Colour(s) of Klowor: Dunia Warna Dunia
Oleh Kuss Indarto
INI bukanlah pameran restrospektif dari perupa Klowor Waldiyono. Pameran retrospektif adalah perhelatan yang mencoba mengumpulkan artifak karya (seorang) seniman yang bertitimangsa paling tua hingga yang mutakhir, atau bermaterikan rentetan karya berdasarkan tata urut waktu (kronologis), mulai dari karya yang dibuat saat awal berproses kreatif hingga masuk pada semua pencapaian kreatifnya yang telah dilaluinya. Sekali lagi, pameran ini tidak mengarah ke tendensi itu, meski dalam perhelatan ini ada sekian banyak karya Klowor yang dibuat pada masa-masa awal debutnya sebagai perupa.
INI bukanlah pameran restrospektif dari perupa Klowor Waldiyono. Pameran retrospektif adalah perhelatan yang mencoba mengumpulkan artifak karya (seorang) seniman yang bertitimangsa paling tua hingga yang mutakhir, atau bermaterikan rentetan karya berdasarkan tata urut waktu (kronologis), mulai dari karya yang dibuat saat awal berproses kreatif hingga masuk pada semua pencapaian kreatifnya yang telah dilaluinya. Sekali lagi, pameran ini tidak mengarah ke tendensi itu, meski dalam perhelatan ini ada sekian banyak karya Klowor yang dibuat pada masa-masa awal debutnya sebagai perupa.
Pameran ini justru memberi pengingat bagi publik—terkhusus bagi mereka
yang mengetahui perjalanan kreatif Klowor—bahwa seniman ini terus berupaya
melakukan pergeseran artistik secara dinamis pada karya-karyanya, sekecil
apapun pergeseran itu dilakukan. Pergeseran cukup besar tersebut tampak nyata
ketika publik membandingkan dua momentum yang berjarak sekitar limabelas
setengah (15,5) tahun, yakni antara pameran tunggalnya yang berlangsung di
Bentara Budaya Yogyakarta, 11-18 Desember 1995 (bertajuk pameran “Hitam Putih”) dan pameran “Siklus dan Sirkus Klowor” yang
berlangsung 21-31 Mei 2011 di Taman Budaya Yogyakarta.
Dalam pandangan saya, pameran “Putih-Hitam”
(1995) itu seperti “deklarasi estetik” bagi Klowor kepada publik bangunan citra
estetik dan artistiknya terbangun dari subyek kucing. Citra kucing begitu
integral dalam diri dan karya Klowor, seperti telah baku dan “beku” sebagai
identitas estetik. Pada berbagai kesempatan pameran kolektif seusai pameran
tunggal itu citra perihal kucing hitam-putih banyak bertebar. Banyak pameran
diikutinya, seperti di antaranya partisipasinya sebagai peserta dan finalis
dalam pameran (hasil kompetisi) Philip Morris - Indonesia Art Award tahun 1998
dan 2000, Indofood Art Award 2003, dan beberapa lainnya.
Identitas tersebut, lambat-laun, seperti menjadi kurungan yang memberi
batasan cukup ketat bagi bagi dirinya yang terus berhasrat membebaskan
pengembaraan artistik dan estetiknya sebagai seniman. Bisa diduga, repetisi
telah sering terjadi. Inilah “penjara kreatif”. Inilah titik penting ketika
seorang perupa menemu satu persoalan “klasik”: tetap bersikukuh pada pilihan
untuk bergulat dengan tema dan konsep lama (berupa estetika citra kucing dalam
balutan visualitas hitam-putih) yang berarti masuk dalam perangkat stagnasi
atau kemandegan; ataukah menggeser dengan cukup tajam atas kecenderungan
karya-karya yang selama ini telah menjadi ingatan publik ketika melihat karya
Klowor.
