“Iconic”, Pameran Tunggal Karya Yuswantoro Adi



"Masterpiece of Indonesia" (1997), lukisan karya Yuswantoro Adi yang dipamerkan dalam pameran tunggalnya, "Iconic", 10-22 November 2017, di Galeri Nasiona Indonesia.

Yuswantoro Adi, salah satu perupa ternama Yogyakarta, hendak menghelat pameran tunggalnya, 10-22 November 2017 di Gedung A, Galeri Nasional Indonesia, Jl. Medan Merdeka Timur no. 14, Gambir, Jakarta Pusat. Pameran tunggal ini rencananya hendak mengeksposisi sekitar 20 karya, dan puluhan karya lukis anak-anak yang menjadi anak didik Yuswantoro sebagai “guru gambar”. Karya-karya yang digelar tidak semua karya baru, namun beragam kurun waktunya, termasuk karya bertajuk “Masterpiece of Indonesia” yang dibuatnya tahun 1997. Karya kreasi Yuswantoro 20 tahun lalu tersebut merupakan karya yang memenangi kompetisi seni lukis Philip Morris Art Award di level nasional (Indonesia) dan juga juara ketika dipertarungkan di tingkat Asia Tenggara pada tahun yang sama.

Dengan menilik materi karya yang beragam tahun pembuatannya, maka pameran tunggal ini bisa dikatakan sebagai “pameran mini retrospektif”, atau pameran yang menelusuri potongan kecil jejak perjalanan kreatif seorang seniman. Karya tertua dalam pameran ini dibuat tahun 1997, maka belum sangat mewakili keutuhan perjalanan kreatif kesenimanan perupa Yuswantoro Adi.

Pameran tungal ini bertajuk kuratorial “Iconic”. “Iconic” jika dituliskan dalam bahasa Indonesia menjadi: “ikonik” yang berarti segala sesuatu yang bersifat atau mengandung unsur ikon. Seperti kita ketahui, ikon memiliki pengertian sebagai gambar, baik berupa logo, tanda, lambang, simbol dan atau apa pun berupa visual, bahkan tempat, gedung atau wajah manusia, yang telah memiliki daya kohesi/rekat tertentu dengan diri dan/atau sekitarnya. Gambar itu akan disebut sebagai ikonik bila dikenal/diakui oleh banyak orang. Lebih lagi jika ia terkenal. Misalnya Menara Eiffel adalah ikon Perancis, Maradona ikon sepakbola juga ikon Argentina, Yinyang adalah ikon sekaligus falsafah masyarakat Tiongkok, dan sebagainya.

Dalam pameran ini Yuswantoro tidak sekadar ingin membeberkan ikon-ikon yang ada dalam ingatan masyarakat. Namun lebih dari itu, berupaya untuk “mengganggu” kebekuan ingatan bersama masyarakat tentang ikon tersebut, bahkan mempersoalkan, menanyakan ulang, atau justru menggiring publik untuk meredifinisi atas ikon yang sudah ada dan popular tersebut. Pada titik inilah Yuswantoro mengemukakan gagasan dan opininya tentang dunia di sekitar ikon-ikon tersebut. Yuswantoro seperti ingin memprovokasi penonton untuk menggoyang pengertian baku tentang ikon yang telah menjadi ikonik dalam ingatan masyarakat.

Bagi Yuswantoro, pameran ini menjadi pameran tunggal yang ketiga dalam sejarah perjalanan kreatifnya. Pada kesempatan ini seniman kelahiran kota Semarang, 11 November 1966 ini juga mengetengahkan puluhan karya lukis anak-anak Yogyakarta. Mereka adalah sebagian dari anak didikan Yuswantoro yang tergabung dalam program AFC (Art For Chldren) yang rutin berlatih tiap hari Minggu pagi di Taman Budaya Yogyakarta, selama sekitar 10 tahunan terakhir ini. Artefak karya anak-anak ini bisa menjadi representasi atas meluasnya kerja kreatif Yuswantoro Adi, yang tidak saja berkutat dengan kesibukan personalnya, namun juga memberi kontribusi kepada perkembangan dunia seni rupa anak di Yogyakarta.

Pameran tunggal Yuswantoro Adi ini dikuratori olh Kuss Indarto. Penulis dalam katalog antara lain Yusi Avianto Pareanom, adik kandung Yuswantoro yang adalah penulis novel “Raden Mandasia, Si Pencuri Daging Sapi”. ***

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?