Rajawali yang (Ingin) Menolak Takdir





Oleh Kuss Indarto

KALAU penerbit PT Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1950 menerbitkan antologi puisi tiga penyair papan atas Indonesia—masing-masing Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani—dengan tajuk yang legendaris: “Tiga Menguak Takdir”, maka tiga person dalam pameran seni rupa di tahun 2016 ini bisa saja disebut sebagai “Tiga Menolak Takdir”. Ya, ini hanya satu permainan kata-kata, bukan sebuah perbandingan yang sudah barang pasti banyak hal yang kurang selaras. Saya, kita, sedang memperbincangkan jagad seni rupa, bukan sastra seperti yang ditengarai dengan tajuk “Tiga Menguak Takdir”. Kita juga tidak tengah mempercakapkan figur-figur dengan nama dan reputasi yang meraksasa dalam seni rupa. Ini sekadar narasi kecil tentang upaya untuk bercermin dan menatap diri sendiri.
            Tiga perupa yang menghelat pameran ini menggabungkan diri dalam grup sekaligus tema pameran “3 Rupa Rajawali”. Marsda (purn.) Akbar Linggaprana, (Marsma (purn.) Sudjadijono, dan Kolonel (purn.) Totok Sudarto (saya urutkan menurut abjad)—perupa peserta pameran ini—masing-masing adalah purnawirawan Pati (perwira tinggi) TNI AU. Ya, mereka seperti “menolak takdir” karena antara jatidiri sebagai anggota militer yang dilakoni selama puluhan tahun relatif berbeda jauh dengan watak sebagai seniman. Dunia militer selalu diidentikkan dengan kedisiplinan, ketegasan, kecepatan untuk memutuskan sesuatu hal, keseragaman, dan semacamnya. Sementara di seberang itu, dunia seni adalah dunia penuh relativitas yang diasumsikan mengabaikan ihwal kedisplinan, menjauhi soal ketegasan, sulit berdamai dengan disiplin waktu, dan sebagainya.
            Maka, ketika tiga orang ini berpameran, ada rentetan pertanyaan yang pasti akan menyertainya: Apa kira-kira titik beda dari karakter karya seni orang-orang yang telah lama berkarier dalam dunia militer? Bagaimanakah peran logika dan emosi serta percampurannya dalam proses menciptakan karya seni rupa?
            Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa saja sangat nyambung atau memiliki garis koneksinitas yang jelas, namun bisa pula meleset dari realitas yang ada. Artinya, ada guratan sejarah yang sedikit banyak bisa memberi latar belakang untuk membahas kekaryaan mereka. Akbar Linggaprana adalah purnawirawan berbintang satu yang masuk ke dunia militer lewat jalur milsuk atau militer sukarela, setelah dia menuntaskan studi di akademi seni rupa, ASRI Yogyakarta. Setelah itu—meski dia masuk dunia kemiliteran dengan sangat kental—kariernya berada dalam wilayah yang masih memungkinkan gairah seni rupanya mendapatkan akomodasi, yakni di bagian penerangan. Pada praktiknya, di bagian penerangan itu dunia seni rupa yang beberapa tahun pernah ditekuninya sesekali mendapat porsi untuk digarap, meski tentu saja bukan seni rupa murni (fine art), namun lebih sebagai ungkapan seni yang diterapkan (applied art).
            Sementara Sudjadijono, beberapa tahun sebelum memutuskan untuk masuk di lembaga pendidikan militer, pernah masuk di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR, sekarang SMKN 3, Kasihan Bantul, Yogyakarta). Jack, begitu panggilan karib Sudjadijono, hanya duduk di bangku SMSR selama 3 bulan untuk akhirnya berpindah jalur pendidikan karena berbagai pertimbangan, antara lain masukan dari orang tuanya. Latar sejarah personal ini sedikit banyak memberi gambaran pada apresian bahwa proses Jack untuk masuk dalam dunia kreatif seperti sekarang ini bukan hadir dari ruang hampa. Ada pertalian dengan gairah inner feeling Jack yang telah mencintai dunia seni rupa sejak bertahun-tahun sebelumnya. Ini problem dunia-dalam tiap orang yang tidak bisa dengan mudah hilang begitu saja.
