Biennale yang Lupa Akar
Sebuah karya vido art yang ada dalam venue Taman Budaya Yogyakarta dalam Biennale Jogja XI-2011. (foto: kuss)
Diambil dari www.indonesiaartnews.or.id
BIENNALE Jogja XI-2011 telah dimulai dengan “mengejutkan”. “Mengejutkan” karena justru tidak sedikit para perupa di Yogyakarta yang terkejut karena tidak mengetahui keberlangsungan perhelatan besar seni rupa di Yogyakarta bahkan di Indonesia itu. Indonesia Art News mencoba melakukan interviu tertulis dengan banyak narasumber tentang peristiwa Biennale Jogja XI-2011 ini. Namun dengan terpaksa harus mengganti beberapa narasumber karena mereka tak bisa memberi jawaban dengan beberapa alasan. Ada yang mengakui tidak tahu kapan pembukaannya. Ada yang diam mencari aman. Ada pula yang mengaku belum menonton meski pertanyaan diberikan setelah Biennale Jogja XI-2011 dibuka secara resmi oleh Sultan Hamengkubuwono X pada hari Sabtu, 26 November 2011.
Berikut hasil interviu yang dijaring dari beberapa narasumber dengan beberapa latar belakang yang dimungkinkan bisa dibaca sebagai sebuah “representasi” kecil. Ada Yuswantoro Adi dan Yaksa Agus yang keduanya adalah perupa yang masih aktif berkarya. Lalu ada Rusnoto dan Rain Rosidi yang dikenal sebagai kurator juga akademisi yang menetap di kawasan Yogyakarta. Lalu ada Andy Dewantoro, salah satu peserta Biennale Jogja XI-2011 kali ini. Dan Fuska Sani Evani, seorang jurnalis professional.
Menurut Anda, adakah hal yang baru dan menonjol dalam perhelatan Biennale Jogja (BJ) XI-2011 ini?
Yuswantoro Adi:
Yang baru kuratornya, yang menonjol ketidakjelasannya.
Rusnoto:
Internasional? Saya sangat setuju dgn semangat mewujudkan gagasan besar ini tentunya. Yang paling menonjol pada BJ XI-2011 mencoba membangun jejaring dengan memaksakan proses internasionalisasi yang justru menampakan beberapa titik lemah yang luput dari pencermatan tim kurator, dengan mengundang beberapa seniman India yang tidak cukup merepresentasikan pencapaian internasionalisasi itu sendiri.
Yaksa Agus:
Biennale Jogja dengan wacana internasional sesungguhnya telah lama didengung-dengungkan dan mulai Biennale 2005 dengan tema "The Here and Now" adalah awal dari perhelatan Biennale jogja dengan mengundang seniman dari luar negara.
Rain Rosidi:
Yang baru dan menonjol dan menarik bagiku pada biennal kali ini adalah bahwa semangat untuk menginternasional dilakukan dengan cara yang ciamik, bukan dengan cara-cara "pseudo-internasional", seperti dengan cara mengundang seniman luar negeri yang asal comot. Tapi pilihan untuk melakukan biennal dengan fokus satu negara menjadi pilihan untuk menyatakan diri sebagai biennal internasional dengan cara yang tidak memaksakan diri tapi sekaligus bisa menjadi bagian dari gagasan kuratorial. Apalagi dengan negara seperti India, tentunya banyak yang hal menarik dari sana.
Andy Dewantoro:
Hal baru menurut saya ada, yaitu pemilihan seniman yang saya rasa fresh sehingga karya yang ditampilkan sedikit fresh dan berbeda, dan banyak seniman muda yg sedikit memberikan warna berbeda serta eksplorasi yang dinamis untuk bienalle kali ini. Dan tentunya dengan adanya peserta dari India yang membuat acara kali ini terkesan unik.
Fuska Sani Evani:
Ada hal yang menonjol, yakni serba India.
BJ selama ini seperti banyak pro-kontra tapi tetep didukung kuat oleh publik seni rupa di Jogja. Masih kuatkah situasi itu pada perhelatan kali ini?
Yuswantoro:
Kali ini banyak perupa yang bilang: gak kuat deh, tapi saya percaya seni rupa di jogja selalu punya publik.
