Nasirun: Narasi Pertarungan dan Pertaruhan
Oleh Kuss Indarto
[Satu: Menuju Yogya, Uang Pintu, dan Bismillah]
MALAM telah
menjemput ketika kereta api jurusan Bandung-Yogyakarta tiba di Tugu, stasiun
kereta api terbesar di Yogyakarta. Ratusan penumpang pun turun dalam keriuhan.
Beragam manusia berjejal membopong tas, koper, dan bawaan lain, bertumbuk
bersama para penjemput yang telah puluhan menit menanti kedatangan kereta
tersebut. Mereka bersengkarut dengan para kuli angkut yang tangkas menawarkan
jasa kepada para penumpang yang penuh terbebani barang bawaan.
Dalam keriuhan manusia itu, ada dua
anak kecil belasan tahun yang terselip di antaranya. Mereka menumpang kereta
api itu dari stasiun Kroya, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sekitar 150
kilometer ke arah barat dari kota Yogyakarta. Langkah kedua anak itu cukup
gontai karena seperti masuk dalam terowongan kenyataan yang belum bisa sepenuhnya
diterima: terombang-ambing antara fakta dan fiksi bahwa dalam beberapa jam
menumpang kereta api, mereka kini telah masuk dalam ruang raksasa bernama kota
Yogyakarta yang relatif besar, ramai, penuh lampu benderang dan riuh dengan
manusia. Ini kontras dibanding suasana dan kondisi dusun Ndoplang, desa Adireja
Wetan, kecamatan Adipala, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah yang barusan
ditinggalkan sesaat menjelang rembang petang datang.
Ya. Nasirun dan Slamet Riyadi nama
dua anak itu. Mereka masing-masing baru beberapa hari sebelumnya dinyatakan
lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 2 Maos, Cilacap dan SMP Pemda
Cilacap, Jawa Tengah. Niatan mereka untuk meninggalkan kampung sudah sangat
bulat. Ada bekal uang saku meski tidak terlalu banyak. Dalam tas, masing-masing
juga membawa pakaian secukupnya ditambah beras beberapa kilogram. Mereka tak
tahu untuk apa beras itu akan dimanfaatkan karena hendak melangkah kemana tujuan
pun belum jelas—apalagi mencari kompor dan panci untuk menanak nasi.
Nasirun dan Slamet Riyadi dengan
pelahan berjalan beringsut menuju sepotong jalan paling legendaris di
Yogyakarta, Jalan Malioboro. Ratusan meter tubuh jalan itu ditelusuri dari ujung
utara hingga di sekitar Gedung Agung dan Kantor Pos Besar berada. Nasirun tak
ingat persis hari dan tanggal mereka tiba di Yogyakarta untuk pertama kalinya
itu. Ingatan yang bisa digalinya adalah pada baliho besar yang terpampang
persis di sebelah gedung Kantor Pos Besar yang kala itu memajang gambar bertema
tentang Gerhana Matahari Total (GMT). GMT sendiri terjadi di tanah Jawa dan
kawasan lain di Indonesia pada tangal 11 Juni 1983. Ya, mungkin sekitar akhir
Mei 1983 atau awal Juni 1983 mereka tiba di Kota Gudheg itu. Baliho di Kantor
Pos itu karya seniman Samsoel yang membuat korporasi bernama Samsoel Group.
Nasirun teringat betul ada sosok Hanoman dalam baliho—yang menurutnya janggal
karena gerhana matahari dalam kisah di dunia pewayangan selalu berkait dengan
Bathara Kala Rahu yang dikisahkan menelan matahari, bukan tokoh kera putih
Hanoman.
Niat dan tekad mereka berdua hingga
menapak di Yogyakarta lebih banyak dibekali oleh keinginan besar untuk
meneruskan studi, khususnya studi seni menggambar yang menjadi minatnya sejak
kecil. Namun mereka tidak tahu sama sekali apa nama sekolah itu, dimana sekolah
itu berada, dan bagaimana caranya masuk serta kapan waktu pendaftaran masuk
sekolah tersebut. Semuanya buta. Semuanya blank.
Mereka tak bisa mendapatkan masukan dari para orang tua di sekitarnya karena
mereka jauh lebih tidak mengerti apalagi paham. Orang-orang di lingkungan
mereka adalah murni para petani yang belum punya kepedulian tinggi terhadap
dunia pendidikan—apalagi pendidikan menengah dan tinggi, terlebih disiplin seni
yang mungkin tak tersentuh dalam alam pikiran mereka.
