Operasi: Perca-perca Aksi Kreatif dan Aksi Sosial
(2 lukisan karya Operasi Rachman Mochamad yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta, Juli 2016)
Oleh Kuss
Indarto
Tahun ajaran 1986/1987
belum berakhir. Pengumuman kelulusan bagi para siswa kelas 3 di SMA di Jember—juga
di kawasan lain di Indonesia—belum berlangsung. Namun, Mohamad Operasi Rahman
sudah bikin geger keluarga dan sekolahnya, SMAN 2 Jember, Jawa Timur. Ketika
itu pertengahan tahun 1987. Dengan
berbekal uang sekitar Rp 50.000,- dan pakaian secukupnya, anak muda ini
memutuskan minggat—pergi tanpa pamit. Tujuannya jelas: melarikan diri ke kota impian,
Yogyakarta. Dengan menumpang kereta ekonomi jurusan Jember-Yogyakarta,
pagi-pagi, berangkatlah dia dengan segala kenekatannya.
Kota Yogya menjadi
titik pengharapannya yang begitu besar untuk dituju dan ditinggali. Operasi
ingin betul menjadi seorang seniman dan dihidupi oleh atmosfir kota Yogyakarta
yang nyaman, yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangan peradaban dan
kebudayaan, juga terutama kesenian. Persentuhan pertamanya dengan Yogyakarta
berikut aura kesenian yang melingkupinya terjadi tahun 1981. Ketika itu Operasi
masih studi di bangku sekolah dasar kelas 6. Saat liburan sekolah, dia
berkeinginan berkunjung ke Yogyakarta. Banyak tempat-tempat standar yang biasa
jadi destinasi wisata bagi para pelajar atau wisatawan dikunjunginya. Dia ke
sana-sini, waktu itu, diantar oleh Nafi, kakak sepupunya yang kuliah di Akprind
(Akademi Perindustrian) Yogyakarta—dan kos di bilangan Purbonegaran, sisi
belakang-utara kawasan bisnis Jalan Solo (sekarang Jalan Urip Sumohardjo).
Menjelang sore, setelah kemana-mana, seperti tanpa sengaja Nafi dan Operasi
melewati kawasan kampung Gampingan, Wirobrajan. “O iya, ini adalah kampus seni
rupa. Namanya ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia,“ jelas Nafi. Operasi
mengangguk-angguk.
“Kamu kan suka
menggambar, Op. Nak, kalau kamu ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi dan
ingin menjadi seniman, kamu bisa sekolah di sini,” papar Nafi lebih jauh
menjelaskan. Saudara sepupunya—Operasi—tampak tertarik. Lalu dia ingin sebentar
saja diajak masuk ke lokasi kampus ASRI (waktu itu sudah menjadi sekolah
tinggi, namanya STSRI “ASRI”}. Namun Nafi menolaknya. “Jangan sekarang.
Kapan-kapan saja. Ini sudah sore. Suatu ketika pasti kamu akan bisa ke sini
lagi,” kenang Operasi menirukan kalimat-kalimat kakak sepupunya itu.
Pada kesempatan itu
Nafi diberi narasi tambahan yang lebih menggugah perasaan Operasi. Dari pintu
gerbang kampus STSRI “ASRI”, mereka berdua beringsut sedikit ke arah utara.
Masih di Jalan Gampingan. “Kamu tahu rumah bagus di pojokan jalan itu. Itu
rumah seniman top Indonesia. Namanya Amri Yahya. Tahu kan? Itu lho, yang jadi
model iklan cat tembok merek Amco,
produknya ICCI,” terang Nafi dengan runtut. Operasi manggut-manggut dan
mengiyakan tiap kata yang dilontarkan saudaranya. Ya, dia ingat betul dengan
iklan cat tembok di pesawat televisi yang tertayang sekitar akhir dasawarsa
1970-an (waktu itu channel-nya hanya
TVRI). Ingatan tentang pengalaman melihat iklan itu masih membekas di batok
kepala Operasi kecil.
Di bangku kereta api
ekonomi jurusan Jember-Yogyakarta, tahun 1987 itu, bayangan tentang
pengalamannya liburan ke Yogyakarta sekitar 6 tahun sebelumnya juga kembali
mencuat. Dan kali ini dia datang kembali menuju kota impiannya. Seperti
menjemput lagi impiannya. Menjelang sore, kereta api berhenti di stasiun Tugu,
persis di pusat kota Yogyakarta. Keluar dari stasiun terbesar di Kota Gudheg
itu, dengan pelahan dia berjalan menyusuri jalur paling legendaris di situ:
Jalan Malioboro.