            Demikian pula dengan Totok Sudarto. Meski berbeda sejarah persentuhannya dalam jagat seni rupa dengan dua mitranya di atas, namun gelagat gairah atau passion-nya dengan seni rupa relatif kental. Ketika mengawali karier di dunia militer, bersama Sudjadijono, dia banyak berkegiatan di sektor yang memungkinkan dirinya untuk membuat dekorasi panggung, ilustrasi, gambar, atau segala hal yang berkaitan dengan itu di unit lingkungan kecilnya di TNI AU. Ini dilakukan dengan penuh antusias karena dorongan untuk memilih aktivitas tersebut banyak berasal dari dalam-diri, inner feeling-nya. Dan ini terbawa terus-menerus di lingkungan berikutnya. Termasuk ketika Totok memutuskan untuk mengundurkan secara baik-baik dari dunia militer—beberapa tahun sebelum usia pensiun resmi tiba—dan kemudian berkarier di dunia politik, gairah untuk berseni rupa seperti menemukan arus utamanya. Ketika menjadi pejabat politik, yakni Wakil Bupati Bantul, D.I. Yogyakarta, dia memiliki cukup waktu untuk melukis. Bahkan dengan mengajak para seniman seni rupa yang banyak menetap di kawasan Bantul, Totok berpameran di rumah dinas Wakil Bupati. Kalau dicoba merunut titik temunya, keputusan Totok Sudarto untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Bupati Bantul yang hanya dilakoninya kurang dari separuh durasi yang semestinya, bisa jadi merupakan ekspresi kesenimanannya yang tidak peduli dengan bangunan reputasi formal yang tidak mudah didapat, atau ke-cuek-annya terhadap garis hierarkhi social dan sebagainya yang pasti diperoleh ketika menjabat sebagai Wakil Bupati. Semua diabaikannya.

***

BILA dalam gerak waktu berikutnya Akbar, Jack, dan Totok berhasrat kuat untuk masuk ke dunia seni rupa secara penuh setelah mereka menuntaskan darma baktinya lewat berkarier di dunia militer, semuanya tak ada yang keliru. Kita tahu bersama, dunia seni rupa merupakan ruang yang relatif begitu demokratis untuk bisa dimasuki siapa saja, kapan saja, dalam situasi apapun, bahkan untuk kepentingan apapun. Jagat seni rupa juga berkemungkinan menjadi ruang bebas untuk mengonstruksi sesuatu bagi siapa saja. Sebagai pilihan profesi, seni rupa telah mampu dijadikan sandaran oleh sekian banyak orang untuk ditapaki dengan segala perolehan dan pencapaian. Tapi justru di sinilah titik menarik dunia seni rupa. Dia bisa dengan relatif mudah dimasuki oleh seseorang yang antusias menggeluti, namun tidak dengan mudah seseorang bisa “menjadi” dan mendapat pengakuan yang “sah” di dalam dunia seni rupa. Ini terkadang aneh dan unik. Seolah-olah merupakan ruang yang bebas dan lepas, namun tanpa sadar dan sulit dilacak, seakan-akan ada code of conduct dalam pusarannya.
Ini berbeda, misalnya, dengan memasuki karier di jagat yang lain, semisal dunia kedokteran. Seseorang memang wajib melakukan studi penuh di fakultas kedokteran hingga tuntas secara akademis untuk mampu disebut sebagai sarjana kedokteran. Lalu menempuh prasarat berikutnya dengan menjadi co-ast dan seterusnya, maka setelah itu layaklah seseorang menyandang label diri sebagai dokter. Bahkan tak jarang gelar akademik ini menempel terus-menerus meski yang bersangkutan tak lagi melakukan praktik medis seperti yang telah standar dilakukan oleh seorang dokter.
