Mengharap Kritisisme dan Kreativitas Anak Muda
Bersama salah satu finalis Kompetisi Seni Lukis Remaja Indonesia 2012, Bella Tifa Ardhani dari Jakarta. Kompetisi ini diadakan oleh Yayasan Seni rupa Indonesia (YSRI).
Oleh Kuss Indarto
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini dimuat dalam katalog Kompetisi Seni Lukis Remaja Indonesia YSRI tahun 2012)
KOMPETISI dan
pameran seni lukis remaja ini menjadi salah satu jendela kecil untuk melongok
persepsi, imajinasi, juga opini anak-anak usia remaja dalam memandang kembali
Pancasila. Ini bukan hal baru, namun layak untuk diketengahkan kembali.
Pancasila sendiri sebagai ideologi negara, pandangan hidup bangsa, sistem
falsafah, ataupun sebagai paradigma pembangunan, kini dianggap telah
mengkhawatirkan posisinya karena tergeser bahkan tergusur dalam imajinasi juga
kerangka berpikir anak-anak muda. Gelombang informasi yang datang bagai air bah
dari berbagai penjuru adalah salah satu sebab munculnya berbagai subyek
ketertarikan baru yang lebih “ideologis” dan memberi rasa nyaman bagi para anak
muda kini.
Padahal, secara
kuantitas, populasi anak-anak muda itu kian banyak dan prosentasenya kian
membesar. Coba simak hasil Sensus Penduduk 2010 (SP 2010) yang menunjukkan
bahwa penduduk Indonesia telah mencapai angka 237,641 juta jiwa. Dari jumlah tersebut,
sekitar 81,4 juta orang atau sekitar 34,26 persen di antaranya adalah anak
berumur di bawah 18 tahun. Dari angka tersebut bisa dirinci lebih lanjut bahwa
pada kelompok umur 7-12 tahun ada sebanyak 27,8 juta anak. Lalu anak-anak usia
13-15 tahun ada 13,4 juta anak, serta jumlah anak dalam kelompok umur antara
16-17 tahun sebanyak 8,4 juta anak.
Pada anak-anak
dengan kelompok usia antara 12-18 tahun inilah kompetisi seni lukis remaja ini
diperuntukkan. Ini merupakan kelompok usia anak yang telah melewati batasan the
golden age of creative expression atau masa emas ekspresi kreatif yang
lazim ditempatkan bagi anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Artinya, pada usia
12-18 tahun bisa diduga bahwa logika dan rasionalitas anak-anak telah
terkonstruksi dengan cukup baik selaras dengan usia biologis psikologisnya.
Maka, bisa
diduga bahwa karya-karya yang masuk sebagai peserta kompetisi seni lukis remaja
ini banyak yang hadir secara visual dengan kemampuannya untuk mengolah
sebesar-besarnya aspek rasionalitas. Fantasi-fantasi liar yang mengabaikan
logika yang biasa dilakukan secara visual oleh anak-anak usia dini (di bawah 10
tahun) secara pelahan telah digeser dengan karya-karya visual yang mulai
memperhatikan detil subyek benda yang ada dalam realitas-sosial dan kemudian di
alih-ubah ke dalam realitas-estetik. Misalnya, jemari tangan atau kaki yang
mesti berjumlah lima, dan beragam fakta lain yang ditemukan dalam keseharian
untuk kemudian berusaha dilakukan proses mimesis atau meniru, karena
pada awalnya seni adalah tindakan meniru alam, ars imitatur naturam.
Ratusan karya
yang masuk ke panitia kompetisi ini memperlihatkan gejala pertumbuhan logika
dan penalaran dari anak-anak kelompok usia 12-17 tahun tersebut. Sekitar 200-an
lebih karya yang diseleksi lewat penjurian pada tahap pertama pada Rabu,
tanggal 8 November 2012 menunjukkan gejala itu. Awalnya, tim juri dan panitia
merancang untuk menyeleksi hingga mendapatkan sebanyak 50 karya (50 Besar).
Namun jumlah ini sulit dicapai karena disesuaikan fakta bahwa karya-karya yang
masuk belum sepenuhnya memenuhi harapan, juga keterbatasan ruang pameran. Maka
diputuskan untuk karya-karya dipilah hingga 30 Besar. Karya-karya dikatakan
belum memenuhi harapan karena masih lemahnya titik temu antara gejala pertumbuhan
logika-rasionalitas dan gejala ekspresi visual. Problem teknis visual tampaknya
menjadi kendala cukup besar bagi sebagian para peserta sehingga gagasan atau
imajinasi yang relatif cukup kuat belum bisa divisualisasikan dengan baik
dengan pencapaian artistik yang memadai. Dari sini kemudian bisa diduga bahwa
ada keterpotongan yang cukup senjang antara ruang dan kesempatan berekspresi
secara visual bagi anak-anak usia di bawah 10 tahun yang sangat kuat garis
imajinasinya (baik gagasan maupun teknis visualnya), dan karya-karya anak-anak
usia 12-18 tahun yang kemampuan teknis visualnya belum bisa menopang
kemampuannya dalam berlogika dan berimajinasi. Dugaan adanya kelemahan
pendidikan seni (rupa) di bangku pendidikan (formal) akhirnya menjadi tesis
yang mengemuka.
