Pengingkaran Hendra pada Identitas Kreatif
Seorang pengunjung tengah menyimak 2 lukisan karya Hendra Buana di Jogja Gallery, Jl. Pekapalan, Alun-alun Utara, Yogyakarta. Pameran tunggal Hendra Buana bertajuk "Peaceful in Faith II" berlangsung 20 Des 2012 s/d 8 Jan 2013.
(Catatan ini dimuat dalam katalog pameran "Peaceful in Faith II")
Oleh Kuss Indarto
PILIHAN dan konsistensi dalam proses kreatif perupa bisa membuahkan pisau bermata dua. Pada satu sisi, publik bisa menduga bahwa konsistensi akan membawa perupa pada gejala pembentukan identitas kreatifnya. Setidaknya publik memiliki rujukan visual dan konseptual yang jernih untuk mengidentifikasi karya seseorang seniman dari rentetan karya-karya yang dibuat sebelumnya dengan pilihan kreatif yang jelas dengan tingkat konsistensi yang terjaga. Sementara pada sisi lain, pilihan kreatif berikut kecenderungan visual yang serupa dengan konsistensi namun tanpa dinamisasi, berpeluang besar untuk masuk dalam perangkap stagnasi, kemandegan. Ini dua hal yang tak mudah untuk dilakoni oleh seniman.
Hendra Buana, seniman kelahiran Bukittinggi, 10 Oktober 1963, sempat, bahkan mungkin masih terperangkap oleh persepsi publik tentang kemungkinan dua gejala tersebut. Ketika mengenyam pendidikan di Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut Seni Indonesia (FSRD ISI) Yogyakarta, konsistensinya pada pilihan untuk menuliskan petikan ayat-ayat suci Alquran di atas bentangan kanvas lambat laun menempatkan dirinya di mata masyarakat seni rupa sebagai pelukis kaligrafi Islam(i). Ini cukup berseberangan dengan kecenderungan awal saat Hendra menempuh studi di SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) Padang (sekarang SMKN 4 Padang) ketika dia banyak menempa kemampuan dirinya dalam mengolah lukisan lanskap atau pemandanan alam.
Melukis dengan gaya seperti itu sudah sangat lazim di lingkungan seni rupa di Ranah Minang. Gaya Wakidian, atau melukis naturalisme ala seniman Wakidi dengan subyek utama pemandangan alam di tanah Sumatra Barat atau Minangkabau nan permai banyak bertumpu pada tokoh sentralnya, pelukis Wakidi. Seniman ini adalah pelukis Semarang yang kemudian hijrah ke Sumatra Barat sekitar dasawarsa 1920-an akhir dan acap melukis on the spot di ruang terbuka sebagai studionya dengan menghadap alam pegunungan, ngarai, lembah, jurang, sungai, danau, dan semesta keindahan alam sebagai subyek utama kreatifnya. Oleh para kritikus, terutama seniman-kritikus S. Sudjojono gejala pelukisan tersebut ditengarai secara sinis sebagai lukisan mooi indie, atau Hindia yang molek. Sudjojono bersikap sinis karena karya-karya seperti itu hanya mengumbar keelokan atau eksotisme visual semata tanpa memuat kandungan kritisisme yang dibutuhkan oleh masyarakat Hindia Belanda (waktu itu) untuk berjarak dengan pemerintah kolonial. Selama puluhan tahun gejala lukisan mooi indie masih menular-mewabah pada sekian banyak pelukis di Ranah Minang. Hendra Buana kiranya termasuk anak muda di SMSR Padang kala itu yang cukup suntuk menggeluti gaya pelukisan panorama itu.
Kecenderungan itu lalu bergeser setelah Hendra Buana masuk ke jenjang studi di level perguruan tinggi di FSRD ISI Yogyakarta sejak tahun 1984. Seniman-seniman senior lain yang bertebar di kampus dan di jelujur komunalitas Yogyakarta dengan segera memberi perluasan cakrawala pandangnya tentang jagat seni rupa. Dalam lingkungan kampus FRSD ISI dan di luar itu, pengalaman batinnya bertambah setelah mengalami berbagai persentuhan yang meluas. Hendra tak menampik bahwa sosok Syaiful Adnan, salah satu seniornya yang juga berasal dari Ranah Minang, banyak memberi masukan dan sedikit banyak mempengaruhi dunia kreatifnya setelah itu. Ya, Syaiful adalah sosok penting dalam perjalanan dan perkembangan seni kaligrafi Islam di Yogyakarta bahkan di Indonesia sejak kurun akhir dasawarsa 1970-an. Dan dari situlah minat Hendra Buana kian besar untuk menekuni kecenderungan kreatifnya yang “baru”: seni kaligrafi Islam.
