Duta yang Keburu Pulang…

Oleh Kuss Indarto

Arsitek cum seniman LK Bing berpulang pada Rabu, 30 April 2025 dalam usia 52 tahun. Sosok itu bernama lengkap: Lie Kian Bing. Soekandi nama versi Indonesianya. Publik barangkali belum banyak mengenal sosok ini dalam kapasitasnya sebagai seniman atau perupa. Namun kalau menyimak lukisan-lukisan karyanya—yang banyak diunggahnya di medsos, terutama Instagramnya dengan akun @lkbing—kita, minimal saya, akan berdecak kagum atas kualitas artistik dan estetik dari karya-karyanya.

Dia pergi bersama misteri. Penyebab meninggalnya LK Bing sendiri belum jelas benar bagi publik, bahkan komunitas seni rupa yang cukup karib dengannya tidak banyak yang tahu. Ada yang mengatakan dia mengidap diabetes akut cukup lama dan kemungkinan itulah penyebab kematiannya. Sementara yang lain menyebut Bing meninggal setelah mengalami koma sekian lama di rumah sakit. Katanya sih karena kecelakaan. Namun sumber tersebut tak mengisahkan detil kecelakaan seperti apa yang menimpanya. Di sisi lain ada sebuah sumber yang bercerita bahwa Bing kemungkinan mengalami tindak kekerasan. Sekitar pertengahan Agustus 2023, pada tengah malam ketika dia hendak pulang dari sebuah gedung yang menjadi studio arsitektur dan melukisnya, Bing disergap oleh seseorang yang kemudian memukulnya hingga tak sadarkan diri, hingga mengalami koma. Mungkin pemukulan itu dilakukan dengan benda keras pada bagian kepalanya. Kisah ini kiranya cukup sampai di sini. Tak perlu dilanjutkan dengan detail karena kemungkinan akan dipenuhi perca-perca spekulasi liar.  Mungkin juga cukup menjadi rahasia keluarga yang mesti dipupuskan (kepergiannya). Dihentikan. Tak perlu dipanjanglebarkan bila itu hanya akan membuka luka (lama) bagi perasaan keluarga. Maafkan. Bing wafat meninggalkan seorang istri, Lita Hardja (Kwee Liem Sioe), dan 3 orang anak perempuan, satu puteri di antaranya telah menikah dan telah mengaruniai pasangan L.K. Bing-Lita seorang cucu.

Postingan Bing di akun Instagramnya pada tanggal 11 Agustus 2023 menjadi penanda akhir dari perjalanan kreatifnya sebagai arsitek yang juga seniman seni rupa. Lukisan dengan medium akrilik di atas kanvas itu menggambarkan panorama pagi jalanan menuju pasar Pabean, sebuah pasar tradisional tertua di Surabaya yang dibangun tahun 1849. Meski medium cat akrilik itu merupakan cat opaque yang bukan spesialisasinya, namun secara teknis dipraktekkan oleh Bing dengan teknik transparan secara baik. Ini salah satu karya yang mencerminkan kepiawaian Bing dalam mengeksplorasi material seni rupa, sekaligus kecermatannya dalam meng-capture sebuah sudut kawasan kota dengan nilai representativeness yang relatif tinggi. Seperti kebanyakan karyanya yang lain, lukisan ini ekspresif coretannya, dinamis karena ada bauran antara benda hidup dan tak hidup ada di dalamnya, dan garis-garisnya tetap terukur aspek perspektifnya, serta tetap jeli penempatan teknik pencahayaannya

*** 

Pada dasarnya almarhum adalah seorang arsitek. Bing muda menempuh pendidikan formal hingga rampung di Jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Petra Surabaya. Setelah itu dia bekerja sebagai seorang arsitek yang akrab dengan kerja-kerja menggambar teknis yang harus penuh kecermatan dan detail, serta kemudian mengkalkulasikannya secara bersama atau kolaboratif dengan pihak lain untuk penerapannya di lapangan. Begitu seterusnya. Bing juga sempat diminta oleh almamaternya untuk mengajar sebagai tenaga dosen luar biasa. Namun itu tidak berlangsung lama karena dia banyak kesibukan di luar kampus.