Operasi datang ke
Yogyakarta kali ini, sebenarnya, dalam kondisi psikologis yang berbeda. Ada
kegalauan di sana. Dia terpaksa harus minggat dari Jember karena sudah merasa
ada pesismisme dalam benaknya bahwa dia tidak akan lulus SMA. Pasalnya, menurut
versi Operasi tentu saja, di awal-awal masuk kelas 3 dia beberapa kali protes
kepada para gurunya perihal keberadaan mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa). Dia merasa bahwa mata pelajaran tersebut kurang menarik
lantaran banyak kepentingan dan muatan politisnya ketimbang untuk penyadaran
dan pembelajaran bagi para siswa dalam soal pengetahuan sejarah yang obyektif. Tak
banyak hal yang bisa didapatkan dari pelajaran tersebut. “Itu mata pelajaran
bikinan Soeharto yang dipakai untuk mengawetkan kekuasaan Orde Baru yang dengan
cara memaksa didoktrinkan pada anak-anak. Termasuk aku,” tutur Operasi dalam
sebuah percakapan awal Juli 2016.
Sebagai bentuk protes,
maka kalau pelajaran PSPB itu akan berlangsung, dia “menghilang”—entah pergi ke
kantin sekolahan atau pulang. Aksi ini dilakukannya beberapa kali hingga
kemudian dilaporkan oleh bu Sutiyem dan pak Ratiban—guru pelajaran PSPB—kepada kepala
sekolah SMAN 2 Jember, ibu Susi. Kepala sekolah pun memanggilnya setelah aksi
pembolosan itu berlangsung sekian kali. Operasi tetap berupaya bersikukuh kalau
pelajaran itu tidak menarik, penuh doktrin Negara, meski dalih dari kepala
sekolah jelas, bahwa pelajaran itu bukan usulan dari Jember namun sudah jadi
keputusan struktural yang diberlakukan di seluruh sekolahan di Indonesia.
Sebagai “serangan balik” yang telak atas kebandelan Operasi, kepala sekolah
kemudian menawarkan opsi: “Kamu memilih kami keluarkan dari sekolah ini, atau
tetap bertahan dengan aturan main sekolah?!”
Apapun, opsi itu
membuatnya berpikir ulang tentang banyak hal: tentang masa depannya yang masih
panjang. Namun juga terlintas pikiran bahwa sekolah ini bukan satu-satunya
jalur yang akan mengantarkannya ke masa depan. Masih ada jalan lain. Operasi
“keder” juga dengan ancaman sang kepala sekolah. Akhirnya dia memilih untuk
tetap bertahan menjadi siswa SMAN 2 Jember. “Aku hanya ingin tetap menyenangkan
hati orang tua kalau aku masih bersekolah”, kenang laki-laki berambut gondrong
kelahiran Jember, 26 September 1968 ini. Maka, untuk menutup gelagat
perilakunya yang “kurang senonoh” itu, surat peringatan atau pemberitahuan
tentang perilaku sang anak yang ditujukan kepada orang tuanya—dari sekolahan—tidak
pernah disampaikan ada bapak-ibunya. Dia terima, baca, lalu disobek. Perilaku
ini memang sangat memunginkan terjadi karena sejak masuk SMA, Operasi dan
beberapa adiknya tidak hidup serumah dengan orang tua. Dia dan
saudara-saudaranya dibelikan rumah di kota Jember, tidak jauh dari sekolahan,
sementara orang tuanya—pasangan Syaiful Rachman dan Menik Tri Yulisasi—tinggal
cukup jauh di kecamatan yang berbeda. Ini membuat keseharian Operasi kurang
cukup terkontrol oleh orang tuanya.
Aksi protesnya pada
pelajaran PSPB itu, juga ancaman sang kepala sekolah, menjadikan Operasi cukup
kehilangan gairah untuk masuk sekolah. Kemudian dia tidak jarang masuk sekolah
dengan malas-malasan. Kadang baru masuk setelah jam istirahat pertama. Atau
setelah jam istirahat kedua langsung kabur. Begitu seterusnya. Aksi ini
kemudian dipantau oleh para gurunya, dan diantisipasi oleh sekolah. Misalnya,
ketika dia sudah datang ke sekolah dengan naik sepeda motor, maka tanpa
sepengetahuan Operasi, kendaraannya itu dipasangi rantai dan digembok oleh guru
atau penjaga parkir sekolah. Aksi-aksi lucu masa lalu Operasi itu, menurutnya,
cukup memberi sinyal ketakutan bagi siswa lain. Kalau ada yang “ngeyel”,
membangkang, atau melakukan tindak indisipliner, para siswa akan diperlakukan
seperti Operasi Rachman. Akan “di-Operasi-kan”.
***
Akhirnya, pada sebuah
sore di tahun 1987 itu kereta yang membawa Operasi dari Jember dengan tiket Rp
5.000 sampai di Yogyakarta. Setelah menyusuri jalan Malioboro, dia menemui seorang
teman yang berasal dari Jember dan tinggal di kawasan Langenastran, sekitar
Kraton Yogyakarta.
Dia memulai hidup
dalam “pelarian” dari orang tuanya, dari teman-teman sebaya dan selingkungannya
di Jember yang dilakoni belasan tahun. Sekarang mencoba malakoni improvisasi
hidup yang mungkin tanpa banyak rencana, namun ada target besar dalam dasar
batinnya: menjadi seniman.