Antara tekad dan kebimbangan, dua
anak muda itu terus menapaki Jalan Malioboro. Pengalaman yang minim dalam
persentuhan dengan masyarakat lain membuat mereka tambah masalah. Mereka agak
gagap ketika mendengar dan harus berkomunikasi dengan berbahasa Jawa logat
Yogyakarta. Meski sama-sama Jawa, dialek/logat ala Cilacap atau Banyumasan yang
biasa dipakai oleh Nasirun dan Slamet Riyadi cukup berbeda. Bahkan tidak
sedikit kata-kata dalam bahasa Jawa di Cilacap yang tidak dipahami oleh orang
Yogyakarta. Begitu sebaliknya. Bahasa Jawa dialek Banyumas (termasuk di
dalamnya Cilacap) oleh orang luar pemakai bahasa tersebut sering disederhanakan
sebagai bahasa ngapak-ngapak karena
sangat menekankan atau kental ketika mengucapkan konsonan “k” atau “g”.
Sementara orang Banyumas sendiri menyebutnya sebagai bahasa cablaka karena dianggap relatif egaliter
dan penuh keterbukaan. Hierarkhi kebahasaannya tidak sangat ketat seperti dalam
bahasa Jawa khas Yogyakarta dan Surakarta—dengan tingkatan ngoko, krama hingga krama
inggil. Nasirun dan Slamet Riyadi sendiri jarang bercakap-cakap dengan
orang dari latar belakang bahasa yang berbeda membuat mereka berdua lebih
sering berbicara sendiri, tidak banyak mencoba berkomunikasi dengan orang lain.
Begitulah. Malam di Malioboro kian
larut. Manusia yang bertebaran dan riuh pada jam-jam sebelumnya, kini mulai
menyusut. Nasirun dan Slamet mulai gelisah karena tak tahu apa yang harus
dilakukan. Tak tahu pula kemana kaki-kaki kecil yang bercelana pendek itu
hendak dijuruskan. Mereka memutuskan untuk duduk-duduk di sepanjang Jalan
Malioboro. Bukan tidak mungkin mereka berdua akan tidur di situ menunggu pagi
ketika orang-orang membuka lembar kehidupan kembali—karena betul-betul tak tahu
apa yang harus dilakukan.
Gelagat kegelisahan dua anak
tersebut rupanya diperhatikan oleh seseorang yang tengah melintasi Malioboro. “Nuju
naon anjeun? Sedang apa
kamu? Mau kemana?” orang itu dengan serta-merta bertanya pada Nasirun dan
Slamet. Dari bahasa dan logatnya, pastilah dia orang Sunda. Wajah dan sapaannya
tampak ramah meski sepertinya lelah setelah seharian bekerja. Di punggungnya
masih terpikul sepasang wadah besar terbuat dari seng. Dia pedagang kerupuk
rupanya, yang mungkin barusan berkeliling dari kampung ke kampung menjajakan
dagangannya. Dua anak desa itu dengan ragu dan polos menjawab pertanyaan tukang
kerupuk tersebut, bahwa mereka datang ke kota Yogyakarta semata-mata ingin
melanjutkan sekolah menengah atas khusus menggambar, dan tidak tahu sama sekali
alamat sekolah itu.
Tampaknya,
malam itu, si pedagang kerupuk seperti menjadi “malaikat kecil” bagi anak-anak
Cilacap tersebut. Baik Nasirun maupun Slamet Riyadi sudah lupa sama sekali nama
orang itu, namun masih sangat diingatnya bahwa mereka berdua diajak untuk
berjalan mengikuti orang itu menuju rumah kontrakannya di bilangan Soragan,
sebuah kampung sekitar 2 kilometer ke arah barat dari Jalam Malioboro. Kampung
itu persis di sebelah utara rel kereta api. Rupanya, di rumah kontrakan itu
tinggal beberapa tukang kerupuk yang semuanya berbahasa Sunda. Kemungkinan
mereka memang dari daerah yang sama: Jawa Barat. Dengan baik hati anak-anak itu
diberi makan malam dan tempat untuk tidur—tentu dengan segala keterbatasannya.