Rusnoto:
Pada dasarnya publik seni rupa di Jogja memiliki karakteristik dan kekuatan yang spesifik dalam mendukung suatu perhelatan seni rupa lepas dari persoalan pro-kontra, meski saat ini dapat ditangkap tidak cukup antusias. Soal kekuatan daya dukung pada BJ XI-2011 mestinya menyatakannya dengan data otentik sebuah survei yang berimbang namun spekulasi saya saat ini ada gejala 'melemah' yang kurang harmoni dalam proses penyelenggaraan dan serasa BJ kali ini kurang 'ngomah', membumi serta banyak hal yang berkaitan dengan proses sosialisasi dan rekruitmen yang tampaknya memiliki jarak dg semangat kemelekatan sebuah event penting ini. Peran kurator Alia Swastika dan Suman Gopinath kali ini yang terasa dingin dan berjarak dengan publik seni rupa Jogja juga bisa dicermati kembali dalam membangun relationship ' secara emosional' dengan semua stakeholder salah satunya. Sehingga pada proses pemetaan menjadi terpotong dan terbelah-belah. Cukup signifikan jumlah seniman Jogja yang sudah menginternasional justru tidak terundang, kurang bersemangat atau malah menolak berpartisipasi dalam perhelatan ini dengan berbagai alasan.
Yaksa Agus:
Biennal Jogja, apapun hasilnya adalah tetap milik seni rupa jogja. Akan di dukung segala lapisan seniman jogja. Pro kontra telah muncul sejak Bienal Jogja I tahun 1988. Toh, Biennal JoGja lahir sebagai pemberontakan atas Bienale Seni Lukis Jakarta kal itu yang sistem penjuriannya dianggap menyimpang kala itu. Tetapi pada praktiknya Biennale Jogja tahun 1992 juga mendapat reaksi BINAL-nya Heri Dono, dan kawan-kawan. Pro-kontra akan selalu muncul dalam pelaksanaan perhelatan Biennale Jogja karena memang populasi seniman di jogja yang mencapai ribuan yang semuanya ingin jadi super star.
Rain Rosidi:
Pro kontra BJ pada biennal kali ini lebih terasa di kasak kusuk yang terjadi di para seniman, misalnya mengenai kualitas penyelenggaraan dan sebagainya. Sebenarnya hal itu patut disayangkan, mengingat biennal sudah mencoba memperbaiki kinerjanya dengan mendirikan lembaga (yayasan), yang harapannya mampu merampungkan itu semua (misalnya keluhan waktu yang mepet dari kurator, kurangnya publikasi, kesalahan kecil dalam poster atau undangan, kurangnya informasi di lapangan, dan sebagainya). Melihat publikasi acara, dan sempat ikut dalam beberapa kali persiapan acara bienal kali ini, saya sudah membayangkan pameran bienal kali ini bakal berwatak ‘dingin’, kalem, dan tidak heboh dan atraktif, sesuatu yang biasanya ditemui dalam even-even pameran besar di jogja. Bagi publik seniman jogja yang dengan semena-mena aku tuduh belum terbiasa dengan karya-karya yang seperti itu, tentu akan banyak suara-suara yang menuduh bienal yang ‘sepi’, anyep, kurang greget, dan sebagainya. Tentunya ini menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara untuk membawa muatan yang kalem ini ke publik dengan berbagai cara, terutama dalam hal mediasi dan publikasinya. Kalau toh, seniman berasal dari kalangan yang sangat ekslusif, even yang diselenggarakan oleh negara dengan biaya APBD ini juga seharusnya menjadi milik masyarakat, minimal sebagai konsumennya. Ada keterhiburan, atau kebangaan masyarakat ketika merasa memiliki biennal jogja.
Andy Dewantoro:
Menurut saya pro dan kontra itu suatu kewajaran dalam mengadakan sebuah acara dan sangat di perlukan sekali dukungan perupa lokal, terurtama para perupa senior dalam acara ini mutlak penting, mengingat mereka sudah berpengalaman dalam Bj terdahulu, dan kita tahu bahwa BJ kali ini adalah yang ke 11. Masukan dan pendapat serta dukungan perupa senior sangat di perlukan untuk bekerja bersama2 sehingga terjadi suatu kebersamaan dan kekeluargaan.