***
“KONSISTEN” dengan konsep lama mendorong Klowor hanya untuk menjalani
proses involusi, bergerak berputar-putar di tempat dalam pencapaian yang tiada
beda. Sementara keberanian untuk lepas dari identitas yang telah melekat
memungkinkan dia mempraktikkan penjelajahan serta eksperimentasi visual dan
konseptual. Ini tidak saja penting bagi perjalanan sejarah kreatif dirinya,
namun juga bagi publik seni rupa secara umum yang membutuhkan berbagai
penyegaran estetik. Dua tahun lalu, “deklarasi estetik” kembali dilakukan oleh
Klowor Waldiyono lewat pameran tunggalnya, “Siklus
dan Sirkus Klowor”.
Kala itu, tahun 2011, Klowor menampilkan gubahan visual atas karya-karyanya
yang secara umum dapat dipetakan dalam beberapa hal penting. Pertama, Klowor menempatkan
karya-karyanya menjadi begitu penuh warna, colourful.
Tentu, warna dalam pemahaman denotative, bukan lukisan-lukisan hitam-putih (monochrome) seperti saat pameran
tunggalnya yang pertama tahun 1995. Dalam tinjauan teknis, lapis-lapis warna
yang tertoreh diandaikan menguatkan kemungkinan imajinasi bagi apresiannya. Gubahan
citra sesosok manusia, sebagai misal, dikreasinya dari lapis-lapis warna yang
bertumpuk dengan bayangan gesture
yang berbeda. Perbedaan gesture pada bayangan dan subyek di depannya itulah
yang dimungkinkan membangun lapis imajinasi.
Pada poin kedua, citra
kucing relatif masih bertebaran pada kanvas Klowor, namun telah “melompat”
dalam asosiasi dan konotasi yang berbeda. Kalau sebelumnya banyak menangkap
dinamika gerak kucing dengan segala improvisasi visualnya, maka yang tampil
pada pameran tungal 2011 karya-karya Klowor mencoba mempersonifikasi kucing
dalam banyak ragam persoalan. Para “manusia kucing” banyak bergerak masuk dalam
berbagai tema: sebagai subyek pelaku, berperan komentator atas berbagai kasus, berposisi
penonton yang cerewet dan tetap berjaga jarak dengan persoalan, dan lain sebagainya.
Klowor seperti ingin mempresentasikan karya-karyanya sebagai dongeng fabel yang
menempatkan kucing sebagai pelakon utama.
Berkutnya, poin ketiga, karya-karya Klowor bergeser
dari upaya untuk mengeksplorasi aspek improvisasi kebentukan atas satwa kucing,
bergeser menjadi penggalian aspek penceritaan dengan tetap menyandarkan kucing
sebagai subyek. Karya-karya Klowor kemudian digiring untuk memberikan narasi
lebih luas. Citra “manusia kucing” atau hal yang berkait tentang kucing yang
dikemukakannya sekarang telah melampaui “nilai-nilai” tentang kucing itu
sendiri. Sosok kucing telah “dimanusiakan” sebagai sang pengisah, sang pencerita.
Tentu poin ini bergeser dengan kondisi sebelumnya ketika karyanya berkutat
untuk mengeksplorasi kucing secara fisik dan gerak dengan berbagai dinamikanya.
Gejala pergeseran tersebut dapat ditengarai, sebagai amsal, dari aspek
pemberian judul atas karya-karyanya. Ini
hal sederhana, tetapi dengan jelas memberi kekuatan tanda kuat atas keberbedaan
antara yang dulu dan yang kini. Karya-karya dalam pameran tunggal “Putih-Hitam”
antara lain diberi judul yang relatif bersahaja: Kucing-kucing Liar, Kucing Tengah Malam, Kucing Hitam Berkaki Delapan, Kotak-kotak
Kucingku, Nuansa Garis dan Kucing, Fantasi Garis dan Kucing Hitam, Kucing Putih
Terbang, dan semacamnya. Dari aspek pem-bahasa-an dan pem-bahasan-nya
relatif masih terkurung, fokus dan berpijak kuat dari subyek satwa kucing.
