Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara?
oleh Sukarno
Kita datang dari Timur
Kita
berjalan menuju ke Barat.
Zia Keuk
Alp
Artikel saya yang sekarang ini
haruslah dianggap oleh pembaca sebagai bahan-pertimbangan sahaja ditentang soal
baik-buruknya, benar-salahnya, agama dipisahkan dari negara. Dalam "Panji
Islam" no. 13, bagian ke-III dari saya punya uraian tentang "Memudakan
Pengertian Islam", saya telah ajak pembaca-pembaca meninjau
sebentar ke negeri Turki itu. Sesudah P.I. no. 13 itu melayang kekalangan
publik, maka saya dari sana-sini, antaranya dari seorang sahabat karib di kota
Jakarta, saya mendapat permintaan akan menulis lebih banyak tentang soal agama
dan negara di negeri Turki itu dan tulisan saya yang sekarang ini haruslah
dianggap sebagai memenuhi permintaan-permintaan itu. Sudah barang tentu saya
punya sumbangan bahan ini hanya mengenai pokok-pokoknya sahaja, sebab saya
musti ingat, bahwa ruangan P.I. yang disediakan buat saya adalah terbatas, dan
… saya tak boleh menjemukan pembaca. Memang sebenarnya siapa yang ingin
mengetahui hal ini lebih luas, haruslah ia membaca buku-buku tentang
Turki-modern itu banyak-banyak: pidato-pidato di majelis perwakilan,
pidato-pidatonya Kamal Ataturk, biographinya-biographinya Kamal Ataturk,
kitab-kitab tulisannya Halide Edib Hanoum, tulisan-tulisannya Zia Keuk Alp, bukunya
Stephen Ronart "Turkey today", bukunya Klinghardt "Angora
Konstantinoper, Frances Woodsman "Moslem women enter a
new world", Harold Armstrong "Turkey in
travail", dan lain-lain sebagainya. Pada penutupnya kitab Halide
Edib Hanoum "Turkey faces west" adalah disebutkan
nama 41 buah kitab, yang oleh beliau sendiri sangat dipujikan membacanya.
Hanya dengan baca banyak-banyak
kitab yang tersebut di atas inilah kita, yang tidak ada kesempatan datang
sendiri di negeri Turki buat mengadakan penyelidikan yang dalam, dapat
menyusun satu "gambar" yang adil tentang hal-hal yang mengenai agama
dan negara di sana itu. Sayang saya sendiri tiada cukup syarat-syarat untuk
membeli semua kitab-kitab yang terpenting, dan perpustakaanpun di Bengkulu
tidak ada. Siapakah di antara pemuda-pemuda Indonesia di Jakarta,
yang saban hari bisa keluar masuk perpustakaan di
Gedung Gajah itu, suka memperkaya perpustakaan Indonesia dengan
sebuah verhandeling obyektif tentang hal ini?
Sebab, sebenarnya, orang yang
tidak datang menyelidiki sendiri keadaan di Turki itu, atau tidak membuat studi
sendiri yang luas dan dalam dari kitab-kitab yang mengenai Turki itu, tidak
mempunyailah hak untuk membicarakan soal Turki itu di muka umum. Dan lebih dari
itu: ia tidak mempunyai hak untuk menjatuhkan vonnis atas negeri Turki itu di
muka umum. Saya sendiripun, yang di dalam prive-bibliotheek saya, kalau saya
jumlah-jumlahkan, tidak ada lebih dari duapuluh kitab yang dapat membeli bahan
kepada saya atas Turki-modern itu, merasa juga tidak
mempunyai hak untuk mengemukakan saya punya pendapat tentang
Turki modern itu. Apa yang saya sajikan di sini kepada pembaca, oleh
karenanya, tali lebihlah daripada "sumbangan materiaal",
"sumbangan bahan untuk difikirkan" sahaja.
Sebab, – o, begitu mudah orang
jatuh kepada fitnah terhadap kepada Turki-muda itu. Orang maki-makikan dia,
orang kutuk-kutukkan dia, orang tuduh-tuduhkan dia barang yang bukan-bukan,
zonder melihat keadaan dengan mata sendiri, zonder mempelajari lebih dulu
kitab-kitab yang beraneka warna, zonder pengetahuan dari segala keadaan-keadaan
di Turki-muda itu. Orang mengatakan ia menghapuskan agama, padahal ia tidak
menghapuskan agama. Orang mengatakan pemimpin-pemimpin Turki-muda semuanya
benci, mereka tak sedia mengorbankan jiwanya buat membela kepentingan agama.
Orang mengatakan Islam di Turki
sekarang semakin mati, padahal beberapa penyelidik yang obyektif, seperti
Captain Armstrong, mengatakan, bahwa Islam di Turki sekarang menunjukkan
beberapa "sifat-sifat yang segar".
Orang mengatakan bahwa Turki
sekarang anti Islam, padahal seorang seperti Frances Woodsman, yang telah
menyelidiki Turki sekarang itu, berkata: "Turki modern adalah anti-kolot,
anti soal-soal lahir dalam hal ibadat, tetapi tidak anti
agama. Islam sebagai kepercayaan persoon tidaklah dihapuskan,
sembahyang-sembahyang di mesjid tidak diberhentikan, aturan-aturan agamapun
tidak dihapuskan."
Orang mengatakan bahwa Turki ini
tidak mau menyokong agama, karena memisahkan agama itu dari sokongannya negara,
padahal Halide Edib Hanoum, sebagai dulu sudah pernah saya sitir, adalah
berkata bahwa agama itu perlu dimerdekakan dari asuhannya negara, supaya
menjadi subur. "Kalau Islam terancam bahaya kehilangan
pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus oleh
pemerintah, tetapi ialah justru karena diurus oleh pemerintah. Ummat Islam
terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintah. Hak ini
adalah satu halangan yang besar sekali buat kesuburan Islam di Turki. Dan bukan
sahaja di Turki, tetapi di mana-mana sahaja, di mana pemerintah campur tangan
di dalam urusan agama, di situ menjadilah ia satu halangan-besar yang tak dapat
dinyahkan."
Begitu pula saya sudah mensitir
perkataan menteri kehakiman Mahmud Essad Bey, yang mengatakan agama itu perlu
dimerdekakan dari belenggunya pemerintah, agar menjadi subur: "Manakala
agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di
tangannya raja-raja, orang-orang zalim dan orang-orang tangan besi. Manakala
zaman modern memisahkan urusan dunia daripada urusan spirituil, maka ia adalah
menyelamatkan dunia dari banyak kebencanaan, dan ia memberikan kepada agama
itu satu singgasana yang maha-kuat di dalam:kalbunya kaum yang percaya."
Dan bukan lain dari Kamal Ataturk sendirilah yang berkata:
"Saya merdekakan
Islam dari ikatannya negara, agar supaya , agama Islam bukan tinggal agama
memutarkan tasbih di dalam mesjid sahaja, tetapi menjadilah satu gerakan yang
membawa kepada perjoangan."
Ya, memang barangkali sudah
bolehkah dikatakan secara adil,
bahwa maksud-maksud pemimpin-pemimpin
Turki-muda itu, bukanlah maksud-maksud-jahat akan menindas agama Islam,
merugikan agama Islam, mendurhakai agama Islam, – tetapi ialah justru akan
menyuburkan agama Islam itu, atau setidak-tidaknya memerdekakan agama Islam itu
dari ikatan-ikatan yang menghalangi ia punya kesuburan, yakni ikatan‑ikatannya
negara, ikatan-ikatannya pemerintah, ikatan-ikatannya pemegang kekuasaan yang
zalim dan sempit fikiran. Dan sebaliknyapun, maka kemerdekaan agama dari
ikatan negara itu berarti juga kemerdekaan negara lari ikatan
anggapan-anggapan agama yang jumud, yakni kemerdekaan negara dari hukum-hukum
tradisi dan faham-faham-Islam-kolot yang se5enarnya bertentangan dengan
jiwanya Islam sejati, tetapi nyata selalu menjadi rintangan bagi gerak-geriknya
negara ke arah kemajuan dan kemoderenan. Islam dipisahkan dari negara,
agar supaja Islam menjadi merdeka, dan negarapun menjadi merdeka. Agar supaya Islam berjalan sendiri. Agar supaya Islam
subur, dan negarapun subur pula.
Pada saat yang mati-hidupnya bangsa Turki tergantung
kepada kekuatan negara, maka Kamal Ataturk tidak mau sesuatu tindakan negara
yang amat perlu, tidak dapat dijalankan oleh karena ulama-ulama atau
Sheik-ul-Islam mengatakan makruh, atau haram, atau bagaimanapun juga. Pada saat
yang bangsa Turki itu hendak dihantam hancur-lebur) oleh musuh-musuhnya,
manakala ia tidak mempunyai alat kenegaraan yang maha-kuat dan senjata yang
maha-modern, maka ia tidak mau ia punya usaha "mengharimaukan" negara
itu dihalang-halangi oleh faham-faham Islam, pada hal sebenarnya bukan
faham-Islam. Pada saat yang mati-hidupnya bangsa Turki itu tergantung kepada
satu benang sutera, tergantung kepada cepatnya usaha memperkokohkan dan
mempersenjatakan negara, maka ia tidak mau mendapat pengalaman seperti
pengalaman Ibnu Saud, yang tidak dapat mendirikan tiang radio atau mengadakan
elektrifikasi, karena rintangan-rintangan kaum jumud, yang selalu mencap
makruh kepada , semua barang-barang-dunia yang baru, mencap haram kepada semua
barang-barang yang belum tentu haram.
"Saya merdekakan Islam dari negara, agar Islam
bisa kuat, dan saya merdekakan negara dari agama, agar negara bisa kuat",
– inilah di dalam satu-dua patah kata sahaja sarinya tindakan Kamal Ataturk
itu. Sebagai saya katakan di dalam P.I. no. 13 itu, maka sebenarnya hanya
sejarah sahajalah di kelak kemudian hari dapat membuktikan benar atau salahnya
tindakan Kamal Ataturk itu. Kita boleh memperdebatkan hal ini sampai merah kita
punya muka, kita boleh mendatangkan alasan satu gudang banyaknya bahwa Kamal
Ataturk menyimpang dari Islam atau tidak menyimpang dari Islam, kita boleh
bongkar semua sejarah Islam buat membuktikan kedurhakaan Kamal atau
kebijaksanaan Kamal, boleh pro, boleh kontra, boleh mengutuk, boleh memuji,
boleh marah, boleh bersukacita,- tetapi hanya sejarahlah sahaja yang nanti
dapat menjadi hakim yang sebenar-benarnya di dalam soal ini. Tidak bedanya hal
ini dengan misalnya soal siapakah yang benar: Stalin-kah atau Trotsky-kah?
Stalin-kah, yang beranggapan bahwa buat keperluan
komunisme-sedunia perlu diperkokoh lebih dulu satu-satunya benteng komunisme
yang telah ada, yakni Sovyet Rusia? Ataukah Trotsky, yang mengatakan, bahwa
buat keperluan komunisme-sedunia itu, perlu dari sekarang dikerjakan dan
diikhtiarkan revolusi dunia. Di dalam hal Stalin-Trotsky inipun kaum komunis
boleh berdebat-debatan satu sama lain sampai pecah mereka punya urat-urat-muka,
tetapi hanya sejarahlah nanti yang dengan fakta-fakta dapat menunjukkan, siapa
yang benar, siapa yang salah, siapa yang durhaka, siapa yang setia kepada
warisan Leninisme.
Tuan-tuan barangkali menanya: tidakkah syari'atul
Islam telah mengatakan dengan nyata-nyata, bahwa agama itu mengatur negara
pula, jadi bahwa agama menurut syari'at itu menjadi satu dengan negara? Akh, –
di dalam hal inipun sebenarnya tidak ada ijmak yang bulat di kalangan kaum
ulama. Di
dalam hal inipun ada satu aliran, yang mengatakan, bahwa agama – agama, urusan
negara – urusan negara. Misalnya di dalam tahun 1925 terbitlah di Kairo sebuah
kitab tulisannya Sheik Abdarazik "Al wa usul ul
hukm", yang mencoba membuktikan, bahwa pekerjaan Nabi dulu itu
hanyalah mendirikan satu agama sahaja, zonder maksud mendirikan satu negara,
satu pemerintahan dunia, zonder pula memustikan adanya satu kalifah atau satu
kepala umat buat urusan‑urusan negara. Sudah barang tentu Sheik Abdarazik ini
dipersalahkan orang, diseret orang di muka Dewan Ulama Besar di Kairo, dijatuhi
hukuman yang tidak ringan: ia diperhentikan dari jabatannya sebagai hakim, dan
kalau saya tidak salah diperhentikan juga dari jabatannya sebagai profesor di
dalam ilmu kesusasteraan di sekolah Al Azhar. Tetapi adalah delictnya Sheik
Abdarazik ini satu contoh betapa juga di dalam soal agama dan negara itu tidak
adalah ijmak ulama.
Maka oleh karena itu, manakala di
Turki kini bukan sahaja kepala-kepala pemerintahan, tetapi juga banyak
ulama-ulama fiqh mengatakan, bahwa agama dan negara tidak wajiblah di tangan
satu, manakala misalnya Stephan Ronart mendengar dari seorang ulama besar di
Istambul bahwa faham negara itu baru kemudianlah "menjelinap" ke
dalam Islam, – maka hal itu tidak lain daripada gambar ketidakadaan ijmak itu.
Dan pada umumnya, – memang kita terlalu "meributkan" hal ini!
Sebagian yang sudah saya tuliskan pula di P.I. nomor 13, maka terpisahnya agama
dan urusan negara bukanlah di negeri Turki sahaja! Di negeri Belanda, di
Perancis, di Jerman, di Belgia, di negeri-negeri Inggeris, di Amerika di semua
negeri-negeri di Amerika, di semua negeri-negeri ini agama dan negara tidak di
satu tangan, dan,- di negeri-negeri koloni yang penduduknya beragama Islam,
urusan agama Islam di situ juga tidak di tangan negara. Islam di India tidak menjadi satu dengan negara di
India. Islam di Indonesia tidak menjadi urusan negara di Indonesia.
Lagi pula, di sesuatu negeri yang ada demokrasi yang
ada perwakilan rakyat yang benar-benar mewakili rakyat, di negeri yang demikian
itu, rakyatnya toch dapat memasukkan segala macam
"keagamaannya" ke dalam tiap-tiap tindakan negara, ke dalam
tiap-tiap undang-undang yang dipakai di dalam negara, ke dalam tiap-tiap politik
yang dilakukan oleh negara, walaupun di situ agama dipisahkan dari
negara. Asal sebagian besar dari anggauta-anggauta parlemen politiknja politik
agama, maka semua putusan-putusan parlemen itu bersifatlah agama pula. Asal
sebagian besar dari anggauta-anggauta parlemen itu politiknya politik Islam,
maka tidak akan dapat berjalanlah satu usul juapun yang tidak lbersifat Islam.
Tidakkah misalnya di dalam parlemen di negeri Belanda kaum Keristen merdeka
menjalankan politik Keristennya?
Nah, inilah yang menurut
keterangan pemimpin-pemimpinnya dituju oleh Turki-muda itu! Tersilah sekarang
kepada rakyat sendiri, zonder tangannya negara, memeliharakan sendiri,
menghidupkan sendiri, mengkobar-kobarkan sendiri ia punya "kemauan
agama", mengkobar-kobarkan sendiri ia punya "religieuse wil",
menyala-nyalakan sendiri ia punya jiwa keagamaan; ia punya rakyat
berkobar-kobar ia punya ruh, ia punya jiwa Islam. Jika rakyat berkobar-kobar
ke-Islam-annya, tentu parlemen dibanjiri oleh ruh Islam; dan semua putusan
parlemen adalah bersifat Islam; rakyat padam ke-Islam-annya, tentu parlemen
sunyi dari ruh Islam dan semua putusan parlemen tidak bersifat Islam! Kalau
berkobar-kobar ke-Islam-an itu, maka itulah benar-benar ruh Islam yang sejati,
yang hidup sendiri, yang "laki-laki", oleh karena berkobar-kobarnya
itu karena tenaga sendiri, semangat sendiri, usaha sendiri,
ikhtiar sendiri, jerih payah sendiri, tekad dan jiwa sendiri zonder
asuhannya negara, zonder pertolongannya negara, zonder perlindungannya negara.