Ketika rutin mengerjakan proyek arsitektur yang menyita penuh perhatiannya itu, secara pelahan LK Bing menemukan sisi menarik dan menantang, yakni melukis dan lukisan. Seperti biasa, dia sering mengerjakan dengan detail pekerjaan arsitekturalnya baik secara individual maupun secara kolektif/team work. Sebuah bangunan, entah dirancang sebagai gedung perkantoran, rumah tinggal dan sebagainya didesainnya dengan detail dan cermat. Salah satu poin yang bisa melengkapi desain ruang adalah bentuk-bentuk visual yang mendukung desain tersebut. Lukisan adalah “benda” yang berpotensi untuk menguatkan aksentuasi sebuah ruang, atau sebaliknya justru merusak desain keseluruhan sebuah ruang.

Di sinilah kemudian Bing tertarik untuk menggali kemampuannya dalam menguatkan desain atau rancangan arsitektur karyanya dengan melengkapinya lewat karya lukisan. Bentuk atau citra-citra abstrak dengan kombinasi warna yang secara subyektif tepat, akan tepat pula bila ditempatkan pada sebuah ruangan. Pelan-pelan Bing tertarik dengan lukisan yang diasumsikan akan menambah aksentuasi sebuah ruangan.

Bing melukis sendiri, lalu ditempatkan pada ruang-ruang yang telah didesainnya. Melukis untuk keperluan melengkapi karya disain arsitekturnya ini secara pelan tapi pasti telah menyita perhatiannya. Dia harus melukis dengan menarik, artistik dan membentuk harmoni dengan ruangan yang telah dirancangnya. Di sisi lain, ada bonus lain bahwa karya lukisannya itu bisa menjadi karya mandiri yang bisa diapresiasi dengan harga yang memadai oleh kliennya. Gayung pun bersambut dalam perasaan Bing. Rancangan arsitektur adalah karya seni bangunan yang harus berkolaborasi dengan selera kliennya, sementara lukisan bisa menjadi karya ekspresi pribadi yang otonom dan tak bisa dengan mudah diganggu oleh keinginan pihak lain. Bing sepertinya mulai terayun-ayun di antara dua pola kerja tersebut: sebagai arsitek dan sebagai seniman.

Kerja kreatif sebagai seniman bisa menjadi katup pelepas ketertekanan atas rutinitas yang mekanistik dalam posisinya sebagai arsitek. Tantangan dalam kerja dan proses kreatif seniman pun secara bertahap dijalani Bing. Lukisan abstrak dengan cat akrilik yang menjadi proses awalnya dalam berkesenian seperti mulai menemukan monotonitas. Maka bergeserlah Bing pada material cat air sebagai medan ekspresinya, dan lanskap atau panorama kota menjadi subyek atas karya-karyanya.

Berkarya seni rupa dengan media cat air di atas kertas tampaknya cepat diadaptasi oleh arsitek ini. Dengan gegas dia aktif berkarya dengan media transparan. Rutinitas dan produktivitasnya dalam berkarya mulai menggeser kesibukan lain. Inilah yang kemungkinan menjadikan bahan alasan Bing untuk mengundurkan diri sebagai tenaga dosen luar biasa di Universitas Petra.

