YAA, Kontemporer, dan Manual
Oleh Kuss
Indarto
EMPAT
puluh tiga pelukis siap berkontestasi dalam satu ruang yang dihelat oleh
Sangkring Art Space, di bilangan Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Perhelatan itu bertajuk YAA, Yogya Annual Art, berlangsung mulai 20 Mei hingga
20 Juli 2016. Dr. Hilmar “Fay” Farid, sang Dirjen Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan direncanakan akan membuka resmi YAA. Ini merupakan
perhelatan kali pertama yang kelak—seperti namanya—akan berlangsung secara
rutin tiap tahun (annual). Dan, bisa
jadi, ini menjadi ambisi tersendiri bagi pengelola Sangkring Art Space untuk
memiliki sebuah peristiwa seni rupa yang ikonik, yang menjadi simbol sebuah
kawasan, dan diingat oleh masyarakat selama mungkin. Setidaknya jagat seni rupa
Yogyakarta atau di luar Yogyakarta bisa “dipecah” perhatiannya tidak sekadar pada
Biennale Jogja atau ArtJog yang telah lama menggenang dalam ingatan publik.
Putu Sutawijaya a.k.a. Liong dalam
sebuah percakapan di suatu sore di pertengahan April 2016 menyatakan bahwa ide
untuk melahirkan YAA ini akarnya sudah lama. Bahkan nyaris sama usianya dengan
kelahiran Sangkring Art Space yang telah didirikan 9 tahun lalu. Gagasan
tersebut lebih meruncing setelah ruang seni yang berada di tengah kampung di kabupaten
Bantul itu menghelat sebuah pameran bertajuk “Reborn” pada pertengahan tahun 2015 lalu. Kala itu gubernur Jawa
Tengah, Ganjar Pranowo yang membuka pameran. Dari sebuah obrolan seru bersama
teman-teman seniman dan manajemen Sangkring setelah pembukaan pameran itulah kemudian
ide untuk menciptakan perhelatan yang ikonik makin menguat.
Ide itu pun kemudian dibumikan lagi,
kata Liong, dengan sebuah kenekatan. Ya, kenekatan di tingkat action ini diwujudkan dengan membangun
lagi satu ruang pameran di bagian belakang dari lahan yang telah ada—dari ketersediaan
tanah yang seluruhnya seluas sekitar 3.000 meter persegi. Sebelumnya, Sangkring
Art Space sudah memiliki dua ruang pajang atau ruang pameran yang luas. Dan
sekarang, satu ruang baru lagi telah nyaris selesai setelah dikerjakan dengan
ngebut. Luas ruang baru itu 14 x 35 meter yang di dalamnya terpilah dalam 5
petak ruang. Plafonnya relatif cukup tinggi, yakni 5 meter dari lantai. Ini
lebih ideal ketimbang, misalnya ruang pameran di Taman Budaya Yogyakarta yang
sebagian besar plafonnya hanya berketingian sekitar 2,75 meter.
“Waktuku akhir-akhir ini banyak
kuhabiskan untuk menunggui proses pembangunan gedung baru ini,” tutur Liong
sambil ngakak. Dia memang seperti
menjadi “mandor” bangunan bagi gedung baru yang dibangunnya karena untuk
pembangunan kali ini relatif tidak mudah baginya mencari tukang. “Banyak tukang
yang bagus-bagus standarnya sedang dikerahkan untuk membangun berbagai hotel di
banyak tempat di Yogyakarta,” keluhnya. Kali ini pun Bapak dari 3 anak tersebut
menjadi menjadi arsitek bagi bangunan baru itu—setelah dua ruang pameran
sebelumnya diarsiteki oleh seorang kolektor dari Magelang yang juga pemilik
Syang Art Gallery, yakni Ridwan Muljo.
Di sisi lain, kenekatan Putu
Sutawijaya ini membuat heran para kolektor atau pemilik ruang seni dari negara
lain yang sempat dating ke Sangkring beberapa waktu sebelumnya—ketika proses
pembangunan gedung masih gencar berlangsung. Mereka yang datang dari Singapura
antara lain heran, “Untuk apa kamu sebagai seniman repot-repot membangun
galeri? Itu kan tugas orang galeri atau pemerintah, bukan kamu sebagai
seniman?!” tutur Sutawjaya menirukan orang-orang Singapura itu. Sutawijaya
sendiri juga merasa punya tanggung jawab untuk mengambil peran di sisi
penyediaan sarana fisik karena Negara juga belum maksimal menyediakan hal itu.
Sutawijaya cuek sambl jalan terus. Dia tetap merampungkan gedung sembari terus
berkoordinasi dengan para seniman yang akan menangani perhelatan YAA, yang
terutama adalah Yuswantoro Adi, Samuel Indratma, Nyoman Adiana (adik kandungnya),
Yaksa Agus, Maslihar Panjul, dan lainnya. Mereka inilah yang hendak menopang
jalannya semua acara dari awal hingga akhir.
Yuswantoro mengonsep perhelatan YAA dengan
kembali mempertanyakan ulang—secara sederhana—keberadaan seni rupa kontemporer.