Bukan lagi ke-Islam-annya itu satu ke-Islam-an "peliharaan" yang
hidupnya karena selalu mendapat "cekokan obat" dari satu ke-Islam-an
bikin-bikinan, yang selalu layu kalau tidak mendapat cekokan obat dari negara.
Bukan lagi ke-Islam-annya itu satu ke-Islam-an yang "belum disapih",
yang segala gerak-geriknya masih perlu kepada bantuan, penjagaan, tuntunan,
asuhan negara. Dan, kalau ke-Islam-annya ini bisa berdiri sendiri zonder
bantuan dan penjagaan, maka bukanlah ia pula satu ke-Islam-an, yang di dalam
segala gerak-geriknya terhalang dan terhambat oleh hukum-hukum negara,
sebagaimana seorang anak terhalang pula segala gerak-geriknya, dan tidak bisa
menjadi manusia betul-betul, manakala seorang tua tidak tahu melepaskan
asuhannya pada waktu si anak itu menjadi akil-baliq dan dewasa.
Begitulah maksud-maksud dan
kehendak-kehendak pemimpin-pemimpin Turki-muda itu.
Adakah mereka punya maksud-maksud
dan kehendak-kehendak itu timbul karena "teori" sahaja, atau adakah
memang hal-hal dan keadaan-keadaan riil yang membawa mereka ke situ?
Inilah justru yang mau saja
sajikan kepada sidang pembaca di dalam seri artikel-artikel yang sekarang ini.
Satu hal sudah saya beritahukan
kepada pembaca, yakni posisinya negeri Turki di dalam pergolakan internasional
di dalam tahun-tahun sesudah perang-dunia 1914-1918. Pada waktu itu soal-hidup sudahlah menjadi satu
soal "to be or not to be", satu
soal "hidup atau mati" bagi negeri Turki dan bangsa Turki. Negara
Turki kuat, bangsa Turki akan hidup terus, negara Turki tidak kuat, bangsa
Turki akan lenyap tersapu habis dari sejarah dunia buat selama-lamanya!
Dari kanan, dari kiri, dari muka, dari belakang, dari
atas, dan dari bawah musuh sedia menggempur hancur ia punya kehidupan sebagai
natie, – tidak ada satupun hal di dunia ini dari mana ia boleh mengharap
bantuan, melainkan dari tenaga sendiri, keuletan sendiri, kekuatan sendiri,
senjata sendiri, bedil dan meriam dan organisasi kenegaraan sendiri. "We
must ensure our existence", kita musti
memperkokoh kita punya diri, itulah kalimat termasyhur yang diucapkan
oleh Ismet Pasja, Ismet Inonu yang sekarang, waktu ia berjabatan tangan dengan
Kamal sepulangnya dari konferensi di Lausanne. Berhubung dengan keadaan
internasional itu, maka perlulah sebagai kilat negara itu diperkokoh,
dikonsolidasi, dipersenjatai, di-"harimau"-kan, zonder boleh
memikirkan terlalu lama keberatan ini atau keberatan itu yang dikemukakan oleh
fatwa-fatwa ulama-ulama. Merdeka, merdekakanlah negara itu dari ikatannya
keberatan ini dan keberatan itu, karena musuh selalu sedia menerkam; tidak
boleh satu detikpun hilang terbuang, tidak boleh satu-kejap matapun hilang
terlengah!
Tetapi kecuali daripada desakan-desakan internasional
ini, adalah pula keadaan-keadaan buruk di dalam negeri yang bukan sahaja melemahkan
negara, tetapi juga melemahkan kehidupan rakyat jasmani dan rokhani yang
sebagian besar adalah akibat-akibat dari tradisi-kuno dan
anggapan-anggapan-kuno tentang agama Islam. Anggapan-anggapan-kuno inilah, –
jadi bukan Islam sebagai Islam-, anggapan-anggapan-kuno inilah yang melemahkan
rumah-tangga rakyat Turki itu di dalam urusan ekonominya dan sosialnya, di
dalam "outlooknya" dan di dalam kepercayaannya. Akibat-akibat
anggapan-anggapan-kuno inilah yang riil bagi pemimpin-pemimpin Turki-muda itu.
Sebab, sebagai Dr. Noordman katakan di dalam ia punya buku tentang negeri
Turki, bukan apa yang diajarkan oleh Islam itu yang menentukan sifat dan wujud
perikehidupan rakyat, tetapi apa yang diadakan benar oleh anggapan-anggapan
Islam, sebagai yang terjadi sepanjang jalannya zaman, itulah yang menentukan
segala sifat dan wujud perikehidupan rakyat. Prakteknya Islam, realiteitnya Islam, fiilnya Islam
yang nyata, – itulah yang "dipegang batang lehernya" oleh
pemimpin-pemimpin Turki-muda itu, bukan ajaran Islam, bukan isinya perintah dan
larangan Islam, bukan teorinya Islam! Buat apakah orang membanggakan
mempunyai "negara Islam", membanggakan mempunyai satu negeri yang di
situ "sabda-Allah" menjadi wet, kalau ekonominya kucar-kacir,
sosiainya kacau-balau, politiknya satu anarkhi, keagamaannya megap-megap,
prakteknya rumah-tangga rakyat bobrok dan busuk? Buat apa bangga mempunyai satu
"negara Islam" kalau "negara Islam" itu di dalam prakteknya
kehidupan internasional dan prakteknya kehidupan sehari-hari selalu menjadi
pembicaraan orang, tertawaan orang, cemoohan orang, yang menamakan negeri Turki
itu "de zieke man van Europa", yakni si orang sakit di Eropah? "Kita menamakan negeri
kita negeri Islam, tetapi segala keadaan negeri kita itu menjadilah penghinaan
Islam", begitulah Mufidee Hanoum, isterinya menteri Farid Bey,
bertaka kepada jurnalis Vincent Sheean yang menginterview kepadanya.
Dan apa sebab begitu? Oleh karena menurut
keterangannya Kamal Ataturk sendiri "Islam di Turki itu telah
menjadi satu agama konvensional karena diikatkan kepada satu negara yang
konvensional".
Oleh karena Islam itu "tidak dapat mengoreksi
dirinya sendiri, karena tidak merdeka mengoreksi dirinya sendiri".
Jadi oleh karena negara, negara yang lemah ini, negara
yang tua-bangka ini, negara yang "historisch overleefd" ini, membawa
Islam ke dalam kesakitannya, ke dalam kebobrokannya, ke dalam kejatuhannya,
maka untuk menyembuhkan kedua-duanya, untuk menyembuhkan negara dan untuk
menyembuhkan Islam, menurut pemimpin-pemimpin Turki hanyalah satu jalan yang
rasionil: perpisahannya negara, negara yang lemah ini, negara Islam itu.
Merdekanya negara dan Islam, merdekanya Islam dari
negara! Benarkah
anggapan ini? Salahkah anggapan ini?
Marilah kita dinomor yang akan
datang menyelidiki "alasan ekonomi" dan pimpinan-pimpinan Turki-muda
itu, yakni prakteknya Islam di negeri Turki di atas lapangan ekonomi.
Sabarkanlah sampai sekian!
Di dalam artikel saya ini saya
mau menceritakan kepada tuantuan, apakah "alasan-alasan ekonomi" dan
pemimpin-pemimpin
Turki muda itu buat memisahkan
agama dan negara. Lebih dulu
saya peringatkan kepada
tuan-tuan, bahwa maksud saya menulis seri artikel sekarang ini hanyalah
sekadar "memperslahkan" keadaan-keadaan dan
aliran-aliran di Turki sahaja, sekadar memberi satu "objectieve
weergave", dari keadaan-keadaan dan aliran-aliran di Turki itu.
Di dalam bagian I dari seri ini
saya sudah katakan kepada tuan-tuan, bahwa saya merasa belum mempunyai hak
menjatuhkan satu pendapat atas Turki sekarang itu, oleh karena saya punya studi
tenting Turki-muda memang belum boleh dikatakan cukup. Saya belum mau berkata:
"inilah satu sikap terhadap kepada Islam yang harus kita tiru",
tetapi sebaliknya saya tidak mau berdiri di barisannya orang-orang, yang zonder
studi dalam-dalam, sudah memaki-maki dan mengkafir-kafirkan Turki itu. Baik di
dalam bagian I itu, maupun di dalam satu bagian dari seri "Memudakan Pengertian
Islam", saya telah berkata, bahwa sebenarnya hanya sejarah kelak
yang dapat menentukan benarnya atau salahnya Turki-muda itu!
Apakah "alasan-alasan
ekonomi" dan pemimpin-pemimpin Turki itu? Dengan satu dua patah kata
sahaja, inilah mereka punya alasan ekonomi itu: prakteknya umat Islam di Turki
tak mampu menyehatkan perekono–mian Turki, tak mampu menyuburkan
perekonomian Turki itu, bahkan malahan melemahkan, mengendorkan,
mengocar-kacirkan perekonomian itu. Dan manakala mereka berkata demikian, maka
bukan ajarannya Islam yang mereka maksudkan, bukan pengajarannya Islam, bukan
Islam qua Islam, tetapi ialah praktek umatnya sebagaimana ia telah terjadi
sepanjang perjalanan zaman, praktek umatnya yang menjadi satu dengan negara.
"Kita tidak mencela
Islam, kita mencela akibat-akibat Islam yang kita kenal di negeri kita
sekarang itu", begitulah Zia Keuk Alp berkata.
Bagaimana praktek ini? Lebih dulu
pembaca harus mengetahui, bahwa persatuan agama dan negara itu di Turki di atas
lapangan burgerlijk recht sudahlah mengadakan satu keadaan dualisme,
– satu hal yang berbathin dua; satu recht dari
hukum-hukum agama, yakni syari'at, dan satu recht kedudukan yang difirmankan
oleh Sultan atau parlemen. Berhubung dengan banyaknya firman-firman yang ia
keluarkan inilah, maka misalnya Sultan Sulaiman yang di dalam
kitab-kitab-tarich Eropah biasanya dinamakan "Sulaiman de
Prachtlievende" di dalam sejarah Turki dinamakanlah ia "Sulaiman
Canuni",
"Sulaiman pembuat
undang-undang". Pada hakekatnya atau wujudnya maka recht
keduniaan ini sering sekali bertentangan dengan hukum
Islam. Misalnya, Sulaiman Canuni memfirmankan, bahwa pencuri-pencuri,
penzina-penzina, pemabuk-pemabuk, musti dihukum bui atau dihukum denda, padahal
syari'at menetapkan pencuri harus dipotong tangannya, penzina dilabrak di muka
umum, pemabuk dihukum pukul.
Halide Edib Hanoum mengambil ini
sebagai satu bukti, bahwa perbuatan kaum pemimpin Turki sekarang itu sebenarnya
bukanlah satu perbuatan yang mengejutkan, bukanlah satu perbuatan yang
betul-betul revolusioner, tetapi adalah satu perbuatan yang sebenarnya telah
dimulai berangsur-angsur oleh angkatan-angkatan yang terdahulu: perpindahan
sifat negara Turki dari satu negara teokrates (negara agama) menjadi satu
negara dunia, bukanlah satu perpindahan sebagai kilatannya kilat, tetapi ialah
satu perpindahan yang berangsur, yang bertingkat-tingkat, yang evolusioner.
Sebagaimana Marx berkata, bahwa revolusi-revolusi besar bukanlah buatannya
pemimpin "in een slapeloze nacht", maka Halide Edib Hanoum-pun
berkata bahwa revolusinya Turki sekarang itu bukanlah satu
"single act overnight".
Maka apakah akibat dualisme ini? Akibatnya ialah,
bahwa masyarakat di Turki senantiasa menderita akibat-akibatnya pertentangan di
dalam kulitnya masyarakat itu sendiri. Selalu ada satu perjoangan, satu pergeseran antara
kekuasaan keduniaan dan kekuasaan keagamaan, antara pemerintah dan
Sheik-ul-Islam, antara amtenar-amtenar dan ulama‑ulama. Masyarakat Turki
karenanya bathinnya adalah terpecah pecah‑belah, atau retak senantiasalah
tampak pada tubuhnya masyarakat Turki itu.
Maka masyarakat yang retak dan
terkoyak-koyak demikian ini tak mungkinlah menjadi subur dan kuat, tidak ke
dalam dan tidak keluar! Dan apakah yang terjadi pula?
Tiap-tiap konflik, tiap-tiap
perjoangan, tiap-tiap pertentangan, membawa akibat mempertajam" perbedaan
antara dua fihak yang berkonflik itu. Ini
memang sudahlah hukumnya alam. Yang modern memoderen, yang kolot mengolot. Yang
mau kepada perobahan menjadilah ekstrim radikal, yang tidak mau kepada
perobahan menjadilah beku datuknya beku. Inilah sebabnya itu gejala yang ganjil
sekali di masyarakat Turki. Sebabnja itu kejadian yang aneh sekali di
masyarakat Turki: tidak adalah dulu satu negeri yang ulama-ulamanya begitu
kolot seperti di Turki, tetapi juga tidak ada satu negeri Islam yang
pergerakannya hervorming-nya begitu radikal dan ekstrim. Tidak ada satu negeri
yang faham-faham kolot begitu bersulur-akar seperti di Turki, tetapi tidak
pula ada satu negeri yang apinya fikiran-modern begitu menyala menjilat-langit.
Ambillah misalnya faham tentang qadar. Tidak ada satu
negeri yang faham tentang qadar itu begitu kolot dan salahnya seperti di Turki,
begitu mematikan tiap-tiap inisiatif, begitu melemahkan tiap-tiap iradat. Segala hal diserahkan
sahaja kepada qadar, segala hal dikembalikan sahaja kepada taqdir. Perkataan
"kismet" adalah tertanam dalam-dalam jiwanya bangsa Turki dulu itu.
Tiap-tiap kemalangan diterimanya sebagai kismet, tiap-tiap kemudratan dikembalikan
kepada kehendak kismet. Kismet inilah yang menjadi asalnya kebanyakan kaum
Orientalis mengira bahwa agama Islam adalah satu agama yang sama sekali bersandar
kepada fatalisme: mati, hidup, putih, hitam, pahit, mans, mujur, malang, –
semuanya terserah sahajalah kepada Ilahi karena telah tertulis di dalam kismet
lebih dahulu, tak gunalah terlalu ikhtiar, cukuplah kita menunggu sahaja nasib
kita itu seperti menunggu tetesnya air embun.
Hartman, seorang Orientalis yang
kesohor, pernahlah menceritakan, betapa seorang Turki berkata kepadanya: Buat
apa membanting tulang terlalu? "Siapa yang betul-betul percaya kepada
Allah, seringlah ia mendapat ia punya nasi dengan jalan yang tidak
disangka-sangka. Belum pernahlah kejadian, bahwa orang yang betul-betul percaya
kepada Allah, menderita kelaparan." Percaya sahajalah kepada kismet, kalau
engkau sengsara, maka itulah sudah kehendak Allah buat kebaikan engkau punya
jiwa!
Noordman menceritakan, betapa di
Turki-dulu itu kaum penghulu agama selalu membuat propaganda anti-keduniaan,
anti-kekayaan, anti kerezekian: "Seorang mukmin harus sederhana dan
sabar. Kekayaan mengikat manusia kepada dunia, kemiskinan membuka
pintu-gerbangnya surga." Dan manakala ada fihak yang membantah propaganda
yang berbahaya ini, maka fihak itu sendirilah terancam bahaya: sebab kaum
penghulu-agama adalah mewakili negara!
Ya, – kismet! Kismet, kalau
engkau masuk bui karena engkau punya bantahan yang dinamakan "merusak
agama" itu. Kismet, kalau aturan-aturan yang mengenai kesehatanpun tidak
dapat dijalankan karena ulama-ulama yang mengikat negara itu memfatwakan,
"bahwa aturan-aturan itu haram".
