Sana Sini Senang Seni
Lukisan Stella Apriliyanti, "Wanita Membatik", 2013, akrilik di atas kanvas, 65 x 50 cm.
Oleh Kuss Indarto
PERISTIWA itu masih begitu membekas. Suatu Minggu siang, awal tahun 2007, saya dan dua teman seniman lain—yang telah banyak makan asam-garam di dunia seni rupa—diberi kehormatan untuk jadi juri lomba mewarnai dan lukis anak di Jogja Exhibition Centre (JEC), Yogyakarta. Panitianya adalah sebuah kelompok penerbitan terbesar di Indonesia dan sebuah bank nasional. Ada lebih dari 250 anak menjadi peserta. Seperti lazimnya, suasana begitu meriah dan riuh. Apalagi—pada momentum dan tempat yang sama—merupakan hari terakhir pameran buku yang telah berlangsung 4 hari sebelumnya. Parkiran penuh, pengunjung berjubel.
Proses penjurian berlangsung beberapa jam. Lalu hasil penilaiannya diumumkan. Kami bertiga sendiri yang mengumumkan di atas panggung yang telah disiapkan, bahkan dengan mempertontonkan karya-karya para pemenangnya. Ini kami maksudkan agar hasil kerja penjurian lebih terbuka. Situasi keriuhan cepat selesai karena yang menang senang, yang belum berhasil ya langsung pulang.
Nah, ketika kami bertiga turun panggung dan menuju ruang sekretariat, saya mendengar seorang bapak yang dengan sengaja “mengomentari” kami dengan nyeletuk sambil matanya menatapku: “Payah! Nggak bikin maju!” Saya berhenti karena merasa bahwa saya yang jadi subyek komentar. Saya hampiri dan sesopan mungkin kuajak bicara.
“Anak bapak ikut lomba, Pak?”
“Ya, dan penjuriannya payah. Bodoh. Tidak bikin maju!”
“Kebetulan saya yang menjuri, pak. Kira-kira menurut bapak problemnya apa?” tanya saya.
“Ya, kenapa gambar yang belum selesai yang dimenangkan? Lukisan dengan pewarnaan yang sudah penuh masih banyak kok. Malah gambar yang setengah kosong yang jadi juara,” sergah sang bapak. Istrinya pun kemudian ikut berkomentar dengan lebih “dahsyat”, dan cenderung mencemooh serta mencaci-maki.
Akhirnya, apa boleh buat, kami terlibat dalam obrolan cukup panas. Hingga saya kemudian bertanya ke bapak-ibu itu, “Pak, bu, anak bapak sering juara lomba menggambar?”
“Jelas. Dia lebih sering juara daripada kalah!” jawabnya keras.
“Terus, apa bapak-ibu pernah menumbuhkan mental “siap untuk kalah” pada anak-anak bapak?” tanyaku.
Bapak itu kelihatan tergeragap. Sejenak tercenung, diam, lalu menjawab: “Lho itu kan urusan saya! Anda kalau menjadi juri jangan terlau idealis, bla, bla, bla… ”
“Jangan begitu, pak. Ini penting lho. Dalam sebuah pertandingan, lomba, kompetisi, kalah-menang itu hal yang wajar. Atau jangan-jangan bapak yang tidak siap mental ketika anak Anda tidak menang. Sementara sebagai juri, saya mewajibkan diri punya visi yang jelas.” Saya berusaha keras ngomong hal itu dengan tersenyum karena dialog terasa begitu panas. Akhirnya saya juga segera tinggalkan bapak-ibu itu untuk menghindari situasi perbincangan yang emosional, kurang sehat, dan berpotensi tidak produktif.
***
Realitas ini memunculkan pertanyaan mendasar: adakah hal yang tidak beres dalam praktik penyelenggaraan lomba lukis anak di Indonesia?
Dugaan-dugaan ketidakberesan ini mengemuka dari beberapa kemungkinan dan gejala. Hal yang terasa, pertama, penyelenggaraan perlombaan lukis anak sudah mulai berpola “industrial”. Dalam pola ini, perhelatan seperti dibuat sebagai mesin yang target utamanya adalah meraup keuntungan finansial sebesar-besarnya bagi penyelenggara, atau bahkan sponsor, dengan meninggalkan visi dan misi yang humanis yang menyentuh kepentingan dan kebutuhan dunia anak-anak. Kompensasi finansial yang diberikan sebagai hadiah untuk para juara hingga jutaan rupiah secara pelahan telah mengonstruksi cara pandang publik tentang kehadiran dan target dalam keikutsertaan seorang anak dalam sebuah lomba lukis.
Dugaan seperti atas, lambat laun bersambut dengan hal kedua, yakni peran sebagian orang tua yang telah bergeser perspektif pandangnya terhadap lomba lukis. Sebuah lomba lukis telah ditempatkan sebagai ajang pembuktian bagi keberhasilan orang tua yang telah memasukan anak-anaknya ke sanggar seni rupa. Kalau kalah, “Apa gunanya masuk sanggar? Gagal dong,” begitu kira-kira asumsi yang mulai berselimut di pikiran sebagian orang tua. Dan tentu saja sikap orang tua yang mulai menanamkan “mental-mau-menang-saja”, bukan mental siap kalah pada anak-anaknya yang membawa virus patologis yang negatif bagi anak-anak untuk menikmati masa kanak-kanaknya ketika mengeluti dunia seni rupa.
Sikap “industrial” pada sebagian orang tua itu juga bisa dilihat ketika pada suatu hari Minggu, seorang anak bisa diikutkan pada 2 bahkan 3 lomba lukis sekaligus oleh orang tuanya. Pengalaman ini terjadi di beberapa kota. Ini, saya kira, sudah tidak logis bagi pengembangan mental dan kreativitas seorang anak.
