Perspektif Beda Ihwal Mooi Indie
Fotografi karya Kalibi, salah satu karya yang dipamerkan dalam pameran "After Mooi Indie" yang dihelat oleh FORMMISI (Forum Mahasiswa Minang di ISI Yogyakarta), di Galeri R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta.
Oleh Kuss
Indarto
HAMPIR empat puluh tahun silam, 18 Juli 1976,
Oesman Effendi atau OE kembali memberi gambaran yang menegaskan bahwa dunia
seni lukis di kawasan Sumatera Barat banyak dipengaruhi oleh seorang Wakidi
(1889-1978). Ya, “ideologi artistik” sang guru Wakidi ini bahkan berpendar
pengaruhnya hingga ke banyak wilayah di pulau Sumatera karena sekian banyak
muridnya berasal dari berbagai kawasan di Sumatera. Dalam ceramah di Taman
Ismail Marzuki (TIM) tersebut, OE juga membilang bahwa pilihan artistik (dan
estetik) satu guru itu telah memonopoli sebuah mazhab seni lukis di bentang
pulau Sumatera, dan pengaruhnya—mazhab Wakidian itu—telah memanjang hingga enam
dasawarsa atau melintasi 3 generasi.
Mooi Indie atau “Hindia Molek” pilihan artistik yang digeluti oleh Wakidi
itu. Cap yang diberikan oleh pihak di luar diri Wakidi dan kelompok atau
murid-muridnya itu adalah identifikasi atas karya seni lukis yang memberi “penggambaran
alam dan masyarakat Hindia Belanda secara damai, tenang dan harmonis”. Mooi
Indie adalah emandangan alam, sawah, gunung-gnung biru yang bermandikan sinar
matahari, dan semacamnya. Inilah Hindia panorama Belanda Belanda untuk para
turis dan pensiunan pejabat Belanda. Semuanya diidentikkan sebagai lukisan yang
indah dan manis, mengeksplorasi sekaligus mengeksploitasi eksotisme alam semesta,
dan berakhir sebagai gugusan persoalan perupaan semata, yang miskin gagasan
yang melampaui aspek rupa di dalamnya. Karya lukis dengan kecenderungan Mooi Indie sekadar dianggap sebagai potret
sekilas seorang wisatawan sehingga kilasan keindahan yang membenam dalam kanvas
adalah hasil potret yang turistik, tanpa kedalaman makna.
Itu tudingan yang dilakukan oleh beberapa
kalangan dengan S. Sudjojono sebagai orang yang berdiri di garda paling depan.
Maka, selain Wakidi, banyak pula para seniman papan atas waktu itu, termasuk
para pelukis Belanda yang bertandang dan tingal di Hindia Belanda (sekarang
Indonesia) yang dituding oleh Pak Djon (panggilan karib Sudjojono) penganut mazhab
Mooi Indie seperti Ernest Dezentje,
Casenda, Abdullah Soerjosoebroto (ayah Basoeki Abdullah), Mas Pirngadie, yang kemudian
“tudingannya” meluas hingga ke sosok Trubus, Lee Man Fong, dan lainnya. Secara
khusus Pak Djon menyebut adanya trinitas suci dalam lukisan mooi indie, yakni figur gunung, sawah,
dan pohon kelapa (atau bambu).
Tudingan Pak Djon pada dasawarsa 1930-an itu
mendapatkan sikap kritis yang menarik dari pandangan sejarawan Onghokham lewat
catatannya yang bertajuk “Hindia Yang
Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni rupa dan Ilmu Sosial” yang dimuat dalam
Jurnal Kalam, edisi No. 3 tahun 2005. Onghokham justru mengutarakan fakta yang
kontradiktif bahwa Pak Djon menuding beberapa seniman lain menganut
kecenderungan karya lukis Mooi Indie, namun anehnya di kemudia hari justru Pak
Djon juga melukis dengan gaya yang sama. Onghokham juga membalikkan anggapan Pak Djon yang menduga
bahwa mazhab Mooi Indie terjadi karena pembeli-pembeli karya tersebut adalah
pejabat colonial yang pension atau kembali ke Belanda karena mereka dianggap
akan mengenang Hindia yang bermandikan cahaya matahari dan rembulan tanpa
mendung. Di mata Sudjojono, patron-patron lukisan Mooi Indie tidak hidup di
Indonesia dan tidak berakar di dalam masyarakat. Di mata Onghokham, asumsi
tersebut meleset karena sesungguhnya mazhab Mooi Indie telah kuat mengakar
dengan begitu luas dalam masyarakat. Uniknya, sosok yang dianggap sebagai patron
seni rupa Indonesia, yakni Bung Karno, juga merupakan tokoh yang menggemari lukisan
Mooi Indie—tanpa bisa “dicegah selera
seninya” oleh Pak Djon yang sempat sangat dekat dengan Sang Proklamator itu.