Noordman menceritakan
pengalamannya Krausz in — Hellauer, bahwa dulu pernah ada
wabah yang haibat sekali di Istambul, yang pemberantasannya sangat sekali
menjadi sukar, oleh karena ulama-ulama mengatakan, bahwa haramlah diadakan
barak-barak, lazaret-lazaret dan sebagainya. Haram, – karena menentang kismet,
menentang qadar! Meskipun ratusan, ribuan manusia pada waktu itu menjadi
binasa, ribuan manusia mati karena nyata menjalarnya pes ini tidak dicegah,
maka tak berhenti-hentinyalah ulama-ulama ini menentang tiap-tiap tindakan
hygiene dengan alasan: "Allah maha mengasihi, kismetNya tak dapatlah orang
elakkan". Satu-satunya tindakan penolak penyakit itu yang dianjurkan oleh
ulama-ulama ini ialah . . . menempelkan secabik kertas dengan ayat Qur'an di
atas pintu … ! Dokter Karantina Saad bukan sahaja mendapat rintangan
haibat dari mereka, tidak sahaja dari rakyat yang sama sekali hidup di dalam
udara-pendidikannya ulama-ulama itu, tetapi dari amtenar-amtenarpun is mendapat
tuduhan mengerjakan barang-barang yang mendurhakai kismet.
Di pertengahan abad yang lalu,
perusahaan sutera Turki mendapat pukulan keras dari satu penyakit yang
membinasakan banyak ulat-ulat sutera. Di dalam tahun 1880 pemerintah mau
memberantas penyakit ini secara modern dengan methode Pasteur, tetapi rakyat
melawan kepada tindakan pemerintah ini, karena dianggap – mendurhakai kismet.
Dengan begitu maka tiap-tiap
inisiatif dirintangi, tiap-tiap kemauan ke arah kemajuan ditindas, dipadamkan
dengan alasan kismet. Tiap-tiap aturan baru, tiap-tiap tindakan, meskipun yang
paling maha-perlu sekalipun, tak dapat lekas-lekas dijalankan oleh pemerintah,
sebab pemerintah adalah terikat kaki-tangannya kepada Sheik-ul-Islam dan
mufti-mufti, terikat kaki-tangannya kepada fatwa yang sering sekali
mengeluarkan perkataan "jangan".
Dan sebaliknya, maka
Sheik-ul-Islam dan mufti-mufti itu "membeku"- lah memusat dan menyentral kepada
fiqh oleh karena segenap mereka punya perhatian, segenap mereka punya interesse
haruslah memusat dan menyentral kepada fiqh itu sahaja, sebagai yang telah
ditetapkan dan diakui syah oleh mazhabnya beratus-ratus tahun lebih dahulu.
Masyarakat Turki, rakyat Turki, jiwa Turki menjadilah satu barang yang mati,
yang tiada inisiatif, tiada iradat, tiada kemauan. Kismet, kismet, yah, – semua
kismet. Allah nanti akan mengatur sendiri segala sesuatu menurut
kebijaksanaannya. Allah maha mengetahui, manusia baiklah sabar dan sederhana,
menunggu segala pahit-getirnya, berat-ringannya, celaka-bahagianya Kismet itu,
zonder ikhtiar, zonder usaha, zonder zonder daad.
Dan bukan penyerahan kepada
Kismet ini sahaja menurut fahamnya pemimpin-pemimpin Turki-muda itu satu
"roman-muka" agama Islam di negeri Turki, tetapi masih adalah "roman-muka" lain
pula, yang juga sangat menjadi remnya kemajuan yang materiil, juga sangat
menghambat suburnya perekonomian rakyat. Roman-muka yang lain itu ialah
"perasaan puas dengan diri sendiri", satu perasaan
"zelfgenoegzaamheid" yang selalu berkata:
Kita punya aturan-aturan
sudah sempurna, tak perlu ambil over apa-apa lagi dari negeri
lain! Bukankah kita punya negara sudah negara Islam, kita
punya wet-wetnya negeri adalah wetnya syari'at, kita punya negara adalah satu
dengan kitabullah, – buat apa menengok lagi ke negeri lain?
Semua ilmu sudah terkandung di dalam Qur'an, buat apa menengok lagi kepada ilmu
yang di Eropah?
Dulu beberapa abad yang lalu,
dulu tatkala bangsa Turki merebut kota Istambul dari tangannya orang Nasrani,
tokh juga semua kitab-kitab dari bibliotik-bibliotik-besar dibakar habis,
kecuali kitab-kitab yang di dalamnya ada tertulis nama Allah? Ya, bagi bangsa
‘Turki, berpengetahuan bancak bukanlah cita-cita hidup,- cita-cita hidup
adalah menjadi orang yang baik sahaja. Ini, menjadi "baik" inilah
cita-cita hidup, menjadi "baik" inilah yang membuka pintu-syorga,
meskipun engkau dungu seperti seekor sapi, tak tahu apa-apa seperti seekor
kerbau, bodoh dan goblok seperti seekor keledai Buat apa masih mau mengejar
pengetahuan umum lagi, toch sudah cukup segala-galanya di dalam Qur'an?
Lebih baik engkau, kalau ada tempo lapang, mempelajari tarikah! Itulah ilmu
sejati, itulah ada gunanya sebagai bekal kekampung akhirat. Itulah ilmunya
ilmu, mutiaranya mutiara, pokoknya pokok, sarinya sari!
Maka kegemaran kepada tarikah
itulah satu "roman-muka" lagi dari agama Islam, di negeri Turki dulu,
satu roman-muka lagi yang menurut kesaksiannya Becker, seorang Orientalis yang
terkenal, sangatlah membuat rakyat Turki itu menjadi malas,
benci-kerja, indolent: iradat manusia diarahkan kepada hidup
kebathinan sahaja, dunia materiil yang fana ini tidaklah mendapat perhatian.
Akibatnya? Keinisiatifan ekonomi musnah, keaktifan di lapangan kerezekian
padam, kegiatan dan ketangkasan perjoangan-hidup sedikitpun tidak ada sama
sekali. Hilanglah kehendak akan merebut dunia sebagai diajarkan oleh Islam
sejati, musnahlah kemauan ekonomi daripada banyak lapisan
rakyat. Sebaliknya suburlah sarekat-sarekat-darwisj dan
tarikah-tarikah dari segala ragam, seluruh negeri Turki penuhlah dengan
darwisj-darwisj yang pakaian-pakaiannya bertambal-tambal dan hidupnya dari
mengemis, menganggur, menjadi penjaga kuburan-kuburan-keramat, menjual
azimat-azimat dan tangkal-tangkal.
"Dari vilayet-kevilayet,
dari desa-kedesa, mereka menyebarkan kepercayaan kepada takhayul, kepercayaan
kepada ilmu sihir, yang memang sangat dalam sekali berakar kepada keyakinan
rakyat", begitulah Halide Edib menulis di dalam majalah "Azia".
Dan akibat dari takhayul ini
pula? Lagi-lagi pemerintah mendapat rintangan haibat kalau pemerintah mau
memerangi sesuatu penyakit atau wabah dengan tindakan-tindakan kedokteran yang
rationeel, oleh karena rakyat lebih pertcaya kepada azimat-azimat, tangkal-tangkal,
sihir-sihir dan kemak-kemikannya mulut seseorang darwisj. Menurut keterangannya
Naumann, maka kaum tani percaya benar bahwa hama-ulat dan hama yang lain-lain
yang merusakkan tanaman itu dapatlah dengan segera dibasmi atau ditolak dengan
tengkorak-tengkorak binatang yang ditaruh di atas tiang-tiang di ladang-ladang!
Pekerjaan-pekerjaan tidak ada yang dimulai pada hari Selasa, hari Arbaa dan
hari Jum'at, oleh karena hari-hari ini adalah hari-hari sial, hari-hari yang
membawa celaka! Hanya hari Seninlah yang sebenarnya hari yang baik, hanya pada
hari Senin itulah segala pekerjaan penting boleh dimulai. Dan kalau tuan
membuat sebuah rumah, dan tuan mati sebelum rumah itu selesai, maka ahli-waris
tuan buat beberapa tahun lamanya tak berani meneruskan pekerjaan tuan itu.
Darwisj-darwisj satu kampung haruslah lebih dulu mengusir atau mendamaikan
syaitan-syaitan dan jin-jin itu, dengan macam-macam bacaan-bacaan, macam-macam
tumbal-tumbal, macam-macam sihir-sihir, macam-macam upacara-upacara, sebelum
tuan punya ahli-waris boleh meneruskan pekerjaan tuan itu!
Jadi: bermacam-macam churafat dan
kekotoran Islam sudahlah membuat status-ekonominya rakyat Turki itu menjadi
status-ekonomi yang rendah tingkat dan kebelakangan-langkah. Tetapi di dalam
mengerjakan syari'atpun perekonomian itu sering mendapat gangguan. Bukan oleh
karena syari'at tidak baik, bukan oleh karena syari'at tidak dapat memajukan
ekonomi sesuatu rakyat, – sebab telah terbukti gilang-gemilangnya di zaman
Kalifah-kalifah besar, baik di Timur maupun di Sepanyol, tetapi oleh karena
syari'at di Turki itu dikerjakan oleh satu syari'at yang malas (lihatlah
keterangan di muka), dan oleh karena syari'at disitu itu karena terikatnya, tak
ada kekuatan untuk membangunkan kegiatan dan ketangkasan rakyat,
mengobar-kobarkan kemauan-bekerja dan kemauan-berjoang kepada rakyat.
Ambillah misalnya hukum kewajiban
sembahyang lima waktu sehari. Siapa berani mengatakan, bahwa sembahyang itu
memadamkan kegiatan sesuatu rakyat? Saya berani mengatakan, bahwa sembahyang
itu malahan satu "sumber-tenaga", satu "sumber-kekuatan",
bagi orang yang tahu mengerjakannya. Tapi bagaimana di Turki dulu?
"Sembahyang ini yang harus dikerjakan lima kali sehari pada waktu-waktu
yang telah ditentukan, dipakailah menjadi alasan, disalah-gunakan, buat menarik
diri dari macam-macam pekerjaan", begitulah keterangan Noordman. Dan
dokter-dokter-karantina Saad mengatakan, bahwa amtenar-amtenar sering sekali
meninggalkan mereka punya tempat pekerjaan, dan kalau ditegor, sembahyang
itulah dibuat alasan.
Begitulah juga dengan hal puasa!
Kita mengetahui semua, bahwa puasa di bulan Ramadan
itu, asal kita kerjakan dengan cara yang benar, tidak melemahkan kita punya
kegiatan bekerja, tidak membuat kita seperti orang yang sakit t.b.c., tidak
memadamkan perekonomian rakyat. Tetapi bagaimana di Turki dulu? Semua kegiatan
menjadi musnah, semua "vitaliteit er uit getrapt", semua kesegaran
jiwa binasa sama sekali, oleh karena anggapan-anggapan salah, yang telah
disebarkan oleh kaum tarikah dan kaum kolot di kalangan rakyat itu. Di dalam
bulan Ramadan itu dianggap berpahala besarlah kalau orang tidak tidur
malam-hari dari magrib sampai subuh, tetapi banyak "baca-baca" atau
teriak-teriak "memuji" Allah sampai parau kerongkongan atau
banyak-banyak bicara wirid menurut tarikah masing-masing. Dan orang-orang yang
tidak ahli ibadatpun anggap pahala besar mengeluyur dari kedai kekedai, dari
tempat-makan ke tempat makan, dari tempat-tontonan ke tempat-tontonan, dari
mertamu ke sahabat yang satu rumah ke satu rumah dan ke sahabat yang lain
"guna merapatkan silaturrahim".
Tarikah dan bukan tarikah, ahli ibadat dan bukan ahli
ibadat, amtenar, saudagar, tani, ulama, kuli, – semuanya boleh dikatakan tidak
tidur di waktu malam, tetapi makan dan minum hantam-kromo sampai mendekati
fajar. Keesokan harinya?
Keesokan harinya tiap-tiap orang "Muslim
sejati" lantas tidak berharga sepeserpun, tapi mengantuk atau tidur
"sebagian besar dari hari", begitulah‘ kesaksian
Boker.
Di dalam bulan ini telah dikatakan semua amtenar main
kia-kia teledor dan pemalas, sehingga seluruh dinas negara mendapat kesukaran
yang amat besar. Datang telat, mangkir sama sekali,
lekas pulang karena
"pusing-kepala", semua itu dialaskanlah kepada "Ramadan".
Perdagangan dan transport seperti mendapat penyakit lumpuh, kaum-kaum-dagang
"duduk seperti tidak bernyawa menjaga mereka punya toko, tak perduli barang-barangnya
laku atau tidak laku", begitulah kesaksian Boker tahadi. Dan siapa tidak
di bawah perintah orang lain, siapa "tuan sendiri", ia tidur sahaja
sampai sore, menunggu datangnya saat mencari lagi "pahala" di waktu
malam …
Negara lemah terhadap hal ini. Negara tidak dapat berbuat sesuatu apa, kalau ia tidak
mau tabrakan dengan Sheik-ul-Islam dan mufti-mufti. Sebab negara adalah di
dalam tangan mereka, setidak-tidaknya, negara adalah di bawah pengaruh mereka,
terikat kepada mereka, wajib mengarahkan diri kepada mereka. Konflik bathin
yang saya terangkan di muka tahadi, yaitu pertentangan bathin antara kaum
kekuasaan-dunia dan kaum kekuasaan-agama selalulah mengguratkan ia punya
"keretakan" di atas tubuhnya masyarakat dan jiwanya masyarakat.
Ambillah, begitulah kata pemimpin-pemimpin Turki-muda
itu, ambillah misalnya perintah agama untuk bersedekah. Perintah ini adalah
yang maha baik, maha luhur, meluhurkan jiwanya si pemberi, meringankan
mudratnya sipenerima. Tetapi bagaimana di Turki? Karena anggapan salah tentang
hal sedekah ini, banyak orang menjadi malas, jalan-jalan penuh dengan kaum
pengemis, tempat-tempat keramat dikerumuni kaum-kaum peminta,
rumah-rumah-miskin padat dengan orang-orang yang mustinya tidak harus ada di
situ. Malahan sering sekali kaum pengemis ini bukan lagi mengemis, meminta
dengan kerendahan budi, melainkan mereka bersikap menuntut, mendesak, seperti
mengambil apa yang telah dianggapnya menjadi mereka punya hak. Apa sebab? Oleh
karena anggapan salah dibiarkan oleh penuntun-penuntun agama; oleh karena
anggapan salah itu tidak dikenal oleh penuntun-penuntun agama, bahwa itu adalah
anggapan yang salah; oleh karena negara tidak berdaya apa-apa buat memberantas
anggapan salah ini, selama tidak diakui salah pula oleh Sheik-ul-Islam serta orang-orangnya.
Sehingga hakim-hakimpun sering tidak mau menolong orang-orang yang mau menagih
hutang atau menagih bayar sewa rumah, oleh karena hal ini dikatakan
bertentangan dengan faham kesedekahan! (Begitu juga kesaksian de
Laveleye di dalam ia punya buku "Balkans").
Islam tidak melarang orang minum kopi, Islam hanya
melarang orang minum alkohol. Tetapi bangsa Turki hantam-kromo sahaja minum
barang yang halal ini zonder batas, kopi hitam yang kental sekali,
berulang-ulang kali sehari, sehingga umumnya menurut keterangan Fraser orang
Turki tidak sehat ia punya lever, terganggu ia punya limpa. Akibatnja? Orang
yang sakit limpa umumnya adalah orang pemalas, sehingga juga
karena kopi ini umumnya bangsa Turki bangsa pemalas! Tetapi manakala pemerintah
mau membuat anti-propaganda tentang kopi itu, maka segeralah ia mendapat
perlawanan, oleh karena ia mau memberantas satu hal yang menurut agama nyata
halal.
Pembaca barangkali pernah mendengar, bahwa sebelum
berdirinya republik, amtenar Turki itu terkenal di seluruh dunia sebagai kaum
penipu, kaum penggelap, kaum perampok harta-kekayaannya negara? Korupsinya kaum amtenar
Turki dulu adalah salah satu "roman-muka" dari alat perlengkapannya
mereka punya negara. Sebagian yang terbesar dari semua uang-uang cukai dan
uang-uang bea macam-macam, tidaklah masuk kedalam kas negara, tetapi "sudahlah
dimakan onta", sebagai seorang penulis yang bernama Endres mengatakannya.
Sehingga orang-orang yang tulus dan jujur di dalam urusan partikulirpun, yang
terkenal tidak pernah menipu atau mendurhakai orang lain, yang bukan pemeras
dan bukan penindas, tidak akan segan menggelapkan uang-uang kepunyaan negeri.