Hendra seperti dengan sigap beradaptasi, lalu masuk dalam pusaran penting di dunia seni kaligrafi Islam Indonesia. Bersama teman seangkatannya di ISI Yogyakarta yang kebetulan juga berasal dari SMSR Padang, Yetmon Amir, Hendra terus memacu kemampuannya hingga ke level yang lebih optimal. Pencapaian pun segera direngkuhnya. Tahun 1988, saat berusia 25 tahun, Hendra terpilih mewakili Indonesia dan bertolak ke Brunei Darussalam untuk berpameran dan workshop di negeri kaya tersebut. Program yang didanai oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Ministry of Culture, Youth and Sports, Brunei itu hanya diikuti oleh peserta terpilih dari beberapa negara di lingkungan ASEAN. Program yang selektif itu didapatkannya antara lain berdasarkan pada pencapaiannya yang laik di jalur akademis.
Di jalur praksis, Hendra Buana menemukan lebih jauh progresivitas kreatifnya. Secara visual, karya-karya lukisan kaligrafinya telah mulai menunjukkan identitas personalnya yang khas. Telah beda dengan seniornya tempat dia belajar yakni Syaiful Adnan, juga dengan teman seangkatan dan seperguruannya, Yetmon Amir. Salah satu alat ukur dari pencapaian ini bisa disimak dari sebuah pameran yang diikuti Hendra pada 19-25 Maret 1990 di Ruang Pameran Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kala itu anak bungsu dari 9 bersaudara ini tengah menginjak usia 27 tahun. Dia, bersama Yetmon, menjadi peserta termuda di antara seniman senior lain yang berpameran bersama: ada A.D. Pirous, Amri Yahya, Hatta Hambali, hajar Pamadhi, Motinggo Busye, Mustika, Popo Iskandar, Sjamsudin Hardjakusumah (Syam Bimbo), dan Syaiful Adnan.
Ini menjadi pengalaman yang mengesankan bagi Hendra karena bisa berpameran dengan para seniman senior penuh eksistensi yang kala itu relatif sangat selektif untuk bisa diajak berpameran bersama (para) seniman muda. Nama-nama besar yang ada dalam daftar itu memiliki jenjang yang masih jauh di atas Hendra dalam banyak hal. Eksistensi, jam terbang sebagai seniman, dan hingga kompensasi ekonomis atas karya-karya mereka.
Di celah pameran besar itu, Hendra masih menyiman narasi kecil yang cukup menarik. Menurutnya, setelah pembukaan pameran, ibu Ati istri penyair Taufik Ismail yang menjadi panitia pameran bertanya: “berapa harga karya-karyamu?” Hendra dengan setengah tersipu menyebut angka: “Lima ratus ribu rupiah per lukisan, bu…” Hendra merasa cukup malu karena angka itu relatif tinggi dan dia merasa cukup bergegabah tatkala menentukan harga karya tersebut. Namun, oleh ibu Ati justru angka yang disodorkannya dianggap terlalu rendah. Kata bu Ati, harga karyanya seharusnya Rp 3,5 juta per lukisan. Dia menurut saja. Dan ternyata, ketiga karya yang diikutkan dalam pameran itu habis terjual dengan harga baru tersebut. Hendra tercengang oleh pencapaian ekonomis yang dialaminya itu.
Hendra mengakui waktu itu masih menjadi anak muda yang masih mudah “kagetan”. Apalagi menyimak fakta bahwa karya-karyanya laku dengan harga jauh di atas ekspektasinya. Maka, dengan segera dia manfaatkan dana hasil keringatnya itu untuk membeli kendaraan bermotor. Itulah kendaraan bermotor yang bersejarah karena dibelinya dengan kerja kerasnya beberapa lama.
Beranjak dari Kaligrafi
Momentum itu memberi peneguhan pada dirinya bahwa Hendra telah teridentifikasi sebagai pelukis kaligrafi Islam. Bahkan tak tanggung-tanggung, dia sudah mulai merayap masuk di jajaran dan level atas dari pilahan karya lukis bercorak seperti itu. Hendra mengakui itu terjadi begitu cepat, meski sebenarnya—tanpa menganggap diri takabur—hal tersebut wajar karena dia berusaha untuk berdisiplin diri dalam melewati tiap jengkal proses kreatif yang dilaluinya.
