Vandalisme Seni, Sebuah Tragedi atau Kolaborasi?

Jagat seni rupa dunia heboh. Dalam rentang waktu sekitar 6 bulan, yakni antara akhir Mei hingga minggu ketiga November 2022, ada 10 kali percobaan perusakan karya seni. (Angka ini bisa berubah lebih banyak lagi karena ada pemberitaan yang kurang meluas). Ini tidak main-main karena melibatkan karya-karya lukis para maestro kelas dunia dan lokasi peristiwanya terjadi di situs seni kelas dunia.
 
Kasus pertama terjadi di Museum Louvre, Paris, Prancis, sebuah museum besar dengan pengunjung terbanyak di dunia. Di situ, pada hari Minggu, 29 Mei 2022 ada seorang laki-laki berusia 36 tahun yang menyamar jadi seorang nenek tua yang duduk di atas kursi roda. Lalu dia melempar kue ke lukisan paling populer di dunia, yakni Monalisa karya Leonardo da Vinci. Orang itu diduga aktivis lingkungan. Lukisan selamat karena Monalisa dilindungi oleh kaca pengaman yang bahkan antipeluru.
 
Kasus kedua pada Minggu, 9 Oktober di National Gallery of Victoria (NGV), Melbourne, Australia. Lukisan Pablo Picasso yang berjudul “Massacre in Korea” dipegang oleh 2 aktivis iklim dan lingkungan dari kelompok Extinction Rebellion. Menyentuh secara fisik bahkan memegang karya seni dalam sebuah ruang seni seperti NGV adalah sebuah pelanggaran. Aksi ini tidak cukup ramai diviralkan karena tidak ada dokumentasi video. Hanya beberapa foto sekadarnya. Padahal sisa lem yang dioleskan ke tangan sebelum memegang lukisan tersebut tertanggal dan tertinggal di lukisan. Celakanya, lukisan Picasso tersebut tidak dilindungi oleh kaca, mika atau pelindung lain.
 
Berselang 5 hari kemudian, Jumat, 14 Oktober 2022, terjadi kasus ketiga ketika salah satu lukisan Vincent van Gogh yang termasyhur, Sunflowers (1888), koleksi Galeri Nasional London, Inggris. Lukisan itu disiram sop tomat kalengan oleh Phoebe Plummer dan Anna Holland, keduanya aktivis iklim dan lingkungan asal Inggris. Setelah menyiram sop ke atas lukisan dan merekatkan satu tangan mereka di tembok, Phoebe dengan lantang meneriakkan pesannya: "Apa yang lebih berharga, seni atau kehidupan? Apakah itu lebih berharga daripada makanan? Lebih dari keadilan? Apakah Anda lebih peduli tentang perlindungan lukisan atau perlindungan terhadap planet kita dan orang-orang di dalamnya? Krisis biaya hidup adalah bagian dari biaya krisis minyak, bahan bakar tidak terjangkau bagi jutaan keluarga yang kelaparan dan kedinginan. Mereka bahkan tidak mampu untuk memanaskan sekaleng sup.” Untunglah lukisan itu aman karena dilapisi mika bening pengaman.
 
Berikutnya, 9 hari setelah kehebohan di London, terjadi kasus keempat, yakni pelemparan kentang cair ke lukisan Les Meules-nya Claude Monet di Barberina Museum Postdam, Jerman – Minggu, 23 Oktober 2022. Pelakunya adalah aktivis iklim dan lingkungan yang berlabel Letzte Generation atau Last Generation. Aksi dua aktivis di sini cukup ekstrem karena kentang cair yang disiramkan hampir menutup sekujur lukisan. Untunglah karya Monet itu relatif aman karena lukisan dilindungi dengan kaca pengaman. Cairan tidak menyentuh kanvas.
 
Kasus kelima terjadi pada lukisan The Girl with Pearl Earring karya Johannes Vermeer yang disimpan di Mauritshuis, The Haague, Belanda, Kamis, 27 Oktober 2022. Pelakunya dari kelompok ”Just Stop Oil”. Aktivis iklim dan lingkungan itu menyiram saus tomat dan cairan lain untuk kemudian menyorongkan kepalanya menempel ke lukisan Vermeer tersebut. Kedua orang ittu, seperti kasus di lukisan Monalisa di Museum Louvre, sama-sama menerobos ”pagar” yang membatasi karya lukis itu dengan penonton.
 
