Tembok Besar Sensasi?
Oleh Kuss Indarto,
www.indonesiaartnews.or.id
BRIGHTON Fringe Festival 2011 menuai secuil kontroversi. Festival seni yang digelar secara rutin tiap tahun sejak 1967 di kota Brighton, Inggris itu, pada perhelatan kali ini, antara lain, menggelar karya seniman Jamie McCartney bertajuk The Great Wall of Vagina. Karya tersebut dipertontonkan kepada publik antara tanggal 6 hingga 31 Mei 2011 di Jamie McCartney Patung Studios, 7 Kapal Street Gardens, Brighton, sebagai bagian dari Brighton Fringe Festival.
Secara visual, karya McCartney mengeksposisikan rangkaian body cast (cetakan tubuh yang dibuat karya tiga dimensi), khususnya pada bagian, maaf, alat kelamin perempuan alias vagina. “Potongan” permukaan vagina itu dicetak dengan gips sesuai bentuk aslinya karena dilakukan lewat teknik pematungan body cast. Namun vagina itu diberi warna putih, bukan sesuai dengan warna kulit aslinya, untuk memberi penyeragaman yang dirasanya lebih artistik. Titik menariknya, seniman lulusan Westminster School, London ini mencetak 400 vagina dari 400 perempuan dengan rentang kelompok usia remaja 18 tahun hingga kelompok usia senja 76 tahun.
Ini jelas bukan pekerjaan instan karena seniman kelahiran tahun 1971 ini membutuhkan waktu hingga 5 tahun “memburu” para “relawan” tersebut hingga kemudian bagian dari genital sang relawan direlakan untuk “di-copy” menjadi karya. Tentu, ini sebuah kerja besar, serius, dan perlu ketelitian serta membutuhkan kesabaran tertentu. Kalau merunut jumlah copy vagina yang diselesaikan dalam 5 tahun, maka bisa perkirakan bahwa dalam setahun McCartney menyelesaikan 80 buah copy vagina, atau rata-rata dalam seminggu dituntaskan 1,5 buah hasil cetakan copy vagina. Bisa dibayangkan bahwa tiap pekan selama 5 tahun seniman ini harus berpikir untuk mencari perempuan lagi yang akan dijadikan partner kerja demi menyelesaikan proyek seninya yang tidak main-main ini. Dalam beberapa sumber yang jadi rujukan berita ini, sayang, tidak ada yang memberitakan perihal strategi dan siasat McCartney dalam “mendapatkan” para modelnya: apakah mereka sukarela bekerjasama dengan sang seniman untuk proyek ini, atau ada nilai transaksi finansial di dalamnya (dan berapa kisaran angka transaksi itu, tak ada data yang tersurat).
Proyek tersebut, awalnya, hanya mengumpulkan 40 copy vagina yang disatukan dalam sebuah panel besar sepanjang 6 kaki atau sekitar 7,8 meter. Penataannya adalah dengan dijejer rapat satu sama lain, 4 baris disusun vertikal dan 10 baris ditata horizontal. Saat satu panel dengan 40 copy vagina itu tuntas pada musim panas tahun 2008, McCartney merasa kurang puas. Seniman yang pernah mendapatkan perhargaan seni dari art college tertua di Amerika Serikat, Hartford Art School ini menyadari bahwa karya semacam itu perlu diperbesar kapasitasnya, kolosalitasnya, agar memiliki dampak artistik yang lebih besar. Maka, dari titik soal itulah seniman ini mengonsentrasikan gagasan dan kerjanya untuk mengumpulkan lebih banyak lagi copy vagina hingga menghabiskan waktu lebih dari 2,5 tahun kemudian.
Pekerjaan semacam ini bagi McCartney tidak cukup sulit karena telah sekian lama bergelut sebagai lifecaster yang acap kali mencap tubuh manusia untuk dijadikan patung sehingga akurasi patung tersebut tepat secara anatomis. Dia juga sudah beberapa kali menjadi pembuat properti film untuk kepentingan efek-efek khusus (special effect prop-maker) yang mendekatkan dengan gagasan sutradara. Film-film Hollywood yang mendapat sentuhan tangannya antara lain Casino Royale, Black Hawk Down, V for Vendetta, Charlotte Gray, Around the World in 80 Days, dan The Hitchikers Guide to the Galaxy, dan lainnya.
Karya McCartney ini banyak mendapatkan respons yang beragam. Seperti biasa, dua hal yang berseberangan mengemuka: antara pihak yang menganggap ini sebagai bagian dari kebebasan berkarya seni di satu sisi, dan pada sisi lain, banyak cibiran sinis bahwa ini sekadar sensasi murahan (cheap sensationalism). Terhadap semua respons tersebut, McCartney telah sejak awal ingin mendasari alasan kelahiran karyanya sebagai bentuk eksplorasi atas relasi perempuan dengan alat kelamin mereka. Operasi plastik ataupun penciptaan kategori-kategori tentang canti dan seksi terkadang telah menciptakan (sebuah) cara untuk membuat perempuan merasa buruk tentang dirinya sendiri.
Wah, kalau karya tersebut dikreasi dan/atau dipamerkan di Indonesia, apa yang terjadi ya?***