Persoalan Mooi Indie juga mendapatkan dugaan perluasan
cakupan sikap kritis bahwa ini merupakan “proyek” orientalisme dari Barat—bila kita
mengacu pada gagasan yang disinyalir oleh intelektual Edward Said dalam bukunya
yang terkenal, Orientalism (1991). Barat
telah dengan terstruktur menciptakan dunia Timur (yang berbeda dengan Barat,
atau yang lebih kurang berbudaya ketimbang Barat). Gambaran tentang
negeri-negeri jajahannya di belahan Timur teramat romantik bagi Barat.
Maka, dari situlah kiranya problem tentang seni
lukis Mooi Indie menemukan
dinamikanya dan titik sengkarutnya. Mooi Indie dianggap tidak memiliki dunia
gagasan yang kuat ketimbang karya-karya seni lukis yang membincangkan problem sosial
politik kemasyarakatan. Tentu ini merupakan anggapan dari para seniman yang memiliki
agenda besar tentang peran seni yang tidak berhenti sebagai sebuah gambar indah
yang terpampang di tembok rumah, namun juga memberikan tendensi bagi seniman
agar karya-karyanya bisa “membunyikan” persoalan sosial politik yang tengah
tumbuh dan meruak dalam masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sebenarnya juga
memiliki daya serap dan apresiasi yang kuat terhadap karya-karya yang berhaluan
Mooi Indie. Ini bukan hanya masalah pertukaran karya sebagai modal kultural
yang ada angka-angka transaksional tertentu saja, namun lebih dari itu, bahwa ada
kohesi yang erat antara “logika” rasa masyarakat dengan karya seni yang
disenangi dan diminatinya. Ini, lama-kelamaan sulit diberi justifikasi bahwa
para penyuka atau kolektor karya seni lukis yang mencitrakan keindahan visual
saja tidak bisa diidentikkan sebagai masyarakat yang belum tinggi selera
seninya. Ini sangat relatif. Oleh karenanya, itu menjadi cukup menemukan garis
konektivitasnya bahwa banyak seniman di Sumatera Barat khususnya, yang masih
bersikukuh melukis karya lukis yang Mooi
Indie.
Dengan demikian, ketika hari ini kita telah
berjarak empat puluh tahun dengan momentum saat Oesman Efendi memberikan
cerahnya tentang seni rupa Sumatera Barat di TIM, juga bentangan waktu yang
sangat jauh dengan isu tentang Mooi Indie
yang telah diteriakkan oleh S. Sudjojono sebelum lahir Negara Republik
Indonesia, hal penting apa yang bisa digali dari sini?
Tema kuratorial yang mencoba untuk memberi
figura atas kemungkinan adanya gejala Neo
Mooi Indie kiranya masih layak diketengahkan untuk menelisik banyak hal. Kemunginan
gejala ini, ketika disodorkan kepada para seniman atau calon seniman yang berasal
dari kawasan Sumatera Barat, adakah akan menemukan benang merah dengan gagasan
seni rupa kekinian yang berupaya mencari pembaruan dari berbagai hal, mulai
dari aspek dunia-bentuk dan dunia-gagasan?
Seperti kita ketahui bersama, kalau mengacu
pada rentang waktu 70 tahun setelah republik ini berdiri, perjalanan para senima
yang berasal dari propinsi itu, yang boleh jadi sebagian adalah penganut
mazhab, mengalami pergeseran. Kalau pada awal-awal sebelum dan sesudah Indonesia
merdeka para seniman banyak berinteraksi dengan para sejawatnya di lingkungan
sekitar. Mereka kebanyakan adalah para seniman yang belum tersentuh oleh jalur
akademik dengan lintasan pengetahuan yang relatif terbatas untuk meng-update informasi. Dari sinilah, diduga,
tingkat “kepatuhan” pada Sang Guru, Wakidi, sangat kental dan kuat. Maka,
outputnya pun relatif mengalami uniformisasi atau penyeragaman.