Ide awal yang pertama
dilakukannya adalah berkunjung ke Museum Affandi di tepian sungai Gajah Wong
yang legendaris itu. Ya, kepada sang maestro seni rupa Indonesia Operasi
memalingkan perhatiannya, dan berupaya mencari perhatian. Hari-hari setelah
tiba di Yogyakarta, dia nyaris tiap hari ke rumah, studio sekaligus museum sang
pelukis besar Indonesia tersebut. Awalnya dia diantar oleh temannya. Berikutnya,
tiap hari dia ulang-alik berjalan kaki dari kawasan Langenastran menuju ke
Museum Affandi. Waktu itu, karena ketidaktahuannya atas peta kota Yogyakarta,
dia melalui jalan yang cukup jauh: berangkat dari daerah Kraton, lalu ke utara
melewat Malioboro, Mangkubumi, lalu berjalan lurus ke timur hingga Museum Affandi.
Begitu pula ketika berjalan menuju pulang. Rutenya sama. Sama-sama jauhnya.
Di kediaman Affandi
dia awalnya datang sebagai tamu museum: melihat-lihat karya lukisan. Ketika
mengetahui ada sosok Affandi dalam lingkungan museum, Operasi datang mendekat,
dan mengobrol. Hari-hari berikutnya dia datang lagi, dan datang lagi menuju
museum, kemudian berusaha keras untuk dekat dengan Affandi. Dia datang dengan
membawa segumpal tembakau yang dibawanya dari tanah Jember. Sang maestro
tertarik. Bahkan kemudian bercerita banyak tentang seniman seangkatannya yang
aktif di Lekra, Trubus, yang juga suka merokok dengan bahan tembakau Jember. “Pintu
masuk” Operasi lewat tembakau cukup memberi angin bagus untuk mendekati
Affandi. Dari situlah kemudian pada waktu-waktu berikutnya dia bisa dengan
leluasa datang mengunjungi ayahanda Kartika Affandi itu.
Kesempatan untuk
belajar sembari menimba ilmu terbuka sedikit baginya. Maka, celah itu
dimanfaatkannya dengan positif. Operasi mengunjungi idolanya itu dengan lengkap
membawa kertas gambar, tinta atau alat gambar lainnya. Di sana dia ikut
menggambar menjejeri sang maestro. Hatinya makin melambung ketika Affandi
sempat mengeluarkan sedikit komentar: “Kamu bisa menggambar. Belajarlah terus”,
kenang Operasi.
Namun peluang untuk
meneruskan berguru pada Affandi tersendat. Beberapa waktu setelah itu, asisten
pribadi Affandi, Munandar, mengajaknya berbicara ketika Operasi datang kembali
ke museum. Singkat kata, dia tidak lagi diperkenankan untuk terus-menerus
mengunjungi Affandi, apalagi melukis atau menggambar bersama di lingkungan
studio sang maestro. Operasi tidak tahu persis, apakah pesan itu betul-betul
dari Affandi lewat asistennya, atau memang sang asisten kurang menyukai kehadiran
anak muda “antah-berantah” itu. Operasi hanya bisa mengenang “sesi penutup”
pertemuannya dengan seniman besar kali itu lewat pesan yang terus diingatnya.
“Kamu bisa menggambar. Teruskan bakatmu dengan masuk kuliah di ASRI”, pesan
Affandi. Secara konkret Affandi juga langsung memberikan uang tunai sebanyak Rp
40.000, yang dibumbui pesan: “Ini untuk biaya awal kuliahmu di ASRI.” Operasi
terpukau dengan pesan dan pemberian yang tak diduganya itu. Mungkin itu semacam
tanda “PHK” dari Affandi agar tak lagi “mengganggunya” bekerja di studio.
Mungkin juga itu isyarat serius bahwa Operasi punya bakat dan tak bisa
disia-siakan hanya dengan belajar tanpa sistem pengajaran yang baik.
Dia cukup terpukul
dengan keputusan yang disampaikan oleh Munandar itu. Tapi apa boleh buat,
Operasi sadar dia bukan siapa-siapa. Pada sisi lain, dia ingin tetap bertahan
di Yogyakarta meski harapan untuk menjadi seniman itu bukan tujuan dengan
langkah yang selalu mulus. Oleh Operasi, uang pemberian Affandi itu dibawanya
ke pasar Beringharjo, dan dibelikan sebuah gitar. Harganya Rp 30.000. Pikiran
Operasi waktu itu masih sederhana: “Aku harus bertahan dengan hidup mandiri di
Yogyakarta. Dan dengan sebuah gitar, aku bisa menjadi pengamen jalanan, dan
dari situlah aku bisa menyambung hidup.” Begitulah kemauannya.
Namun tanpa dinyana,
saudara-saudara sepupunya yang kuliah di Yogyakarta mulai mencium gelagat bahwa
Operasi melarikan diri di kota ini (dari Jember). Pada bulan kedua setelah
minggat, dia “ditemukan”, dan dipaksa untuk pulang ke Jember. Apa boleh buat,
akhirnya Operasi menuruti saran saudara-saudaranya, juga pesan orang tuanya,
untuk pulang kampung dan kembali menuntaskan studinya.
