Memanusiawikan Affandi
Helfi Affandi, Pak Djon, Rukmini Affandi, dan Agung Tobing saat peluncuran buku "The Stories of Affandi", Juli 2012 lalu.
(Catatan di bawah ini merupakan advertorial yang dimuat di majalah Visual Arts, edisi September-Oktober 2012)
PENERBITAN buku “The Stories of Affandi” bukanlah
proyek yang instan: mudah dan cepat. Ada rentang jarak antara imajinasi dan
realisasi. Ini bila diukur dari jarak waktu mulai dari terlontarnya gagasan
hingga peluncuran buku yang membutuhkan waktu 6 tahun. Setidaknya, inilah fakta
yang terjadi menurut penggagasnya, Agung Tobing.
Semuanya berawal pada tahun 2006. Kala itu, Agung bertemu
dengan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Prabukusumo, salah satu adik Sri
Sultan Hamengkubuwono X. Mereka berdua membincangkan banyak hal, termasuk
tentang kepedulian Prabukusumo (yang mewakili Kraton Ngayogyakarta) atas
kondisi aset seni yang dimiliki oleh simbol pengayom kebudayaan Jawa itu, yakni
lukisan-lukisan karya Raden Saleh.
Dari perbincangan itu lalu berkembang dengan mencari
masukan dari restorator yang dirancang untuk merestorasi lukisan Raden Saleh. Dari
situlah kemudian Agung Tobing dan Prabukusumo mendatangi Kartika Affandi yang
pernah mengenyam pendidikan restorasi di Austria. Anak tunggal maestro Affandi ini
ditemui di Museum Affandi, Jl. Laksda Adisucipto 167, Yogyakarta. Dalam
pertemuan pertama itu ada 5 orang: Agung Tobing, KGPH Prabukusumo, Kartika
Affandi, dan 2 puterinya: Helfi Dirix Affandi serta Sila Affandi. Pertemuan itu
justru memunculkan tema dan gagasan yang meluas. Tidak sekadar berbincang
perihal rencana restorasi karya Raden Saleh, namun juga ada hal penting:
menggagas pembuatan buku tentang maestro Afandi.
Seusai itu, pertemuan berikutnya pun berlanjut.
Kebetulan, pada kurun waktu itu mulai ada perencanaan aktivitas lain, yakni ”Peringatan
100 Tahun Afandi” yang jatuh pada tahun 2007. Maka, agenda pembahasan ihwal
penerbitan buku itu dikebut demi menepatkan momentum launching-nya dengan acara puncak 100 tahun Affandi. Tim yang
dibentuk untuk itu antara lain kurator Suwarno Wisetrotomo yang menjadi
“representasi” dari pihak Agung Tobing, dan Ade Tanesia dari pihak Museum
Affandi—beserta pelukis Yuswantoro Adi, dan lainnya. Akhirnya perhelatan pada
rangkaian “Peringatan 100 Tahun Affandi” berlangsung dengan baik dan meriah. Sayang,
rencana penerbitan buku Affandi gagal karena buku belum tuntas.
Agung Tobing menyadari bahwa proses ini tak mudah.
Banyak hal dipertimbangkan. Pertama,
buku ini harus memiliki titik beda dengan buku tentang Affandi yang pernah ada.
Disepakatilah titik beda yang diangkat, yakni buku ini bukanlah “history” atau “histories” tentang Affandi, namun lebih sebagai “stories” seputar Affandi. Kalau
menekankan posisi Affandi dari kerangka “history”
atau “histories”, maka seolah buku ini
akan berupaya secara langsung mempahlawankan Affandi. Dan bukan itu yang
diinginkan. Sementara dengan menampilkan “stories”,
justru ingin menampilkan sisi-sisi paling humanis dari Affandi. Secara tidak
langsung, kepahlawanan Affandi justru kuat dengan menampilkan hal-hal yang
sederhana, dan menyentuh kepekaan rasa.
Kedua, buku ini diinginkan memiliki nilai monumental. Maka
nilai keawetannya dipertimbangkan. Keawetan di sini bersangkut dengan dua hal,
yakni aspek substansi, dan aspek kemasannya. Pada aspek substansi, selain
seperti disinggung pada poin pertama, buku ini juga berupaya untuk mengawetkan
bunga rampai pemikiran yang pernah dituliskan oleh banyak orang. Maka buku ini layaknya
“pelangi opini” yang telah dituliskan oleh para sahabat yang memberi pengayaan
pemahaman bagi publik atas Affandi. Ada pemikiran Prof.Dr. Umar Kayam, Prof.Dr.
Daoed Joesoef, pelukis-sastrawan Nasjah Djamin, sastrawan Ajip Rosidi, dan lainnya.