Kebaikan
tukang kerupuk itu rupanya berlanjut. Paginya, setelah semuanya berbenah,
Nasirun dan Slamet diantar oleh tukang kerupuk dan seorang temannya untuk
mencari sekolah menggambar yang ada di kawasan Yogyakarta. Dua tukang kerupuk
betul-betul meluangkan waktu mereka pagi itu hanya untuk dua anak Cilacap
tersebut. Mereka tidak bekerja seperti biasa, namun berbaik hati mengantar
Nasirun dan Slamet Riyadi sembari bertanya kepada orang yang ditemuinya demi
sang tamu.
Setelah
bertanya ke sana-sini, akhirnya mereka berempat melaju menuju bilangan
Kuningan, Karangmalang—yang tempatnya di Yogyakarta utara, berdampingan dengan
kampus IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta, UNY), atau
sebelah timur kampus Universitas Gadjah Mada (UGM). Tempatnya, kala itu, satu
kompleks dengan Akademi Seni Tari (ASTI) Yogyakarta—sebelum melebur menjadi
bagian dari Institut Seni Indonesia sejak tahun 1984. Di situlah kemudian
Nasirun dan Slamet Riyadi dilepas oleh dua tukang kerupuk untuk mendaftarkan
diri masuk sekolah yang diinginkan dan mimpikannya: SMSR (Sekolah Menengah Seni
Rupa).
***
Langkah besar
pertama sudah direngkuh Nasirun dengan meneruskan studi di Sekolah Menengah
Seni Rupa Yogyakarta. Ini pencapaian pertama dalam keluarganya karena dari
tujuh bersaudara, baru dirinyalah yang bisa menapak naik ke jenjang pendidikan
sekolah menengah atas. Saudara-saudaranya hanya berbekal pendidikan sekolah
dasar. Sebagai anak ke-6 dari pasangan Sanrustam dan Supiah, dia menyadari
bahwa kakak-kakaknya yang sama-sama lahir dan tumbuh di lingkungan pedesaan dan
dalam lingkar keluarga petani, seperti pasrah dan nrimo, mengarus dengan
keadaan sekitar. Namun Nasirun tidak. Dia memiliki krenteg (kekuatan atau passion
dari dalam diri) yang kuat untuk keluar dari arus utama kebiasaan keluarga yang
turun-temurun menjadi petani. Pilihan hidup dan pilihan profesi menjadi petani,
dalam keluarganya, belum memungkinkan untuk berkecukupan secara ekonomis.
Nyaris semua pas-pasan.
Kakak tertua Nasirun, Ruminah
beserta Muhadi, suaminya, dan anak-anaknya meninggalkan kampung halaman Adipala
pada tahun 1970-an menuju ke Sumatera Selatan untuk bertransmigrasi. Keputusan
keluarga Ruminah itu mendasarkan diri pada realitas yang dialami bahwa mereka
ingin melepaskan dari kungkungan kemiskinan dan mencari kemungkinan-kemungkinan
kehidupan yang lebih baik. Keputusan itu juga dialami oleh beberapa tetangga
atau kerabat lain di kampung Doplang. Demikian pula dengan Ahmad Dawam, kakak
Nasirun yang nomer dua. Ahmad Dawam dan istrinya Miskem sekeluarga memutuskan
mengadu peruntungan dengan mengikuti program pemerintah untuk bertransmigrasi
ke Tanah Rencong Aceh sekitar akhir dasawarsa tahun 1970. Kakak yang satu ini
bahkan meninggal di Aceh tahun 2005 silam, lalu anak-anaknya meneruskan hidup
dan beranak-pinak di Nangroe Aceh Darussalam. Pilihan untuk bertransmigrasi
tentu masuk dalam nalar karena sebagai keluarga petani pas-pasan, mereka tak
lagi memiliki lahan pertanian milik sendiri yang berukuran luas. Ayah-ibu
mereka, Sanrustam dan Supiah, telah membagi harta mereka berupa petak-petak
sawah yang tak seberapa luas. Bagi Ruminah dan Ahmad Dawam, harta warisan itu
terlampau kecil untuk digarap dan terpaksa hanya bisa menjadi petani penggarap
bagi sawah orang lain untuk survive.
Realitas ini—lingkaran setan kemiskinan yang terus mengungkung—yang ingin
dipangkasnya dengan cara bertransmigrasi.
Jejak dua kakak tertua itu juga
hendak diikuti oleh Bariyah dan suaminya, Madsuwardi. Bariyah adalah kakak
perempuan Nasirun yang lain—atau anak kelima pasangan Sanrustam dan Supiah.