Pulang ke kampung pun
dia tak bisa lama. Ayahnya menghendaki dengan keras bahwa anaknya yang nomer 2
ini harus menyelesaikan studi tingkat SMA-nya. Operasi mengakui bahwa dia juga
berkeinginan untuk lulus SMA, tapi merasa tidak mungkin balik lagi ke SMAN 2
Jember. Kondisi psikologisnya terasa tidak mungkin lagi cocok ketika bertemu
dengan lingkungan di situ. Ada beberapa guru yang kurang suka dengan
perilakunya, juga mungkin sebagian temannya. Itu tak baik bagi kelangsungan
studinya. “Baiklah, terserah apa maumu, yang penting kamu lulus SMA,” kenang
Operasi pada desakan sang ayah.
Sebagai titik solusi,
akhirnya Operasi memilih memutuskan untuk meneruskan sekolah di sebuah SMA
swasta, SMA Widya Mataram, di bilangan Ngasem, Yogyakarta (dekat pasar hewan,
waktu itu). Operasi tampaknya sudah merasai getar kecocokan dengan atmosfir
Yogyakarta yang telah dimimpikannya sejak lama. Dan, akhirnya, dengan segala
keterbatasan dia tahun berikutnya, 1988, berhasil lulus SMA. Pintu masuk ASRI—yang
sejak tahun 1984 berganti nama menjadi Fakultas Seni Rupa dan Disain, Institut
Seni Indonesia (FSRD ISI) Yogyakarta—terasa sudah membayang di pelupuk mata.
***
Pertengahan tahun
1988, akhirnya, nama Mohamad Operasi Rahman menjadi salah satu mahasiswa
Program Studi Seni Lukis, di lingkungan FSRD ISI Yogyakarta. Beberapa rekan seangkatannya
antara lain Ugo Untoro, Indarto Sukmo Nugroho, Threda Mairayanti, Heryanto
Asmara. Di Program Studi Seni Patung ada nama Basrizal Albara yang sekarang
masih malang melintang di dunianya. Proses kelulusan untuk masuk kampus seni
rupa legendaris di Indonesia ini relatif mulus karena Operasi telah
mempersiapkan dengan waktu yang cukup lama. Di celah kesibukannya sekolah di
SMA di kawasan Ngasem, pada malam harinya atau di waktu senggang lain,
dimanfaatkannya untuk belajar menggambar. Proses itu berfungsi ganda karena
pada satu sisi menggambar itulah salah satu caranya untuk mengamen dan mencari
uang bersama kawan-kawan baru yang ditemuinya di Malioboro, dan di sisi lain,
itulah siasat yang pelahan namun pasti memberi penguatan bagi kemampuan
teknisnya untuk menggambar. Dua hal terlampaui sekaligus.
Pengharapan besarnya
untuk menjadi seniman sudah mulai terjejaki tangga-tangganya dengan kuliah di
ISI Yogyakarta. Pergulatannya untuk mengasah kemampuan teknis dan kepiawaiannya
dalam bernalar di ranah dunia seni rupa sudah berada di depan mata. Operasi
Rahman merasa mendapatkan bongkahan anugerah karena masuk dalam lingkungan yang
tepat dengan atmosfir pendukung cita-citanya yang sangat memadai. Deretan staf
pengajar yang mengampu dan membimbing bakatnya adalah para tokoh yang relatif
mumpuni dalam jagat seni rupa Indonesia. Ada nama Nyoman Gunarsa, Fadjar Sidik,
H. Widayat, Wardoyo, Aming Prayitno, Subroto Sm., Suwadji, Sudarisman, Agus
Kamal, dan banyak nama lainnya yang kala itu merupakan nama-nama yang sangat
diperhitungkan di level atas seni rupa Indonesia.
Namun itu semua,
ternyata tidak bisa mulus berjalan. Bayangan tentang seni yang penuh kebebasan,
pada dimensi yang lain terasa justru cukup membebat bagi naluri kebebasan yang
selama ini dibayangkan dengan enak dan mudah oleh Operasi. Bebat-bebat yang
menyerimpung itu datang dari begitu banyaknya beban tugas akademik yang harus
ditanggung dan diselesaikannya. Itu mungin perkara klasik bagi sebagian
mahasiswa seni rupa. Demikian pula bagi Operasi. Namun dia menambahkan problem
yang mendasar karena dalam setahun terakhir tinggal di Yogyakarta—sebelum masuk
kuliah—situasi penuh kebebasan itu banyak diserapnya. Nah, ketika pada
semester-semester berikutnya ada sekian banyak tanggung jawab yang mesti
diemban, persoalan pun datang: kejenuhan dan kebosanan.
Ditambah lagi, pada
suatu kesempatan setelah lebaran tahun 1989, seorang pakdhe-nya (kakak dari ayahnya) yang bernama KH. Abdul Hamid
mengundangnya untuk berkumpul dengan keluarga besar. Dia seperti menyidang
Operasi dalam kerumunan sanak saudaranya atas pilihannya untuk masuk studi di
seni rupa. Sidang itu digelar karena Operasilah satu-satunya (dalam keluarga
besar) yang memilih masuk studi dengan pilihan disiplin ilmu paling beda. Apalagi
keluarga besar sebenarnya berasal dari keluarga santri yang ketat yang
menginginkan tradisi tersebut masih bisa diteruskan oleh generasi berikutnya.