Berikutnya, sepuluh hingga dua puluh tahun setelah
Indonesia merdeka, progresivitas telah banyak tertemukan. Ada lembaga
pendidikan formal seni (rupa) yang pelan-pelan tumbuh. Maka, peran para tokoh
yang menjadi semacam empu digantikan secara pelahan pula oleh para pengajar
atau guru di jalur lembaga pendidikan. Ini telah menggeser sistem pembelajaran
dan serapan sistem pengetahuan yang baru dalam dunia seni rupa bagi banyak
seniman dan calon seniman. Masalah ini makin diperkaya dengan mulai adanya
(calon) seniman yang menyeberang ke Jawa untuk mendapatkan sistem pendidikan
dan lingkungan pergaulan yang berbeda. Ketika beberapa dari mereka pulang dari rantau,
sedikit banyak telah memberi perubahan. Meski terlihat bahwa sosok sekuat
Wakidi nyaris belum ada tandingannya, dan sepertinya tak akan mungkin lahir
kembai. Ini justru memberikan efek egaitarianisme pada para seniman. Tak ada
mahaguru yang harus dipatuhi hingga pada pilihan garis artistik dan estetiknya.
Perkembangan yang relatif mutakhir,
setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir ini, adalah fakta bahwa peta persoalan
makin berubah banyak. Lembaga pendidikan seni rupa di Jawa semakin menjadi
magnet yang kuat dan menjadikan banyaknya para calon seniman dari Sumatera
Barat pada hijrah ke luar daerahnya. Sistem pengetahuan yang terbangun dan
dibangun juga mengalami banyak pergeseran—bahkan perubahan besar. Sistem
pengetahuan yang berasal dari banyaknya interaksi, perkembangan ilmu
pengetahuan, membanjirnya arus informasi, dan sebagainya, membuat pilihan
estetik dan artistis para seniman berubah drastis.
Namun menariknya, ada pilihan-pilihan garis artistik
yang sebetulnya cukup terhubung antara apa yang terjadi dulu, puluhan tahun
lalu, dengan yang sekarang. Tentu ini sebagai sebuah pengamatan seilas, bukan
dari hasil penelitian yang inteksif dan menyeluruh. Yakni ketekunan para
seniman atau calon seniman yang berasal dari Sumatera Barat dalam menggali tema
dasar karya dengan dugaan konsep dasar yang memberi tekanan pada keinginan
untuk menampilkan visualitas yang eksotik dan membelenggukan diri dengan isi
yang kuat. Maksud saya, isi dalam karya tersebut lebih pada tuntutan seperti
yang diteriakkan oleh Sudjojono puluhan tahun lalu agar seniman juga berbicara
secara terbuka dan langsung tentang problem sosial politik kemasyarakatan. Ternyata
itu kurang menjadi minat utama yang menarik.
Banyak seniman yang asyik dengan dunia-dalam
sendiri yang kemudian dijadikan titik utama berkarya. Tidak banyak seniman yang
mencoba melakukan “politik perlawanan” dalam/lewat karya seni, namun artefak
karya dijadikan sebagai perangkat untuk melakukan “pernyataan”, entah itu
menyatakan diri tentang problem personal dan dunia-dalamnya, atau problem yang relatif
soft, lembut, tidak gagah berteriak menuntut
sesuatu kepada sosok di luar dirinya.
Pameran ini, kiranya, juga menyorot,
mengakomodasi, dan kemudian mengeksposisikan gejala-gejala visual dan pemikiran
yang melampaui di atas problem visual tersebut. Ada seniman yang berupaya “tertib”
berkarya sesuai tema kuratorial. Ada pula yang mencoba mengabaikan sama sekali
atas hal itu karena spekulasi ini mengamankan garis kreatifnya yang telah
dilakoni sekian waktu sebelumnya. Ada pula yang mecoba melakukan “subversi” atas
tema kuratorial. Pada karya dengan pilahan terakhir ini memungkinkan membuat
pameran menjadi dinamis karena tafsir visual seniman yang kaya. Namun secara
keseluruhan, ini bisa menjadi penanda penting atas kehadiran Formisi yang telah
bergerak selama 10 tahun dalam percaturan seni rupa di Yogyakarta. Ada atau tak
ada kehadiran kelompok ini, bisa jadi tergantung perspektif dan kepentingan apa
yang sedang bergerak dalam benak apresiannya. Hal yang pasti, kelompok ini
terus membuat tapak untuk kepentingan ke depan masing-masing personal di
dalamnya. Selamat berkarya! ***
Kuss Indarto, kurator dan penulis seni
rupa.
Catatan ini dimuat dalam katalog pameran "After Mooi Indie" yang dihelat oleh FORMMISI (Forum Mahasiswa Minang di ISI Yogyakarta), di Galeri R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta, 14-19 Mei 2016.