Pasangan ini juga segera menyusul bertransmigrasi ke Sumatera pada awal
dasawarsa 1980-an. Mereka sudah mendaftar di kantor transmigrasi, bahkan telah
ditentukan di kabupaten dan propinsi mana hendak ditempatkan. Namun pada
akhirnya mereka membatalkan untuk berangkat. Pertimbangannya, Bariyah adalah
anak perempuan satu-satunya yang masih dekat dengan sang ibu, Supiah—yang telah
hidup menjanda sekian lama. Dalam tradisi orang Jawa (atau suku lain di Indonesia),
anak perempuan seperti memiliki “kewajiban” untuk menunggui dan ngopeni (merawat) hari tua ayah ibunya.
Selain mereka, dua kakak dan satu
adik laki-laki Nasirun tetap tinggal di dusun Doplang. Dua kakak laki-laki itu
telah berkeluarga. Rois Hasyim telah berkeluarga dengan dua anak dan tinggal
persis di samping rumah ibunya. Sehari-harinya menjadi petani dan guru mengaji
bagi orang-orang dan anak-anak di kampung. Sementara Ahmad Zaenuri dan
keluarganya menempuh hidup dengan menjadi pedagang obat. Ya, tukang obat
keliling, satu profesi yang cukup langka dan dibutuhkan ketika waktu itu
puskesmas berada jauh di kota kecamatan dan apotik hanya ada di kota kabupaten.
Di antara saudara-saudara Nasirun, kondisi ekonomi Ahmad Zaenuri terbilang
paling mapan. Dialah salah satu orang yang relatif cukup banyak membantu atau
dimintai bantuannya oleh Nasirun (dan saudara lainnya) kala itu.
Keadaan ekonomi keluarga yang
sederhana inilah yang disadari oleh Nasirun untuk tidak bisa banyak menuntut.
Ibunya sudah menjanda dengan warisan berupa sawah yang tidak luas. Sementara
saudara-saudaranya yang lain sudah sibuk dengan kehidupan keluarga dan dunianya
masing-masing. Maka, ketika Nasirun pulang dari Yogyakarta dan mengabarkan
bahwa dirinya diterima masuk sekolah di SMSR, bagi keluarganya itu bukan
sepenuhnya menjadi berita gembira. Itu menjadi tambahan beban keluarga karena
ibu dan saudara-saudaranya segera membayangkan bergepok-gepok uang yang harus
dibawa dan kelak disiapkan untuk menempuh dan menyelesaikan studi di sana.
Ya, Nasirun mau tak mau mesti
merundingkan niatnya yang telah mantap untuk bersekolah di Yogyakarta bersama
ibu dan saudara-saudaranya. Keadaan ekonomi keluarga tak memungkinkan
tersedianya dana demi kepentingan studi. Semuanya pas-pasan. Segalanya bahkan
dalam keadaan terhimpit oleh kebutuhan yang lebih elementer—dan dana untuk
kepentingan sekolah bukan bagian dari perkara elementer itu.
Nasirun, sang ibu Supiah, dan
saudara-saudaranya pada titik kritis itu akhirnya punya keputusan untuk menjual
warisan berupa sepetak sawah yang tak terlalu luas yang tak jauh dari rumah
tinggal ibunya. Itulah satu-satunya warisan yang kelak akan dijatahkan untuk
Nasirun. Sementara petak-petak sawah lain di sekitarnya sudah menjadi bagian
yang diwariskan untuk saudara-saudara lainnya. Memang masih ada pekarangan
berikut rumah berdinding bambu dan berlantai tanah yang masih ditempati oleh
satu-satunya orang tua yang tersisa itu. Namun itu sudah menjadi jatah yang
kelak diwariskan untuk adik bungsunya, Komarudin.
Persoalan pun kembali muncul:
bagaimana mungkin menjual sepetak sawah dalam waktu yang singkat? Tentu tak
mungkin menguangkan sawah dalam hitungan hari karena keluarganya tak punya
akses pada kaum hartawan, sementara orang-orang di sekitarnya relatif homogen
kondisi ekonominya—kurang lebih sama kekayaannya dengan keluarga Nasirun.
Sedangkan Nasirun harus secepat mungkin mendapatkan uang yang cukup besar untuk
membayar sekolah sekaligus biaya hidup beberapa bulan di Yogyakarta. Nasirun ngedrel (mendesak) terus pada ibunya
untuk mendapatkan uang. Imajinasinya untuk hidup dan bersekolah di Yogyakarta
sudah kian meletup-letup, tak bisa dicegah lagi.