Namun, seperti di awal tulisan ini, pilihannya untuk konsisten di jalur seni lukis kaligrafi Islam tidak sekadar menentukan identifikasi publik atas karya-karyanya, namun juga lambat-laun menjelma serupa penjara atas gerak kreatifnya. Publik seolah telah dengan “kejam” memberi kurungan bahwa dirinya “mesti” berkarya dengan jalur yang telah teridentifikasi, bukan berkarya dengan jenis dan corak yang lain. Seolah, kalau tidak melukis kaligrafi, maka itu bukan Hendra Buana. Ini menjadi “penjara kreativitas” tersendiri.
Maka, di akhir dasawarsa 1990-an, suami dari pelukis Asnida Hasan ini memulai untuk menggeser kembali kecenderungan visualnya dari yang ber-subject matter kaligrafi Islam menuju gambaran-gambaran figuratif atas teks-teks Alquran dalam kanvas. Petikan ayat-ayat suci Alquran yang nyaris selalu tampil dominan pada tiap bentang kanvasnya dulu, kini mulai dikurangi, dan diganti dengan lukisan panorama yang menjadi pengejawantahan atas teks-teks tersebut. Memang masih ada nukilan ayat-ayat suci tersebut, namun posisinya seperti komplementer atas bentuk-bentuk lanskap yang diterakan secara dominan. Lanskap, panorama atau pemandangan tampil di kanvas Hendra dengan cukup “spiritualistik” karena menurut seniman bermata sipit ini disesuaikan dengan imajinasinya tentang kawasan-kawasan di mana ayat-ayat suci itu diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad.
Lanskap-lanskap inilah bentuk pengingkaran Hendra pada identitas yang telah sekian lama menempel kuat pada dirinya yang dirasakannya sebagai kurungan atau penjara. Hendra Buana ingin keluar dari “kutukan” identifikasi publik tersebut. Pengingkaran itu juga dilakukan dengan upaya untuk memberi titik diferensiasi, yakni bahwa karya-karyanya akan muncul dengan ukuran yang besar, semi-kolosal.
Maka, pada tahun 2002, Hendra Buana mencoba untuk sekali lagi keluar dari perangkat identifikasi publik tersebut. Kurun waktu itu merupakan saat-saat ketika dia mengalami beragam problem personal yang membelitnya. Ayah dari Rangga Anugrah Putra ini ingin sekali mempertontonkan kemampuannya yang masih layak untuk terus diperhitungkan.
Sekitar awal tahun 2002 itu upaya “pembebasan diri” dilakukannya. Hendra memulai melukis dengan tema kisah pertemuan Raja Sulaiman dan Ratu Balqis. Kisah yang sejak kecil begitu karib didengarnya di surau di kampung Tilatang Kamang, Bukittinggi itu hendak divisualisasikan di atas kanvas. Tak tanggung-tanggung. Dia menyiapkan kanvas utuh dengan tinggi 190 cm dengan panjang sekitar 9,5 meter. Kala itu, belum masanya booming lukisan berukuran seperti yang dilakukan oleh banyak seniman pada paruh akhir dasawarsa 2000-an. Ya, pelukis Djoko Pekik juga pernah membuat lukisan berukuran besar bertajuk “Berburu Celeng” pada tahun 1998. Ukurannya sekitar 275 x 450 cm.
Ambisi Hendra untuk sedikit mengubah persepsi publik atas identitas kesenimanannya dilakukan kala itu. Dia mengawalinya pada pagi hari setelah melakukan shalat Dhuha di sekitar kanvas kosong itu. Setelah itu, lukisan dikerjakannya hampir tiap hari, dengan sesekali nyambi melukis karya yang lain. Akhirnya karya besar pertamanya itu betul-betul tuntas setelah dikerjakan sekitar 6 bulan. Ya, bukan waktu yang pendek. Di tengah proses situ, Hendra juga melakukannya dengan perut lapar karena berpuasa Senin-Kamis, meski tidak rutin.
Lukisan tersebut, yang juga terpajang dalam pameran tunggal kali ini, adalah pencapaian tersendiri dari proses kesenimanan Hendra Buana. Dia berkehendak besar untuk memutus identitas yang sangat kuat bahwa dirinya adalah pelukis kaligrafi Islam, juga di sisi lain, Hendra berhasrat besar untuk menciptakan karya monumental pada kurun waktu ketika publik mulai menjauhkan ingatan pada sosok dirinya. Karya ini memang tidak dipresentasikan ke publik dalam momentum yang tepat sehingga tidak menemukan titik sambung yang kuat untuk mengangkat problem eksistensi kesenimanan Hendra.
