"Sastra dan Daya Hidup" (halah, medeni men judhule, su!)
Dulu, saat kuliah dan tinggal di Baciro, aku mengenal Yono, seorang
tukang becak yang diduga juga preman kampung. Orangnya relatif masih
muda, perawakannya besar dengan tinggi sekitar 175 cm. Meski terbilang
jarang, namun sesekali dia menyambangiku dan berbisik, “Mas, mbok aku
nunut baca Koran KR dan Bernas-nya ya.” Aku menduga tindakan itu
dilakukannya karena sepagian dia belum dapat penumpang, atau sudah
dapat tapi belum tersisa “anggaran” untuk membeli Koran Kedaulatan
Rakyat (KR) atau Bernas, Yogyakarta.
Ternyata yang jadi santapan utamanya adalah cerita bersambung (cerbung) karangan SH. Mintardja, “Seri Api di Bukit Menoreh” (di KR) dan “Mendung di Atas Cakrawala” (Bernas). Sementara berita lain jadi menu sekunder bahkan tersier yang tak penting-penting amat baginya. Cerbung itu memang bertahan bertahun-tahun, entah berapa ribu episode, yang seolah diulur-ulur oleh pengarangnya yang seorang (pensiunan) pegawai Kanwil Depdikbud Yogyakarta. Kelak diketahui bahwa “Seri Api di Bukit Menoreh” telah memanjang hingga jadi 396 buku (tentu ini rekor tersendiri), dan “Mendung di Atas Cakrawala” terulur hingga 848 episode.
Selepas membaca cerbung itu, Yono seperti merasa nyaman, serasa mempertautkan kembali keping-keping persoalan yang sebelumnya berserakan. Dia lalu sedikit menarasikan kembali tentang tokoh Glagah Putih yang harus bertarung habis-habisan, dan serentetan potongan kisah lainnya. Aksi seperti ini sering dilakukannya ketika siang atau sore, saat aku ketemu dia di perempatan jalan tempat becaknya mangkal. Hanya kupancing dengan pertanyaan: “Piye terusane si Glagah Putih, Agung Sedayu, Swandaru atau Kiai Gringsing?”, maka muncratlah sebagian ludahnya mengiringi cerita oralnya tentang “Seri Api di Bukit Menoreh” pak Singgih Hadi Mintardja yang telah dibacanya.
Bagiku, itu cukup mengagumkan bahwa tukang becak seperti Yono memiliki kebutuhan asupan makanan ruhani bernama cerita bersambung—meski entah itu akan dikelompokkan sebagai “sastra atas” atau “sastra bawah”, atau apapun namanya. Dan harian Kedaulatan Rakyat betul-betul menjadi jembatan untuk menjadikan anggota masyarakat seperti Yono melek informasi, bahkan juga “melek sastra”. Lebih dari itu, S.H. Mintardja berposisi penting sebagai “sastrawan populis” dengan karyanya yang gampang dipahami oleh orang kebanyakan. Ternyata, sosok seperti Yono banyak sekali di sekujur Yogyakarta. Tukang becak, pedagang angkringan, pegawai rendahan, hingga mahasiswa, dosen, dan berbagai profesi lain tiap hari “berkebutuhan khusus” untuk membaca cerbung karangan S.H. Mintardja di harian KR.
Uniknya, sang pengarang sendiri menuliskan serial cerita bersambung tersebut tidak secara tuntas lalu dikirimkan ke redaksi KR. Dia hanya mengirim secara “kredit” untuk beberapa episode saja, dan diteruskan kembali bila stok cerita sudah menipis. Begitu seterusnya.
Kisah tentang tulisan cerbung yang “dikredit” banyak kuperoleh dari anak tertua S.H. Mintardja, Andang Supriyadi, yang kebetulan menjadi dosenku di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Dalam sehari, kata pak Andang, ayahandanya bisa mengetik cerita yang setara dengan 10 episode di halaman KR. Tapi kalau ide sedang mampat, katanya, dalam sehari tak tertuntaskan—bahkan—satu alinea sekalipun. Perilaku unik juga sering dilakukan oleh pak Mintardja. Misalnya, kalau ke toilet pun bisa berlama-lama. Celana sudah dibuka, tapi yang keluar bukan di bawah, melainkan tangannya bergerak menuliskan sketsa-sketsa ceritanya di atas sebuah kertas yang dibawa ke toilet.