Sementara pada pameran “Siklus dan Sirkus Klowor”, banyak judul karya telah
bergerak terbuka melampaui aspek “peri-kekucingan”. Misalnya: Adam dan Eva, Anak Perkasa, Anugerah, Serial
Angel, Badut Sirkus, Barongsai dan Kelenteng, Berebut Air Susu Ibu, Bertahan
Hidup, Bertinju, Seri Merapi, dan
lainnya. Pergeseran sekaligus perluasan cakupan dari cara pandang Klowor atas
“kucing sebagai dunia kebentukan” menjadi “kucing sebagai perangkat narasi”
bisa diduga sebagai perkembangan sistem pengetahuan seniman ini dalam memandang
persoalan di lingkungan sekitarnya. Memang tidak semua karya memuat kandungan
pesan yang kritis, namun inilah kesaksian visual dan komentar dalam merespons
dunia di luar dirinya. Dan hal ini memberlakukan seni tidak sekadar ekspresi
personal namun juga meluaskannya sebagai penanda zaman sekaligus secuil simbol
kepekaan sosial seorang seniman.
Dengan demikian, pergeseran kreatif Klowor antara 1995 dan 2011 bisa
ditandai dengan berkembangnya sandaran nilai artistiknya yang dulu “sekadar”
mengelola dunia bentuk, lalu meluas menjadi dunia gagasan—sekecil apapun dunia
gagasan tersebut termunculkan dalam karya-karyanya. Memang belum sangat tajam
titik beda secara visual antara dua kurun waktu tersebut, terutama dalam
pemunculan ikon visualnya. Namun inilah nilai penting sebuah konsistensi, yang
kemudian dirawat hanya dengan menggeser beberapa unsur-unsur penting di
dalamnya secara evolutif, bukan mengubah secara revolutif atas hal yang ada
sebelumnya, yang terkadang dicurigai tanpa landasan dan akar estetik di
dalamnya.
***
LALU, setelah pameran tunggalnya yang kedua, “Siklus dan Sirkus Klowor”, apa pencapaian dan pergeseran kreatifnya
yang menonjol?
Klowor, seniman kelahiran Yogyakarta, 31 Januari 1968 ini, seperti
bergerak mengalir pelahan namun berupaya mengendalikan alir gerak tersebut.
Mungkin setara dengan falsafah orang Jawa yang membilang bahwa “ngeli ananging ora keli”, mengikuti
arus (sungai) namun tidak terhanyut di dalamnya. Cercah aliran atau “ngeli” tersebut antara lain tampak
ketika semangat kreatifnya bangkit seiring dengan situasi pasar yang melambung
pada kisaran tahun 2008-2009 lalu. Sebelumnya, Klowor cukup sibuk di luar dunia
seni rupa, meski tidak meninggalkan sama sekali. Sesekali dia tetap berkarya
namun tidak sangat produktif. Booming
seni rupa 2008-2009 yang lalu, diakui atau tidak, banyak melecut laju
kreatif(itas) banyak perupa di tanah air, termasuk Klowor. Pada kurun inilah,
seperti saya singgung di atas, muncul banyak pergeseran kreatif pada
karya-karyanya. Dan di ujung booming
tersebut, perupa yang masuk di Program Studi Seni Lukis, Fakultas Seni Rupa ISI
Yogyakarta tahun 1989 ini mampu merayakan dengan pameran tunggal yang
dipresentasikan dengan cukup elegan. Kiranya itu sebuah “kemewahan” bagi
seorang Klowor yang telah absen cukup lama dari peredaran dan hiruk-pikuk seni
rupa Yogyakarta/Indonesia.
Pada tahun yang sama, 2011, pencapaian kreatif Klowor bertambah lagi.
Lewat karyanya yang berjudul “Untuk
Jogja”, namanya masuk jajaran teratas dalam Kompetisi Seni Lukis Nasional
UOB BUANA PAINTING OF THE YEAR 2011. Pemenang utamanya (grand prize) adalah Gatot Indrajati, lewat karya bertajuk "Repacking".
Sementara Tiga Terbaik di bawah
Gatot ada: Angga Sukma Permana (lewat karya "Sign N. 1"),
Klowor Waldiyono ("Untuk Jogja") dan Wahyu Gunawan
("Spirit Para Pejuang"), semuanya dari Yogyakarta.