Ini berbeda dengan jagat seni rupa. Meski telah “diilmukan” seiring dengan perkembangan Rasionalisme yang awalnya terjadi di Barat beberapa abad lalu, dunia seni rupa banyak menemukan kontradiksi yang menarik. Seni rupa “diilmukan”, “dinalarkan” dan ada sekolahnya. Seseorang bisa menjadi mahasiswa seni rupa hingga ke strata akademik paling tinggi, yakni di level doktor (S-3). Namun selepas itu tidak secara otomatis orang tersebut mampu bekerja di dunia seni rupa (misalnya melukis) dengan label sebagai seniman. Jalur akademis telah berhenti sekadar menjadikan seseorang menjadi sarjana seni (rupa), namun tidak serta-merta memberi label seniman. Sebutan seniman lebih sebagai label (atau bahkan sebagai “mahkota”) yang dikonstruksi secara sosial, bukan akademik. Malah, dalam dunia seni rupa hari ini, sadar atau tak sadar, diakui atau tidak, ada semacam penjenjangan yang diterapkan dalam penyebutan istilah untuk mengonstruksi sebuah “hierakhi sosial” dalam seni rupa.
Publik seni bisa dengan sadar dan pelahan tahu kalau ada istilah tukang gambar, pelukis, dan perupa (yang lazim pada penyebutan bagi mereka yang bekerja dengan praktik berkarya di seni rupa). Di sini, kata “perupa” seolah menjadi agung karena dia diandaikan bekerja di lingkup estetik dan artistik yang mengelola dunia-gagasan jauh melampaui dunia-bentuk. Artinya, tak hanya melukis (misalnya, bila media ungkapnya seni lukis) namun juga mengelola dunia pemikiran demi kelangsungan karyanya yang konseptual. Sementara kata “pelukis” seolah mengacu pada seseorang yang melakukan praktik melukis dengan lebih banyak penekanannya pada dunia-bentuk ketimbang dunia-gagasan. Dan akhirnya, kata-kata “tukang gambar” seperti mengisyaratkan kondisi seseorang yang melakukan praktik di dunia seni rupa karena ada pihak lain yang lebih kuat yang menyubordinasi posisinya kreatifnya.
Boleh jadi ini sekadar asumsi, rumour, atau apapun namanya, namun pada sebagian kalangan di dunia seni rupa sangat mungkin terjadi dan teralami. Orang yang telah lulus sebagai sarjana seni (rupa), lalu menggeluti dunia lukis-melukis, dan itu telah menjadi pilihan hidup dan profesinya, belum tentu juga dikatakan sebagai pelukis bila yang dikerjakan sekadar “karya” yang mereproduksi citra rupa tertentu secara terus-menerus. Orang yang bekerja dengan dunia lukis(an) dan mampu menciptakan gagasan dan isu yang kuat pada karyanya tersebut, dan bla-bla-bla, maka dia kemudian disebut oleh publik seni sebagai perupa. Situasi ini bergantung pada hal-hal yang kompleks: dengan siapa, dimana, dan bersama isu apa dia berkarya. Sulit dirumuskan secara matematis dan eksak. Semuanya sangat bergantung pada konstruksi sosial yang melingkupi.
Maka, sebagai pelepasan atas kerumitan itu, catatan yang tidak dihasratkan sebagai sebuah catatan kuratorial ini, mencoba memberi sedikit eksplanasi atas ketiga orang yang tengah memamerkan karya ini dengan lebih menekankan pada aspek histori personal, dan tidak terlalu masuk pada praktik kekaryaannya. Ini penting karena sosok Akbar Linggaprana, Sudjadijono dan Totok Sudarto saya kira tak akan memusingkan diri dengan situasi yang terjadi berkait dengan peristilahan “tukang gambar”, pelukis” dan “perupa”—yang kompleks tersebut. Mereka berdua bukanlah pribadi yang berhasrat kuat masuk dalam lingkaran tertentu di dunia seni rupa. Apalagi menyerobot posisi-posisi, atau menjadi agency kepentingan tertentu. Bukan itu. Mereka adalah para pehobi seni yang ingin menuntaskan problem dunia-dalamnya (inner-world) dengan mengekspresikan diri lewat lukisan. Tidak lebih. Dugaan plus tuduhan adanya kepentingan yang melatari mereka masuk dalam dunia seni rupa pun, kiranya sekadar kepentingan untuk bersilaturahmi memperluas cakupan garis silaturahmi. Tak ada yang lain, kawasan Yogyakarta ini telah menghidupi diri sebagai kampus kehidupan bagi siapapun yang tinggal di dalamnya, yang begitu dinamis, yang bahkan memungkinkan seseorang melakukan melakukan rotasi hobi, profesi, atau pilihan hidup. Termasuk beralih menjadi pehobi seni, atau berprofesi di seputar dunia seni (rupa).