Hal yang juga "lucu" kadang terjadi. Redaksi harian KR (atau Bernas) memberi pengumuman bahwa hari itu (hingga beberapa hari kemudian) tidak ada cerita bersambung karena penulisnya sedang sakit.
Bagi redaksi harian Kedaulatan Rakyat, atau Bernas, sosok S.H. Mintardja adalah aset penting yang diduga mampu mendongkrak tiras korannya. Ya, saya tak punya data tentang itu. Tapi begitu dia meninggal 18 Januari 1999, masyarakat seni Yogyakarta, dan masyarakat pembaca KR begitu kehilangan. Kala itu, orang-orang seperti Yono mengaku kehilangan selera ketika membaca Koran KR tanpa cerbung tulisan S.H. Mintardja.
Mungkin keterkenalannya tidak menasional karena hanya selebar wilayah distribusi harian KR, namun karya pengarang kelahiran 26 Januari 1933 itu, kukira mampu memberi kontribusi bagi lingkungannya. Dan kontribusi itu, di dalamnya, juga berunsur “pengaruh”: pengaruh untuk membaca koran, pengaruh untuk mengenal(i) sastra, pengaruh untuk menularkan “sastra lisan” ala Yono, dan sebagainya. Meski barangkali hanya direndahkan sebagai “tukang cerita”, kukira, S.H. Mintardja adalah salah satu tokoh sastra yang berpengaruh, setidaknya di Yogyakarta. Bahkan mungkin di Indonesia. Sayang, kita acap abai pada mereka yang bergerak merayap di pinggiran, jauh dari gigir kemilau popularitas dan gemerincing uang. Cara pandang itulah yang kadang menyulap gantungan kunci bersulap rupa menjadi boneka cantik di etalase kinclong. Sastra yang membuat tukang becak seperti Yono ikut membaca dan jadi punya tambahan daya hidup, kukira, itu lebih dari sebuah keajaiban.
Mugi-mugi jembar kuburane, Eyang Singgih Mintardja.
Wirobrajan, 22-01-2014.
Ternyata yang jadi santapan utamanya adalah cerita bersambung (cerbung) karangan SH. Mintardja, “Seri Api di Bukit Menoreh” (di KR) dan “Mendung di Atas Cakrawala” (Bernas). Sementara berita lain jadi menu sekunder bahkan tersier yang tak penting-penting amat baginya. Cerbung itu memang bertahan bertahun-tahun, entah berapa ribu episode, yang seolah diulur-ulur oleh pengarangnya yang seorang (pensiunan) pegawai Kanwil Depdikbud Yogyakarta. Kelak diketahui bahwa “Seri Api di Bukit Menoreh” telah memanjang hingga jadi 396 buku (tentu ini rekor tersendiri), dan “Mendung di Atas Cakrawala” terulur hingga 848 episode.
Selepas membaca cerbung itu, Yono seperti merasa nyaman, serasa mempertautkan kembali keping-keping persoalan yang sebelumnya berserakan. Dia lalu sedikit menarasikan kembali tentang tokoh Glagah Putih yang harus bertarung habis-habisan, dan serentetan potongan kisah lainnya. Aksi seperti ini sering dilakukannya ketika siang atau sore, saat aku ketemu dia di perempatan jalan tempat becaknya mangkal. Hanya kupancing dengan pertanyaan: “Piye terusane si Glagah Putih, Agung Sedayu, Swandaru atau Kiai Gringsing?”, maka muncratlah sebagian ludahnya mengiringi cerita oralnya tentang “Seri Api di Bukit Menoreh” pak Singgih Hadi Mintardja yang telah dibacanya.