Namun demikian, pencapaian artistik atas karya ini tak bisa dilewatkan begitu saja. Karya ini sebenarnya memiliki narasi yang unik, menarik, dan eksotik sehingga bisa menjadi jendela kecil untuk menyimak imajinasi dan persepsi Hendra atas teks-teks spiritualistik yang masih mengendap dari memori masa kecilnya. Hendra sempat berkisah bahwa masa kecilnya di pedalaman Bukittinggi masih sempat diisi dengan “tradisi surau” yakni kebiasaan untuk menjalani ajaran-ajaran agama lewat mengaji, sholat Maghrib dan Isya dan belajar berbagai ilmu dengan ustad di surau.
Pencarian Kembali
Pada pameran tunggal kali ini Hendra Buana tidak secara khusus menampilkan karya dalam kurun waktu kekaryaan yang pendek dan fokus. Di sini ada karya yang “paling tua” yang dibuat pada tahun 2002, dan lainnya merupakan karya-karya terbaru. Karya yang paling kolosal berukuran panjang sekitar 16,30 meter meski sayangnya tidak dalam satu kanvas yang utuh karena harus dipotong dalam 8 bentang saat dibawa ke Jakarta tahun lalu. Selebihnya merupakan karya-arya yang berukuran relatif lebih kecil.
Seperti yang saya singgung sedikit di atas, tak banyak karya lukis Hendra Buana kali ini yang memvisualkan teks-teks Alquran begitu dominan dalam bentangan kanvas. Memang sebagian masih kentara muncul dalam komposisi visual yang khas Hendra, bukan dalam balutan kaidah-kaidah khat tertentu yang sering diabaikannya. Pada karyanya, citra visual tekstur masih banyak bermunculan, baik tekstur semu maupun tekstur murni.
Pada beberapa karya lain, seniman yang hobi pada mobil tua ini mengetengahkan teks-teks suci dalam komposisi yang “halus”, seperti “menghablur” pada subyek-subyek utama dalam kanvas. Lihat misalnya pada karya bertajuk “Pohon Merah Kehidupan” (2011) yang dibuat dari akrilik dengan ukuran 145x125 cm. Hendra menggambarkan sebuah lanskap eksotik dengan dua pohon berbunya jingga kemerahan (bunga flamboyant), jelujur sungai bening, satu gunung besar dengan ngarai-ngarai kecil di pelataran di bawah gunung. Juga tiga burung putih bertingkah di akar-akar pohon. Salah satu inti dari karya ini adalah kesadaran Hendra untuk menyematkan teks “Allah” (dalam huruf Arab) yang menjadi dahan pada pohon besar kedua dari kanan. Teks yang “tersembunyi” itu seperti menjadi kunci penting atas keseluruhan karya tersebut yang bagai menggumamkan perihal keagungan ciptaan Sang Khalik.
Pada beberapa karya lain, seniman ini juga berupaya mengetengahkan karya monokrom (satu warna, hitam-putih). Karya tersebut kiranya mampu memberi pengayaan atas pameran ini karena pada karya-karya seperti ini Hendra berupaya mengerjakannya dengan beberapa detil dan imajinasi yang khas Hendra Buana. Mungkin tidak sangat halus pada detail karya-karya semacam itu, namun ada secuil imajinasi yang cukup inspiratif untuk menghubungkannya pada perihal bentangan alam dan nilai-nilai spiritualistik yang ditimbulkannya.
Hendra Buana mencoba kembali menyeruak ke tengah-tengah pelataran seni rupa Yogyakarta dan Indonesia. Ini memang bukan perkara mudah, namun aksi mesti dilakukan. Ini sama tidak mudahnya dengan sosok Hendra Buana sendiri yang lahir ke dunia setelah “ngendon” di rahim ibunya hingga 2 tahun! Ya, dua tahun, bukan hanya 9 bulan 10 hari! Dan upaya meraih seluas mungkin pengakuan publik tengah kembali diupayakan. Tentu tak mudah. Mungkin serupa dengan tak mudahnya Hendra Buana sendiri yang harus mengganti nama dari nama asalnya, Hendra Octavia, karena dianggap seperti nama perempuan… Apapun, Hendra Buana kini sedang akan mengacungkan jari setinggi-tingginya dalam percaturan seni rupa. Time will tell. ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa, editor in chief www.indonesiaartnews.or.id