Ketika semuanya nyaris menemui jalan
buntu, sang ibu mengusulkan tawaran solusi yang tak dibayangkan sebelumnya oleh
Nasirun: menjual pintu kayu berikut ambangnya (gawangan-nya) termasuk sepasang jendela kecil, yang semuanya berada
di dalam rumah dan difungsikan sebagai pembatas antara ruang tamu/depan dan ruang
tengah. Semuanya terbuat dari kayu jati, kayu terbaik di Jawa. Glek! Nasirun terhenyak oleh pilihan
solusi ibunya yang dianggap begitu ekstrem dan berani. Bagaimana mungkin
interior rumah yang selama ini tertata rapi—meski dalam kesederhanaan—harus
berubah dan berkurang karena ada pintu dan jendela yang dicopot karena dijual?
Kenapa dia begitu ikhlas berkorban bahkan dengan “menggerogoti” rumahnya yang
sudah begitu sederhana? Nasirun terharu dengan keputusan ibunya itu.
Akhirnya pilihan solusi itu jadi keputusan
keluarga. Semua setuju. Namun praktiknya juga tidak sederhana. Menjual sepasang
daun pintu dan jendela berikut ambangnya—dalam waktu cepat—juga bukan perkara
mudah. Apalagi di desa. Rundingan keluarga pun berlanjut. Hasilnya, keluarga
kakak Nasirun, pasangan Bariyah-Madsuwardi diminta untuk membeli pintu dan
jendela berikut gawangan-nya
tersebut. Mereka setuju karena pertimbangan bahwa sang adik harus secepatnya
dibantu pembiayaan sekolahnya yang sedang mendesak, dan kalau ada transaksi
jual-beli barang dalam keluarga itu, toh barang tersebut masih menjadi milik
keluarga besar, tidak lepas ke orang lain. Bagi sang ibu, Supiah, praktik itu
dirasa lebih santun karena dia tidak menggantungkan tanggung jawabnya sebagai
orang tua pada Nasirun dengan tanpa “modal”. Pintu dan jendela yang menjadi
aset dalam rumahnya dijadikan “modal” untuk ditransaksikan dengan Bariyah
anaknya. Dan itu untuk kepentingan anaknya yang lain, Nasirun.
Bariyah-Madsuwardi membeli pintu berikut gawangan
dan jendela itu seharga Rp 70.000,- (tujuh puluh ribu rupiah). Angka itu,
sekitar Juni 1983, tentu sangat besar nilainya. Sebagai gambaran pembanding,
Bappenas (Badan Perencana Pembangunan Nasional) mencatat harga beras di
Yogyakarta pada bulan Maret 1983 sebesar Rp 273,92,-/kilogram. Nilai kurs 1
dollar AS kala itu sama dengan Rp 970,- (sembilan ratus tujuh puluh rupiah),
dan harga perliter bensin premium masih Rp 320,- (tiga ratus dua puluh rupiah).
Semua uang hasil penjualan pintu
diserahkan untuk Nasirun. Itulah salah satu modal penting bagi anak muda
tersebut dalam pertaruhan pada jalan hidupnya di tahun-tahun berikutnya. Itulah
“uang pintu” yang mampu menjadi “pembuka pintu” bagi perubahan nasib diri
Nasirun (dan keluarganya) ke depan. Supiah berani mempertaruhkan pintu, jendela
dan gawangan-nya yang terbuat dari
kayu jati pilihan itu demi jejak-jejak masa depan salah satu anaknya yang juga
berani menerabas mencari jalan hidup berbeda ketimbang anak-anak Supiah yang
lain. (Setelah pintu dan jendela berpindah tangan ke rumah Bariyah-Madsuwardi,
lembaran kandhi (karung beras yang
terbuat dari plastik) menjadi penutup antara ruang tamu dan ruang tengah rumah
Supiah).
Tak lama Nasirun pulang ke rumah.
Setelah mendapatkan uang dan bekal lainnya, dia berpamitan hendak berangkat ke
Yogyakarta dan resmi akan menjadi siswa SMSR. Dengan teduh ibunya berujar: “Inyong mung bisa nyangoni Bismillah.”
Aku hanya bisa memberi bekal Bismillah.