Operasi seperti menyempal dari garis tradisi keluarga.
Dengan gaya yang slengekan dia bisa dengan jitu berdalih sembari
menyitir ungkapan fisikawan peraih Nobel, Albert Einstein tentang tiga hal yang
bisa “menghidupi” dunia, yakni ilmu, agama, dan seni. Dengan ilmu dunia akan
berubah, dengan agama dunia jadi penuh berkah, dan dengan seni dunia akan jadi
indah. “Seni adalah pilihanku, dan itu akan melengkapi fungsi keberadaan
manusia di dunia, selain mereka yang berjuang dengan ilmu pengetahuan dan
agama,” Operasi mengenang argumentasinya. Singkat cerita, dia bisa mengatasi sidang
keluarga tersebut. Dan pada akhir sidang itu, ada pesan pakdhe-nya yang kemudian terus diingatnya, yakni bahwa apapun
pilihannya, hal penting yang perlu dilakukan adalah “majjadah wajjadah”. Siapapun yang melakukan dengan bersungguh-sungguh,
dia akan berhasil.
Memang, disiplin studi
yang dipilih oleh ayah dari Alif Ya Muhammad (kelahiran 2008) ini relatif
paling berbeda bahkan dari 5 saudara-saudara sekandungnya. Kakak tertuanya, Ani
Rochani memilih mengambil studi di IKIP Jember, lalu adik-adiknya ada Fifi
Asfiati Rahman yang masuk FMIPA UGM, Afandi Rahman (Jurusan Teknik Elektro
UGM), Fitria Rahman (Akademi Ahli Gizi, Yogyakarta), dan Ninit Kurniawati
(Fakultas Pertanian Universitas Jember).
Apalagi bila menyimak
akhir studinya yang membutuhkan durasi hingga kurang lebih 10 tahun. Mungkin
beban akademik yang menyerimpung kebebasannya membuat Operasi awet bertahan di
kampus hingga menjadi MA (Mahasiswa Abadi). Istiadat seperti itu (kuliah hingga
bertahun-tahun) relatif telah menjadi hal yang lumrah di kampus ISI Yogyakarta,
terutama dulu, jauh sebelum aturan akan batasan masa studi diberlakukan dengan
ketat. Sebelum akhirnya lulus dari ISI Yogyakarta, waktu itu ayahnya terus
mendesak untuk serius kuliah. “Bapak tidak pernah menyuruhmu kuliah di seni
rupa. Itu pilihanmu sendiri. Maka hormatilah pilihanmu sendiri dengan lulus
kuliah,” pesan sang ayah waktu itu.
***
Banyak pergulatan
kreatif dan pergulatan beragam persoalan pada kurun waktu ketika Operasi studi
di kampus Gampingan—sebutan yang merujuk pada nama kampung tempat kampus FSR(D)
ISI Yogyakarta itu berada. Posisinya di kampus pun menarik: tahun 1991 dia
terpilih sebagai Ketua Senat Mahasiswa (Sema) Fakultas Seni Rupa (dan Disain)
ISI Yogyakarta. Posisi tersebut, pada waktu itu memiliki implikasi yang lumayan
penting bagi keberlangsungan dinamika kehidupan kampus, meski tentu saja tidak
sangat hegemonik dan dominan. Dia lupa sampai kapan posisinya sebagai Ketua
Sema itu berakhir. Seingatnya, seperti nyaris tanpa jangka waktu yang jelas.
Pada masa
kepengurusannya itu setidaknya ada dua isu seni budaya penting yang hingar bingar
di Yogyakarta dan membubung sebagai wacana nasional. Pertama, isu tentang
ditariknya kembali gedung kesenian Senisono oleh Negara dan difungsikan sebagai
bagian dari kepentingan protokoler di wilayah Gedung Agung atau istana
kepresidenan Yogyakarta. Bagi masyarakat seni budaya, sivitas akademika di
lingkungan ISI Yogyakarta memiliki kepentingan untuk merespons secara aktif isu
tersebut. Gedung kesenian yang telah puluhan tahun berkontribusi secara
langsung sebagai venue seni (rupa,
pertunjukan, dan lainnya) telah turut mengiringi pertumbuhan, perkembangan dan
dinamika seni di Yogyakarta.
Maka, meresponlah
sekian banyak mahasiswa seni ISI Yogyakarta, termasuk seni rupa tentu saja,
dengan turun ke jalan. Operasi sebagai Ketua Sema turut memobilisasi massa
mahasiswa sekalian turut berorasi di depan gedung Senisono, persisnya di plaza
di Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Negara dan penguasa Orde Baru yang tengah
kuat-kuatnya mencengkeramkan kuku kuasa itu toh akhirnya memenangkan
“perebutan” tersebut. Setelah berminggu-minggu para mahasiswa ISI Yogyakarta
bersama sekian banyak masyarakat seni budaya Yogyakarta mempertahankan
keberadaan Senisono sebagai bagian dari akvitas mereka, tumbang oleh keputusan
Negara yang menyatakan bahwa situs itu diklaim sebagai bagian inheren dari
kompleks istana kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.