           
***

SEBELUM menyimak secara sekilas karya-karya tiga seniman ini, saya tertarik untuk mengutip kalimat-kalimat Affandi Kusuma, saah satu maestro penting seni rupa Indonesia. Kutipan ini telah diceramakan tahun 1953 dalam bahasa Inggris di depan “Cercle Paul Valery”, sebuah debating club untuk “etudes esthetiques” (pembelajaran estetika) dan dipimpin oleh para pemuka dunia seni rupa dan perguruan tinggi di Paris. Ceramah yang dilakukan di gedung Sorbonne itu antara lain mengupas soal emosi dalam seni: “…(s)ekarang saya akhiri (perbincangan) soal emosi dan intuisi. Setiap orang juga punya intuisinya masing-masing dan otaknya. Saya tak bisa banyak katakan mengenai intuisi, sebab sampai sekarang ini masih tinggal sebuah problem bagi saya yang harus saya pecahkan sendiri atau dengan pertolongan orang lain. Sebab saya suka memupuk intuisi saya; memupuk otak gampang, kita (tinggal) pergi ke sekolah. Tapi bagaimanakah saya dapat memupuk intuisi? Saya sadar akan hal ini bahwa bila banyak lukisan-lukisan kurang baik adalah disebabkan kekurangan intuisi itu. Lukisan-lukisan yang seperti itu hanya punya ekspresi, tapi lemah strukturnya. Bila intuisi kuat, hasil lukisan menjadi ekspresif, selain itu juga cukup kuat dalam struktur. Lukisan yang beginilah yang saya mau. Dalam lukisan saya tak suka mengunakan intelek(tualitas) karena dua sebab. Pertama, saya tak suka pada seni yang intelektualistis, sebab ini umumnya kehilangan spontanitasnya. Dan sebab kedua, karena saya seorang yang bodoh, begitu bodohnya, hingga tak sanggup menamatkan sekolah menengah (sekalipun).”
            Kutipan di atas menjadi menarik ketika dihadapkan pada bagian lain dari isi ceramah Afandi yang antara lain berbunyi: “… (e)mosi untuk menyelesaikan lukisan saya itu tidak lama berlangsung. Kira-kira antara dua jam saja. Dan bila saya merasa bahwa emosi itu sudah mulai berkurang dan menjadi lemah, dan saya mulai terikat oleh pikiran-pikiran yang intelektualistis, saya berhenti melukis. Biasanya pada detik yang demikian keadaannya lukisan saya selesai sudah.” Sebetulnya masih banyak persoalan yang diungkapkan Afandi dalam ceramah yang teksnya pernah dimuat oleh majalah “Budaya” edisi 5 & 6, terbitan Mei/Juni tahun 1953 itu. Namun petilan kalimat tersebut telah cukup untuk memberi gambaran tentang pentingnya passion atau hasrat berkarya seni, khususnya bila dihadapkan pada karya ketiga seniman ang berpameran tersebut.