Sebab apa? Sebab
"agama", – agama sontoloyo! – selalu sedia mencarikan pengampunan
buat perbuatan-perbuatan yang demikian itu, dan sebab negara tidak cukup
kekuatan untuk menindas anggapan-anggapan sontoloyo itu. Seorang amtenar Turki
yang nafsi lauwamahnya merasa goncang sekali, oleh karena ia selalu terpaksa
mencuri uang negeri untuk menyenangkan hati kepala-kepala di atasnya, pergilah
kepada seorang Mollah untuk menumpahkan ia punya rasa-dosa itu. Dan apakah yang
dikatakan Mollah ini?
Bukan mempersalahkan perbuatan
itu kontan-kontanan, bukan mengatakan bahwa amtenar itu nanti mendapat hukuman
berat di akhirat, bukanpun menyuruh amtenar itu bertobat dan tidak berbuat lagi
perbuatan itu, tetapi: "Tuan di akhirat boleh berkata kepada Allah bahwa
tuan telah mengambil tuan punya bagian dari harta kenikmatan umat di dunia,
sehingga tuan tak minta lagi bagian dari harta kenikmatan itu di akhirat.
Kecuali daripada itu, halal menurut Qur'an merampas miliknya pencuri, dan oleh
karena seluruh beleid-nya pemerintah itu bertentangan dengan hukumnya Allah,
maka halal pulalah tuan mengambil miliknya negara."
Begitulah saya baca keterangan Saad di dalam kitabnya
Noordman. Kesontoloyoan yang saya kupas di dalam artikel saya yang dulu itu
masihlah satu "amal baik", kalau dibandingkan dengan kesontoloyoan
ini! Subahanallah!
Ada lagi satu akibat yang tidak baik di atas
perekonomian rakyat, orang Turki suka sekali mewakafkan ia punya tanah. Bukan
karena satu maksud suci mempersembahkan mink kepada perhambaan kepada Allah,
bukan untuk mencari pahala di akhirat, bukan dus sebagai satu "religieuze
daad", tetapi hanyalah untuk menjaga yang tanahnya itu kena beslag, dengan
tetap bisa mendapat hasil dari tanah-tanah itu. Maka dengan taktik yang
demikian ini, ratusan, ribuan, ya, puluhan ribu bau tanah terlepaslah dari pergolakannya
dagang umum. Meskipun taksiran Endres, yang mengatakan bahwa luasnya
tanah-tanah-wakaf itu jumlahnya-total sudah tiga perempat dari
semua tanah yang sudah ditanami, nyata terlalu tinggi, tetapi tak boleh
dibantahlah bahwa tanah-tanah-wakaf "taktik" itu adalah meliputi
satu keluasan, yang amat besar, satu "enorme oppervlakte" yang sudah
mati buat perekonomian rakyat.
Satu aturan agama yang baik, di sini sudahlah menjadi
satu rem bagi berkembangnya perekonomian bangsa! Dan kalau negara mau
mempengaruhi hal ini, maka bertabrakanlah ia dengan kekuasaannya kaum agama!
Ambillah lagi larangan riba. Siapa mau membantah,
bahwa larangan ini baik sekali buat melindungi si kaum miskin dari hisapannya
si kaum kaya, baik sekali buat menghindarkan si kaum kaya dari iblisnya
keserakahan dunia? Tetapi siapa pula mau membantah, bahwa satu masyarakat
modern perlu kepada bankwezen yang sehat sendi-sendi kemanusiaannya? Perlu
kepada pemutaran uang di dunia internasional, perlu kepada kredit dari negeri
lain, perlu kepada pelbagai hal yang di situ tidak dapat dielakkan
perhitungannya rente yang sederhana? Tetapi manakala di. Turki diadakan bank
tabungan macam-macam, maka menurut kesaksian Noordman semua bank tabungan itu
nafasnya adalah "senin-kemis", hidupnya tak dapat menjadi subur oleh
karena rintangan bermacam-macam. Perniagaan dan perusahaan kurang
"darah", kurang jiwa, kurang "bensin" karena banyak
kaum-kaum hartawan membenamkan harta-kekayaannya di dalam peti-besi di rumah
sahaja, atau memasukkan harta-kekayaannya itu ke dalam "benda tak
bergerak" sebagai tanah-tanah dan rumah-rumah, tidak ke dalam
pergolakannya perekonomian modern yang memakai bank-bank dan
kertas-kertas-effek, tidak ke dalam "surat-surat perbunga" secara
modern.
Memang bagi kaum agama coal ini adalah sukar di dalam
masyarakat yang sekarang ini! Tetapi justru di sinilah tampak dengan seterang-terangnya
itu konflik haibat antara tuntutan-tuntutannya masyarakat modern dengan fiqh,
antara pemerintah dunia dengan pemerintah agama, antara negara dengan
"gereja".
Justru di sinilah guratan retak
di atas tubuhnya masyarakat itu. Makin bertambah menjadi belahan sama
sekali yang membagi tubuh-masyarakat itu menjadi dua bagian, yang bertentangan
satu sama lain, berkonflik satu sama lain, beringkar satu sama lain. Yang satu
ingin merdeka dari yang lain, yang lain ingin mengikat sama sekali kepada yang
satu. Yang satu ingin berevolusi, yang satu sering dipaksakan oleh keadaan
internasional buat mengambil sesuatu tindakan-baru secara kilat, yang lain
tidak mengenal akan dinamika yang dimustikan oleh keadaan atau desakan
internasional. Maka apakah daya guna mendamaikan konflik ini? Kata
pemimpin-pemimpin Turki-muda tidak lebih dan tidak kurang: "beri
tabe" sahaja yang satu kepada yang lain. Rujak sentul, lu ngalor gua
ngidul! Kalau sudah terpisah satu sama lain, kalau sudah tidak terikat lagi
satu sama lain, nanti tentu berjabatan tangan satu sama lain,
menyokong satu sama lain, bersatu hati satu sama lain. Ya, bersatu hati, sekali
lagi bersatu hati satu sama lain!
Persis seperti di dalam halnya dua individu! Dua
individu-pun tidak bisa saling mencinta, tidak bisa saling menolong, saling
menjaga, bersatu hati betul-betul, kalau tubuhnya diikat erat-erat satu sama
lain sehingga masing-masing payah menarik nafas. Dua individu hanyalah dapat
bercintaan, bersaudaraan, bersatu satu sama lain, kalau terpisah satu
sama lain di dalam kemerdekaan masing-masing. Tidakkah ini
satu paradox? Persatuan di dalam perpisahan, percintaan di dalam perceraian,
perikatan di dalam perlepasan! Sekali lagi, tidakkah satu paradox? Benar satu
paradox, tapi satu paradox yang riil, yang nyata, yang boleh disaksikan dengan
kedua belah mata kita!
Benarkah pemimpin-pemimpin ini?
Atau salahkah mereka itu? Wallahu'alam! Sekali lagi Wallahu'alam!
Saya hanya memperslahkan mereka
punya "alasan ekonomi", di dalam nomor yang akan datang saya akan
perslahkan mereka punya alasan yang lain-lain.
Sementara itu haraplah sabar!
Di dalam bagian II dari seri
artikel saya sekarang ini, saya telah menerangkan kepada pembaca, apakah
"Alasan ekonomi" dari pernimpin-pemimpin Turki-Muda itu buat memisah
agama dari negara. Di dalam bagian III sekarang ini akan saya terangkan kepada
tuan-tuan apakah mereka punya "alasan politik".
Buat terangnya ini hal, perlulah
saya mengajak tuan-tuan lebih dulu membuka buku-sejarah Turki menerbangi
sejarah Turki itu "sebagai kilat" dari 4000 tahun yang sudah, sampai
ke zaman sekarang, di dalam beberapa kolom P.I. sahaja. Sebab zonder pengertian
betapa tumbuhnya, zonder pengetahuan sejarah Turki, betapa tumbuhnya ia punja
ideologi-ideologi, tak mungkinlah orang bisa mengerti dan menakar betul-betul
semangat Turki-Muda yang menggemparkan seluruh dunia Islam itu. Zonder inzicht
di dalam sejarah itu, tetapi hanya dengan penerangan tentang fiqh sahaja,
menjadilah tiap-tiap pertimbangan dan pendapat atas Turki-Muda itu satu
pendapat yang kurang lengkap dan malahan, acapkali menjadilah satu pendapat
yang kurang adil dan bijaksana. Zonder pengertian di dalam sejarah itu,
seringkali kita punya pendapat itu menjadi keruh dengan rasa cemburu, rasa
dendam, rasa benci, rasa marah, rasa fanatik yang sudah barang tentu tak
mungkin membawa kita kepada syaratnya tiap-tiap pendapat yang adil dan bijaksana,
yakni syarat: mengerti.
Janganlah hendaknya kita
menjatuhkan sesuatu pendapat atas sesuatu perkara, sebelum kita mengerti
seluk-beluknya perkara lebih dulu. Mengertilah lebih dahulu! Kalau sudah
mengerti, bolehlah kemudian than benarkan atau tuan salahkan, tuan puji atau
tuan cela, tuan cium atau tuan pukul!
Marilah kita "ambil"
sejarah Turki itu lebih dulu secara kilat.
Duapuluh abad sebelum Nabi Isa:
Asia Depan sudah masuk benar-benar ke dalam lapangan histori. Di sana sudah
berdirilah tegak-tegak kerajaan Heitiet. Mulai dari dua ribu
tahun sebelum Isa itulah boleh dikatakan Asia Depan selalu berada di dalam
kancah pergolakan internasional, yang menyala, yang selalu mendidih,
menggolak, mengapi, menyala. Apa sebab? Sebabnya tak sukarlah kita mengerti:
Asia Depan adalah satu negeri "cepitan" antara Timur dan Barat, satu
"overgangsland" antara Orient dan Occident. Tiap-tiap negeri
cepitan, – apa lagi negeri cepitan antara dua benua, dua
peradaban, dua daerah budaya sebagai Asia Depan itu tak akan mengenal
perkataan tenteram.
Lihatlah kerajaan Heitiet di Asia
Depan itu! Baru beberapa abad sahaja ia berdiri sudahlah ia digempur lebur oleh
bangsa Thuracia dan Hellenia (Yunani), dan Baru sahaja kekuasaan Hellenia ini
subur di situ, sudahlah ia pula digempur lebur oleh raja Cyrus dari Iran.
Tetapi belum lama pula kultur
Iran ini berkembang di sana, maka sudahlah Iskandar Zulkarnain merampas Asia
Depan dan memasukkan Asia Depan itu ke dalam ia punya kerajaan-dunia yang
maha-luas. Tetapi tuan tahu pula: Iskandar tidak lama hidup: sesudah ia mati,
gugur kembalilah susunan ia punya kerajaan-dunia yang maha-luas itu. Asia Depan
ikut-ikutlah di dalam keguguran ini, ratusan tahun lamanya, ia terpecah-pecah-belah
dan terkucar-kacir. Baru sesudah kekuasaan Hellenia tegak kembali di situ,
terutama sekali sesudah kekuasaan Rumawi menjadi kuat di Asia Depan (sesudah
Nabi Isa), datanglah ketenteraman dan kesejahteraan.
Tetapi – juga di dalam kerajaan
Hellenia-Rumawi ini, yang sebagian rakyatnya ielah memeluk agama Nasrani,
datang lagi perpecahan! Negeri Hellenia-Rumawi ini, yang satu memisahkanlah
diri dari yang lain, bagiannya yang sebelah Timur dengan ibu-kotanya Byzantium
(Istambul yang sekarang) menjadilah satu kerajaan Nasrani sendiri, memisahkan
diri sama sekali dari bagian sebelah barat dengan ibu-kotanya Roma.
Bagian yang Timur inilah, Byzantium
– menegakkan sendiri satu haluan agama Nasrani, yang biasa dinamakan
orang gereja "KatolikGrik". Bagian yang Timur inilah menegakkan satu
cara-pemerintahan sendiri pula, yang dinamakan caesaro-papisme, yakni,
satu cara-pemerintahan yang segala kekuasaannya digenggam oleh seorang kaisar,
tetapi kaisar ini menjadi kepala agama juga. Di sinilah bagi Asia
Depan itu permulaan cara-pemerintahan negara disatukan dengan religi. Kaisar
merangkap menjadi paus, – paus merangkap menjadi kaisar.
Perhatikan! Ini caesaro-papisme
di Asia Depan terjadi sebelum Asia Depan dimasuki Islam, ya,
sebelum ada agama Islam. Sebab di bawah pemerintah Justinianus, yang memerintah
antara 527 dan 565, – dua abad sebelum kita punya maha-pemimpin Nabi Muhammad
s.a.w. lahir di dunia, – di bawah Justinianus itu, caesaro-papisme ini sudah
lama subur, sudah lama berkembang-biak, berdiri berkemegahan, membubung keudara
ia punya kemasyhuran sampai terlihat dari ujung-ujungnya dunia peradaban di
waktu itu. Byzantium, Constantinopel, – dinamakan begitu buat memuliakan nama
kaisar Constantijn de Grote yang pertarna-tama masuk Nasrani -, Byzantium
menjadilah pusatnya peradaban griekskatholiek, dari mana-mana datanglah
orang-orang ke Byzantium itu buat berdagang atau mencari ilmu. Kebudayaan
"Byzantium-Grik" menanamkan ia punya akar-akar dalam sekali
di dalam bumi Timur di Asia Depan dan di sekeliling Asia Depan, akar-akar, yang
walaupun di kemudian hari kerajaan Byzantium itu gugur, musnah dari dunia, toch
masih sahaja terus tertanam ia punya pengaruh di situ, sampai puluhan tahun,
ratusan tahun, ya, sampai ke zaman yang akhir-akhir. Kebudayaan-kebudayaan
Byzantium-Grik Asia Depan yang kemudian memberi cap kepada bentuknya kesenian,
cap kepada outlook-nya agama (juga agama Islam!), cap kepada
ideologi pemerintahan, cap kepada adat-istiadat rakyat sehari-hari, cap kepada
segala adat-kebiasaan kelakuan rokhani dan jasmani dari rakyat di Asia Depan
itu.
Tetapi marilah lebih dulu
meneruskan kita punya "perjalanan kita"! Kerajaan Byzantium ini di
dalam abad ketujuh berdiri masih tegak, tetapi dari Tenggara datanglah satu
musuh yang maha-haibat, yang di kemudian hari akan berangsur-angsur
menggoncangkan dan membelah-leburkan ia punya alas-alas dan
pandemen-pandemen: kerajaan Islam, yang pada waktunya
kaisar-paus Heraclius (pertengahan abad ketujuh) telah melebar ke Sirya, ke
Irak, ke Syarkular dan ke Mesir, ke Iran. Malahan sampai dua kali
perajurit-perajurit telah masuk Asia Depan, dua kali mereka mengepung
Constantinopel, tetapi dua kali pula tentara kaisar-paus dengan amat
susah-payah sekali masih dapat memukul mereka kembali.
Musuh baru ini ternyatalah satu
musuh yang maha ulet. Dipukul dengan pedang ia dua kali mundur, tetapi dengan
jalan lain ia telah masuk ke dalam selimut pula: orang-orang Islam banyak yang
masuk ke Asia Depan sebagai budak belian. Dengan jalan begitu berangsur-angsur
ke dalam Byzantijnse verdedigingslinie masuklah pula pengaruh Islam, masuklah
Islam itu ke dalam pusat-jantungnya masyarakat Byzantium, sebagaimana di zaman
sekarang negeri-negeri kemasukan pengaruhnya "vijfde colonne".
Dengan begitu, – dan ada juga
sebab yang lain-lain yang tidak saya bicarakan di sini, dengan begitu makin
lama makin lapuklah kekuasaan kerajaan Byzantium itu! Dan tatkala pada
pertengahan abad kesebelas bangsa Islam Seldsyuk dari sebelah Kirgis-Irania menyerbu
ke negeri itu, gugurlah sama sekali ia punya kekuasaan di bagian Ikonia, dan di
sinilah buat pertama kali bisa berdiri kerajaan Islam di daerah Byzantium yang
tahadinya maha-haibat itu: Ikonia, atau di tarich Islam sering dinamakan Rum,
satu nama yang kita semua sudah kenal. Ikonia., atau Rum, yang memasukkan ke
dalam peradaban Grieks-Byzantijn itu satu elemen baru, satu "dzat"
baru, satu Nap" baru, yang juga akan tetap bersulur-akar di dalam
peradaban Asia Depan yang kemudian: capnya peradaban Iran.