Bismillah, tentu, merupakan kependekan dari kalimat dan doa bagi pemeluk
agama Islam, Bismillaahir rahmaani rahiim
(dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Doa ini diucapkan
untuk memulai segala sesuatu. Bagi Nasirun—bertahun-tahun kemudian—bekal
almarhumah ibunya itu dirasakan begitu sederhana namun penting, menyentuh
kedalaman perasaan, dan berarti bagi semua rentetan perjalanan hidup dan
kariernya dalam berkesenian. Ibunya yang digambarkan oleh Nasirun sebagai sosok
dengan pendalaman spiritualitas mumpuni itu sebelumnya sempat aktif sebagai
penganut kepercayaan Sunda Wiwitan di tanah kelahirannya di Cikembulan, Ciamis,
Jawa Barat. Sangu (bekal) dari ibunda
itu kelak di kemudian hari selalu menjadi pangeling-eling
(pengingat) ketika dia menjalani atau menghadapi berbagai persoalan hidup.
***
[Lima: Seniman Pasar, Tradisi, Buraq]
Kini, pencapaian
Nasirun telah banyak, tergantung dari perspektif mana dia akan dilihat. Dari
kuantitas berpameran, misalnya, seniman ini nyaris begitu sibuk tiap hari, tiap
waktu. Sebagai contoh, tahun 2014 dia mengikuti pameran kolektif sebanyak 9
kali, lalu tahun 2015 karya-karyanya telah terdistribusi dalam 19 pameran
kolektif, dan tahun 2016 ini—di luar pameran tunggal—Nasirun mengikuti sekitar
12 pameran. Nyaris tiap bulan selalu ada karya yang dieksposisikan kepada publik
di dalam negeri maupun di mancanegara.
Meski ukuran kuantitas berpameran
tidak secara mutlak berbanding lurus dengan kualitas karya dan pameran, namun
ada poin yang pantas diketengahkan untuk konteks ini, yakni ada produktivitas
dari seniman yang tak bisa diabaikan, karena dari faktor itu juga menyeruak
kreativitas. Kuantitas pameran atau banyaknya undangan pameran itu juga
mengisyaratkan adanya pengakuan atau akseptabilitas masyarakat seni rupa
terhadap karya dan reputasi Nasirun. Logikanya sederhana, bahwa seorang seniman
akan banyak menerima tawaran berpameran karena pertimbangan kualitas karya dan
bangunan reputasi seniman yang bersangkutan. Nasirun juga mengaku sulit untuk
menolak ajakan berpameran. Hampir semua ajakan pameran nyaris diiyakan, mulai dari
biennale seni rupa, pameran di sebuah galeri prestisius di Tokyo, art fair di Hongkong, hingga pameran
untuk acara tujuhbelasan pada sebuah kampung. Sepanjang masih cukup waktu dan
ada kesiapan karya, pasti akan disangupinya untuk ikut.
Pada konteks tertentu, orang atau
pihak yang mengundangnya karena ada pertimbangan tambahan, misalnya,
kemungkinan daya serap pasar yang relatif bagus terhadap karyanya. Bisa
dipahami kalau pameran seni rupa antara lain bertendensi pada pencapaian pasar,
maka pertimbangan untuk membawa karya dari seniman yang marketable jadi sangat penting.
Dengan nada bercanda Nasirun tidak
jarang mendaku diri sebagai seniman pasar. “Inyong
kiye bakul,” selorohnya dalam bahasa Jawa gaya Banyumasan. “Saya itu
seorang pedagang.” Ini sebuah ujaran yang sengaja dilontarkannya untuk mengarus
pada anggapan beberapa pihak—termasuk sebagian seniman yang merasa paling kuat
idealisme berkeseniannya—bahwa dia seolah-olah seniman yang hanya berorientasi
pada market. Seloroh Nasirun di atas
adalah siasat yang dipakainya untuk menghindari debat yang tidak produktif tentang
“seniman pasar” versus “seniman idealis/wacana”. Dia siap pasang badan atau
pasrah kalau dibilang sebagai “seniman pasar”, namun tetap berupaya keras menggeluti
dunia seni rupa dengan senantiasa melakukan ekplorasi dan eksperimentasi atas
gagasan, konsep, medium dan eksekusi visual. Dia melakukan antitesis atas
anggapan bahwa dirinya “seniman pasar”. Siasat kreatifnya itu pelan-pelan
disadari sebagai sebuah bentuk perlawanan yang meminimalkan konflik, namun
hasilnya cukup menohok memukul balik para pengritiknya. Nasirun bukanlah
“seniman pasar” yang sepenuhnya tunduk pada kemauan pasar, namun justru
sebaliknya, menghindari kontrak-kontrak dengan lembaga pelaku pasar seni rupa
yang menjerat idealismenya. Karyanya secara gradual menemu hal yang baru dan
segar, baik secara kebentukan maupun gagasan.