            Karya-karya Totok Sudarto menjadi memiliki titik hubung yang kuat bila menyimak kalimat Affandi di atas. Semua karyanya lahir dalam ekspresi yang kuat dengan melahirkan karya yang cenderung ekspresif. Menilik hampir semua karyanya, apresian akan bisa langsung menduga bahwa titik penting yang diperlukan dalam praktik melukis seorang Totok Sudarto adalah kemampuannya untuk mengolah dan mengontrol emosi. Kontrol itu diperlukan untuk “mengaransemen” problem visual mendasar yang tertoreh dalam kanvas, yakni bagaimana komposisinya, bagaimana keseimbangan antar warna yang ada di atas kanvas, dan sebagainya. Saya sendiri sebetulnya cukup ragu dengan dugaan ini karena ketika melukis dengan pelibatan penuh emosi, sistem kontrol itu menjadi sebuah gelagat intelektualitas tersendiri. Dan ini yang tidak disertakan secara penuh oleh Afandi ketika berkarya. Maka, dalam kanvas-kanvas Totok muncullah beragam karya yang semuanya tidak berupaya keras untuk merepresentasikan bentuk yang ditemukan di kehidupan sehari-hari. Realitas kanvas dalam karya Totok adalah realitas imajinasinya seutuhnya. Problem pada karya seperti ini, menurut saya, ada pada variasi komposisi, pilihan warna, kecakapan dalam memberikan sentuhan tekstur dan system symbol yang perlu dikayakan. Kalau tidak, akan berhimpitan dengan problem seni lukis abstrak pada umumnya, yakni monotonitas bentuk. Dan ini bertalian dengan problem gagasan yang mendasari atau mengonsep semua karya abstrak yang jadi pilihan Totok.
            Ini sedikit berbeda dengan yang dikerjakan oleh Sudjadijono atau Jack. Dia banyak melakukan praktik berkarya seperti yang dilakukan Totok. Namun hal yang dilakukan oleh Totok, bagi Jack, merupakan tahapan awal sebelum dia melakukan visual tour berikutnya. Ada perjalanan visual lanjutan yang dilakukan dalam praktik kekaryaan Jack setelah dia memenuhi kanvas dengan baluran beragam warna dan torehan yang sesuai dengan kehendaknya. Ada cipratan, ada torehan lembut, atau semprotan warna yang tak beraturan muncul dalam kanvas. Namun itu semua baru tahap dasar, sekadar ditempatkan sebagai latar belakang (background). Berikutnya, Jack mencoba menampilkan rentetan narasi yang diangkat dari dunia pewayangan. Saya kira ini menjadi titik lebih Jack yang sejak puluhan tahun sebelumnya tahu, hafal, lalu mengendapkan dengan cukup ciamik atas banyak lakon dalam dunia pewayangan purwa. Kisah-kisah dalam lakon Mahabarata dan Ramayana yang menjadi dasar utama dalam narasi wayang kulit purwa telah banyak disimak dan merasuk dalam sistem memori dirinya. Lalu, setelah sekian lama, kini saatnya digubah dalam bentuk visual yang khas Jack. Kalau kembali menyimak kutipan dari Affandi di atas, tampaknya garapan visual pilihan Jack ini berbeda, meski tidak total atau mutlak. Jack masih memiliki ruang emosi yang begitu kuat dan mendapatkan ruang akomodasi saat mengawali melukis, yakni saat membuat latar belakang. Di situ semuanya bisa secara bebas lepas dilakukan oleh Jack. Sementara berikutnya, gurat-gurat intelektualitas meski mengisi ladang garapan berikutnya. Ini masuk akal karena narasi dalam dunia pewayangan butuh unsur logika. Demikian pula dengan bentuk-bentuk visual yang ada, Jack tidak menggarapnya secara “semena-mena” sesuai imajinasi personalnya. Tidak. Secara visual, dia tetap berusaha untuk taat pada pakem wayang. Namun menarik bahwa dia tidak melakukan secara mentah seratus person. Tetap ada hal yang dia “belokkan” selaras dengan imajinasinya yang ada.
            Pakem lain yang ada dalam diri Jack adalah kuatnya warna dasar kuning yang relatif mendominasi semua kanvasnya. Jack sadar karena itu dilakukan dengan logika. Dia memiliki gambaran bahwa warna kuning itu menjadi simbol dalam struktur kepangkatan di militer di Indonesia. Kuning adalah perwira (tinggi). Bukan yang lain. Dan Jack merasa bahwa untuk mendapatkan posisi sebagai perwira tingi itu tidak mudah. Ada banyak halang-rintang yang rumit, dan oleh karenanya, perlu untuk diabadikan dalam tiap karya.