Tahun 2013 dia bersama teman-temannya sesama seniman dan penggiat seni lukis cat air mendirikan Urban Sketcher Surabaya. Mereka yang terlibat di dalamnya adalah arsitek, mahasiswa arsitektur dan seniman seni rupa. Basis kreatifnya para anggotanya adalah mereka yang hobi membuat gambar sketsa dan mereka yang menggemari seni lukis cat air. Belum banyak yang ikut, hanya belasan orang saja, namun mereka aktif dan militan. Militansi inilah yang mendorong sosok seperti Bing jadi gigih dengan pilihan kreatifnya sebagai pelukis cat air. Komunitas dan pilihan kreatifnya ini penting karena bisa mendukung Bing dan teman-temannya dalam kerja kreatif lainnya. Sebagai arsitek, Bing perlu mengasah kepekaan visualnya dalam menangkap obyek visual yang ada di depan matanya. Karya sketsa penting maknanya untuk mengawetkan photographic memory seseorang yang dipindahkan secara cepat dalam sebuah coretan. Coretan tersebut, dalam kerangka arsitektur, bisa menjadi sebuah kemungkinan basis rancangan atau desain. Sedangkan dalam kerangka seni rupa, karya sketsa bisa menjadi sebuah karya yang utuh dan otonom. Artinya, bisa disebut sebagai karya seni rupa.

Ketika karya sketsa itu divisualkan dengan kelengkapan material yang memadai, maka nilai tambah karya ini relatif meningkat. Bing melakukan itu dengan kesadaran. Dia tak sekadar membuat sketsa dengan tinta hitam putih, namun dengan cat air lengkap di atas kertas. Maka hasilnya akan jauh lebih memadai sebagai karya sketsa yang bercitarasa seni. Apalagi dalam kurun waktu sekitar 10-15 tahun terakhir ini Indonesia dibombardir oleh beragam produk peralatan dan material menggambar dan melukis yang sangat lengkap. Jauh lebih lengkap ketimbang waktu-waktu sebelumnya. Terlebih lagi para pelukis atau pehobi seni lukis cat air. Kini Indonesia menjadi pasar sekaligus medan kompetisi yang seru bagi berbagai produk cat air, kertas hingga setip atau penghapus dari berbagai merk material seni rupa dunia. Bahkan produk itu dari brand atau merk kelas dunia yang datang dari Eropa, Amerika, China, dan lainnya yang kini masuk dan bertarung merebut ceruk pasar di Indonesia yang berlimpah. Keduanya, produsen dan konsumen material seni rupa itu membangun pola relasi simbiose mutualisma atau saling menguntungkan.

 ***

Komunitas Urban Sketcher (USk) Surabaya yang dibangun LK Bing dan kawan-kawan sejak 2013 terus hidup. Tahun-tahun berikutnya, khususnya di Surabaya, hadir juga komunitas Kolcai atau Komunitas Lukis Cat Air Indonesia.Kalau menyimak sejarah singkatnya, Kolcai lahir setahun lebih tua ketimbang Urban Sketcher Surabaya. Kolcai pertama kali didirikan tahun 2012 di Bandung oleh Handogo Sukarno, pematung dan pelukis lulusan ASRI (Akademi Seni rupa Indonesia) Yogyakarta (yang sekarang menjadi FSR ISI (Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia) Yogyakarta. Kemudian Kolcai bersemai dan tumbuh di banyak kota, seiring dengan bertumbuhnya minat banyak orang menjadi pehobi seni lukis cat air, atau seniman seni rupa yang meluaskan medan ekspresi visualnya ke medium cat air. Bukan berhenti hanya di medium cat minyak, cat akrilik atau medium lainnya.

Di sisi lain, ternyata Komunitas Urban Sketcher telah merebak meluas di banyak kota di dunia. Karakternya nyaris sama persis. Mereka bertumbuh bersama para pehobi dan para seniman cat air yang memiliki minat dan tujuan yang sama. Aktivitas komunitas ini sama, yakni bersama-sama membuat, mengabadikan, dan mendokumentasikan sudut-sudut menarik dan ikonik pada sebuah kota dengan media ekspresi seni rupa, khususnya cat air. Lebih menarik lagi, ternyata komunitas tersebut secara rutin, sejak tahun 2010, mengadakan acara simposium. Persisnya bernama: The Urban Sketchers International Symposium atau Simposium Internasional (bagi) Urban Sketser. Acara ini annual atau satu tahun sekali, berpindah-pindah kota, dan ada praktik edukasi tentang dunia seni sketsa, khususnya seni lukis cat air.