Kira-kira, apa yang membuat karya
Nasirun memiliki magnet tersendiri dalam peta seni rupa di Yogyakarta dan Indonesia?
Ini bukan pertanyaan mudah karena akan menemui kompleksitas persoalan yang
melingkunginya. Kita bisa merunut pada konsep dasar dari proses penciptaan
Nasirun tahun 1993 saat dia berpameran tunggal di Mirota Gallery.
Konsep itu dijuduli “Proses Menggauli Budaya Nenek Moyang”
yang selengkapnya berbunyi: Berawal dari
kecintaan saya dengan pertunjukan wayang kulit. Sebuah tontonan yang penuh
dengan cerita yang di dalamnya terkandung banyak pesan, gambaran kehidupan
manusia di dunia, serta watak-watak yang dimilikinya. Dari hal tersebut,
kemudian saya tertarik akan bentuknya, ornamen-ornamennya, serta
warna-warnanya. Lebih-lebih kekuatan stilisasinya, merupakan daya tarik yang
demikian kuat. Lebih-lebih lagi adalah nilai-nilai filsafat yang dikandungnya.
Dalam lukisan-lukisan saya, wayang saya gunakan sebagai penggambaran perilaku
umat manusia. Itulah salah satu proses kreasi saya dalam melukis, berusaha
ingin memadukan pengalaman-pengalaman tersebut, dengan kemampuan teknik yang
saya peroleh lewat bangku akademik. Kemampuan pikiran saya, ditambah dengan
kemampuan teknik yang saya peroleh lewat bangku akademik, menjadi suatu lukisan
yang penuh dengan cerita. Cerita-cerita tersebut kadang-kadang lepas dari
peristiwa yang sesungguhnya, namun kadang-kadang mirip dengan cerita yang
sesungguhnya. Demikianlah seni lukis saya. Yang bermula dari kenangan terhadap
pertunjukan wayang di saat saya masih anak-anak, kemudian timbul tuntutan untuk
lebih memahami ceritanya, falsafahnya, serta berbagai cerita lainnya (di luar
cerita wayang) yang demikian banyak dan mengesankan. Kesemuanya itu akan saya
coba untuk menggalinya, yang pada akhirnya nanti akan memberikan ciri khas
lukisan-lukisan saya.”
Konsep tersebut nyaris sama persis
dengan konsep pameran Tugas Akhirnya di Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI
Yogyakarta tahun yang sama—karena sebagian karya yang dipamerkan di Mirota
Gallery memakai materi karya dan garis kreatif yang masih serupa.
Konsep ini mengindikasikan banyak
persoalan yang kiranya masih relevan untuk terus dikuliti karena visualisasi
atas konsep tersebut masih terus mengendap pada karya-karyanya hingga kini. Karya
Nasirun masih identik dengan dunia wayang, dan wayang nyaris selalu
mengisyaratkan perbincangan tentang ornamen, detail, sistem simbol visual, semiotika,
hingga filsafat dan lainnya. Wayang dalam karya Nasirun bukanlah wayang dengan
visualisasi yang an sich, tertib
secara visual seperti halnya yang dapat disaksikan dalam pergelaran aslinya,
namun sudah digubah sedemikian rupa menurut versi Nasirun. Hal yang masih
menguat adalah spirit, dan narasi tentang wayang yang merepresentasikan atas
segala hal dan peristiwa yang terjadi dalam realitas sosial kekinian. Baginya,
wayang selalu aktual untuk masuk dalam segala ruang dan waktu. Wayang dapat
digubah melampaui aspek ruang dan waktu.