Fuska Sani Evani:
Saya melihat tidak mayoritas. Karena banyak kawan seniman papan atas di Yogya, yang justru tidak terlibat, entah tidak dilibatkan atau enggan melibatkan diri. Pertanyaan itu sebaiknya ditujukan pada seniman. Menurut saya, sah saja, karena munculnya gab yang tidak bisa dibendung di antara seniman sendiri. Jadi kalau ada yang mendukung full perhelatan kali ini, mereka adalah yang dalam ring tersebut.
BJ kali ini mencoba menginternasional dengan menghadirkan seniman dari India. Apa titik penting dari fakta ini?
Yuswantoro Adi:
Kalo ukuran nginternasional hanya dengan menghadirkan orang asing, kenapa gak ngajak turis di sosrowijayan atau prawirotaman ja bung? Menjadi internasional adalah manakala kita bisa menarik yang asing/bangsa/negara lain/pokoknya orang sak dunia menaruh perhatiannya kepada kita bukan sekadar menaruh orangnya di acara kita.
Rusnoto:
Kenapa ketika memiliki konsep internasionalisasi kita tak mampu mengundang seniman kontemporer yang paling representatif secara internasional yang belakangan dibicarakan dalam wacana seni rupa kontemporer Asia maupun dunia. Poinnya adalah karena salah satu kurator BJ XI-2011 Suman Gopinath seorang India maka India kemudian dinilai aspek penting sebagai representasi Internasional.
Yaksa Agus:
Tidak ada hal yang penting dalam pelaksanaan biennal kali ini. Bolehlah meminjam kalimat Nindityo yang diucapkan pada sosialisasi biennal 2007 silam bahwa menjadi kurator itu tidak mudah". Dan jika digambarkan, pameran Biennale kali ini tak ubahnya seperti pameran makanan dari India dan Indonesia. Jelas India menghadirkan kare, capati, dengan teh campur susu, sementara Indonesia malah menghadirkan roti keju dengan minuman Coca Cola. Jika ibarat orang yang sedang sholat khiblatmu terlalu ke barat.
Rain Rosidi:
Seperti yang sudah kusebutkan di awal tadi, harapan untuk menginternasional dengan acara seperti ini menurutku lebih ciamik ketimbang memaksa membawa seniman-seniman dari berbagai negara untuk menjadi sebuah bienal internasional. Pilihan India juga menarik, mengingat India adalah negara dengan budaya dan seni yang kuat tapi bukan titik sentral yang selama ini kita bayangkan dalam dunia seni kontemporer.
Andy Dewantoro:
Meningkatkan kerja sama di antara kedua belah pihak, dengan membuka diri melalui bienalle kali ini mengingat banyak persamaan ideologi dan agama serta isu2 politik dan situasi sosial yang hampir sama.Dengan ini di harapkan bisa membuka kerja sama yang lebih luas ke depanya.
Fuska Sani Evani:
Sesungguhnya mengapa kita pusing dengan kata internasional? Biarkan kita menginternasional dengan natural, tanpa harus membuat diri kita keinternasional-lan. Indonesia di mata luar negeri sudah internasional kan? Contoh, kalau seniman kondang kita semacam Eddie Hara, Heri Dono pameran di Australia, bangsa Aussie akan menyebut mereka sebagai seniman internasional bukan? Satu hal, biennale kali ini justru memberikan fasilitas bagi seniman India yang kita belum tahu kualitasnya. Jujur, saya sebagai penulis tidak kenal mereka. Bukan karena sok nasionalis, tetapi background mereka juga tidak terpapar dengan jelas. Hubungannya? Secara konsep BJ sekarang, betul berhubungan atau dihubung-hubungkan. Bukan soal setuju atau tidak setuju, tetapi apa yang disebut tonggak prestasi seniman menjadi semu bahkan bias.
Secara konseptual, apa yang bisa Anda tangkap dari gagasan kuratorial BJ kali ini?
Yuswantoro Adi:
Konsep The Equator sesungguhnya cukup menarik, sayangnya kurator BJ lebih bersifat melayani apa maunya asing/internasional/mereka daripada menawarkan apa yg kita/kami/Yogyakarta sudah punya.