Jadi, apakah cang kita lihat kini
di Asia Depan itu? Kini kita melihat campuran dari tiga
peradaban: peradaban Grieks-Byzantijn, ditambah dengan peradaban Arab
(Islam), ditambah dengan peradaban Iran! Campuran dari tiga peradaban inilah
yang selalu musti kita ingat, kalau kita mau mengerti sifat dan wujudnya
anggapan-anggapan dari rakyat-rakyat dari sebelah Timurnya Lautan Tengah.
Campuran dari tiga peradaban inilah yang menjadi kunci bagi kita buat membuka
banyak soal-soal yang kemudian hari sudah begitu lazim, sehingga tidak berupa
"soal" lagi, tetapi "ditelan" sahaja oleh umat-umat Islam
sebagai "hukum-hukum Islam" yang "murni"
dan "sejati". Campuran dari tiga peradaban inilah yang misalnya
sahaja menerangkan kepada kita asal-asalnya orang Islam ikut-ikut mengurung
dan menutup dan "menyelimuti" perempuan (operan adat
Grieks-Byzantia), asal-asalnya orang Islam benci kepada rasionalisme
atau kemerdekaan akal, gemar kepada agama "bila kaifa" dan
kesufian (operan dari mistik Iran).
Dan perhatikan: saya menulis di
sini dengan terang "orang-orang Islam", dan bukan orang Islam di
Ikonia sahaja! Sebab sudah pada permulaan abad ketigabelas ibu-kota negeri Rum
itu menjadi satu pusat perdagangan dan ilmu, yang didatangi oleh orang dari
mana-mana, sebagai juga Constantinopel di zaman yang terdahulu. Itulah sebabnya nama Rum begitu termasyhur di dalam
tarich-tarich Islam! Semua ahli-ahli pengetahuan dan peradaban di dunia Timur
waktu itu berkumpullah di ibu-kota Ikonia, semua ahli-ahli fikir dari sebelah
Timur lari ke ibu-kota itu.
Lari, – sebab dari Timur meniuplah satu taufan baru,
yang mempelantingkan singgasana-singgasana dan menghancurkan
kerajaan-kerajaan: taufannya tentara-tentara Mongol yang mengobrak-abrik
kekanan dan kekiri! Maka Ikonia-lah lama sekali menjadi tempat bernaung bagi
ahli-ahli ilmu dan pengetahuan itu, tetapi celaka, juga Ikonia kemudian
diterjang pula oleh taufan Mongolia itu. Pada permulaan abad keempatbelas
jatuhlah dinasti Seldsyuk di Ikonia, dan Asia Depan menjadilah satu
"daerah pinggir" dari kerajaan Mongol yang maha-maha-luas itu, yang
melebar dari pantai Timur sampai ke pantai Barat dari tepi Laut Tiongkok sampai
tepi Laut Tengah. Tetapi meskipun dinasti jatuh, tidak jatuhlah pula peradaban Seldsyuk sama
sekali. Ia masih ada yang meneruskan. Justru karena ia hanya satu "negeri
pinggir" sahaja, justru karena ia hanya satu "buitenpost"
sahaja, satu "randgebied", maka kekuasaan Mongol tidaklah dapat
"masuk" di situ sebagai satu kekuasaan riil. Dinasti Seldsyuk telah
jatuh, dinasti itu telah gugur berantakan, tetapi banyaklah amir-amir Turki
yang masih dapat berkuasa di sana-sini. Amir-amir inilah yang meneruskan
tradisi Seldsyukiyah, menjadi waris-waris yang sesungguhnya dari peradaban dan
kekuasaan Seldsyukiyah itu. Salah seorang dari amir-amir ini adalah Amir Usman,
dan Amir Usman inilah yang kelak menjadi "datuknya" kerajaan Usmaniah
yang megah dan termasyhur itu.
Sebab kerajaan kecil Usmaniah itu
makin lama makin kuat, makin lama makin tambah pengaruh dan kekuasaan, makin
lama makin tambah luasnya daerah. Dengan kerajaan Usmaniah itu Asia Depan
membuat satu sejarah baru.
Kerajaan Byzantium mendapat
saingan baru yang maha-haibat. Ikonia silam, tetapi Usmaniah mengganti ia punya
tempat! Kalifah Abbasiyah-pun telah runtuh sama sekali di tahun 1258, dan
Usmaniah-lah yang sekarang memegang monopoli "peradaban Islam".
Peradaban Byzantium dan peradaban Usmaniah berjoanglah diam-diam atau terang-terangan
terus-menerus, Asia Depan menjadilah gelanggangnya perjoangan dua peradaban
ini. Tetapi,- sebagai kita lihat pada tiap-tiap perjoangan kultur satu fihak
"ketularan" dzat-dzatnya cultuur yang lain, satu fihak mengoper banyak
hal dari isinya kultur yang lain. Malahan satu fihak bisa menundukkan fihak
yang lain itu, justru karena mengoper banyak hal dari isi kultur yang lain itu.
Byzantium di kemudian hari kalah sama sekali di dalam pertandingan ini, tetapi
ia kalah dengan meninggalkan banyak Nap" di atas tubuhnya ia punya musuh.
Byzantium tunduk dan patah di dalam tahun 1453 karena hantamannya Sultan
Muhammad II yang di dalam tahun itu merebut kota Constantinopel, – tetapi
sesudah di bawah Sultan Murad I, seratus tahun terdahulu, banyaklah cara-cara
pemerintahan dan cara-cara kemiliteran Byzantium dioper oleh negara Usmaniah
itu.
Sudah di bawah pemerintahan
bapaknya Sultan Murad I itupun hampir semua cara organisasi negara Byzantium
ditiru dan diambil sebagai tauladan oleh kerajaan Usmaniah. Susunan tentara
berkuda yang dinamakan "Spahi", susunan tentara kaki yang bernama
kaum "Janitsar" (diambil dari kalangan orang Nasrani), susunan
kehakiman, susunan pemerintahan dalam negeri, – semua itu banyaklah menaulad
kepada susunan Byzantium. Apa lagi menurut perintah Islam memang kaum Nasrani
dibolehkan ikut hidup di daerah dan mengabdi kepada negara Muslimin, maka
elemen-elemen Grik semakin besarlah pengaruhnya ke dalam segala
urusan-urusan-dunia dan segala ideologi Usmaniah itu. "Islam" di
negeri Usmaniah ini bukan sahaja Islam yang banyak mistik dan kedarwisyan dan
kesyi'ahan (operan dari Iran), ia adalah Islam pula yang banyak mengambil open
cara-hidup sehari-hari (antara lain-lain urusan perempuan) dan
cara-pemerintahan Griek-Byzantia, dan – ia adalah Islam pula yang paling
"berani" dan paling radikal" mengoper dzat-dzat dari kanan dan dari
kiri. Sebagai negeri cepitan yang terletak di tengah-tengahnya pertemuan
pengaruh-pengaruh dari Barat dan dari Timur, sebagai satu negeri yang terletak
di tempat "ciumannya" ideologi-ideologi Grik dan Iran, maka Islamnya
menjadilah satu Islam yang "bermuka tiga"; bermuka-muka sendiri,
bermuka Grik, dan bermuka Iran.
Dan Islam inilah yang
banyak atau sedikit mempengaruhi pula "muka" dari Islam-umum di
negeri-negeri lain. Tidakkah sudah saya terangkan, bahwa Rum menjadi salah
satu pusat pengetahuan Islam, yang ideologinya niscaya menjalar ke
negeri-negeri yang putera-puteranya datang kepadanya, dan tidakkah kerajaan
Usmaniah-pun di kemudian hari, sesudah runtuhnya Byzantium, melebar ke Timur,
ke Barat, ke Selatan, ke Magribi, ke Madinah, ke Mekkah, ke Yaman, sampai
meliputi hampir semua dunia Islam di Asia bagian Barat dan Afrika bagian Utara?
Tidakkah barang tentu ideologi Islam
Usmaniah menjalar pula ke mana-mana? Maukah tuan satu perbandingan dari zaman
sekarang? Lihatlah: orang-orang Islam kolot di negeri kita banyak mengambil
"muka" dari Hadramaut, dan orang-orang Islam-muda banyak mengambil
"muka" dad Islam di negeri Mesir. Dan lihatlah adat-kebiasaan kita
sehari-hari: kita banyak mengambil oper pakaian Eropah, banyak mengambil oper
kata-kata dari bahasa Eropah, cara-hidup Eropah, cara memikir Eropah, kultur
Eropah, dan lain-lain hal dari Eropah lagi. Kita punya seni bangunan makin
menjadilah seni bangunan Eropah, kita punya kesenangan-kesenangan adalah meniru
kesenangan Eropah pula. Maka begitu jugalah dengan Islam Usmaniah dan kultur
Usmaniah itu: ia menjadi banyak ditiru dan ditaulad oleh negeri-negeri yang
takluk kepadanya atau yang berhubungan kepadanya, dari Magribi sampai ke Yaman.
Tetapi ia sendiri mendapat ia punya Islam dan kultur itu dengan banyak
"mencuri" anggapan-anggapan Irania dan Griek-Byzantia, ia sendiri
meniru dan menaulad kepada orang-orang lain!
Sudah menyimpang lagi saya dari
kita punya "penerbangan kilat" melalui sejarah Turki! Marilah kita
sambung lagi: Byzantium runtuh, Usmaniah berdiri terus, malahan melebar,
meluas, menjalar, Salim I dan anaknya Sulaiman I menaklukkanlah daerah-daerah
baru. Orang haibat Salim I ini! Ia tidak puas menjadi Sultan sahaja, ia angkat
juga ia punya diri sendiri menjadi Kalifah seluruh dunia Islam! Ia adalah satu
Sultan Turki yang pertama-tama mengambil oper sama sekali 100% segala
sifat-sifat caesaro-papisme dan cara-pemerintahan Byzantium itu, ia punya
kerajaan meluas sampai ke Mesir dan ke Yaman; daerah kerajaan ia punya anak
Sulaiman I tambah lagi luasnya, yaitu dengan menaklukkan negeri-negeri Nasrani
di Balkan, di Hongaria, di Krim, dan negeri-negeri sebelah utaranya Laut Hitam.
Kerajaan Usmaniah yang memang dad tahadinya telah berisi rakyat-rakyat
Nasrani, kini menjadi sama sekali satu kerajaan yang dua elemen di dalamnya
hampir sama kuatnya: elemen Islam dan Griek-Byzantia. Ya, di dalam sistim pemerintahan
dan di dalam tubuh-pemerintahan, malahan lebih kuasalah elemen Griek-Byzantia
itu. Di dalam tubuh-pemerintahan semakin banyaklah jumlah amtenar-amtenar
yang bukan Islam atau bukan Turki, sebagaimana di dalam tubuhnya
kemiliteranpun semakin bertambah besar pengaruh dan kekuasaan tentara Janitsar
yang bukan Turki pula itu. "Stelsel pemerintahan
di dalam periode peluasan-daerah ini", begitulah Noordman menulis,
"Stelsel pemerintahan di dalam periode peluasan daerah ini makin
dirobahlah menurut tradisi Byzantia, yang memang dari mulanya sudah menjalankan
pengaruhnya. Sebab yang terbesar dari perobahan ke arah kebyzantiaan ini ialah,
bahwa jabatan-jabatan pemerintahan makin lama makin jatuh ke dalam tangannya
orang-orang bangsa Grik, bangsa Albania, bangsa Slavia, yang masuk agama Islam,
sedang keluarga-keluarga Turki tulen dari Anatolia makin lama makin terdesak
mundur." Menurut keterangan Oberhummer di dalam ia punya buku,
"Die Fuurjen", maka antara tahun 1453 dan 1623, dari
40 wazir yang mengepalai pemerintahan Usmaniah itu, hanyalah lima orang sahaja
dari turunan Turki!
Sesudah periode peluasan-daerah di bawah Salim I dan
Sulaiman I itu, datanglah satu periode yang agak tenteram. Kini satu setengah
abad lamanya pedang tidak begitu sering dicabut dari sarungnya, kini bukan lagi
taktik dan strategi yang menggetarkan jiwa Usmaniah, tetapi pemerintahan. Kini
pengaruh sultan-kalifah menjadi surutlah, tetapi makin naiklah pengaruhnya kaum
amtenar dan kaum ulama-ulama di bawah pimpinannya Sheik-ul-Islam. Dulu,
waktu pedang dan tombak dan panah beterbangan kian-kemari, waktu mati-hidupnya
kerajaan tergantung dari malang-mudjurnya senjata didaerah-daerah dar-ul-harb,
dulu, sultan dengan jenderal-jenderalnyalah yang menentukan tiap-tiap langkah.
Dulu kaum
amtenar dan ulama-ulama ini tinggallah di atas tingkatan yang kedua. Tapi kini,
sesudah dar-ul-harb-dar-ul-harb itu menjadi dar-ul-salam, sesudah pedang masuk
kembali ke dalam sarungnya, sesudah sultan boleh main-main sahaja dengan
bidadari-bidadarinya di dalam istana, dan jenderal-jenderal dengan
selir-selirnya di dalam harem (meniru adat Byzantia!) – kini kaum amtenar dan
kaum ulama-ulamalah yang mendapat alam. Dulu sultan-kalif ah sahajalah yang
sebagai raja-mutlak menentukan tiap-tiap tindakan atau aturan, kini tiap-tiap
tindakan atau aturan itu dibicarakanlah habis-habisan lebih dulu antara kaum
amtenar dan kaum ulama yang bersenjatakan kitab fiqh, dan sering sekali
bertabrakanlah pembicaraan-pembicaraan itu. Alat Pemerintahan menjadi "log",
menjadi "berat badan", menjadi "hilang ketangkasannya".
Halide Edib Hanoum mengatakan
bahwa sejak itu hilanglah kerajaan Usmaniah ia punya sifat kelaki-lakian. Ia
bukan lagi satu negara yang dinamis dan rikat seperti singa betina, ia
menjadilah satu negara yang "pelan" dan "malas". Maka
sejak dari saat itulah kerajaan–kerajaan Nasrani mulai mereka
punya tegenoffensief, sejak dari saat itulah kerajaan-kerajaan Eropah
mulai mereka punya stormioop-pembalasan di atas tembok-temboknya
kerajaan Usmaniah. Pada tahun 1683 mendapatlah ia pukulan haibat yang pertama
kali di muka pintu gerbangnya kota Wina, dan di dalam abad kedelapan belas
mulailah Ustria dan Rusia merebut daerah-daerah luas dari genggaman-tangan
kekuasaannya.
Usmaniah dengan lambat-laun mulai
menjadi "de zieke man van Europa", Usmaniah mulai menderita. Ia
mencoba menyusun kekuatannya kembali dengan satu-satunya jalan yang dapat
memberi kekuatan kepadanya. Yakni dengan mengadakan perobahan-perobahan militer
kearah kemoderenan di bawah petunjuk adviser-adviser dari negeri asing, tetapi
kaum Yanitsyar dan kaum ulama menentang perobahan-perobahan ini mati-matian,
sehingga gagallah tindakan-tindakan itu sama sekali. De zieke man menjadilah
makin sakit, obat yang mau ia minuet ditampar jatuh dari tangannya ,oleh kaum
Yanitsyar dan kaum ulama itu.
Apa daya? Sekali lagi dicobalah
perobahan itu oleh Sultan Salim III (1789-1808), kendati rintangan, kendati
perlawanan, kendati vetonya kaum ulama dan kaum Yanitsyar itu. Halide Edib
Hanoum memuji Salim III itu sebagai sultan yang paling berhaluan kemajuan di
dalam seluruh sejarah dinasti Usmaniah. Tetapi ini "raja" pertama
dari Turki modern, ini "eerste heerscher van het moderne Turkendom"
sebagai seorang penulis lain yang bernama Muhiddin sebutkan dia, ini
"eerste heerscher van het modern Turkendom", kalahlah ia punya
perjoangan dengan kaum-kolot dan kaum-jumud, dan terpaksalah menyudahi perjoangannya
itu dengan putusnya ia punya jiwa: di dalam tahun 1808 dibunuhlah Salim III
itu!