Yus sempat berbincang dan menafsir bahwa ukuran atau indikasi kontemporer tidak
terletak semata-mata pada praktik dan medium baru seperti yang banyak terjadi
kini. Secara sederhana, kata kontemporer itu berarti sejaman, pada waktu yang sama, sebaya, seumur, sewaktu, kiwari,
mutakhir, atau dewasa ini. Pendeknya:
kekinian. “Dengan kata lain, sejauh karya seni tersebut bersifat kekinian,
apapun praktik dan mediumnya tetap sah disebut sebagai baru sebagaimana rumus dasar
sebuah karya seni yang bisa berlaku universal (tidak hanya dalam seni rupa) dan
harus memiliki sifat novelty atau
kebaruan,” tutur seniman berbadan tambun tersebut.
Penerapan dari konsep mendasar
tentang kontemporer itulah yang ditekankan oleh Yuswantoro, yakni menampilkan
(hanya) karya seni dua dimensi dalam perhelatan YAA. Para seniman pesertanya
semuanya adalah hasil pilihan Tim Sangkring—bukan dari hasil aplikasi para
seniman. Mereka adalah para seniman yang telah mulai menancapkan nama dan
reputasinya dalam orbit seni rupa di Yogyakarta atau kawasan lain, namun belum
terlalu banyak diserap dalam berbagai peristiwa seni yang sangat prestisius.
Begitu kira-kira dasar pemiihan para senimannya. Sebetulnya ada 48 seniman yang
diundang dalam acara YAA ini. Namun 5 seniman berhalangan untuk berpartisipasi
karena berbagai alasan. Mereka yang sudah memastikan akan terlibat untuk
memamerkan karya antara lain adalah Ampun Sutrisno, Anto Sukanto, Galuh
Tajimalela, Hilman Hendarsyah, Kuart, L. Surajiya, Luddy Astagis, Panca DZ,
Robert Kan, Roy Karyadi, W. Adin Wiedyardini, dan Woro Indah Lestari. Pun ada
nama-nama yang selama beberapa tahun terakhir ini mulai banyak berseliweran
dalam garis orbit seni rupa: Agus “Baqul” Purnomo, Agus Triyanto BR, Erizal,
Erianto, Hayatudin, I Nyoman Darya, Nengah Sujena, dan beberapa nama lainnya. Hal
lain yang menjadi pertimbangan dari para tim selektor YAA adalah batasan usia
yang ditetapkan maksimal 45 tahun. Tentu ini menarik karena sebenarnya beberapa
perhelatan seni rupa lain juga memberlakukan batasan usia bagi seniman
pesertanya. Misanya BaCAA (Bandung Contemporary Art Award) yang membatasi usia
pesertanya maksimal 40 tahun. Pameran seni rupa FKY (Festival Kesenian
Yogyakarta) juga pernah membatasi maksimal 35 tahun. Lebih menarik lagi, kalau
menyimak data para seniman peserta YAA, mayoritas usianya sudah melampaui 30-an
tahun, bahkan beberapa di antaranya sudah berada di kisaran usia 40-an tahun. Tentu
ini perlu dipikirkan lebih matang lagi tentang konsep perhelatan ini yang
menyangkut ihwal klasifikasi para seniman pesertanya.
Yogya Annual Art juga memberi porsi
yang sebesar-besarnya pada para seniman yang menggarap karyanya dengan
kemampuan teknik atau skill tanpa
bantuan perangkat yang berbau teknologis. “Jadi ya kami membayangkan bahwa
berdasarkan teknis pengkaryaannya, perhelatan ini menjadi Yogya Manual Art karena semua karyanya dibuat secara manual, murni dengan tangan, bukan lewat
campur tangan yang kental peran teknologi. Misalnya lewat digital printing yang ditimpa dengan cat. Kami menolaknya,” tegas
Yuswantoro Adi.
Pada bagian lain, Yus juga
menawarkan gagasan lain untuk menghadirkan satu seniman old master yang sudah almarhum yang dihadirkan karyanya untuk
mendampingi karya para seniman muda ini. Pilihannya jatuh pada tokoh seni rupa
abstrak Indonesia, yang juga (mantan) dosen Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta,
Fadjar Sidik. Ya, semacam “Tribute to Fadjar Sidik”. Tentu, ini sebagai bentuk
penghormatan atas dedikasi dan kontribusi sang seniman old master tersebut dalam mengawali perkembangan dunia seni rupa
(abstrak) di Indonesia. Ini mengingatkan pada pameran seni rupa FKY (Festival
Kesenian Yogyakarta) tahun 2005 yang bertajuk “Shout Out” yang menggandengkan antara puluhan karya seniman muda
dan beberapa seniman senior, khususnya para eksponen Gerakan Seni rupa Baru
(GSRB), yakni karya F.X. Harsono, Hardi, dan Bonyong Muni Ardhi.
YAA kiranya layak untuk diharapkan
menjadi sebuah perhelatan baru yang ikonik bagi Sangkring Art Space. Syukur
bisa melampaui itu, yakni ikonik bagi Yogyakarta. Namun itu tak mudah karena
butuh ketegasan dan kekuatan konsep yang lebih matang lagi. Di luar itu,
kawasan ini sudah menopang penuh dengan menyediakan melimpahnya sumber daya
seniman yang relatif berkualitas. Pada titik inilah teramat saying kalau
diabaikan. Apalagi kalau hanya karena dalih konsep kontemporer yang menunggal
dan menyempit, yang beku dan baku bahkan kaku—yang ujung-ujungnya kurang
mengakomodasi keluasan dan keliaran imajinasi para seniman. Alangkah sayangnya…
***