Rusnoto:
Konsep kuratorial yang penting dan menarik pada pokok konseptual Festival Equator. Sebuah festival pendukung dan pendamping pameran utama dalam Biennale Jogja / BJ XI 2011. Nama festival ini berasal dari tema besar BJ selama 10 tahun ke depan yakni equator. Sebagai pendukung ia bertujuan (1) memfasilitasi dialog pengetahuan yang disebarkan ke masyarakat luas di luar kesenian sehingga ungkapan seniman dan kenyataan sosial berhadapan, dan (2) memfasilitasi kreativitas sebaran lain dalam masyarakat, dalam kaitan peran mereka membentuk dinamika jogja, baik dinamika kesenian maupun kebudayaan masyarakatnya secara lebih luas. Dengan dua tujuan itu estetika yang diambil Festival Equator 2011 bukan hanya estetika konvensional, yaitu pementasan. Estetika festival juga bersifat praktik penyebaran dan dialog nilai-nilai pengetahuan sehari-hari lewat berbagai proyek bersama masyarakat. Singkatnya, festival ini adalah saat bagi masyarakat Jogja untuk ikut merayakan Biennale Jogja XI 2011 dengan cara mereka sendiri. [dikutip: konsep Festival Equator BJ XI-2011]
Nah, konsep kuratorial ini yang cukup penting dan khas.
Yaksa Agus:
Konsep biennale kali ini seperti tender sebuah proyek yang akan digarap selama 10 tahun (5 Kali biennale). Ingin internasional tapi lupa akar.
Rain Rosidi:
Dalam even besar dengan peran kurator yang juga besar seperti kali ini, aku kira kurator punya wewenang untuk memberikan fokus dan dasar pemikiran pada event sebesar biennal. Eksekusi dari fokus yang diajukan juga akan berimbas pada pilihan-pilihan seniman siapa yang diajak serta dan bagaimana karya-karyanya ditampilkan. Yang aku lihat tata cara pilihan seniman itu dilakukan dengan riset melalui pola-pola yang standar dilakukan oleh para pelaku art work di Indonesia, jadi nama-nama yang muncul adalah nama-nama yang tidak berkorelasi secara langsung dengan tema atau fokus bienal, tapi nama-nama yang muncul karena eksistensi keberadaan senimannya dalam kancah dunia seni di Indonesia. Tidak ada tawaran kreatif dalam nama-nama seniman yang muncul. Event sekelas bienal tentunya berhak menentukan standar peserta yang ikut, tetapi saya kira bisa dilakukan dengan berbagai cara, bukan sekadar dari gegap gempitanya acara kesenian di galeri-galeri, persitiwa-persitiwa seni, dan bursa lelang. Karya-karya seniman India lebih terasa korelasinya dengan tema yang ditawarkan, bahkan terlihat lebih menjiwai beberapa point yang ada di kuratorial, karena jalur kreatif para seniman itu mungkin sudah dalam persoalan-persoalan itu.
Andy Dewantoro:
Adanya persepsi yg berbeda dari para seniman kedua negara ini dalam menanggapi keadaan sosial yg terjadi pada masa sekarang yg menyangkut, isu religiosity, keberagaman, dan kepercayaan.
Fuska:
Pertanyaan keempat: sepanjang perhelatan BJ punya karakter yang berbeda. Itulah alam demokrasi, seni pun tak lepas dari demokrasi yang 'mempolitik'.
Secara umum, apa yang bisa "rasakan" dari perhelatan BJ kali ini?
Yuswantoro Adi:
Lama-lama BJ akan menjadi semacam event seni rupa di FKY (semakin dianggap tidak penting) jika ia hanya rutinitas dua tahunan tanpa ada something special yg bisa "dirasakan" bersama
Rusnoto:
Maaf, gaungnya makin melemah, seolah bukan pesta seni 2 tahunan seni rupa Jogja, presentasi karya canggung dan totalitasnya berkurang sehinga tidak cukup signifikan untuk memetakan kembali kualitas gagasan sebagai representasi seni rupa Jogja, Indonesia maupun Internasional. Satu hal lg proses acara opening terkesan agak jadul dan bertele-tele. Ada satu ilustrasi; ada seorang pelukis yang memiliki kapasitas kesenimanan baik bertanya melalui chattroom FB.
"ada bienalle ya, om. Wah aku kok sampai gak tahu ya, padahal tetanggaan je acarane... Jian kuper diriku... hahaha"
"Podho mas.. jane sing kuper ki dudu awae dewe mas, jane bienalle yg kuper kurang woro2"
"Mas, nanti pembukaan bienalle dimana mas?"