Masih bertalian erat dengan dua hal tersebut, poin ketiga, peran dan sepak terjang juri lomba lukis menemui persoalan ketika otoritas dan independensinya terganggu karena hanya menjadi sekrup kecil dalam ritus industrial yang tanpa visi humanis. Pada satu sisi, juri yang sebenarnya memiliki kemampuan dan otoritas di bidangnya tak jarang seperti dipaksa untuk menjadi legitimator bagi kepentingan lomba yang industrial tersebut. Pada sisi lain, terkadang peran juri ditempatkan sebagai “pelengkap penderita” saja, sehingga tak perlu ada kualifikasi yang memadai untuk posisi tersebut. Maka, bisa saja—misalnya—seorang wartawan desk kriminal tiba-tiba menjadi seorang juri lomba lukis anak hanya karena ada tuntutan representasi pelengkap dari institusi pers. Atau seorang manajer sebuah hypermarket yang kurang paham dunia seni rupa atau psikologi anak “dipaksa” menjadi juri hanya karena mewakili lembaga sponsor dari perhelatan lomba lukis tersebut. Kehadiran juri-juri seperti inilah—karena keterbatasannya—yang berpotensi menutup ruang eksplorasi dan peluang bermain-main bagi kreativitas anak-anak yang sedang membuncah.
***
Masih menurut Brooks dan Elliot, bermain beda dengan bekerja. Bekerja merupakan kegiatan menuju suatu akhir yang dilakukan relatif tanpa harus menimbulkan rasa kesenangan individu, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan individu tersebut akan hasil akhir. Sebaliknya, dalam bermain, hasil akhir kegiatan tidak penting.
Praktik melukis bagi anak-anak juga bisa disikapi dalam kerangka dan konsep bermain seperti itu, yang tanpa unsur keterpaksaan saat mempraktikannya. Sehingga, melukis bagi anak-anak memang sebaiknya diposisikan sebagai bermain (play), bukan sedang bekerja (work), atau apalagi sebagai beban (drudgery). Ketika unsur bermain menipis dalam praktik seni rupa anak-anak, maka spontanitas, ekspresi, kreativitas dan dunia imajinasi akan terpinggirkan.
Perhelatan Gelar Seni Rupa Anak Indonesia 2013 ini dihasratkan sebagai ruang atau forum yang disediakan untuk menggali lebih jauh kemampuan anak-anak di Indonesia dalam bermain di ranah olah seni rupa. Meski tidak akan mengklaim diri sebagai forum seni rupa anak yang paling representatif dan prestisius di negeri ini, namun setidaknya upaya untuk melakukan keseriusan penyelenggaraan terus dilakukan. Dua hal penting menyangkut segi teknis (namun memiliki imbas di segi konseptual) adalah: pertama, adanya proses seleksi dan kurasi untuk menentukan karya-karya yang masuk dalam perhelatan ini. Ini bukan sekadar mengaitkannya dengan soal keterbatasan ruang, namun juga memberi kemungkinan yang ideal dalam menyimak sebuah pameran seni rupa anak yang mendekati ideal. Kedua, meski ada proses aplikasi dan seleksi dari semua anak di Indonesia yang minat terhadap perhelatan ini, namun ini tidak dihasratkan sebagai sebuah kompetisi, apalagi yang berujung pada penentuan pemenang atau juara yang ujung-ujungnya pada pembagian kompensasi finansial berupa hadiah uang untuk para juara. Sama sekali tidak. Bahwa sifat teknisnya bisa dibilang kompetitif, ya. Namun ini bukan kompetisi.
Dua hal teknis itulah yang bisa memberi penguatan perhelatan ini secara konseptual. Bahwa Indonesia memerlukan sebuah perhelatan seni rupa yang visioner bagi kepentingan dan kebutuhan anak, periodik, penting, berkualitas, menjangkau sebanyak mungkin lapisan representasi kekuatan seni rupa anak setanah air, tidak beriorientasi secara kuat dan mutlak pada kekuatan uang, serta berupaya mengeksplorasi kekuatan kultural sebagai basis persoalan.
Pada poin terakhir itulah maka tema utama atau kuratorial “Sana Seni Seni Budayaku” diketengahkan. Ranah seni budaya adalah salah satu sumber identitas ketika membincangkan keindonesiaan dalam forum global. Namun, sebaliknya, seni budaya juga merupakan salah satu jembatan komunikasi antar-komunitas, antar-wilayah, antar-propinsi, dan entitas lain di dalam negeri Indonesia.
Tema ini bisa diduga memberi kemungkinan bagi anak-anak untuk menelisik lebih jauh jenis-jenis kesenian yang ada di sekitarnya, lebih dari sekadar mengetahui dan mengenal. Dari sini pula, anak-anak bisa melakukan penafsiran visual atas bentuk kesenian yang dilihatnya di buku atau lingkungan sekitar. Ini juga bentuk praktik bermain bagi anak-anak. Langsung atau tak langsung, modus bermain dalam kerangka seni rupa ini bisa pula mengintegrasikan seni dalam pembelajaran, seperti yang diteorikan oleh Merryl Goldberg (Art and Learning, An Integrated Approach to Teaching an Learning in Multicultural Settings, 1997), bahwa seseorang bisa belajar tentang seni (learning about the ats), belajar dengan seni (learning with the arts), dan belajar melalui seni (learning through the arts).
Akhirnya, marilah memberi ruang belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak dengan semangat bermain, bukan membebani mereka! ***
Kuss Indarto, kurator Galeri Nasional Indonesia.