Anak Muda yang Datang Saat Senja
Selepas Maghrib, pada sebuah senja di tahun 2005, mendadak sesosok anak muda datang ke rumah kontrakan saya di kampung Nitiprayan, Bantul. Sepeda motor lawasnya tampak penat membawa tubuh kurusnya. Lajunya pelahan, tak seimbang dengan suara knalpot yang meraung-raung memekakkan telinga.
Saya membukakan pintu sebelum dia mengetuk. Benar saja, dia memang akan bertamu kepadaku. "Kulanuwun, mas," sapanya sembari pringas-pringis. Senyam-senyum. "Monggo. Silakan masuk," sambutku.
Dia tak bergegas masuk. Ternyata tengah repot melepas tali di jok sepeda motor. Selepas beberapa menit, dia masuk dengan menenteng barang di tangan kanan-kirinya.
Kami berbasa-basi. Lalu berlanjut dengan perbincangan cukup panjang lebar. Saya membuatkan dia teh panas. Ya, saya buatkan sendiri karena waktu itu saya masih melajang.
Perbincangan pun akhirnya masuk pada salah satu tujuan dia bertamu di tempatku. "Mas, saya harus menyelesaikan kuliah saya semester ini. Kalau tidak, akan di-D.O. Tapi ya itu, banyak kebutuhan yang harus saya penuhi," tutur anak muda gondrong tersebut. Saya menduga-duga.
"Lha orang tuamu bagaimana? Sudah matur (bilang) ke orang tuamu?" tanya saya.
"Mmmm, anu, mas. Sudah. Tapi..." Dia tak melanjutkan kata-katanya. Tapi menyambungnya dengan kalimat lain: "Ini saya bawa 2 lukisan. Silakan pilih yang mas suka ya. Siapa tahu bisa membantu saya."
Dua barang yang ditentengnya tadi dibuka. Dua lukisan. Saya tidak butuh waktu lama untuk kemudian memilih salah satu di antara karyanya.
"Tapi aku melarat lho ya. Tak bisa mengoleksi dengan harga tinggi. Tapi juga tidak asal ambil karena karyamu ini cukup bagus," kataku padanya. Dengan waktu singkat akhirnya kami deal soal angka-angka atas karya lukisnya itu. Dia pun pamit setelah itu.
Pada sebuah petang (lagi), beberapa bulan seusai peristiwa itu, anak muda kurus dan gondrong itu datang lagi. Sepeda motornya masih sama: tampak penat dengan knalpot yang meraung keras. Masih sama juga, dia agak repot melepas tali di jok motornya untuk menurunkan sesuatu barang.
Masih saja dia pringas-pringis ketika masuk rumah. Senyam-senyum. Tapi terlihat agak terburu-buru. "Ini untuk mas ya," katanya sembari mengasongkan buah-buahan untukku.
"Terima kasih ya, mas. Saya sudah lulus kuliah," katanya penuh antusiasme.
Dia tak lama berkunjung ke tempatku. Dia juga tak sempat mengobrol agak lama seperti sebelumnya. Lalu pamit.
Beberapa waktu setelah itu saya membuat sebuah pameran dan ingin melibatkan anak muda itu untuk ikut di dalamnya. Sayang nada panggilanku tidak direspons. SMS (waktu itu belum familiar dengan WA) juga tak dijawab olehnya. Mungkin nomernya sudah hangus dan ganti nomer baru. Saya tidak tahu.
Lukisan anak muda itu sampai hari ini masih saya rawat dengan baik. Dia terpajang di kamar tempat saya tidur. Istri dan anak saya pernah beberapa kali bertanya tentang pelukis dari lukisan itu, dan saya jawab selengkap mungkin.
Hampir 16 tahun saya punya kisah manis tentang lukisan ini. Sayang (untuk sementara) saya kehilangan jejak sang pelukis itu--yang adik kelas jauh, satu almamater dengan saya. Semoga dia dan keluarganya baik, sehat, dan bisa terus menghela kreativitas bagi dirinya. ***