Kemudian, kasus keenam, terjadi hari Jumat, tanggal 4 November di Palazzo Bonaparte, Roma, Italia. Di situs seni itu lukisan “The Sower” karya Vincent van Gogh ditaburi bubuk warna oleh beberapa orang pelaku yang, lagi-lagi, para aktivis iklim. Tidak diketahui apakah lukisan ini diberi lapisan pelindung atau tidak, tapi para aktivis tidak begitu brutal dan fatal ketika melakukan aksi tersebut.
 
Tiga hari kemudian, Rabu, tanggal 9 November 2022 kasus ketujuh terjadi di Australia lagi. Percobaan aksi vandalisme menimpa lukisan pop art karya Andy Warhol bertajuk “Campbell’s Soup I”, yang dipajang di National Gallery of Australia di Canberra. Pelakunya dari kelompok Stop Fossil Fuel Subsidies. Satu dari 2 aktivis itu mencoret-coret 4 panel karya Warhol, kemudian menempelkan tangannya yang dilumuri lem ke atas karya tersebut.
 
Kasus kedelapan terjadi di Austria, persisnya di Leopold Museum, Vienna atau Wina, Austria pada Selasa, 15 November 2022. Korbannya adalah lukisan “Death and Life” karya Gustav Klimt. Oleh 2 aktivis iklim lukisan Klimt disiram cat hitam legam sehingga terlihat sangat mengotori dan menutup sebagian karya. Tidak diketahui apakah ada kaca atau mika pelindung pada lukisan itu. Petugas keamanan museum tampak begitu sigap yang dengan segera menangkap aktivis penyiram cat tersebut.
 
Lalu di situs Milan's Fabbrica del Vapore art centre, Milan, Italia terjadi kasus kesembilan. Peristiwanya pada hari Jumat, 18 November 2022. Di situ sebuah painted car atau mobil BMW seri M1 yang dilukis oleh legenda pop art, Andy Warhol, tiba-tiba disiram dengan tepung hingga memenuhi hampir sekujur tubuh mobil. Empat orang aktivis iklim dari kelompok Ultima Generazion menutup areal di sisi kanan mobil. Petugas keamanan art centre itu segera menghalang-halangi aksi para aktivis tersebut. Sementara mereka, para aktivis itu, tetap meneriakkan misi dan tuntutan mereka tentang perubahan iklim. Pengunjung cukup riuh di venue seni ini.
 
Kasus kesepuluh terjadi pada hari Rabu, 22 November 2022, di depan pintu masuk gedung Bourse de Commerce contemporary art museum, Paris, Prancis. Patung berjudul “Horse and Rider” karya Charles Ray disiram cat warna oranye oleh aktivis lingkungan dari kelompok Derniere Renovation. Karya koleksi dari kolektor besar dunia Francois Henry Pinault ini kemudian dinaiki, dan sosok manusia penunggang kuda pada patung itu diselimuti kain bertuliskan “We have 858 days left” (Kita Tinggal Punya Waktu 858).
 
Sepuluh kasus percobaan vandalisme dari para aktivis terhadap karya seni itu menjadi fenomena menarik, mengagetkan, dan tentu memprihatinkan. Dunia, khususnya publik seni, sangat menyayangkan terjadinya kasus yang beruntun terjadi itu.
 
Dari rentetan kasus tersebut, saya punya dua dugaan besar. Pertama, kita bisa menduga bahwa kini karya seni rupa mampu dijadikan sebagai magnet isu yang dilontarkan oleh para aktivis tersebut. Meski isu besar yang mengemuka ke publik adalah adanya praktek vandalisme terhadap karya seni, namun isu sentral yang dikemukakan oleh mereka ikut terkatrol meski di ruang publik menjadi isu sampiran atau sekunder.
 
Unjuk rasa para aktivis iklim dan lingkungan itu sekarang tidak lagi bergerak di lapangan seperti yang, misalnya, dilakukan oleh kelompok GreenPeace di waktu-waktu yang telah lewat. Mereka, contohnya, langsung menghadang kapal pukat besar atau kapal dan kendaraan pembawa zat kimia yang diduga berpotensi merusak lingkungan dan sebagainya. Cara-cara itu sudah jarang mereka lakukan. Atau mungkin sudah ditinggalkan. Mungkin tidak cukup efektif.
 