Isu kedua, tentang
Biennale Jogja III tahun 1992 yang kontroversial. Biennale Jogja, perhelatan
prestisius seni rupa dua tahunan tersebut, untuk tahun tahun 1992 menuai kegaduhan
dan kontroversi. Pasalnya, panitia membuat regulasi yang dianggap memenjara
keleluasaan kreatif dan perhelatan Biennale Seni Lukis Yogyakarta III itu sendiri. Poin yang dianggap
memenjara itu adalah: peserta biennale harus berusia 35 tahun ke atas, dan
karya (2 dimensi) yang diperbolehkan ikut maksimal berukuran 1x1 meter. Bagi
banyak perupa di Yogyakarta, aturan main itu diangap sewenang-wenang dan
terlalu konservatif karena (1) mengesampingkan pertumbuhan kreatif seniman
Yogyakarta yang sebagian di antaranya banyak diinisiasi dan dipioniri oleh
kalangan muda, dan (2) panitia diasumsikan masih merawat kaidah lama serta kuno
yang tidak memperhatikan gejolak kreatif seniman yang terus memperbarui konsep,
gagasan dan keluaran kreatifnya.
Maka, muncullah
tandingan biennale resmi versi pemerintah, bernama: “Binal Experimental Art” yang dilakukan dan dimotori oleh para
seniman muda. Beberapa yang kemudian mencuat namanya karena gerakan dan
karyanya fenomenal adalah seniman muda seperti Heri Dono, Dadang Christanto,
para mahasiswa Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, dan lainnya. Mereka mengisi
banyak ruang-ruang di sekujur kota sebagai venue-nya,
antara lain stasiun Tugu, Kampus ISI Gampingan, gedung Senisono, rumah
kontrakan Heddy Hadiyanto, dan lain-lain. Dengan posisinya sebagai Ketua Sema
FSRD ISI Yogyakarta, Operasi pun bergegas sejak awal untuk merespons isu
menarik tersebut. Beberapa kali mereka melakukan rapat koordinasi antara para
seniman muda dalam kampus dan seniman lain (muda, atau yang mulai senior di
luar kampus) untuk melakukan aksi. Hal yang tak kalah konkretnya adalah
keputusannya sebagai Ketua Sema untuk memberi dana subsidi bagi gerakan kreatif
para mahasiswa itu. Dengan persetujuan Pembantu Dekan 3, Drs. Narno S., dan
Dekan FSRD ISI Drs. Sun Ardi SU, Sema FSRD memberikan dana untuk mereka yang
akan bergerak membuat karya seni di beberapa venue. Keputusan Operasi ini dianggap cukup populis karena segaris
dengan aksi resistensi mahasiswa dan seniman muda untuk menolak konservatifme
yang telah menguat di tubuh panitia Biennale Jogja.
Pada momen yang
bersamaan, yakni dalam “Binal
Experimental Art”, Operasi juga menampilkan diri sebagai sosok seniman muda
yang turut menolak dan mengingkari konservatifme kreatif para seniman tua dan
panitia Biennale Jogja. Dia mengetengahkan karya yang diberinya tajuk “Destructive Display” dan digelar di
ruang tunggu stasiun Tugu, persisnya di sayap utara. Di sana dia membawa
sekitar 40 lukisan dua dimensi—sebagian besar karya tugas akademik—dan ditata
dengan cara dan pola yang tidak biasa. Lukisan-lukisan itu digantung secara
acak, baik aspek ketinggiannya, arah hadapnya, hingga kemiringannya yang
ekstrem—yang jauh dari pola displai di ruang galeri seni rupa. Karya tersebut dilengkapi
dengan aksi performance art-nya yang
dilakukan tidak jauh dari displai lukisan-lukisannya. Aksi itu dilakukannya
dengan terlebih dahulu bertelanjang (hanya bercawat), lalu tubuhnya dibebat
penuh dengan kain perban warna putih. Dia berdiri mematung, diam dengan sedikit
gerakan. Dia menjuduli action-nya itu
dengan “Operasi Diam”. Sebuah judul
yang menggoda karena secara ulang-alik berkelindan antara makna leksikal dan
makna gramatikal, bergerak antara makna denotatif dan konotatif. Karya tersebut
juga kian terbangun nilai dramatiknya karena posisi tubuh Operasi Rahman
berdekatan dengan patung-patung manusia nyaris seukuran dengan tubuh manusia—karya
mahasiswa jurusan seni patung, Basuki Prahoro. Pengunjung dan juga para calon
penumpang kereta api di stasiun Tugu Yogyakarta terhibur karena termanipulasi
oleh tubuh-tubuh patung dan tubuh Operasi serta oleh tata displai lukisan yang
meneror secara visual karena ketidakbiasaannya.