Menurut beberapa koleganya, LK Bing beberapa kali mengikuti acara simposium internasional tersebut, yakni ketika perhelatan berlangsung di Singapura tahun 2015, di Manchester, Inggris (2016), Chicago, Amerika Serikat (2017), Porto, Portugal (2018) dan lainnya. Tampaknya Bing merasakan betapa networking dalam dunia seni sketsa atau seni lukis cat air ini memiliki nilai urgensi yang positif. Hal penting yang kemudian bisa dirasakan dan didapatkan oleh Bing dari aktivitas ini adalah proses pembelajaran yang lebih kaya atas praktik kerja kreatif sebagai seniman lukis cat air. Lewat pertemuan dan interaksi langsung dalam simposium itu Bing bisa mendapatkan reward kreatif secara langsung yang kemudian dipraktikkan di atas kertas-kertas karyanya. Oleh-oleh Bing dari partisipasinya ke beberapa simposium tersebut adalah artefak karya seni lukis cat air yang telah dibaginya untuk publik lewat akun Instagramnya.

Kalau kita menyimak lukisan-lukisan (terutama) cat air karya LK Bing terasa ada greget dan peningkatan dari waktu ke waktu pada aspek teknik dan output artistiknya. Publik seni rupa tentu sudah lazim mengetahui bahwa melukis dengan medium cat air atau teknik transparan itu relatif lebih sulit ketimbang berkarya dengan medium cat akrilik dan cat minyak. Tiap-tiap goresan dalam teknik transparan mesti dikerjakan dengan terukur dan penuh perhitungan bila akan menangkap obyek visual tertentu yang perlu kecermatan. Karena bila goresan tak sesuai keinginan, maka relatif tak bisa dihapus dengan menimpa dengan goresan berikutnya.

Pun ada banyak kemungkinan dalam pencapaian artistik bila memakai medium cat air. Misalnya, secara mendasar dalam dunia lukis cat air ada teknik wet-on-wet dan wet-on-dry yang dikerjakansesuai selera dan ketertarikan masing-masing seniman. Wet-on-wet adalah teknik melukis cat air dengan terlebih dahulu membasahi kertas, dan melukis ketika kertas masih basah atau setengah basah. Sementara wet-on-dry adalah melukis dengan cat air dengan kondisi permukaan kertas masih kering.

Bing tampaknya telah mulai masuk dalam level tinggi dalam perkara penguasaan teknis atas media cat air ini. Dua teknik di atas, yakni wet-on-wet dan wet-on-dry, telah dikuasainya dengan baik. Kemampuan dasar telah terlampaui. Kecakapan untuk melakukan eksplorasi teknis terus dikerjakan.

Kalau diamati dengan cukup cermat karya-karyanya—tentu yang telah diunggah di Instagram, apresian akan mendapati beberapa hal penting banyak berkelebat dalam karyanya. Pertama, karyanya banyak menampilkan unsur arsitektural sebuah kawasan. Bahkan porsinya banyak yang dominan. Fakta ini tentu sangat melekat dengan latar belakang Bing sebagai seorang arsitek yang juga perupa atau seniman seni rupa. Karya seni rupa menjadi katup pelepas bagi tekanan atas aturan yang baku, kadang kaku atas bentuk ekspresi dalam dunia arsitektur. Posisi yang ”terayun-ayun” antara sebagai arsitek dan perupa tampaknya diterabas dengan bebas. Misalnya, penonton bisa memahami bahwa dalam lukisannya ada ”ketertiban” yang ketat bahkan rigid dalam soal perspektif. Namun oleh Bing diterabasnya dengan menorehkan banyak garis yang bebas dan ekspresif. Tak harus digoreskannya dengan pelahan untuk menghasilkan garis lurus, misalnya. Namun dimunculkanlah garis-garis yang spontan dan ekspresif namun tetap artistik.