Tetapi Mahmud II yang mengganti
dia, tidak takut meneruskan perjoangan Salim III pula! Sebab, apa harapan bagi
kerajaan Usmaniah, kalau modernisasi tidak dapat dijalankan, kalau kaum
Yanitsyar dan kaum ulama masih tetap melawan sahaja, kalau Turki masih tetap
bersistim kuno dan bersenjata kuno, sedang musuh menerjang dari mana-mana, –
musuh yang sekarang bersenjata meriam dan bedil, bertaktik dan berstrategi
secara baru, berorganisasi dan berperang secara modern? Mahmud II mengerti,
bahwa kaum Yanitsjyr melawan perobahan itu oleh karena mereka takut akan
kehilangan pangkat dan pengaruh, dan bahwa kaum ulama berani melawan pula, oleh
karena mereka bersatu dengan kaum Yanitsyar itu, bersandar kepada kaum
Yanitsyar itu.
Maka Mahmud II kerjakanlah apa
yang Salim III tidak berani kerjakan: Ia bubarkan tentara Yanitsyar itu,
matikan tentara Yanitsyar itu sama sekali zonder banyak omong-omong lagi! Kaum
ulama yang kini kehilangan tulang-belakang itu, tak beranilah lagi melawan
terang-terangan, tetapi masih teruslah mereka beraksi sembunyi-sembunyian. Di
atas tanah jalan tertutup, di bawah tanah masih adalah lapang!
Ya, kaum Yanitsyar, Mahmud II
bisa binasakan dengan semau-maunya sahaja, kaum Yanitsyar yang jumlahnya hanya
ribuan atau puluhan ribu itu ia bisa hapuskan dengan satu usapan tangan. Tetapi
kaum ulama yang begitu besar pengaruhnya di atas rakyat jelata! Dan kaum
amtenar, yang juga buat sebagian besar hanya ingat kepada kepentingan sendiri
sahaja di bawah sistim pemerintahan Usmaniah yang kuno! Kaum ulama dan kaum
amtenar itu toch tidak dapat ia putar lehernya dengan satu putaran sahaja? Maka
oleh karena itu, – oleh karena ia tidak bertindak seperti Kemal Pasya di
kemudian hari, yang tindakan perobahannya ialah terutama sekali satu perobahan
dari dalam, satu perobahan di dalam outlooknya seluruh rakyat Turki
sendiri – , oleh karena itulah perobahan Mahmud II itu boleh dikatakan
tidak berhasil pula. Hanya dibagian-bagian yang kecil sahajalah ia dapat
mengadakan modernisasi, misalnya di dalam cara-pakaian Turki, jubah dan sorban
Arab dibuang, dan digantilah dengan pantalon serta feznya bangsa Grik!
Ya, pembaca, saya tidak salah tulis: feznya bangsa Grik! Tidakkah pantas saya
tertawa, kalau di zaman kita sekarang ini orang Islam marah-marah kepada Kamal
Ataturk yang menghapuskan lagi fez itu, karena dikatakan ia telah
"mengliilangkan simbul keislaman"? Satu contoh dari kepicikan kita, –
marah-marah zonder mengetahui pokok-asalnya perkara!
Mahmud II meninggal dunia di
dalam tahun 1839. Ia punya pembaharuan telah gagal. Ia punya politik membela
Turki dari "titilan" musuh-musuh tidak berhasil sama sekali. Ia punya
kerajaan makinlah menjadi kecil, ia kehilangan Rumania, kehilangan Serbia,
kehilangan sebagian dari Mesir, kehilangan daerah yang lain-lain. Ia makin dicemooh
dan dicerca oleh kaum kolot, yang mengatakan, bahwa ia kehilangan
negeri-negeri itu "djustru karena ia mendurhakai tradisi-tradisi
kuno". Tetapi ia punya haluan tidak putus di tengah jalan. Makin lama
makin banyaklah kaum intelektuil Turki, yang sejak modernisasi Salim III dan
Mahmud II pergi menghisap pengetahuan di luar negeri,- terutama di Paris -,
dan sekembalinya di tanah-air mempropagandakan keras pembaharuan itu. Makin
banyaklah pula kaum amtenar dan kaum opsir yang terkena oleh angin baru itu.
Karena itu, maka sejak meninggalnya Mahmud II itu, sampai naiknya absolutisme
Abdul Hamid II di atas singgasana kerajaan ditahun 1876, kurang lebih 10 tahun
lamanya, cara pemerintahan ke arah pembaharuan itu makin nyatalah menjadi
idealnya kaum ahli kenegaraan dan kaum politik. Karena itulah pula maka periode
empat puluh tahun itu lazim sekali dinamakan tanzim, periode tanzimat. Di
dalam periode inilah kaum intelektuil dan kaum opsir mendirikan satu
pergerakan yang bernama. pergerakan "Turki-Muda" pergerakan "Persatuan
dan Kemajuan". Pergerakan bukanlah hanya menyokong sultan sahaja
di mana sultan mau mengadakan sesuatu perobahan, tetapi malahan
sebaliknya mendesak kepada sultan, agar supaya cara
pemerintahan dibikin modern semoderen-moderennya sama sekali: satu negara,
seperti negara modern di Eropah Barat, di mana semua rakyat, baik Islam maupun
bukan Islam, baik Turki-tulen maupun bukan Turki tulen mempunyai hak yang sama
dan kewajiban yang sama.
Tetapi, – pun periode tanzimat
tidak berhasil yang memuaskan. Bagaimana dapat mengadakan perobahan-perobahan
besar, kalau kas negeri kocar-kacir karena peperangan buat menolak
tegenoffensief-nya negeri-negeri musuh itu tak berhenti-hentinya memakan uang,
kalau Sheik-ul-Islam dengan ulama-ulama yang amat kuasa itu selalu menolak
tiap-tiap modernisasi, kalau rakyat seumumnya tidak ikut dirobah outlook-nya
sebagai Kemal Pasya di kemudian hari? Bukan menjadi makin kuat, bukan bisa
memberhentikan tegenoffensief-nya musuh itu, tetapi negara Turki makin lama
malahan makin lapuk sahaja, makin gugur bagiannya, makin kehilangan
daerah-daerahnya, makin jatuh di dalam tangannya bank-bank yang meminjamkan
uang kepadanya. Abdul Majid yang menggantikan Mahmud II (1839-1861) adalah
sultan pertama yang meminjam puluhan-puluhan milyun rupiah kepada rentenier‑rentenier
di Eropah, dan ia punya pengganti Abdul Aziz-pun (1861-1876) buat ratusan
milyun menjadi korbannya bank-bank kapital. Peperangan dengan Rusia
terus-menerus memakan harta kekayaan, … hutang makin bertimbun-timbun,
daerah-daerah makin hilang hingga tak mendatangkan hasil dan uang pajak lagi,
harem dan istana sultan, (yang karena kemegahan sebagai cakrawarti kini sudah
padam, lalu mencari kemegahan dengan mengejar kemewahan secara melewati batas
dalam ia punya peri-kehidupan sehari-hari), harem dan istana sultan itu menelan
milyun-milyunan pula,- bagaimana kas negara tidak bobol, sedang bunga hutang
itu multi dibayar tiap-tiap tahun terus-menerus? Apa daya? Hantamkromo, bikin
hutang lagi, untuk membayar bunganya hutang itu! Bikin hutang untuk membayar
bunganya hutang!
Tetapi dengan sistim demikian
tentu sahaja akhirnya patahlah keuangan itu sama sekali. Di dalam tahun 1875
datanglah kebangkrutan negara. Dan akibatnya ialah bahwa Turki
kini sama sekali jatuh di bawah kontrolenya negeri asing: bukan sahaja banyak
kehilangan daerahnya, tetapi urusan pembayaran ia punya hutang itupun mulai
sekarang dipegang oleh satu badan internasional yang bernama "Conseil
International de la Dette Publique Ottomane", yang buat pekerjaan ini
boleh campur tangan di dalam segala urusan keuangannya negara!
Di dalam keadaan yang demikian-
itulah Abdul Barthel II menaiki singgasana Usmaniah. Ia mengerti, bahwa hanya tangan-besinya dapat menolong
jiwanya negara. Tetapi ia punya ketangan-besian adalah ketangan-besian yang
salah. Ia hanya percaya kepada absolutisme dan kezaliman sahaja! Sebagai kaum kolot dan
kaum ulama, maka iapun mengatakan bahwa keguguran Turki itu ialah karena Turki
mendurhakai tradisi-tradisi kuno. Iapun anti segala kemajuan, anti segala
kemudaan. Berpuluh-puluh, beratus-ratus kaum Turki-Muda ia suruh gantung di tepinya
selat Bosporus.
Tiap-tiap kaum Muda ia anggap
sebagai orang yang mau membunuh kepadanya. Orang yang beraudiensi kepadanya tak
bolehlah menghadap dekat-dekat, di bawah daun meja ia punya tangan selalulah
menggenggam sebuah revolver. Di dalam sejarah-dunia disebutkanlah dia sebagai
"de bloedige sultan van Turkije", "de roode sultan van
Turkije", – sultan Turki yang tangannya berlumuran darah. Di dalam bukunya
Noordman ia dinamakan "de gekroonde massamoordenaar": pembunuh orang
banyak yang bermahkota.
Menurut Professor Jan Romein ia
cerdik sekali menjalankan diplomatik dengan negeri-negeri asing. Tetapi apa
guna diplomatik, kalau ia punya absolutisme itu semakin membuat kekuatan
tentara dan kekuatan dalam negeri menjadi kocar-kacir? Rusia terus menerjang
sahaja, lasykar Rusia sampailah datang di muka gerbang-gerbangnya kota
Istambul, pada perdamaian di Berlin hilanglah lagi banyak bagian-bagian negeri,
antaranya Cyprus, Barbaria, Bosnia, Bulgaria, dan lain-lain.
Turki makin megap-megap. "De
zieke man" sakitnya sudah mengkhawatirkan sekali. Di dalam gambar-gambar
karikatur ia digambarkan oleh Johan Braakensiek sebagai seekor ayam jantan yang
habis sama sekali ia punya bulu-bulu. Tetapi Abdul Hamid tidak mau putar
haluan. Ia tetap percaya kepada absolutisme dengan sokongan Sheik-ul-Islam dan
kaum ulama.
Ia suruh buang dari semua
kitab-logat perkataan-perkataan sebagai "kemerdekaan",
"konstitusi", atau "tanah-air". Begitulah diceritakan oleh Halide Edib Hanoum di dalam
ia punya kitab "Turkey faces West". Tetapi kendati
begitu, toch makin menjalar ideologi-ideologi Turki-Muda itu; kendati begitu
tulisan-tulisan Namik Kemal toch orang baca dengan sembunyi-sembunyi; kendati
begitu toch makin kuat organisasi "Turki Muda" itu dengan Saloniki
sebagai pusat. Maka di dalam tahun 1908 membuatlah kaum Turki-Muda itu satu
coup d'etat. Abdul Hamid dipaksa mengadakan parlemen, absolutismenya dipatahkan
dengan tidak banyak omongan lagi. Dan manakala ia di dalam tahun 1909 mencoba mendirikan
kembali absolutismenya itu, maka diberhentikanlah ia menjadi sultan-kalifah
sama sekali.
Ia diganti dengan Muhammad V.
Tetapi pemerintahan sesungguh-nya adalah di dalam tangan kaum Turki-Muda itu, –
di dalam tangan kaum Turki-Muda itu sahaja, zonder banyak pengaruhnya rakyat.
Coup-nya Turki-Muda di dalam tahun 1908 itu sebenarnya adalah coup d'etat kaum
militer, yang penglihatannya, anggapannya, politik sistimnya, outlook-nya masih
berbeda jauh sekali dengan kaum Kemalis di tahun 1923. Absolutisme sebenarnya
tidak lenyap di tahun 1908 itu, ia hanya pindah dari tangan sultan ketangan
opsir-opsirnya partai Turki-Muda, dari tangannya monarchi ketangannya golongan
opsir. Halide Edib menamakan perobahan-perobahan di tahun 1908 itu tidak lebih
daripada satu "staff officer reform"!
Lagi pula adakah waktu buat
memikirkan reform lagi, kalau dari tahun 1910 negeri tak berhenti-henti perang?
Kalau pedang dan bedil dan meriam sampai ditahun 1912 dan 1913 berkilat dan
menderu terus-menerus guna mempertahankan sisa-sisa kerajaan di Balkan dan
Tripolis yang digempur oleh musuh-musuh yang berserikat? Kalau juga di dalam
peperangan Tripolis dan Balkan ini runtuh dan gugur semua milikmiliknya,
kecuali Thracia Selatan, sehingga boleh dikatakan habislah sama sekali ia punya
daerah di benua Eropah? Kalau kemudian daripada itu, di dalam tahun 1914 ia
membuat kesalahan besar ikut-ikut perang dunia di samping fihak Sentral,
sehingga runtuh dan gugurlah pula ia punya milik-milik di Mesir, di Arabia, di
Irak, di Sirya, dan di daerah Asia yang lain-lain, sehingga habis pula
ia punya di Asia kecuali tinggal bagian kecil di Asia Depan sahaja?
Yo, kaum Turki-Muda yang
mengambil oper pemerintahan Abdul Hamid di tahun 1908 itu, zonder membuat
banyak perobahan di dalamnya, memang adalah kaum yang amat celaka. Dan luar
mereka digempur terus oleh musuh, dan dari dalam mereka tak berdaya apa-apa. Dari
luar mereka malahan mau disapu habis sama sekali, – juga sesudah perang
1914-1918 selesai, masih terus sisa negerinya di Asia Depan itu mau diambil
dibasmi – ; dari dalam mereka sesungguhnya tak mampu mengadakan satu
perobahan apa-apa di atas sisa-sisanya sistim caesaro papisme yang di zaman
akhir-akhir membuat negara menjadi begitu "malas" dan
"berat" itu.
Maka di dalam keadaan yang
demikian itulah datang tokoh raksasa Mustafa Kemal Pasya. Ia bersihkan restan
kerajaan Usmaniah itu dari musuh, – amboi, betapa kecilnya restan negeri ini
kalau dibandingkan dengan luasnya negeri-besar di zamannya Salim I dan Sulaiman
I yang melebar dari Magribi sampai ke Yaman dan Balkan itu, – dan ia adakan
reorganisasi dan perobahan-perobahan di dalam negeri, yang menggemparkan
seluruh dunia: ia pisahkan agama dari negara.
Dengan alasan apa? Kemal menunjuk kepada
sejarah yang kita uraikan di muka ini dengan singkat: sesudah dinasti Usmaniah
tidak mempunyai lagi sultan-sultan yang sebagai persoon bersifat raja-raja kuat,
sesudah dinasti Usmaniah itu tidak mempunyai lagi tokoh-tokoh tangan-besi
seperti Salim I, Sulaiman I, Muhammad II, maka ternyatalah bahwa sistim
dualisme di dalam pemerintahan itu adalah selalu menjadi rem dan penghambat
tiap-tiap tindakan negara. Caesaro-papisme hanyalah dapat membesarkan negeri,
manakala kaisar-paus atau sultan-sultan kalifah itu satu tokoh yang kuat
dan mutlak. Caesaro-papisme hanyalah dapat menguatkan satu
negara, kalau kaisar-paus atau sultan-kalifah itu adalah sungguh-sungguh
seorang diktator, seorang cakrawarti seperti Peter de Grote, seperti Salim I
atau Muhammad II, seperti Ibnu Saud, seperti Nebukadnezar, yang zonder banyak
omong lagi dia sendirilah menetapkan tiap-tiap tindakan negara. Caesaro-papisme
yang demikian ini sebenarnya tak ubahnyalah dengan pemerintahan tiap-tiap
diktatur yang lain-lain, – tak ubahnya dengan diktatur Mussolini atau diktatur Stalin,
diktatur Jingis Khan atau diktatur Hitler. Caesaro-papisme yang demikian itu
menjadi satu hal kepribadian, satu hal persoonlijke figuur, satu
hal kekuatannya dan kebesiannya seorang yang menjadi kaisar-paus atau
sultan-kalif itu.
Tetapi manakala sistim
pemerintahan adalah satu sistim pemerintahan yang bukan sistim pemerintahan
kepribadian, manakala ia bukan sistim pemerintahan satu
orang kuat yang dia sendiri menentukan segala hal,
maka menjadilah dualisme antara negara dan agama itu satu sistim yang selalu
mengandung konflik di dalam kalbunya, satu sistim yang oleh karena itu selalu
mengendorkan, melemahkan, mengerem, menghambat ketangkasannya dan
dinamiknya negara.
BEGITULAH PENDAPAT KAUM KEMALIS
ITU,
Benarkah atau salahkah pendapat
ini?