Karya Operasi yang
cukup menarik waktu itu tidak banyak terekspose oleh banyak media. Kemungkinan karena
keterbatasan jumlah media, dan lebih dari itu, pada venue stasiun Tugu banyak bertebar karya dari beragam seniman.
Semua menumpahkan sejuta tanda di situ untuk saling berkontestasi berebut
perhatian dari para apresian.
***
Lalu, dimanakah
sebenarnya posisi Mohamad Operasi Rahman dalam peta seni rupa di Yogyakarta,
bahkan Indonesia? Pertanyaan ini niscaya bisa diduga hendak menggiring asumsi
pembaca bahwa teks ini berpotensi ingin membangun sebuah penokohan atas Operasi
sebagai hero atau “sosok yang
berbeda”. Asumsi tersebut memang tidak berlebihan. Namun lepas dari asumsi dan
dugaan tersebut, teks-teks seni rupa seperti ini layak juga untuk menampilkan
perca-perca narasi kecil, sederhana, dan di luar peta serta struktur mainstream yang telah dibentuk
sebelumnya, entah untuk pemetaan atau riset dengan vested interested tertentu—seperti kepentingan pasar (art market), politisasi seni dari
kelompok tertentu, dan berbagai kemungkinan lain. Semua berhak menyusun sejarah
dan kepentingannya sendiri dengan subyektivitas dan perspektifnya sendiri. Sejarah
(seni rupa) tak harus berarti sejarah nama-nama tokoh besar dengan karya besar
yang telah secara obyektif diamini oleh banyak pihak. Dalam pemahaman sederhana
untuk mencuatkan narasi kecil dari sosok yang tidak bernama besar atau bereputasi
besar inilah saya ingin sedikit mengulik tentang Operasi Rahman.
Dalam rentang satu
dasawarsa, persisnya antara 1989 hinga 1999, publik di sekitar sosok ini bisa
menyimak sepak terjangnya yang menarik, dan kadang melampaui problem yang
menjadi disiplin studinya. Ini kisah tentang kebengalan-kebengalan kecil yang bisa
menjadi salah satu cermin dari gerak dan dinamika hidup serta kreativitas sosok
tersebut. Operasi mengisahkan pada upaya protesnya terhadap penyelenggaraan FKY
(Festival Kesenian Yogyakarta) yang baru digelar tahun 1988—meng-copy paste kisah sukses PKB (Pekan
Kesenian Bali) yang telah dihelat bertahun-tahun sebelumnya. Kala itu,
pertengahan tahun 1989 atau setahun setelah masuk ISI Yogyakarta, dia
mendatangi Amri Yahya yang rumahnya berada berseberangan dengan kampus Gampingan.
Amri Yahya adalah seniman seni rupa ternama, pernah popular sebagai bintang
iklan cat tembok, dosen IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta),
dan tahun itu termasuk salah satu tokoh penting di tubuh kepanitiaan FKY.
Operasi muda datang dengan semangat untuk memprotes rekruitmen seniman peserta
FKY yang, menurutnya, mengabaikan keberadaan seniman muda Yogyakarta. Dia sudah
mendengar selentingan kabar bahwa para seniman peserta dalam pameran seni rupa
FKY, seperti tahun sebelumnya, hanya terdiri dari seniman senior yang sudah
dianggap profesional dan dosen.
Operasi tidak terima
dengan aturan main itu. Alasannya, tidak sedikit seniman muda yang masih studi
di kampus FSRD ISI Yogyakarta yang kualitas karyanya layak masuk pameran FKY.
Sebaliknya, tidak sedikit pula mereka yang dianggap seniman senior namun
standar artistik dan estetiknya telah menemukan kebuntuan dan monotonitas.
Dengan serta-merta, saat itu juga Operasi mengajak Amri Yahya untuk datang ke kampus
Gampingan dan menyimak karya-karya tugas para mahasiswa yang kebetulan tengah
dieksposisikan dalam “pameran gang” yang rutin digelar di gang kampus. Entah
Operasi datang dengan amarah atau memang argumentasinya meyakinkan, saat itu
juga Amri Yahya menyanggupi untuk menyambangi kampus. Karya-karya yang sudah
didisplai secara sederhana dalam ruangan kelas ditengok oleh Amri. Teman-teman
dan satu-dua dosen yang mengetahui kehadiran Amri di kampus cukup kaget.
Apalagi posisinya seperti “disandera” oleh mahasiswa baru bernama Operasi.
Kalau itu Amri
langsung berkomentar positif setelah menyimak karya para mahasiswa. Namun
dengan tegas dia menolak mengakomodasi karya-karya mahasiswa untuk langsung
diterima dan dipamerkan dalam FKY. Alasannya, keputusan harus dilakukan secara
kolektif oleh tim penyeleksi, bukan hanya dirinya saja. Lagi pula, seleksi dan
rekruitmen karya sudah selesai untuk tahun itu. Tak mungkin seenaknya diubah. Ya,
memang tidak sekejap mata usulan dan desakan dari seniman muda seperti Operasi
tentang perhelatan FKY dengan cepat disetujui. Namun, menurut Operasi, pada
perhelatan festival seni terbesar di Yogyakarta kala itu, pada tahun berikutnya
mengakomodasi masukan dari Operasi. Di sini tampak secuil tentang hal yang
diperjuangkan oleh seniman ini.