Kedua, Bing nyaris selalu memberi kesan tiga dimensi pada banyak karyanya dengan memperhatikan aspek pencahayaan (lighting). Misalnya, di anatar jelujur gedung-gedung tinggi, tiba-tiba “menyembul” cahaya cerah dari sebuah gang kecil. Ini kiranya merupakan kepekaan yang tak banyak dimiliki oleh perupa cat air karena aspek dimensional yang dibentuk oleh pencahayaan bukanlah hal yang mutlak perlu ada. Namun Bing merasa aspek cahaya ini penting untuk menguatkan aksentuasi sebuah sudut kawasan kota tertentu. Pencahayaan ini pada beberapa karya Bing sekaligus memberi penekanan yang artistik pada komposisi karya.

Ketiga, karya Bing—seperti halnya pada banyak perupa di komunitasnya, mengejawantahkan konsep ”ars imitatur naturam” atau seni itu mengimitasi atau meniru alam. Maka, kebanyakan karyanya lebih mengejar aspek harmoni, artistik, keindahan, eksotismenya, dan semacamnya. Dalam pengamatan tertentu karya yang dikreasi Bing ini relatif” sepi persoalan”. Tak ada problem yang tengah diperjuangkan, entah secara sosial, politik, hukum dan sebagainya. Atau dalam terminologi S. Soedjojono di dasawarsa 1940an lalu disebut sebagai karya “mooi indie” atau Hindia (Belanda) yang molek. Pandangan sekaligus kritik semacam ini memang ada benarnya. Namun kalau dikulik lebih jauh, karya Bing ini sebenarnya bisa ditempatkan sebagai sebuah medan alternatif untuk kerangka dokumentasi atas sebuah kawasan perkotaan. Dokumentasi visual tak hanya bisa diekspresikan dengan fotografi atau tulisan. Namun dengan karya lukis cat air ini para perupa juga melakukan upaya dokumentasi visual dengan pola capture atas ketertarikan tertentu. Sudut-sudut penting dan ikonik kota Surabaya barangkali telah banyak yang di-capture secara visual oleh Bing lewat lukisan cat air. Tentu akan ada nilai tertentu yang bisa diwacanakan.

Sepertinya masih ada poin-poin lain yang bisa ditengarai atas karya Bing, seperti perihal dinamisnya karya dia karena nyaris selalu ada makhluk hidup dan benda tak hidup berdampingan dalam satu frame, dan poin-poin lainnya.

Poin-poin itu saya duga mampu menjadi faktor pendukung kuatnya karya yang secara pelahan dan konsisten diamati oleh pihak lain. Tidak mengherankan kalau kemudian kekuatan karya LK Bing ini menarik minat sebuah brand cat air papan atas produksi Amerika Serikat untuk menggaetnya sebagai brand ambassador bagi produknya. Ya, terhitung sejak tanggl 5 Desember 2021 produsen cat air Daniel Smith yang berkedudukan di Amerika Serikat mengangkatnya sebagai seorang brand ambassador. Dengan posisinya seperti itu maka ketika kembali mengikuti acara tahunan The Urban Sketchers International Symposium, Bing tidak sekadar menjadi peserta biasa. Tapi meningkat sebagai mentor. Pihak Daniel Smith sendiri sejauh ini mengangkat sebanyak 90 orang brand ambassador dari berbagai negara. Dua perupa di antaranya dari Indonesia, yakni Agus Budiyanto dan LK Bing. Kemungkinan posisi keren dan prestisius ini juga berdampak bagi nilai karyanya. Menurut beberapa perupa, nilai transaksi karya-karya lukis cat air Bing merupakan yang tertinggi (termahal) di Surabaya.

Sayang sekali Bing belum sempat berpameran secara tunggal. Padahal ini merupakan salah satu obsesi besarnya sebagai seorang seniman. Dan harga diri seorang perupa di antaranya adalah ketika dia mampu berpameran tunggal. Selamat jalan, Pak Bing. Karyamu abadi...

Kuss Indarto, penulis dan kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.








Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Antara Kolektor dan Kolekdol