Lalu dari aspek kemasan, buku ini tak kalah seriusnya: bobot fisiknya 3 kg,
tebal 348 halaman, full colour, dan kertas
art paper.
Apakah ini “buku pegangan” bagi para kolektor karya
Affandi? Ya, buku semacam itu memang penting, namun interest-nya bukan ke situ. Kalau menitikberatkan ke arah itu, maka
buku ini hanya berpotensi menjadi katalogus karya Affandi. Buku ini lebih luas
dari itu, yakni memberi apresiasi yang tinggi terhadap nilai-nilai kreativitas
dan kemanusiawian sosok Affandi. Buku “Stories
of Affandi” dicetak 1.000 eksemplar dan oleh Agung sepenuhnya diserahkan
kepada pihak Museum Affandi untuk disebarluaskan. Hasil penjualan buku tersebut
pun diserahkan sepenuhnya untuk Museum Affandi.
Bagi Agung Tobing, pembuatan buku seni rupa seperti
ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, beberapa seniman telah dibuatkan buku mewah,
misalnya Fadjar Sidik (almarhum), tokoh pelukis abstrak dan dosen ISI
Yogyakarta, lalu seniman Nasirun, dan Made Sukadana. Buku-buku itu hadir
mengisi ruang kosong buku-buku seni rupa.
Inisiatif untuk menerbitkan buku-buku ini adalah
sikap apresiatif Agung kepada para kreator. Ini kelanjutan dari apresiasi yang
lebih mendasar pada seniman, yakni mengoleksi karya mereka. Pengusaha ini
mengaku telah mengoleksi ribuan karya seni, terutama lukisan, dari para old
master Indonesia hingga para perupa muda.
Khusus karya Affandi, Agung pertama kali mengoleksi
lukisan maestro itu tahun 1989. Ketika bisnisnya di bidang saham meroket,
hasilnya antara lain digunakan untuk mengoleksi karya seni. Kala itu, dia mengoleksi
karya Affandi 8 karya yang kisaran harganya antara Rp 12 hingga Rp 15 juta. Setelah
itu berlanjut mengoleksi karya-karya Jeihan yang dibelinya antara Rp 5-20 juta.
Minatnya untuk mengoleksi karya seni sejak itu tak terbendung. Interest ini tak lepas dari peran kolektor
senior Budi Tirto Yuwono yang menginspirasi. Budi adalah mitra usaha Sudwikatmono
yang mendirikan bisnis distribusi film, 21 (Twenty One).
Sementara karya pertama seniman muda yang
dikoleksinya adalah karya Nasirun. Agung ketemu pertama kali dengan Nasirun pada
Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) di benteng Vredeburg, 1991. Dia membeli
karya pelukis asal Cilacap itu karena tertarik pada subyek visual yang unik.
“Bayangkan, Nasirun menggambar sosok-sosok yang menyeramkan dalam lukisannya,”
tuturnya. Apalagi ketika Nasirun banyak menjelaskan bahwa karya-karyanya banyak
terinspirasi oleh wayang yang menjadi bagian “nafas” kesehariannya. Agung juga ke
rumah seniman itu dan memborong sekitar 60 karya waktu itu. Dari Nasirun-lah
lalu Agung diperkenalkan dengan seniman lain seperti Sukari (almarhum), I Made
Sukadana, dan lainnya.
Setelah menerbitkan buku tentang Affandi, Agung punya
obsesi untuk kembali ikut menggairahkan dunia seni rupa. Saat ini dia tengah
merancang untuk memamerkan secara tunggal beberapa seniman dengan menggelar
karya-karya kolosal—dari segi ukuran materi karya tentunya. Seniman-seniman
yang tengah menyiapkan diri antara lain seniman Mochamad Operasi Rachman yang sedang
merampungkan lukisan berukuran 3x48 meter.
Seniman lain yang juga tengah berpacu untuk hal serupa
adalah Nasirun yang menggarap lukisan 3x20 meter. Lalu I Made Sukadana dengan
ukuran yang sama. Juga pelukis Maman Rachman yang berukuran 3x12 meter. Ada
pula I Made Dewa Mustika yang menggarap kanvas 3x24 mter. Tentu saja
kolosalitas ukuran karya tersebut tidak dihasratkan sebagai satu-satunya
standar menilai aspek kualitasnya. Agung hanya berharap bahwa seniman bisa
mengelola gagasan dan keseriusannya lewat intensitas berkarya. Pada sebuah
bentang kanvas berukuran besar bisa ditilik aspek intensitas seniman dalam
mengelola satu gagasan utuh dengan ketelitian mengolah detail. ***