Mereka kini mengeksplorasi efektivitas media sosial untuk mem-blasting isu. Caranya dengan masuk ke ruang seni, melakukan praktek vandalisme, lalu meneriakkan pesan dan misi kelompok mereka. Langsung deh momentum itu jadi viral, berbiaya murah, dan risiko dikasuskan ke jalur hukum relatif termasuk kasus ringan. Misi, visi dan tuntutan mereka terkomunikasikan dengan luas. Apalagi mereka tampaknya melakukan survei terlebih dahulu untuk memilih karya seni dan seniman kreatornya yang famous sehingga aksi mereka bisa langsung meledak sebagai berita. Misalnya memilih karya seniman old master level dunia dan klasik sekelas Leonardo da Vinci, Vincent van Gogh, Andy Warhol, Gustave Klimt. Karya para maestro itu tentulah sudah diberi sistem pengaman sehingga fisik karya tidak rusak secara ekstrem ketika dilempari kue, disiram sop kalengan, saus tomat, atau kentang cair, tepung dan lainnya.
 
Di luar persoalan itu, ada dugaan lain yang juga tidak kalah menariknya. Inilah dugaan kedua, yakni, apakah fenomena percobaan aksi vandalisme karya seni itu betul-betul murni, bergerak sendiri, atau ada sebuah  disain lain untuk menggerakkannya? Maksud saya, apakah aksi itu justru sebuah kolaborasi? Ya, kolaborasi dengan lembaga atau ruang-ruang seni itu yang justru menjadi korban praktek vandalisme tersebut?
 
Hah? Nalarnya gimana tuh?
 
Kita tahu bersama, dalam tiga tahun terakhir ketika pandemi mulai melumpuhkan semua gerak dinamis dunia sejak kuartal pertama 2020 semua bidang terdampak secara negatif dengan sangat serius. Semua terkena krisis dari hulu hingga hilir, tidak terkecuali dunia seni budaya. Salah satu pihak yang mengalami akibat begitu ekstrem adalah ruang seni baik itu museum, galeri seni, art centre, milik privat, swasta, ataupun yang dikelola oleh negara.
 
Ketika dampak pandemi mulai mereka di awal tahun 2022, negara-negara di Eropa dan Amerika atau negara berkulit putih lain mengalami tambahan persoalan dengan adanya perang antara Rusia-Ukraina yang bulan November 2022 ini telah masuk bulan ke-9 dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir. Dampaknya makin terasa, termasuk yang dialami oleh sekian banyak museum, galeri seni dan situs seni budaya lainnya.
 
Dari banyak data kita bisa melihat. Misalnya Museum Louvre di Prancis. Antara tahun 2007 hingga 2019 Louvre dikunjungi oleh antara 7,3 juta hingga 10an juta penonton tiap tahun. Tapi ketika pandemi terjadi awal 2020, pengunjung museum turun drastis menjadi hanya 2,7 juta pada tahun 2020, dan sekitar 2,8 juta di tahun 2021. Tahun 2022 diduga masih anjlok angkanya. Artinya perolehan omzet dari tiket masuk pun turun drastis, dari sekitar Rp 2,59 triliun di tahun 2019 turun drastis menjadi sekitar Rp 700an miliar di 2 tahun berikutnya.
 

Kita bisa menyimak data di museum lain yang tahun ini menjadi korban percobaan vandalisme. Pengunjung di National Gallery London, Inggris yang sebelum pandemi atau tahun 2019 mencapai 6 juga pengunjung, pada tahun 2020 merosot jauh menjadi hanya 1,2 juta pengunjung. Tahun 2021 lebih menukik lagi yakni hanya 700 ribuan pengunjung. Tahun ini berat untuk mencapai 1,5 juta pengunjung.

