit dari tidur inilah yang dihasratkan oleh semua pendukung pameran ini agar saudara-saudaranya di lereng Merapi bisa memulai kehidupan dan harapan baru.
Pameran ini dihasratkan sebagai bentuk kepedulian publik seni rupa di kawasan Yogyakarta dalam merespons gejala alam khususnya bencana gunung Merapi yang menimpa sebagian masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah. Telah disadari bahwa banyak seniman di Yogyakarta dan kawasan lain yang bergerak cepat merespons bencana dengan berbagai cara untuk memberi sumbangsih kemanusiaannya. Oleh karenanya, pameran amal ini jelas bukanlah satu-satunya pameran amal dan bukan satu-satunya cara seniman dalam memberikan kontribusi positifnya bagi saudara-saudara sesama bangsa Indonesia yang tengah dilanda kedukaan.
Namun demikian, di celah upaya keseriusan atas pameran ini, kami juga berhasrat mengedepankan aspek kebersamaan dan kekeluargaan untuk tetap diangkat sebagai isu penting dalam pameran ini. Kebersamaan itu dapat dilihat dari keterlibatan puluhan relawan yang terdiri dari para seniman muda untuk bergerak bersama mendukung praktik pameran ini.
Pameran ini sendiri tidak sekadar mengeksposisikan karya para seniman yang bergerak dalam disiplin seni rupa. Ada 4 (empat) artefak penting yang diusung dalam kesempatan pameran ini, yakni (1) artefak dari sekitar lereng gunung Merapi, (2) artefak foto tentang gunung Merapi dan dinamikanya, (3) artefak kolektivitas antar-posko Merapi, dan (4) artefak karya perupa. Dari keempat artefak karya pameran tersebut, jelas, menjadi penting karena melibatkan banyak pihak. Misalnya, pada artefak pertama, panitia Jogja Art Share telah bekerjasama dengan masyarakat di dusun Besalen, desa Glagaharjo, dan dusun Ngepringan, desa Wukirsari, (semuanya di) kecamatan Cangkringan, Sleman, DIY, untuk terlibat aktif. Mereka, para warga itu, mengumpulkan banyak benda atau harta mereka yang telah terempas lahar panas dan awan panas untuk dikoleksi, diangkut ke Jogja National Museum dan dijadikan sebagai artefak penting untuk dieksposisikan dalam pameran ini. Juga menyangkut artefak kedua, panitia bekerjasama dengan masyarakat awam untuk menyumbangkan foto-fotonya yang berkait dengan gunung Merapi dan aspek kebencanaannya untuk dipamerkan secara bersama.
Khusus untuk artefak dari sekitar lereng gunung Merapi, dalam pameran ini, kami rekonstruksi dalam beberapa ruangan dengan fokus yang sedikit berlainan satu sama lain. Rekonstruksi ini seperti sebuah re-imajinasi, setidaknya bagi kami, mungkin bagi publik penonton, barangkali juga bagi warga korban Merapi. Kami ingin membayangkan kembali (lewat puing-puing artefak tersebut) atas sebuah ruang keseharian yang kini telah lenyap dari realitas saudara-saudara kita itu. Ruang tamu yang menjadi ruang kehormatan bagi mereka kini telah menjadi realitas-imajiner yang entah kapan akan mereka miliki kembali. Demikian juga dengan re-imajinasi atas suasana dapur, ruang pertemuan, tempat beribadah, ruang garasi atau tempat untuk memarkir kendaraan, dan sebagainya. Imajinasi-imajinasi itu dibangun kembali, disusun kembali untuk membangun harapan dan optimisme bagi para korban Merapi agar mereka tetap menumbuhkan gairah untuk hidup dan menatap masa depan, juga menguatkan rasa empati dan simpati masyarakat lain agar tetap selalu memberikan ruang dan sebagian kebahagiannya untuk selalu berbagi. Inilah harmoni yang dalam falsafah Jawa begitu dijunjung tinggi untuk memberi daya hidup dan sebagai gaya hidup. Semoga. *** (kuss indarto)