            Berbeda dengan dua rekannya di atas, karya-karya Akbar Linggaprana relatif paling tegas pilihan visualnya, karena memang memakai pendekatan realisme. Bukan abstrak seperti karya Totok Sudarto, atau relatif penuh ornamen pada karya Jack. Ini juga menyangkut jam terbang yang lebih tinggi di dunia seni rupa ketimbang dua rekannya yang lain. Akbar mengenyam studi di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) hingga selesai tahun 1976, dan dilanjutkan dengan masuk di ASRi dan STSRI “ASRI” hingga lulus tahun 1981.
Ketika Akbar kuliah di STSRI "ASRI“, ada dua hal yang menarik diperbincangkan karena barangkali hal itu memberi kontribusi bagi proses kreatifnya—juga teman-teman seangkatannya. Pertama, kuatnya sistem kontrol negara terhadap semua kisi dunia pendidikan di Indonesia. Ini terindikasikan dengan mulai diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) yang disahkan tahun 1979 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 1978-1983, Dr. Daoed Joesoef. Fakta tersebut memperlihatkan bagian penting dari kian mengentalnya sentralisme negara Orde Baru setelah empat tahun sebelumnya, rezim Soeharto dihantam peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) yang berimbas besar pada tata politik negara. “Normalisasi” versi Daoed Joesoef ini merupakan pendisiplinan terhadap perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang berimbas pada situasi kampus menjadi “suatu wilayah tertutup hampir-hampir menjadi wilayah pemenjaraan”. Bahkan lebih lanjut, derivat (turunan) lain dari sentralisme negara mulai muncul pada kurun waktu itu, yakni proyek Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang dimulai sejak Daoed Joesoef menandatangani buku PMP pertama pada 29 Februari 1980. Setelah momentum itu, penataran P4 menjadi bagian melekat bagi tiap (calon) siswa, mahasiswa dan pegawai negeri sipil tanpa terkecuali.
Kedua, dalam ranah seni rupa, telah tergairahkannya situasi kreatif setelah digalang dengan radikal oleh para seniornya lewat Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 atau lima tahun sebelum mereka mulai kuliah, dan pengaruhnya bergetar hingga tahun-tahun berikutnya. Pameran GSRB pertama di Taman Ismail Marzuki, 2-7 Agustus 1975, yang berlangsung 8 bulan setelah peristiwa Desember Hitam, dianggap oleh banyak peneliti seni sebagai tonggak penting kelahiran seni rupa kontemporer Indonesia. Salah satu kesimpulan atas kelahiran GSRB adalah bahwa “gerakan ini merupakan pemberontakan akademis para perupa muda menentang keyakinan perupa-perupa senior yang kebanyakan mengajar di perguruan tinggi seni rupa”.
            Dua hal itu sedikit banyak ikut mendasari pada substansi karya-karya Akbar yang tidak sedikit berbicara tentang problem sosial politik kemasyarakatan. Dunia seni rupa, baginya, bukanlah dunia yang hampa akan problem.
            Ketiga seniman ini, kiranya layak untuk diapresiasi kehadiranya di orbit seni rupa di Yogyakarta, bahkan Indonesia. Ini sebuah gejala menarik bahwa dunia seni rupa mendapatkan perluasan cakupan partisipannya tidak sekadar dari dunia-dalam seni rupa saja, namun juga merembet  hingga kepada figur-figur yang berlatar belakang militer yang selama ini seolah jauh dari genangan dunia seni. Tiga Rupa Rajawali ingin membuktikan kehadirannya, dan tidak sekadar hadir. Mereka mencoba untuk “menolak takdir”. Semoga! ***

Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa.

(Catatan ini telah dimuat di katalog pameran "3 Rupa Rajawali" di Taman Budaya Yogyakarta, 11-19 Mei 2016)

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?