Saya sudah terangkan kepada
Tuan-tuan, apakah alasan-alasan ekonomi dan politik yang dipergunakan oleh
Kamal Ataturk c.s. untuk memisahkan agama dari negara. Tentu sahaja ada
alasan-alasan lain: ada alasan "tabiat", ada alasan "persoon",
ada alasan
"gila ke-Barat-an", ada
alasan "netral kepada agama", ada alasan "diktatur". Tetapi
boleh dikatakan bahwa alasan ekonomi dan politik itulah yang terpenting dan
fundamentil. Boleh jadi ada alasan-alasan penting yang lain, tetapi apa yang
saya ketahui, – saya lebih dulu memang sudah mengatakan bahwa saya punya studi
tentang Turki-Muda belum begitu lengkap maka alasan ekonomi dan politik itulah
yang paling berat.
Pada umumnya, saya tidak dapat
mengatakan, bahwa Kama Ataturk c.s. itu benci kepada agama, memusuhi agama atau
mau membasmi agama. Mereka hanyalah berkeyakinan, bahwa agama sebagai
yang telah terjadi sekarang, adalah satu agama yang melemahkan rakyat
dan negara, satu agama yang menyalahi sama sekali kepada agama-sejati di zaman
sediakala, yang begitu mendinamiskan kepada rakyat dan kepada negara. Maka
mereka berkeyakinan, bahwa rakyat Turki tak mungkin bangkit kembali dari
kelemahan yang sekarang itu, bilamana rakyat Turki tidak dilepaskan dari
ideologi-ideologi-pelemah yang ada pada agama-sekarang itu. Tetapi tiap-tiap
usul perobahan selalu mendapat perlawanan haibat dari Sheik-ul-Islam dan kaum
ulama yang dengan segenap darah-dagingnya, tulang sumsumnya, jiwa-raganya,
berpegang keras pada ideologi-ideologi dan anggapan-anggapan agama-sekarang
itu. Tetapi negara tidak boleh dan tidak bisa kesampingkan mereka itu dengan
semau-maunya sahaja, oleh karena negara diwajibkan berpegangan kepada mereka,
ikut kepada mereka, tunduk kepada mereka.
Maka oleh karena itulah Kamal
Ataturk c.s. lantas rampas kembali agama itu dari tangan mereka, dan
diserahkannya kembali ke dalam tangannya masyarakat, yang
tidak membeku seperti mereka, tidak "berhenti-fikiran" seperti
mereka, melainkan selalu hidup, selalu berevolusi, selalu berproses.
Sebagaimana. menurut keterangan Kamal sendiri is "rebut
kembali dengan paksa kekuasaan memerintah dari tangannya kaum Usmaniah yang
dulu dengan paksa telah merebut kekuasaan itu dari tangannya bangsa Turki, dan
kembalikan kekuasaan itu ke dalam tangannya bangsa Turki", –
maka begitu pula ia rebutlah
agama itu dari tangannya Sheik-ul-Islam serta ulama-ulama itu kepada rakyat
Turki sendiri.
Sebagai pembaca barangkali telah
tahu, maka tindakan Kamal c.s. itu dikerjakan di dalam tiga tingkat: pertama,
mematikan caesaro papisnie, sultan diberhentikan tetapi kalifah masih tetap
diadakan; kedua, kalifah diberhentikan, tetapi Islam masih
ditetapkan sebagai agama negara; dan ketiga melepaskan sama
sekali agama itu dari tanggungannya negara. Marilah saya ceritakan kepada tuan
berjalannya tingkatan-tingkatan ini, beserta alasan-alasannya agar tuan lebih
mengetahuinya:
1922. Tentara Turki telah dapat
menaklukkan segala serangan musuh. Konferensi
Lausanne akan diadakan. Tapi undangan kepada konferensi ini telah membangunkan
satu hal yang amat penting: pada waktu itu ada dua pemerintahan di Turki:
pemerintahan Kamal di Ankara, dan pemerintahan sultan di Istambul. Dua-duanya
mendapat undangan kekonferensi itu. Kamal sebagai kilat mengerti, bahwa ini
adalah satu hal yang mengenai jiwanya ia punya pemerintahan di Ankara. Ia
sebagai kilat mengerti, bahwa ini adalah mengenai soal syah atau tidak syahnya
ia punya pemerintahan di Ankara itu.
Satu antara dua: Ankara zonder
Istambul, atau Istambul zonder Ankara! Bagi dia,- yang memang telah nyata
menang, dia yang memang lebih berkuasa riil bagi dia memberhentikan sultan itu
bukanlah satu "krachttoer" sama sekali. Dialah yang lebih kuasa,
dialah yang memegang kekuasaan, dialah bisa memberi surat-kaleng kepada sultan
itu tiap hari, tiap jam, tiap menit. Tetapi soal ini tidaklah begitu bersahaja!
Adalah soal lain yang bergandeng
dengan soal ini, dan – bergandeng pula dengan segenap ideologinya rakyat:
sultan Turki bukan sahaja sultan Turki, ia adalah pula kalifatul-Islam! Sultan
bukan sahaja kepala ia punya diriasti dan ia punya monarchi, ia adalah pula
kepala dari satu institut agama.
Bolehkah sultan yang
demikian ini diberhentikan, atau lebih tegas: bolehkah diadakan seorang kalifah
yang tidak merangkap juga jabatan sultan? Dewan nasional
persilahkan kaum yuris dan kaum ulama membuat rapat buat membicarakan soal
ini. Di dalam ia punya pakaian jenderal, sigap, angker, sebagai pahlawan
laki-laki yang berdaging waja, duduklah Kamal dipojoknya ruangan-rapat itu. Captain H. C. Armstrong, salah seorang biograf Kamal,
menceritakanlah kejadian ini dengan cara menarik. Duduklah di ruangan itu
puluhan kaum ulama dan puluhan kaum yuris, "gaek-gaek" dan berjubah
panjang dan berjenggot panjang. Dengan cara yang menjemukan sekali mereka
bicarakanlah soal itu, dalil-dalil tua dari kitab-kitab tua yang telah bercendawan
menyusullah yang satu kepada yang lain, ratusan contoh dari sejarah
kalifah-kalifah Bagdad dan Kairo dikeluarkanlah dengan tidak ada
habis-habisnya.
Kamal mendengarkan pembicaraan secara ini dengan rasa
tang makin tidak sabar. Darah di dalam ia punta tubuh makin mendidih! Haruskah
ia sepanjang hari duduk memeluk tangan di situ, sedang ini gaek-gaek berjam-jam
main dengan kata-kata, mengeluarkan tiap-tiap bulu dan tiap-tiap urat-kecil
dari anggapan-anggapan kuno guna dipakai sebagai alasan di dalam masalah yang
dzatnya sesungguhnya mereka tidak mengerti? Haruskah ia sebagai togog duduk di
situ sepanjang hari, sedang inilah saat-saat yang minta putusan-kilat yang bisa
juga menentukan nasibnya negeri Turki buat berabad-abad?
Sekunyung-kunyung ia tidak dapat menahan ia punya
kesabaran lagi. Dengan badan yang gemetar karena jengkel, maka naiklah ia di
atas sebuah bangku, dan ia pecahkan perjalanannya rapat itu.
"Tuan-tuan! Sultan
Usmaniah telah merebut kekuasaan dengan kekerasan senjata dari tangannya rakyat
dan dengan kekerasan senjata pula sekarang rakyat ambil kembali kekuasaan itu.
Sultanat musti dipisah dari kalifat, dan MUSTI dihapuskan! Dan itupun akan
sungguh terjadi, maupun tuan-tuan mufakat, maupun tuan-tuan tidak
mufakat. Malahan nanti bisa juga ada dari tuan-tuan yang kepalanya
dipisahkan dari tubuh!"
Tanggal 1 November 1922 diturunkanlah sultan Usmaniah
dari singgasananya. Turki di Lausanne hanyalah diwakili oleh satu pemerintahan sahaja, satu
delegasi, satu suara. Turki menjadi "dzumhurijet". Turki menjadi
republik. Nyatalah di dalam rapat yang tahadi itu, bahwa Kamal bertindak
sebagai diktator. Ia punya kehendak sebagai ia punya ancaman, ia punya
tangan-besilah yang membuat kaum yuris dan kaum ulama itu kemudian buat
sebagian besar menyetem "pro" kepada pemberhentian sultan. Tetapi
sejarah telah memberi kesaksian di kemudian hari, bahwa ketangan-besiannya itu
disetujui benar-benar oleh angkatan baru. Sejarah, sebagai biasa, sejarah
memberi kesaksian, bahwa angkatan lama selalu ditinggalkan oleh kecepatan
zaman. Mereka, kaum "gaek" itu tahadi, mereka tak mampu membicarakan
dan memfikirkan soal itu tahadi dengan alat-alat fikiran lain daripada
alat-alat-fikiran lama. Mereka tak mampu meraba-raba kehendaknya zaman baru itu
dengan alat-alat-perabaan baru.
Sultan pergi, tidak ada sultan
lagi kini yang mengisi ia punya singgasana. Dan dengan dirinya sultan itu
pergilah pula dirinya kalifatul Islam. Siapa kini yang harus mengisi
singgasana kalifatul-Islam itu? Kamal persilahkan Komisariat Syari'at mengambil
putusan di dalam hal ini. Ia dengan diam-diam menyedia-nyediakan ia punya
langkah yang kedua. Ia mengerti, bahwa ia harus menyiapkan lebih dulu fikiran
rakyat dengan cara yang berangsur-angsur. Ia sering sekali berkata: "Aku
telah menaklukkan musuh. Aku telah menaklukkan negeri. Tapi dapatkah aku
menaklukkan rakyat?"
Komisariat Syari'at mengeluarkan
satu fatwa, yang mengangkat Prins Abdul Majid menjadi kalifah. Waktu itu 1?
November 1922. Inilah penghabisan kali rakyat Turki "memakai" fatwa.
Abdul Majid menerima angkatan ini,- tapi buat berapa lama? Ia hanyalah satu
"taktik", satu "alat penyiapkan fikiran rakyat". Ia
hanyalah salah satu fase, salah satu tingkatan sahaja, dari pekerjaan Kamal
memisahkan agama dari negara.
3 Maart 1924 ia diberhentikan
pula oleh Dewan Nasional, dengan anjuran Mustafa Kemal Pasya. 3 Maart 1924 itu
lebih menggemparkan dunia Islam di Turki dan dunia Islam di seluruh dunia,
daripada pemberhentian sultan satu setengah tahun yang lalu, yaitu putusan
mengadakan kalifah yang tidak merangkap pula jabatan raja.
Sebab kini Turki bukan sahaja
membongkar adat sendiri, kini Turki membongkar pula adat yang dianggap syah
oleh seluruh dunia Islam,
di benua mana sahaja, di abad
mana sahaja. Kini Turki dikatakan memperkosa "wet", memperkosa
"hukum", memperkosa syari'atul-Islam.
Tetapi, adakah benar Turki yang
memperkosa hukum itu pertama kali? Kamal c.s. mengatakan tidak! Memang
sebenarnyapun tidak. Hanyalah seluruh dunia Islam lupa kepada sejarah sendiri,
lupa betapa di zaman dulupun pernah terjadi kejadian-kejadian semacam itu. Dan
dunia Islam-pun, begitulah kata Kamal c.s., lupa akan syarat-syarat syahnya
kalifah itu, lupa akan janji-janji yang harus dipenuhi oleh kalifah itu, kalau
ia mau bernama syah menurut kehendak agama yang sejati.
Ya, lagi-lagi perbedaan antara
agama sekarang dengan agama-sejati! Lagi-lagi inilah, begitulah kata mereka,
yang menyebabkan dunia Islam tak mampu mengerti keadaan-keadaan yang riil, dan
tak mampu berfikir dan berargumen secara riil. Sebab bagaimanakah kehendak
Islam sejati mengenai kalifah itu?
Islam sejati adalah satu religieuse democratie,
satu kerakyatan yang bersandar kepada persatuan agama. Islam sejati
mencantumkan kepada soal kalifah itu beberapa syarat, yang dua diantaranya
adalah maha penting, maha riil: kalifah harus dipilih oleh umat Islam dan
kalifah harus berkuasa sungguh-sungguh buat menegakkan dan
melindungi Islam di seluruh kalangan umat. Islam
sejati dus hanyalah membenarkan kalifah, yang,- dengan bahasa asing,-: electief
dan wereldlijk machthebbend. Islam sejati tidak bermaksud mengadakan
kalifah yang hanya sebagai pausnya orang keristen sahaja: semata-mata hanya
kepada agama sahaja, dan tidak lain. Kalifah bukan sahaja harus seorang-orang yang
terpilih oleh umat, ia harus pula berkuasa dunia seperti raja, seperti
jenderal, seperti kepala negara.
Tetapi bagaimana keadaan?
Duapuluh tahun umat Islam memenuhi syarat yang pertama, duapuluh tahun orang
pilih kalifah itu secara kerakyatan. Duapuluh tahun Kalifah Islam adalah
kalifah yang terpilih.
Tetapi kemudian, kemudian
daripada itu dijadikanlah hal ini satu hal turunan, satu hal yang "diwariskan" dari
bapak kepada anak. Kecuali itu, syarat persatuan negara dimana
kalifah itu sebagai kepala-yang-satu menjalankan ia punya
kekuasaan-dunia, syarat inipun dilanggar pula: sejarah Islam malahan pernah
mengenal dua dinasti kalifah yang berbarengan, ya, bersaingan satu sama lain:
dinasti kalifah di Sepanyol, dan dinasti kalifah di Bagdad. "Manakah
ketaatan umat Islam kepada hukum-hukum kekalifahan itu?" – begitulah
Mahmud Essad Bey menanya – "Tidakkah umat itu sering
"main-main" sahaja dengan aturan-aturannya sendiri?"
Dan kemudian, lihatlah apa yang
terjadi di dalam abad ketigapuluh.
Di dalam abad itu, kekuasaan
kalifah tertimpa malapetaka, dihancurleburkan oleh Hulagu, seorang turunan
dari manusia-taufan Jingis Khan. Kalifah pada waktu itu lari ke Mesir, dan di
situ ditegakkan kembali satu dinasti kalifah yang malahari tidak memenuhi
syarat yang kedua: kalifah Mesir sama sekali tidak mempunyai kekuasaan apa-apa
yang riil.
Tidak memenuhi syarat kedua, dan
tidak pula memenuhi syarat yang pertama! Tidak dipilih, dan tidakpun
berwewenang! Syarat-syarat yang dimintakan oleh Islam-sejati, sudahlah disapu
habis sama sekali di sini, – perkataan Halide Edib,- kekalifahan di sini menjadilah
sama sekali satu pemuaskan nafsu kedinastian orang-orang bangsawan sahaja yang
mau tetap menjadi raja turun-temurun.
Kalau dibandingkan dengan
kalifah-kalifah Mesir yang sama sekali tiada kekuasaan riil itu, maka masih
sepuluh kali lebih "syah" kekalifahannya Salim I jang pada permulaan
abad keenambelas telah menaklukkan Mesir itu! Bukan? Than masih ingat dari
bagian terdahulu dari karangan ini, betapa Salim I itu telah menundukkan
kerajaan-kerajaan Islam di Irak, di Sirya, di Mesir, di Madinah, di Mekkah, di
Yaman, dan di daerah lain-lain, jadi betapa ia telah mengadakan satu
negara Islam yang besar, yang pada waktu itu mengoper kekalifahan
Mesir seluruhnya (sebagai sudah saya katakan, dialah atau Sultan Turki yang
pertama mengambil oper caesaro-papisme Byzantium), setidak-tidaknya boleh ia
pakai sebagai alasan syarat kalifah yang nomor dua! Tetapi di manakah syarat
yang nomor satu?
Juga di dalam tangannya
sultan-sultan Usmaniah kalifah itu menjadilah satu pangkat warisan anak dari
bapak, satu pangkat erfelijk, satu pangkat turunan, yang tidak pernah
dibenarkan oleh Islam sejati, yang menghendaki religieuse democratie itu! Apa
lagi ditangannya sultan-sultan Usmaniah-lah yang kemudian, sultan-sultan hanya
"ayam jantan zonder bulu" sahaja, zonder kekuasaan, zonder
tenaga-dunia yang rill; maka nyatalah kekalifahan itu bertentangan dengan
kehendak-kehendaknya Islam. Syarat kesatu tidak, syarat kedua malahan
bayanganpun tidak sama sekali.