Bagiku, itu cukup mengagumkan bahwa tukang becak seperti Yono memiliki kebutuhan asupan makanan ruhani bernama cerita bersambung—meski entah itu akan dikelompokkan sebagai “sastra atas” atau “sastra bawah”, atau apapun namanya. Dan harian Kedaulatan Rakyat betul-betul menjadi jembatan untuk menjadikan anggota masyarakat seperti Yono melek informasi, bahkan juga “melek sastra”. Lebih dari itu, S.H. Mintardja berposisi penting sebagai “sastrawan populis” dengan karyanya yang gampang dipahami oleh orang kebanyakan. Ternyata, sosok seperti Yono banyak sekali di sekujur Yogyakarta. Tukang becak, pedagang angkringan, pegawai rendahan, hingga mahasiswa, dosen, dan berbagai profesi lain tiap hari “berkebutuhan khusus” untuk membaca cerbung karangan S.H. Mintardja di harian KR.
Uniknya, sang pengarang sendiri menuliskan serial cerita bersambung tersebut tidak secara tuntas lalu dikirimkan ke redaksi KR. Dia hanya mengirim secara “kredit” untuk beberapa episode saja, dan diteruskan kembali bila stok cerita sudah menipis. Begitu seterusnya.
Kisah tentang tulisan cerbung yang “dikredit” banyak kuperoleh dari anak tertua S.H. Mintardja, Andang Supriyadi, yang kebetulan menjadi dosenku di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Dalam sehari, kata pak Andang, ayahandanya bisa mengetik cerita yang setara dengan 10 episode di halaman KR. Tapi kalau ide sedang mampat, katanya, dalam sehari tak tertuntaskan—bahkan—satu alinea sekalipun. Perilaku unik juga sering dilakukan oleh pak Mintardja. Misalnya, kalau ke toilet pun bisa berlama-lama. Celana sudah dibuka, tapi yang keluar bukan di bawah, melainkan tangannya bergerak menuliskan sketsa-sketsa ceritanya di atas sebuah kertas yang dibawa ke toilet.
Hal yang juga "lucu" kadang terjadi. Redaksi harian KR (atau Bernas) memberi pengumuman bahwa hari itu (hingga beberapa hari kemudian) tidak ada cerita bersambung karena penulisnya sedang sakit.
Bagi redaksi harian Kedaulatan Rakyat, atau Bernas, sosok S.H. Mintardja adalah aset penting yang diduga mampu mendongkrak tiras korannya. Ya, saya tak punya data tentang itu. Tapi begitu dia meninggal 18 Januari 1999, masyarakat seni Yogyakarta, dan masyarakat pembaca KR begitu kehilangan. Kala itu, orang-orang seperti Yono mengaku kehilangan selera ketika membaca Koran KR tanpa cerbung tulisan S.H. Mintardja.
Mungkin keterkenalannya tidak menasional karena hanya selebar wilayah distribusi harian KR, namun karya pengarang kelahiran 26 Januari 1933 itu, kukira mampu memberi kontribusi bagi lingkungannya. Dan kontribusi itu, di dalamnya, juga berunsur “pengaruh”: pengaruh untuk membaca koran, pengaruh untuk mengenal(i) sastra, pengaruh untuk menularkan “sastra lisan” ala Yono, dan sebagainya. Meski barangkali hanya direndahkan sebagai “tukang cerita”, kukira, S.H. Mintardja adalah salah satu tokoh sastra yang berpengaruh, setidaknya di Yogyakarta. Bahkan mungkin di Indonesia. Sayang, kita acap abai pada mereka yang bergerak merayap di pinggiran, jauh dari gigir kemilau popularitas dan gemerincing uang. Cara pandang itulah yang kadang menyulap gantungan kunci bersulap rupa menjadi boneka cantik di etalase kinclong. Sastra yang membuat tukang becak seperti Yono ikut membaca dan jadi punya tambahan daya hidup, kukira, itu lebih dari sebuah keajaiban.
Mugi-mugi jembar kuburane, Eyang Singgih Mintardja.
Wirobrajan, 22-01-2014.