"Gak tau , tadi telp teman antara TBY/JNM. Ya, sambil jalan jalan ditiliki kabeh hahahaha"
Padahal dia saben malem Facebookan terus dan bongkar2 internet sampai ga tau event penting ini dilangsungkan. bukan kuper aku pikir lebih pada selera teman saya ini rendah terhadap event ini bisa jadi penyebabnya. Pandangan saya bisa saja lemah dan perlu pelurusan kembali.
Yaksa Agus:
Pada Biennal kali ini, paling fatal adalah selain pelaksanaanya adalah publikasinya. Dalam poster di tulis yang meresmikan Biennale Jogja adalah Sri Sultan HB XI. Menulis pemimpinnya sendiri saja keliru, tapi menulis nama duta besar negara lain tidak keliru. Seharusnya , poster itu di tarik dari peredaran dan di ganti dengan yang baru. Selanjutnya jika Direktur Biennale masih punya malu. Beliau mengundurkan diri sebagai tanda permohonan maaf atas kesalahan penulisan nama Sultan HB X menjadi HB XI. Karena pergantian Raja hanya bisa di ganti jika Raja telah wafat. Selanjutnya publikasi melalui media masa yang nyaris kurang. Kalo saya boleh sombong, masak opening Biennale Jogja yang berskala Internasional tamu yang hadir kalah dengan tamu yang hadir dalam Pameran Tunggal saya di Sangkring Maret 2011 lalu. Siapa saya? Siapa Biennale Jogja?
Rain Rosidi:
Bienal jogja itu kalau tidak salah bagian dari kerja rutin TBY (pemerintah) ya? Kalau ya, yang kukira bisa dijadikan catatan adalah tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam acara besar ini. Bienal yang lalu mungkin mencoba menyelesaikan masalah itu. Sayangnya perdebatannya tidak diarahkan ke sana, misalnya mengenai tawaran sebuah bienal seni yang diselenggarakan oleh negara dunia ketiga, dengan SENI AGAWE SANTOSA nya. Bienal memang punya hak untuk memberikan gagasan ideal mengenai seni rupa ke masyarakat lewat pola-pola kerja kuratorial yang ekslusif, tetapi hasil akhirnya disajikan benar-benar untuk masyarakat luas, dengan mediasi, publikasi, dan berbagai macam cara untuk mendekati masyarakat luas. Yang aku sayangkan bahkan publikasi dan komunikasi dengan ‘masyarakat seni’nya pun tidak banyak dilakukan. Kalau memang tidak lagi melihat peran sentral komunitas seni dalam meproduksi karya seni, kenapa masih menggunakan pola-pola komunitas seni dalam melihat seniman yang terlibat? Biaya tinggi yang dihabiskan setidaknya bisa menghibur masyarakat, atau membuat mereka bangga sebagai warga jogja atau Indonesia, atau mereka mendapat pengetahuan (karena mereka tidak mungkin menjadi peserta pameran). Komunitas seniman sebagai makhluk pilihan yang bisa memproduksi karya seni harusnya jangan kalah dengan klub-klub sepakbola yang sudah tidak lagi menetek pada APBD. Apalagi seniman seni rupa sebenarnya sudah bisa membangun sendiri infrastruktur dan jaringan ekonominya.
Andy Dewantoro:
Saya rasa cukup
Fuska Sani Evani:
Dari kaca mata penulis seperti saya, memang gaung BJ kali ini terasa hambar. Masyarakat awam pun menjadi asing dengan BJ kali ini. Sebagai wartawan yang biasa menyaksikan peristiwa budaya, menjadi tidak bisa membedakan, antara pameran senirupa biasa dengan sebuah perhelatan besar. Sesungguhnya saya berharap, masyrakat awam pun berkontribusi kepada budaya dan seni, karena untuk membuat masyarakat berseni, tidak lain dan tidak bukan adalah dengan melibatkan masyaqrakat secara aktif. Sekali lagi, bagi saya, BJ kali ini tidak memiliki roh yang nJawani. Lalu apa bedanya dengan Biennale di kota lain. Demikian jawaban saya, ini sangat subjektif, jadi jika ada pihak yang tersinggung, mohon segera membuat anti tesisnya. Ini alam demokrasi, setiap orang punya hak untuk mengeluarkan argumentasi, ide dan kritik. ***