Proses Jokowi-JK
Itu Jokowi-JK lewat! Jakarta, 20 Oktober 2014.
Persis setahun lalu, 20 Oktober 2014, aku sudah di Jakarta. Pagi hari sekitar pukul 06.00 wib kujejakkan kaki di seputaran Jakarta Nol Kilometer atau sekitar Istana Merdeka. Hari itu Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wapres 2014-2019. Aku sendiri datang dengan spirit untuk merayakan dan menghargai sebuah proses. Ya, proses untuk menjadi warga negara yang ingin menyimak kilasan perjalanan bangsa ini, setidaknya 5 tahun ke depan—di bawah kendali seorang bekas tukang kayu dan kakek tua yang jago berdagang.
Menghargai sebuah proses itu mengasyikkan. Apalagi dibalut dengan sebuah keyakinan. Bahwa kelak semua—proses dan harapan—itu lenyap, tak perlu disesali kalau ada perjuangan di atasnya. Apalagi ada keringat, air mata dan darah yang melambari perjuangan itu. (Waduh, Mario Teguh banget!) Banyak kisah yang bisa jadi cermin atas proses itu. Seorang Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap idiot. Nyatanya dia bisa berproses dengan panjang dan membalikkan keadaan, dan menjadi seorang jenius. The Beatles harus rela menjadi grup band di banyak kelab malam dengan bayaran murah, dan tape demo lagu-lagunya dilecehkan banyak produser, sebelum akhirnya ngetop dengan melewati proses yang tak pendek. Affandi bertahun-tahun menjadi tukang nggambar poster bioskop dan terus berproses hingga kelak menjadi maestro. Nasirun, jauh-jauh hari sebelum menjadi seniman yang milyarder seperti sekarang, pernah memburuh dengan membuat sapu tangan batik berhonor kecil. Bahkan proposal pamerannya ke sebuah ruang seni ditolak karena dianggap “seperti lukisan tukang becak”. Semua proses itu bukan saja sekadar pengalaman, namun juga pelajaran yang pantas diberi penghargaan. Apresiasi.
Jokowi dan JK pasti masih punya banyak kekurangan dan kelemahan. Masih “jauh panggang dari api” harapan banyak manusia di negeri ini. Proyek Nawa Cita-nya mungkin masih dianggap “Khayal Cita”, seperti menggantang asap yang segera lenyap entah kemana. Tapi, hei, siapa lagi yang bisa punya keyakinan, optimisme dan penghargaan atas sebuah proses yang tengah dilakukan oleh pemimpinnya kalau bukan rakyat Indonesia sendiri? Kebencian dan kemarahan hanya membuntukan cercah solusi. Beri mereka—Jokowi dan JK—jalan yang lempang. Dan yang terpenting: beri dia asupan kritik konstruktif terus-menerus untuk nutrisi otoritasnya mengelola negeri ini selama 5 tahun. Ayo, berhentilah menjadi bangsa pembenci dan pendengki! ***
Persis setahun lalu, 20 Oktober 2014, aku sudah di Jakarta. Pagi hari sekitar pukul 06.00 wib kujejakkan kaki di seputaran Jakarta Nol Kilometer atau sekitar Istana Merdeka. Hari itu Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wapres 2014-2019. Aku sendiri datang dengan spirit untuk merayakan dan menghargai sebuah proses. Ya, proses untuk menjadi warga negara yang ingin menyimak kilasan perjalanan bangsa ini, setidaknya 5 tahun ke depan—di bawah kendali seorang bekas tukang kayu dan kakek tua yang jago berdagang.
Menghargai sebuah proses itu mengasyikkan. Apalagi dibalut dengan sebuah keyakinan. Bahwa kelak semua—proses dan harapan—itu lenyap, tak perlu disesali kalau ada perjuangan di atasnya. Apalagi ada keringat, air mata dan darah yang melambari perjuangan itu. (Waduh, Mario Teguh banget!) Banyak kisah yang bisa jadi cermin atas proses itu. Seorang Thomas Alva Edison pernah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap idiot. Nyatanya dia bisa berproses dengan panjang dan membalikkan keadaan, dan menjadi seorang jenius. The Beatles harus rela menjadi grup band di banyak kelab malam dengan bayaran murah, dan tape demo lagu-lagunya dilecehkan banyak produser, sebelum akhirnya ngetop dengan melewati proses yang tak pendek. Affandi bertahun-tahun menjadi tukang nggambar poster bioskop dan terus berproses hingga kelak menjadi maestro. Nasirun, jauh-jauh hari sebelum menjadi seniman yang milyarder seperti sekarang, pernah memburuh dengan membuat sapu tangan batik berhonor kecil. Bahkan proposal pamerannya ke sebuah ruang seni ditolak karena dianggap “seperti lukisan tukang becak”. Semua proses itu bukan saja sekadar pengalaman, namun juga pelajaran yang pantas diberi penghargaan. Apresiasi.
Jokowi dan JK pasti masih punya banyak kekurangan dan kelemahan. Masih “jauh panggang dari api” harapan banyak manusia di negeri ini. Proyek Nawa Cita-nya mungkin masih dianggap “Khayal Cita”, seperti menggantang asap yang segera lenyap entah kemana. Tapi, hei, siapa lagi yang bisa punya keyakinan, optimisme dan penghargaan atas sebuah proses yang tengah dilakukan oleh pemimpinnya kalau bukan rakyat Indonesia sendiri? Kebencian dan kemarahan hanya membuntukan cercah solusi. Beri mereka—Jokowi dan JK—jalan yang lempang. Dan yang terpenting: beri dia asupan kritik konstruktif terus-menerus untuk nutrisi otoritasnya mengelola negeri ini selama 5 tahun. Ayo, berhentilah menjadi bangsa pembenci dan pendengki! ***