Berikutnya,
penjurian tahap kedua dilakukan pada hari Senin, 26 November 2012. Ini tahap
yang cukup rumit karena harus mengerucutkan jumlah dari 30 Besar menjadi hanya
6 Besar dan kemudian menentukan karya-karya terbaik berdasarkan peringkat.
Kerumitan menemu kompleksitas karena pada tahap ini juga ada pertarungan
gagasan di samping pertarungan visual antarkarya yang lebih seru.
Pada akhirnya,
tim juri memilih karya 6 Besar itu, mulai dari Karya Pemenang Terbaik I hingga
Karya Harapan Terbaik III. Ada keragaman gagasan dan visual pada karya-karya
tersebut. Bila kembali direlevansikan dengan tema utama tentang “Aku Cinta
Pancasila”, upaya penerapan di ranah visual cukup menarik. Setidaknya, ada
nilai-nilai optimisme, juga sebaliknya unsur-unsur pesimisme, sikap kritis,
hingga keprihatinan dalam perspektif anak-anak muda Indonesia ketika memandang
kembali nilai-nilai ke-Pancasila-an dalam konteks waktu kekinian. Di tengah
nilai-nilai tersebut, kecenderungan dunia youth culture sedikit banyak
muncul dengan berbagai kesadaran dan implementasinya secara visual.
Pada karya
Pemenang Terbaik I memperlihatkan sebuah pengharapan besar pada nilai-nilai
Pancasila yang mampu menyosok pada hero(isme) yang tangguh. Karya Pemenang
Terbaik II bahkan seperti menerapkannya dalam fakta yang ada di ranah sosial.
Karya ini menampilkan sosok Firman Utina, (mantan) kapten kesebelasan tim
nasional sepakbola Indonesia yang bernomor kostum 15 menjadi figur idola. Di
samping kematangan teknis yang relatif cukup memadai, juga simbol-simbol yang
dimunculkan di dalamnya bisa memberi gambaran kecil tentang rasa nasionalisme
di mata anak muda kini.
Sementara karya
Pemenang Terbaik III secara teknis cukup memberi gambaran optimistik akan
adanya regenerasi dalam dunia seni rupa. Teknik pewarnaan yang relatif telah
cukup matang, ditambah dengan kemauan untuk bermain secara eksperimintatif
lewat material benang di atas kanvas menjadikan karya ini menarik. Gagasannya
pun, meski masih dalam perca-perca persoalan yang bertaburan, cukup memberi content
karya ini.
Karya-karya yang
tak kalah impresifnya adalah karya Harapan Terbaik I dan Harapan Terbaik III.
Kedua karya itu seperti hendak mempertontonkan sisi pesimisme atau keprihatinan
atas kondisi dan implementasi nilai-nilai Pancasila dalam perikehidupan
berbangsa dewasa ini. Pada karya Harapan Terbaik III keprihatinan ditampilkan
secara simbolik dengan memunculkan figur burung Garuda yang terduduk lesu
dengan sayap yang belum bisa tergerak lapang untuk terbang. Langit di latar
belakang juga seperti mengisyaratkan situasi senja menjelang. Sedangkan karya
Harapan Terbaik I tampil dengan lanskap karikatural penuh ironi yang dramatis.
Karya ini mempertontonkan sebuah drama di meja makan dengan menu utama
Pancasila. Pancasila seperti dipermainkan lalu disantap dengan brutal oleh para
monster, sementara di belakang mereka apa banyak pasang mata yang menatap
nanar, prihatin namun tak bisa berbuat banyak untuk menghentikan kebrutalan
tersebut.
Dan akhirnya,
karya Harapan Terbaik II menggambarkan sepokok pohon hijau berisi keragaman
aktivitas anak bangsa. Ini sebuah optimisme bahwa Indonesia masih diharapkan
menjadi pohon rindang dan meneduhkan bagi bersemayamnya pluralitas dalam
berkehidupan dan berbangsa.
Apapun, dengan
menyimak karya visual berikut substansi yang menghujam di dalam karya-karya
tersebut, maka layak untuk diapresiasi dan dimaknai lebih jauh kecenderungan
kritis dan kreatif anak-anak muda ini. Pada dimensi lain yang lebih jauh,
gejala dalam dunia seni rupa remaja sangat kuat kaitannya dengan dunia
pendidikan. Maka, ada pengharapan besar bahwa peranan guru di bangku pendidikan
formal mampu untuk memberi inspirasi, memberi kejelasan atau klarifikasi,
membantu menerjemahkan gagasan perasaan dan reaksi siswa ke dalam bentuk-bentuk
karya seni yang terorganisasi secara estetis. Tentu juga diharapkan bisa
menciptakan iklim yang menunjang bagi kegiatan “menemukan”, “eksplorasi” dan
“produksi”. Tentu saja, untuk dapat berperan seperti ini para pengampu dunia
pendidikan seni perlu “mengasah” kepekaan rasa seninya secara memadai, melalui
kegiatan belajar (= mengamati, menghayati, mengkaji atau berkarya) yang
terus-menerus.
Menyimak
karya-karya anak-anak muda ini, sungguh, kita masih berharap banyak pada
kritisisme dan kreativitas mereka untuk mengisi masa depan Indonesia. Semoga!
***
Kuss Indarto,
anggota tim juri, dan kurator Galeri Nasional Indonesia.