 

Di National Gallery of Australia, Canberra kondisinya kurang lebih sama. Pada tahun 2020 kunjungan publik ke ruang seni tersebut turun drastis. Data pengunjung di tahun 2020 hanya ada 232 ribu pengunjung. Tahun berikutnya, 2021 mulai merangkak hingga 455 ribu pengunjung. Tahun 2022 ini kemungkinan bisa kembali menaik atau bahkan normal seperti sebelum pandemi. Asumsinya, Australia mungkin tidak cukup terdampak oleh perang Rusia-Ukraina karena faktor jarak yang jauh dari Australia. Tentu ini sekadar asumsi.

 

Sementara venue seni lain yang jadi korban vandalisme di atas adalah ruang seni yang memiliki koleksi seni luar biasa namun belum menjadi museum papan atas di negaranya. Tentu mereka terdampak karena pandemi yang mengakibatkan pengunjung berkurang drastis. Misalnya Mauritshuis Museum di The Hague, Belanda. Museum ini jauh di bawah popularitasnya ketimbang Rijksmuseum, Amsterdam sebagai museum seni terbesar di Belanda. Coba simak data. Tahun 2019 sebelum pandemi pengunjung Rijksmuseum mencapai 2,7 juta orang. Jumlah ini turun 77 % saat pandemi 2020 menjadi hanya 517.000 pengunjung. Tahun 2021 bahkan anjlok lagi hingga 366.000 pengunjung. Bisa dibayangkan dengan Mauritshuis yang lokasi dan reputasinya kurang populer ketimbang Rijksmuseum.

 

Pun dengan Barberina Museum di Postdam, Jerman. Museum ini menempati gedung yang bernilai sangat historis, bagus dan keren. Museum ini terbilang baru karena dibuka tahun 2017. Bisa dibayangkan ketika baru 2 tahun tiba-tiba dihempas oleh “badai” pandemi yang dahsyat. Pasti sepi penonton. Museum terbesar di Jerman, Pergamon Museum pun saat pandemi 2019 diduga hanya dikunjungi sekitar 400.000 orang, turun dibanding tahun-tahun sebelumnya yang rata-rata 800.000 orang. Sudah barang pasti Barberina Museum jauh di bawah itu besaran pengunjungnya.

 

Apa makna dari fakta tersebut? Ya, kita bisa menduga bahwa banyak museum dan situs seni, terutama di Eropa saat ini sedang menghadapi krisis yang sangat memberatkan. Pandemi membuat para penonton turun drastis. Pendapatan yang berasal dari penjualan tiket, souvenir dan lainnya otomatis anjlok total. Tahun 2020 saat puncak-puncaknya pandemi, seorang pengusaha Prancis, CEO Fabernovel, Stephane Distinguin bahkan menyarankan kepada pemerintah Prancis untuk menjual lukisan ”Monalisa” yang menutrut kalkulasinya dewasa ini seharga Rp 800 triliun. Kini tambah masalah lagi dengan berkecamuknya perang antara Ukraina dan Rusia sejak Februari 2022 dan belum ada tanda-tanda berakhir.

 

Orang-orang jadi lupa dengan kebutuhan tersier seperti rekreasi mengunjungi museum atau situs seni. Orang-orang sibuk memburu kebutuhan mendasar mereka dan alpa untuk mencari penghiburan dan inspirasi di ruang-ruang seni. Maka, pelemparan kue ke lukisan Monalisa, pengguyuran sop kaleng ke Sunflosers-nya Vincent van Gogh, penyiraman cat hitam ke lukisan ”Death and Life”-nya Gustav Klimt seperti deretan shocking points yang memberi daya kejut pada publik. Publik mungkin akan geram, marah, terkejut, prihatin, menyayangkan, mengutuk, dan kemudian tergerak untuk empati dengan cara mengunjungi kembali ruang-ruang seni.

 

Maka, pertanyaan pun mengendap dalam batin: apakah ini sebuah kolaborasi, bahkan konspirasi, atau sekadar blessing indisguise? Apakah kumpulan peristiwa ini sudah ada grand design-nya, atau kita diminta mengambil hikmah dari sisi positifnya in post-factum alias setelah peristiwa terjadi? Saya tidak tahu. Kita semua sudah pasti ingin karya-karya seni itu tetap ada dan abadi melampaui lintasan waktu yang terus bergerak. Mereka adalah saksi zaman. Mereka adalah warisan sekaligus penanda zaman. Ars Longa Vita Brevis. Hidup itu pendek, seni itu abadi…


Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?