Klowor menjadi perupa paling senior di antara keempat seniman pemenang
tersebut. Pencapaian itu juga memberi penegasan bahwa upaya come back dari Klowor seperti
disemangati oleh garis perubahan yang relatif signifikan secara kreatif
sehingga memberi efek penting bagi dewan juri kompetisi itu untuk memenangkan
karya Klowor di posisi yang terhormat. Lama tak muncul, langsung tampil di
permukaan, dan masuk dalam level terpenting sebuah kompetisi nasional—apapun respon
dan pro-kontra publik atas kompetisi seni rupa semacam itu.
Pertautan antara karyanya dalam kompetisi tersebut dengan beberapa
karyanya pada pameran tunggal kali ini, sedikit banyak memiliki relasi yang
cukup erat. Dari segi teknik, karya-karya terbaru Klowor memiliki tingkat craftsmanship sedikit lebih njelimet ketimbang karya-karya pada
pameran tunggal sebelumnya. Ke-njelimet-an
itu tampak pada garis-garis arsir warna yang banyak bertebar di sekitar subyek-subyek
utama lukisan. Arsiran garis warna itu sekilas mengingatkan pada karya-karya
Vincent van Gogh yang dibuat setelah pulang dari kunjungannya di Jepang. Ada
keterpengaruhan dari seni grafis ala Jepang (ukiyo-e).
Klowor sendiri mengaku bahwa ke-njelimet-annya
itu sangat disadari akan memberi pengaruh artistik pada karyanya.
Ini bisa disimak, misalnya, pada karya “Festival Seni Borobudur”, 2013, (150 x 250 cm, akrilik di atas
kanvas). Tergambarkan di situ sebuah citra kepala barongsai yang berarak pada
sebuah karnaval. Di latar belakang nampak stupa Borobudur berdiri di titik sentral.
Ada kecamuk berbagai visualitas seperti pepohonan, penjor, cecitraan manusia
terbang, dan sebagainya. Kalau dicermati, nyaris semua subyek-obyek gambar
tersebut “dikerubuti” oleh arsiran yang renik, rumit, dan kompleks. Kiranya,
inilah titik beda yang hendak ditawarkan oleh klowor.
Di samping segi teknik, pada segi tema, anak almarhum Gatot
Cokrowihardjo atau Joko Lelono ini juga menjanjikan pergeseran. Tak sangat
kontras dengan karya-karya sebelumnya, memang, terutama yang terpajang dalam
pameran tunggal “Siklus dan Sirkus
Klowor”. Namun kali ini Klowor semakin membebaskan posisi sosok kucing. Kucing
tidak lagi diberlakukan sebagai hewan apa adanya, atau manusia-manusia kucing
yang berkeliaran dalam dunia fable,
namun kanvasnya telah “miskin” dari sosok kucing atau manusia kucing. Ada namun
tidak mengambil posisi yang signifikan, apalagi dominan. Kucing secara pelahan
telah dikurangi terus porsinya dalam kanvas.
Maka, pameran ini menjadi menarik karena Klowor juga mengetengahkan
sekian banyak lukisan lama berukuran kecil yang didominasi oleh sosok kucing
yang tampil murni sebagai satwa. Ini seperti tarik-menarik antara sebuah
pameran retrospektif kecil-kecilan, namun sekaligus seperti sebuah “perpisahan”
Klowor dengan sosok kucing yang telah bertahun-tahun mengisi areal kanvasnya. Apakah
ini kembali menjadi momentum bagi Klowor untuk melakukan “deklarasi estetik”
yang dengan pelahan meninggalkan kucing dengan segala penggalian kreatifnya
selama ini? Apakah Klowor ingin membebaskan proses kreatifnya dengan merambah
sekian banyak tema dan teknik yang berkemungkinan mengayakan warna keseniannya?
Tampaknya, Klowor meyakini bahwa masih banyak warna dunia yang bisa
dieksplorasi dan kemudian digiring menuju bentangan kanvasnya. Klowor seperti
berhasrat makin kuat masuk pada warna dunia yang penuh warna. Teruslah
mengkilap warnamu, Klowor! ***
Kuss Indarto, penulis seni rupa, tinggal di Yogyakarta.