Dalam lingkup yang
lebih jauh, sekitar 9 tahun berikutnya, Operasi juga melakukan kembali hal yang
serupa. Ia menjadi salah satu noktah pembentuk gerakan besar bernama Gerakan
Reformasi 1998. Itu merupakan gerakan rakyat dan mahasiswa Indonesia yang
berhasrat untuk menurunkan rezim Orde Baru dan Soeharto. Gerakan rakyat dan
mahasiswa selalu muncul dalam tiap generasi untuk menentang pemerintahan
otoriter Soeharto, mulai dari mereka yang diklasifikasikan sebagai Angkatan
1966, Angkatan 1974, Angkatan 1980-an, hingga Angkatan 1998 atau 1990-an yang
akhirnya mendapatkan momentum untuk menumbangkan Soeharto. Momentum penting yang
mengiringi proses penggulingan rezim Orde Baru terjadi ketika ada krisis
moneter (krismon) di Asia dan merembet ke Indonesia tahun 1997. Krisis itu
mendorong krisis kepercayaan terhadap Soehato yang telah menguasai Indonesia
hingga 3 dasawarsa.
Para mahasiswa
Yogyakarta menjadi salah satu aset kekuatan penting dari sekian banyak kekuatan
gerakan mahasiswa di kota-kota lain di Indonesia. Di Yogyakarta sendiri,
gerakan mahasiswa membentuk kekuatan dalam beberapa kelompok yang masing-masing
memiliki kekhasan, ideologi gerakan, vested
interested, target goal dan
lainnya. Kondisi faktual seperti itu tak terelakkan dimanapun. Pola gerakan
mahasiswa cukup lazim menggariskan hal tersebut. Sementara di celah keriuhan gerakan
mahasiswa dalam proses menjatuhkan rezim Soeharto, ada sekian banyak mahasiswa
ISI Yogyakarta yang juga tampil untuk turun ke jalan. Tidak sedikit yang
mengklaim bahwa para mahasiswa ISI Yogyakarta kurang genuine sebagai aktivis mahasiswa karena bukanlah konseptor aksi
mahasiswa atau yang berdarah-darah turun ke jalan jauh sebelum tahun 1998. Asumsi
tersebut kiranya menjadi tidak penting karena turunnya gelombang mahasiswa ISI
Yogyakarta di tengah gelombang besar gerakan mahasiswa di Yogyakarta memberi
warna yang relatif berbeda, unik, dan menawarkan modus baru dalam melakukan
aksi demonstrasi.
Operasi Rahman dengan
slogan dan yel-yel “Hoya-hoya” yang
selalu diteriakkan dalam aksi demonstrasi di Yogyakarta pada awal 1998 hingga
runtuhnya kekuasaan Soeharto, terasa begitu ikonik dengan keterlibatan para
mahasiswa ISI Yogyakarta dalam gerakan reformasi. Yel-yel “Hoya-hoya” itu bukanlah ikon untuk mengidentifikasi aksi heroisme kalangan
mahasiswa, namun justru sebaliknya seperti model atas pengingkaran terhadap kekakuan
dan pemahlawanan atas sosok. “Hoya-hoya”
seperti simbol kecil untuk membuktikan bahwa aksi demonstrasi bukanlah aksi
penuh kekerasan, keseraman, kemuraman, bahkan kekerasan (baik yang simbolik
maupun yang faktual) yang meneror mental masyarakat tanpa nyali,
namun—sebaliknya—memberi contoh betapa aksi demonstrasi adalah sebuah serbuan
kritik kepada penguasa dengan cara yang rileks, penuh canda, dan efektif di
titik pusat obyek kritik.
Begitulah. Operasi
sempat aktif turun ke jalan pada gelombang besar gerakan reformasi, tanpa
berhasrat besar menjadikan dirinya sebagai pahlawan, atau memiliki target goal berupa konsesi politik atau
sosial pascagerakan reformasi. Banyak para aktivis mahasiswa yang mendapatkan
atau mengemis posisi dan konsesi setelah pemerintahan era reformasi bergulir.
Operasi dan sekian banyak mahasiswa yang dianggap pernah aktif sebagai penggerak
gerakan mahasiswa sama sekali tidak memiliki tendensi ke arah kekuasaan—karena
tanpa tendensi. Menengadahkan tangan demi menerima remah-remah kue kekuasaan bukanlah
karakter dari para aktivis mahasiswa di ISI Yogyakarta, karena aksi turun ke
jalan atau aksi demonstrasi bagi para mahasiswa adalah aksi have fun bernuansa artistik, bukan aksi
pamrih yang membopong sekian banyak tendensi. Operasi termasuk salah satu orang
yang tanpa tendensi itu. ***
Kuss Indarto, kurator dan penulis seni rupa.
(Teks ini telah dimuat dalam katalog/buku pameran tunggal Operasi Rachman Mochammad yang bertajuk "Operasi")