Seniman Bukan Tukang
Awal
bulan Februari lalu saya bertemu dengan seniman China, Li Guangming,
yang sedang ingin berlibur di Indonesia. Dalam peta seni rupa China
barangkali nama dan reputasinya bukanlah bintang--atau apalagi
megabintang yang sangat cemerlang seperti Qi Baishi, Ai Weiwei, Fang
Lijun, Yu Minjun, dan sekian banyak nama tenar lain yang telah mengisi
ruang penting seni rupa China dan dunia.
Tapi, bagi saya, Li Guangming tetaplah sosok seniman yang menarik. Saya percaya bahwa setiap orang adalah guru dan reputasi apapun yang telah dibangunnya adalah ilmu. Dalam percakapan sekitar 1,5 jam, Li mengisahkan tentang gerak karya-karya barunya yang telah dirintis sekitar 10-an tahun terakhir, dan terus dikerjakan hingga hari ini.
Dia sebenarnya termasuk seniman yang melukis lukisan khas China (China painting) yang cenderung dikelompokkan sebagai lukisan tradisional--yang penganutnya semakin banyak dan canggih kemampuannya. Guangming termasuk seniman yang sudah termasuk advance, jago dalam menaklukan tehnik tersebut. Dan inilah yang menggelisahkannya. Dia ingin keluar dari pola mainstream atas karya China painting yang sudah menjenuhkan baginya.
Bongkahan es batu yang besar yang ditemui di sekitarnya saat musim dingin menjadi sumber gagasan untuk memperbarui karya-karya seni rupanya. Ya, ide sederhana namun itulah yang membuatnya lumer dari kejenuhannya sebagai seniman yang menggeluti satu karakter karya, yakni karya dua dimensi.
Ide itu dimanifestasikannya (setidaknya) sebagai dua kemungkinan karya, yakni karya dua dimensi (berdasar artifak karya yang final), serta karya ephemeral art (seni sesaat, yakni berupa happening art) yang dilakukannya dalam ruang pameran atau di luar, sebagai bagian dari peristiwa seni. Ephemeral art yang ada dalam praktik seni Guangming adalah dengan membawa balok-balok es yang besar yang diberi warna-warna sesuai dengan keinginannya, lalu diletakkan persis di atas kertas atau kanvas yang tergelar di lantai. Proses pelelehan es berikut cat yang ada di dalamnya itulah yang menjadi momen estetik yang ditunggu karena kemudian secara pelahan akan membentuk citra visual di atas kertas atau kanvas. Citra visual yang menyeruak adalah bentuk-bentuk yang tak terduga, alamiah, bahkan kadang "accidental form" yang tak bisa diperkirakan (sepenuhnya) oleh sang seniman. Inilah nilai artistik yang tampaknya dicari oleh Li Guangming.
"Ice Ink World" adalah tajuk pameran tungal Li Guangming dengan karakter dan tema karya seperti itu. Pameran tersebut dihelat tahun 2016 lalu. Dalam pameran tersebut dia membawa bongkahan-bongkahan besar es yang ditata dalam ruang pameran dan, tentu, dibiarkannya meleleh hingga membentuk karya di atas kertas atau kanvas. Telah beberapa kali karya dengan karakter itu dipamerkan, termasuk pameran tunggalnya tahun 2011 di salah satu venue yang bergengsi di Beijing, yakni NAMOC (National Museum of China).
Li Guangming bukanlah anak muda. Usianya hampir menyentuh kepala 6. Namun spirit pencarian, kegundahannya untuk menemu kebaruan tetap dilakukannya. Bukankah semangat untuk mencari kebaruan menjadi etos kreatif seorang seniman? YA, Guangming tetap ingin menjadi seniman, bukan perajin yang cukup mengulang-ulang pekerjaan ketukangannya. Lalu, Anda siapa? ***
Tapi, bagi saya, Li Guangming tetaplah sosok seniman yang menarik. Saya percaya bahwa setiap orang adalah guru dan reputasi apapun yang telah dibangunnya adalah ilmu. Dalam percakapan sekitar 1,5 jam, Li mengisahkan tentang gerak karya-karya barunya yang telah dirintis sekitar 10-an tahun terakhir, dan terus dikerjakan hingga hari ini.
Dia sebenarnya termasuk seniman yang melukis lukisan khas China (China painting) yang cenderung dikelompokkan sebagai lukisan tradisional--yang penganutnya semakin banyak dan canggih kemampuannya. Guangming termasuk seniman yang sudah termasuk advance, jago dalam menaklukan tehnik tersebut. Dan inilah yang menggelisahkannya. Dia ingin keluar dari pola mainstream atas karya China painting yang sudah menjenuhkan baginya.
Bongkahan es batu yang besar yang ditemui di sekitarnya saat musim dingin menjadi sumber gagasan untuk memperbarui karya-karya seni rupanya. Ya, ide sederhana namun itulah yang membuatnya lumer dari kejenuhannya sebagai seniman yang menggeluti satu karakter karya, yakni karya dua dimensi.
Ide itu dimanifestasikannya (setidaknya) sebagai dua kemungkinan karya, yakni karya dua dimensi (berdasar artifak karya yang final), serta karya ephemeral art (seni sesaat, yakni berupa happening art) yang dilakukannya dalam ruang pameran atau di luar, sebagai bagian dari peristiwa seni. Ephemeral art yang ada dalam praktik seni Guangming adalah dengan membawa balok-balok es yang besar yang diberi warna-warna sesuai dengan keinginannya, lalu diletakkan persis di atas kertas atau kanvas yang tergelar di lantai. Proses pelelehan es berikut cat yang ada di dalamnya itulah yang menjadi momen estetik yang ditunggu karena kemudian secara pelahan akan membentuk citra visual di atas kertas atau kanvas. Citra visual yang menyeruak adalah bentuk-bentuk yang tak terduga, alamiah, bahkan kadang "accidental form" yang tak bisa diperkirakan (sepenuhnya) oleh sang seniman. Inilah nilai artistik yang tampaknya dicari oleh Li Guangming.
"Ice Ink World" adalah tajuk pameran tungal Li Guangming dengan karakter dan tema karya seperti itu. Pameran tersebut dihelat tahun 2016 lalu. Dalam pameran tersebut dia membawa bongkahan-bongkahan besar es yang ditata dalam ruang pameran dan, tentu, dibiarkannya meleleh hingga membentuk karya di atas kertas atau kanvas. Telah beberapa kali karya dengan karakter itu dipamerkan, termasuk pameran tunggalnya tahun 2011 di salah satu venue yang bergengsi di Beijing, yakni NAMOC (National Museum of China).
Li Guangming bukanlah anak muda. Usianya hampir menyentuh kepala 6. Namun spirit pencarian, kegundahannya untuk menemu kebaruan tetap dilakukannya. Bukankah semangat untuk mencari kebaruan menjadi etos kreatif seorang seniman? YA, Guangming tetap ingin menjadi seniman, bukan perajin yang cukup mengulang-ulang pekerjaan ketukangannya. Lalu, Anda siapa? ***