Menanti Taksu pada karya Leksono
Bebotoh Bali II, oil on canvas, 70 x 93 cm, 2012
EKSOTISME budaya Bali telah menjadi pokok bahasan utama bagi sekian
banyak seniman, terutama seni rupa, entah yang datang dari mancanegara maupun
Indonesia sendiri. Publik bisa menyimak deretan para perupa mancanegara yang
karya-karyanya kita mengisi celah sejarah seni rupa Indonesia, seperti Arie
Smit, Theo Meier, Willem Gerard Hofker, Paul Nagano, Rudolf Bonnet, Rearngsak,
dan sekian banyak nama lain. Pun dengan para perupa Indonesia (selain dari Bali
sendiri) yang karya-karyanya banyak atau sempat bertema utama tentang Bali,
semisal Dullah, Fadjar Sidik, Affandi, dan masih segudang nama besar lain, baik
yang kemudian membubung tinggi namanya sebagai seniman besar dan masuk dalam
konstelasi wacana seni rupa Indonesia, maupun lepas dari perbincangan sejarah
karena pencapaian karyanya dianggap kurang memadai untuk mengisi kepentingan
tersebut.
Leksono—sosok asal Cilacap yang sejak kecil terobsesi menjadi seniman—adalah
salah satu dari sekian banyak seniman yang pada tahun 1987 mencoba merangsek
masuk ke Bali, belajar melukis, dan menjadikan perikehidupan pulau Dewata
tersebut mengemuka dalam sebagian karya-karyanya. Pada pameran tunggalnya ini,
Leksono menempatkan banyak hal yang pernah dialaminya ketika tinggal di Bali
sebagai materi imitasi dan sumber inspirasi dalam karya. Saya katakan imitasi
karena dalam praktik kreatif seni begitu dominannya upaya seniman untuk
“memindahkan” alam ke dalam kanvas, atau dalam falsafah Yunani Kuno dikatakan
sebagai “ars imitatur naturam”, seni
sebagai upaya peniruan alam.
Upaya peniruan alam ini tentu beragam bentuk ungkapnya, tergantung
masing-masing seniman dengan kecenderungan artistiknya. Ada seniman yang
mencoba untuk menyerap segala yang dilihat, didengar, dirasakan dan dialaminya,
lalu dimuntahkan begitu saja (secara pictorial atau visual) ke dalam kanvas.
Ini yang kiranya bisa diasumsikan akan memunculkan karya-karya yang realistik. Karya-karya
Leksono, saya kira masuk dalam kemungkinan pilahan dan kecenderungan artistik
seperti ini. Benda atau aktivitas yang dilihatnya secara fisik, kemudian
dipindahkan dalam “format” yang sama ke dalam bentangan kanvasnya. Inilah yang
terjadi, dan dapat disimak dalam pameran tunggalnya ini. Leksono berupaya keras
untuk menampilkan subyek-subyek karyanya mengemuka secara fotografis. Dalam
tinjauan komposisi tampak diatur sesempurna mungkin seperti halnya yang bisa
kita simak pada foto-foto salon atau kartu pos, misalnya.
Meski demikian, pada aspek teknis, memang, seniman kelahiran Cilacap
2 Oktober 1969 ini mesti
lebih gigih belajar untuk mendapatkan pencapaian yang jauh melompat dari yang
sekarang. Dasar-dasar teknis melukis anatomi tubuh, idealnya, bisa dikembangkan
lagi lewat sketsa-sketsa dasar atau perancangan awal yang lebih kuat terlebih
dahulu sebelum masuk ke tahap teknis berikutnya seperti pewarnaan, chiaroscuro (teknik gelap-terang), dan
seterusnya. Secara umum, karya-karya Leksono mengarah pada kecenderungan
realisme(-fotografis) yang memiliki “risiko” tinggi pada tuntutan teknis.
Meskipun sebenarnya tehnik realism banyak ragamnya, dan realism-fotografis
ataupun hiper-realisme bukanlah satu-satunya puncak pencapaian karya seni lukis
yang bermahzab realisme.
Kalau menyimak karya-karya yang terpampang dalam pameran ini, apresian
relatif bisa segera tahu tentang potongan seni budaya Bali yang dibidik oleh Leksono.
Ada pura, sesaji, penari, barong, sosok lelaki pembawa ayam jago petarung, dan
sebagainya. Nyaris semua karyanya menampilkan sisi indah, manis, dan
fakta-fakta sosial yang diestetisasi menjadi potret cantik tentang budaya Bali.
Ini semacam potret salon yang ada dalam kartu pos atau buku panduan wisata, dan
semacamnya. Pilihan kreatif ini sudah barang pasti menjadi titik menarik
Leksono untuk terus digeluti. Tinggal beberapa dimensi mendasar seperti yang
saya singgung di atas bisa lebih jauh dieksplorasi. Misalnya, tentang detail.
Kita bisa menyimak detail pada kostum khas Bali yang luar biasa kaya dan tiap
corak juga memiliki ciri khas visual, dasar falsafah, dan sebagainya. Belum
lagi tentang mimik atau ekspresi wajah dari figur-figur yang tergambar di atas
kanvas. Misalnya gerak mata dan pertautan antar-jari tangan, pasti memiliki muatan
tendensi khusus yang bermuara pada sisi historis dan filosofis. Poin ini yang
perlu untuk dicermati pada karya-karya selanjutnya, agar karya-karya lebih
memiliki “taksu”, atau aura yang kuat hingga “menghipnotis” penonton.
Sebagai seniman otodidak yang kini “melihat Bali dari Jawa”,
karya-karya Leksono ini pantas untuk diapresiasi dan dijadikan sebagai media
pembelajaran kecil tentang seni budaya Bali yang terus bergeliat. Kekuatan
budaya Bali tampaknya menggoda bagi spirit kreatif Leksono. Tetaplah menjadi
pembelajar yang gigih, mas Leksono. Selamat berpameran.
Kuss Indarto, anggota dewan kurator Galeri Nasional Indonesia, tinggal di Yogyakarta.