Dalam pengamatan saya, dari
karya-karya Nasirun yang dibuat dan dipresentasikan dalam pameran tunggal
pertamanya tahun 1993 hingga pameran tunggalnya tahun 2016 ini (23 tahun
kemudian), ada figur yang setia muncul pada satu-dua karya, yakni kepala/wajah
perempuan berambut panjang dan bertubuh kuda. Misalnya dalam lukisan bertajuk “Misteri Blawong” (1993, cat minyak di
atas kanvas, 145 x 90 cm) pada pameran tahun 1993 di Mirota Gallery. Tujuh
tahun kemudian saat berpameran tunggal dengan tajuk “Ojo Ngono”, Oktober 2000 di Galeri Nasional Indonesia, karya yang
di dalamnya mengetengahkan figur serupa ada pada lukisan berjudul: “Selamat Datang Blawong” (2000), “Imaji Nafsu” 1995), “Imaji Manasar” (1995), dan “MIsteri Blawong I” (1994). Dan
sekarang, 16 tahun kemudian, kembali ada dua patung perempuan betubuh kuda,
terbuat dari resin setinggi 175 cm.
Sosok kepala perempuan bertubuh
kuda, atau sebaliknya figur kuda berwajah perempuan itu mengingatkan pada sosok
yang teridentifikasi sebagai buraq,
yakni sosok binatang ajaib yang terlibat dalam peristiwa spiritual terbesar
pada sejarah Islam ketika Nabi Muhammad menjalani Isra-Mi’raj. Sosok ini juga
serupa dengan pegassus yang ada dalam
kultur Yunani. Memori orang Indonesia, khususnya orang Jawa, mengenal sosok buraq tidak muncul seketika dan tidak
selalu mengacu pada visualisasi yang berasal dari Timur Tengah serta narasi
sejarah spiritual Islam, tapi mula-mula lebih dekat pada acuan visualisasi
wayang yang merujuk pada epos Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India.
Epos Ramayana dan Mahabarata sendiri
masuk ke Indonesia bersamaan dengan kedatangan agama Hindu diperkirakan terjadi
pada abad pertama masehi—jauh sebelum Islam masuk. Ada banyak karya seni dan
karya literer kuno di Jawa masa lalu yang diduga merupakan tafsir terhadap
kedua epos tersebut. Hingga kini telah banyak variasi visual tentang sosok itu dalam
dunia perwayangan yang khas Jawa dan tidak mengadopsi mentah-mentah dua epos
India tersebut. Ada upaya pembumian teks atau visualisasi itu. Sekurang-kurangnya,
dalam rentang 15 abad telah terjadi modifikasi alur epos maupun penciptaan visualisasi
tokoh-tokoh utamanya. Kedatangan Islam ke Jawa ikut menyumbang pengaruh atas perkembangan
literer dan visual perwayangan, baik kandungan filosofis maupun aspek
visualnya. Tapi secara umum, rujukan pada kedua epos tersebut tetap sangat
kuat. Visualisasi sosok kuda terbang yang mirip dengan sosok binatang buraq, dalam tradisi perwayangan Jawa,
beberapa kali muncul bukan sebagai binatang tunggangan belaka melainkan sebagai
penjelmaan tokoh misterius (tak berasal-usul) dan di antaranya ada yang kawin
dengan manusia dan melahirkan orang sakti.
Menurut Wicaksono Adi, binatang ini
hadir sebagai sosok infra-human sekaligus supra-human, yang lebih rendah
sekaligus lebih tinggi dari manusia. Maka ia tak dapat muncul pada sembarang
waktu dan sembarang tempat. Domisili, sejarah dan wataknya pun tak dapat
ditentukan dengan pasti. Ia samar dan sukar dirumuskan.
Penghadiran sosok perempuan atau
manusia bertubuh kuda, atau kalau dipahami sebagai buraq, seperti diandaikan oleh Nasirun sebagai sebuah medan
penyemangat bagi dirinya. Dia seperti ingin dibawa makhluk serupa itu untuk
menuju situasi yang berbeda, yang lebih baik, menemu keajaiban hidup dengan
perubahan nasib yang jauh berbeda dari sebelumnya. Tak berlebih kiranya kalau buraq itu banyak terbenam dalam
kanvasnya, atau karya-karya dengan medium lainnya, karena barangkali itu serupa
doa dan pengharapan dari Nasirun untuk mengubah jalan hidup menjadi penuh
keberuntungan. Ya, Nasirun sendiri yang tahu persis bagaimana perubahan itu
terjadi dan terasa dalam dirinya, luar dan dalam, lahir dan batin. Setidaknya sejak
dia dan sahabatnya, Slamet Riyadi, tigapuluh tiga tahun lalu nekad pergi ke
Yogyakarta naik kereta api—bukan naik buraq.
***