Maka datanglah perang-dunia
1914-1918. Di sini nyata dengan senyata-nyatanya, betapa kalifah itu hanya
satu "hidung belaka. Jihad yang diproklamirkan oleh
sultan-kalif di Istambul di dalam tahun 1915 nyatalah menjadi tertawaan orang.
Orang Muslim Arab berperang melawan orang Muslim Turki, orang
Muslim Mesir, orang Muslim India, orang Muslim jajahan Perancis, – semuanya itu
bukan mengorbankan jiwanya memenuhi panggilan jihad dari Istambul itu, tetapi
sebaliknya malahan ikut menggempur kepada kekuasaan sultan-kalif di Istambul
itu.
Halide Edib Hanoum mengatakan,
bahwa di dalam perang-besar 1914 – 1918 itu nyatalah dengan terang, bahwa kini
bukan lagi zamannya melamun adanya satu kalif Islam, tetapi sudah nyata menjadi
zamannya kebangsaan, zamannya nasionalisme: masing-masing
bangsa Islam membentuk negara sendiri-sendiri, masing-masing bangsa Islam ikut
kepada panggilannya kebangsaan sendiri-sendiri. Arab satu negara sendiri, Mesir
satu negara sendiri, Irak satu negara sendiri, Turki satu negara sendiri. "Internasionalisme
Islam sudahlah surut, ia punya tempat kini diambillah oleh
nasionalisme di kalangan bangsa-bangsa Musliman", begitulah kata
Halide itu. Maka bagaimanakah di dalam zaman nasionalisme ini mungkin diadakan
kalifah, – kalifah yang syarat-bathinnya ialah internasionalisme itu?
Lagi pula: terpisah dari soal
mungkin atau tidak mungkin berhubung dengan nasionalisme itu, terpisah pula
dari soal mungkin atau tidak mungkin dan berhubung dengan syarat kekuasaan
riil, maka Turki sendiri kata Halide sudah kenyanglah mengalami kepahitan-kepahitan
yang datang dari fihak negeri-negeri Eropah; bersangkutan dengan
kalifah itu: negeri-negeri Eropah yang mempunyai jajahan-jajahan Islam
selalu mencurigai Turki (dikiranya Turki selalu "mengorek" rakyat
Islam dijajahan mereka itu), — atau – negeri-negeri Eropah itu sendiri selalu
"mengorek" di Turki agar dapat mempengaruhi kalifah, dan dengan
begitu dapat mempengaruhi seluruh dunia Muslimin pula.
Nah, begitulah alasan-alasan
Kamal c.s. buat memberhentikan sama sekali kekalifahan itu. Ia punya
"tingkat yang kedua" diterimalah oleh rakyat dengan tidak banyak
perlawanan. Ya, sebenarnya justru rakyat jelata Turki itulah mengetahui benar
betapa kosongnya kalifah itu, zonder banyak mempelajari ilmu sejarah, zonder
banyak teori-teori, zonder mengetahui seribu satu alasan sebagai yang berputar
di dalam otaknya pemimpin-pemimpin negara. Sebab merekalah, mereka, orang-orang
tani bodoh dari Anatolia, tukang-tukang-air dari Istambul, kuli-kuli di
pelabuhan-pelabuhan, yang di dalam perang-besar itu ikut memanggul bedil,
mereka mengetahui apa artinya "kalifah" itu tatkala mereka menembaki
atau ditembaki "saudara-saudara-Islam" di padang-padang peperangan
di Arabia, di Sirya, di Irak, atau ditempat lain-lain. Kamal pada mulanya
takut, kalau-kalau rakyat jelata ini terkejut dan tidak mau menerima
penghapusannya kalifah, tetapi ia lupa satu hal: justru rakyat jelatalah yang
merasakan kekosongannya kalifah itu.
Sekarang kalifah yang penghabisan
sudah meninggalkan takhta kedudukannya. Tujuh abad lamanya bani Usmaniah
menjadi raja negeri Turki, empat abad lamanya mereka selalu menjadi kalifatul
Islam. Di dalam beberapa tahun dan beberapa bulan sahaja dimatikanlah tradisi
mereka yang ratusan tahun itu, di dalam beberapa saat sahaja digugurkanlah
caesaro-papisme yang berada di Istambul sejak zamannya kaisar-kaisar Byzantium
limabelas ratus tahun yang lalu. Mungkinkah caesaro papisme itu bangun kembali
di tempat lain kelak? Kamal sendiri pernah orang minta menjadi kalifatul Islam.
Tahukah Tuan apa yang beliau jawab? "Adakah tuan-tuan, yang mau mengangkat
saya menjadi kalif, mampu mengerjakan semua perintah-perintah saya nanti? Saya
tidak mau ditertawakan orang!"
Ya, ia tidak mau ditertawakan
orang, kalau ia misalnya menjadi kalif, dan tidak bisa membela orang-orang
Islam di negeri-negeri lain.
Ia tidak mau ditertawakan orang
karena menjadi kalif zonder dapat memenuhi syarat yang kedua! Apakah bedanya
jawab Kamal Ataturk ini dari jawabnya sultan Ibnu Saud, yang juga pernah orang
tanyakan padanya apakah beliau tak pantas menjadi kalifah, dan lantas menanya
kembali kepada sipenanya: "Siapakah pada waktu ini mampu menjadi kalifah
itu?" (Diceritakan oleh Germanus di dalam kitabnya "Allah
Akbar").
Pendek kata, Kamal pandang soal
kalifah itu dari pendirian yang nyata, dari sikap yang riil.
Ia tidak mau menghancurkan diri di atas awan-awannya idealisme, tidak mau
ikut-ikut mendurhakai Islam-asli oleh "formalisme-formalismenya". Islam
yang tiada bernyawa.
Ia betul-betul riil, riil, sekali
lagi riil. Kepada beberapa wakil
Dewan Nasional yang masih membela
kalifah itu ia berkata:
"Tidakkah sudah
beratus-ratus tahun bapak tani Turki dari semua empat menumpahkan ia punya
darah bagi kalifah itu? … Sungguh, sekarang datanglah waktunya yang
Turki memikirkan diri sendiri, membiarkan orang India dan orang Arab,
melepaskan itu pangkat menjadi pemimpinnya Islam. Turki sekarang sudah terlalu
banyak kerja mengurus dirinya sendiri."
Dan kepada wakil-wakil yang
berpendapat, bahwa kalifah itu memperkuat kedudukan Turki, ia
menyuruh Ishmet Pasya menjawab:
"Manakala bangsa-bangsa
Islam lainnya dulu membantu kita, atau mau membantu lagi kepada kita, maka itu
bukanlah karena kita memegang Kalifah, – satu barang-tua-bangka, matt zonder
tenaga sama sekali -, tetapi justru karena KITA, bangsa Turki, KUAT."
Dan kalau sesuatu bangsa Islam
lain mau mendirikan kembali kalifah itu? Tersilah, sekali lagi tersilah! Tetapi
Turki tidak akan ikut-ikut avontuur yang demikian itu, Turki tidak akan mau
mengakui kalifah itu! Begitulah tertulis di dalam kitabnya Halide Edib Hanoum.
Rupanya ia yakin, bahwa kalifah itu toch "kalifah omong-kosong"
sahaja, toch kalifah "nama" sahaja, karena sekarang adalah zaman
nasionalisme, zaman bangsa-bangsa menyusun negaranya masing-masing. Lagi pula,
– manakah syarat yang kedua, manakah kekuasaan Biar kalifah itu dipilih oleh
semua negeri Islam atau semua rakyat Islam, biar ia dus memenuhi syarat yang
kesatu, – Turki menurut Halide Edib tetap tidak mau mengakuinya. Turki menurut
Halide itu memang menganggap dirinya sebagai "kaum protestan Islam" yang
tak punya keinginan mengakui seseorang "kepala Agama", sebagaimana
kaum protestan Nasrani-pun tidak mau mengakui paus di kota Roma. Turki mau
riil, atau berdiri dengan dua-dua kakinya di atas bumi yang nyata, mau
"utilitaristis" (Halide), mau obyektif (Halide pula), mau menjauhi
segala lamunan yang kosong!
Tinggal sekarang langkah yang ketiga! Sultan sudah
diberhentikan, kalifah sudah diberhentikan, tinggal sekarang
agama dipisahkan sama sekali dari
urusan negara. Langkah yang ketiga ini terjadilah di dalam tahun 1928,-10
April 1928. Antara pemberhentian kalifah pada 3 Maret 1924 dan "secularisatie"-nya negara
pada 10 April 1928 itu, adalah 4 tahun lebih, yang dipakai oleh Kemal guna
"menyiapkan" fikiran rakyat. Di
dalam 4 tahun ini, sudah mulailah ia mengambil oper beberapa angsuran kearah
secularisatie itu. Di dalam tahun 1925 dilahirnya rakyat Turki dimudakan sama
sekali dengan wet melarang memakai fez, oleh karena fez adalah menjadi simbul
kekolotan bathin, "Simbulnya kebodohan". Di dalam tahun 1926
familierecht digantilah dengan Civiele Code Zwitserland. Dan akhirnya pada 10
April 1928 itu Dewan Nasional dicoret dari Undang-undang Dasar Turki serta pula
semua kalimat-kalimat yang masih mengikat negara kepada agama.
Islam sejak 10 April 1928 itu bukan
agama negara lagi. Islam dinyatakan menjadi urusan-urusan persoon. "Agama adalah
privaatzaak", begitulah kata Kamal, "tiap-tiap penduduk Republik
boleh memilih agamanya masing-masing."
Seluruh dunia Islam gempar.
Seluruh dunia Islam berkertak gigi, marah, mengepalkan tinju; Islam dihina,
Islam mau dibasmi di negeri Turki. Benarkah begitu? Dengan rajin saya selidiki
hal ini, saya buka kitab-kitab yang ada pada saya, saya perhatikan pidato-pidato
dan tulisan-tulisan pemimpin-pemimpin Turki sekarang, saya cari keterangan-keterangan
penyelidik-penyelidik yang obyektif, – dan saya punya kesimpulan ialah bahwa
Turki tidak bermaksud membasmi agama. Saya kira, begitu jugalah konklusi
tiap-tiap orang lain yang mau menyelidiki keadaan di Turki itu dengan saksama
dan obyektif. Yang menjadi soal sekarang ini, bukanlah Turki mau membasmi agama
atau tidak, tetapi ialah soal: apa sebab Turki memisah agama dari
negara, dan soal: diperbolehkankah oleh Islam (bukan kitab
fiqh) perpisahan agama dari negara, dan akhirnya soal: lebih
baikkah agama dipisahkan dari negara?
Soal yang pertama itulah yang menjadi themanya seri
artikel saya sekarang ini. Di dalam seri saya "Memudakan Pengertian
Islam" soal ini sudah saya singgung sedikit-sedikit. Di dalam seri itu
saya sitir beberapa ucapan-ucapan yang mengenai soal itu, antara lain-lain dari
Halide Edib Hanoum yang berbunyi: "Kalau Islam terancam bahaya kehilangan
pengaruhnya di atas rakyat Turki, maka itu bukanlah karena tidak diurus oleh
pemerintah, tetapi ialah justru karena diurus oleh pemerintah
… Umat Islam terikat kaki-tangannya dengan rantai kepada politiknya pemerintah
itu. Hal ini adalah satu halangan yang besar sekali buat kesuburan Islam di
Turki …
Dan bukan sahaja di Turki, tetapi di mana‑mana sahaja,
di mana pemerintah campur tangan di dalam urusan agama, di situ ia merupakan
satu halangan besar yang tak dapat dienyahkan …"
Jadi: bukan anti-agama, tapi juga justru menolong
agama.
Bukan mau membasmi agama, tetapi justru buat
menyuburkan agama. Bukan seperti Rusia, tetapi hanyalah menyimpang dari
kebiasaan umat Islam yang telah berabad-abad. Turki meninjau ke dalam sejarah
dunia, dan melihat betapa agama-sejati selalu didurhakai, justru oleh
pemerintah‑pemerintah dan orang-orang-kuasa yang juga menjadi
"penjaga-penjaga" agama itu. Sudah saya sitir tempo hari pidato
Mahmud Essad Bey, menteri kehakiman dulu, pada waktu membicarakan pengoperan
Civiele Code Zwitserland di Nationale Vergadering: "Manakala agama dipakai
buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia, ia selalu
dipakai sebagai alat penghukum ditangannya raja-raja, orang-orang tangan-besi
dan orang-orang zalim. Manakala zaman modern memisahkan urusan dunia daripada
urusan spirituil, maka ia adalah menyelamatkan dunia dari banyak kebencanaan,
dan ia memberi kepada agama itu satu singgasana yang maha-kuat di dalam
kalbunya orang-orang yang percaya." Dan Kamal sendiri sering berkata:
"Semua keadaan tidak baik yang kita derita itu, adalah karena agama itu
dipakai jadi perkakas sejati di dalam negara." Jadi sekali lagi:
Turki nyata tidak bermaksud membasmi agama. Hilangkanlah persangkaan yang
demikian itu, siapa yang masih ada persangkaan yang begitu! Hilangkanlah
persangkaan itu, oleh karena persangkaan itu adalah timbul dari kebodohan, –
atau timbul dari fitnah. Dulu, di dalam seri artikel "Memudakan
Pengertian Islam", dulu saya sudah mengemukakan persaksiannya
Frances Woodsmall, yang sudah melihat dan menyelidiki keadaan di Turki itu
dengan mata kepala sendiri. Dengarkanlah sekarang keterangan
Dr. Noordman, yang semua keterangan-keterangannya
bersifat hasil studi yang amat dalam: "Islam tidak berkedudukan lagi
seperti dulu, negara telah diseculariseer sama sekali, tetapi orang tidak
dihalangi mengerjakan agamanya, pemuda-pemuda tidak dididik memusuhi
Islam." Saya kira, kalau Turki bermaksud memerangi agama, maka dalam
bidang pendidikan pemuda inilah agama punya lapang yang paling subur. Di sini,
di kalangan pemuda dan anak-anak inilah, di bilik-bilik sekolahan, ia niscaya
paling aktif, paling rajin, paling giat, menyebar-nyebarkan benih kebencian
kepada agama. Tetapi tidak satupun kesaksian yang menunjuk ke situ.
Benar sekolah-sekolah gupernemen sekarang hanya
memberikan pengetahuan umum sahaja, benar pengajaran di sekolah-sekolah
gupernemen itu kini adalah pengajaran yang "merdeka", tetapi tidak
pernah diberikan di situ sedikitpun juga didikan anti-agama, dan tidak pula
gupernemen menghalangi orang-orang mendirikan sekolah-sekolahan agama secara
inisiatif partikelir.
Islam tidak dipadamkan, Islam hanyalah dilepaskan dari
urusan negara. Pada permulaan seri ini saya sudah menerangkan, bahwa perpisahan
antara agama dan negara itu bukanlah Kamal c.s. yang memulainya. Tidak,
perpisahan ini adalah ujungnya satu proses yang telah puluhan tahun dan ratusan
tahun berjalan, ujungnya satu paksaan masyarakat, yang sudah di zamannya
Sulaiman I empat ratus tahun yang lalu, — Sulaiman "Canuni", Sulaiman
"de wetgever", Sulaiman "pembuat undang-undang"! – memaksa
negara mengadakan perundang-undangan di luar perundang-undangannya syari'atul
Islam. Dan kemudian perpisahan ini di dalam tendensnyapun sangat sekali
mendapat dorongan keras dari kaum "Turki-Muda" yang mengambil oper
pemerintahan dari tangannya Sultan Abdul-Hamid di dalam tahun 1908. Maka di
zaman "Turki-Muda" ini terutama sekali Zia Keuk Alplah yang
tidak berhenti-henti mempropagandakan pembaharuan Islam, dialah yang buat
pertama kali memajukan fikiran buat mengeluarkan Sheik-ul-Islam dari Kabinet
menteri-menteri dan membuat Sheik-ul-Islam itu menjadi "kepala
agama" sahaja seperti patriach-patriach di dalam gereja Nasrani. Dialah
yang mengepalai pergerakan "menasionalisasikan" Islam, di bawah
pengaruh dialah Qur'an buat pertama kalinya disalin ke dalam bahasa nasional,
karena pimpinannyalah banyak sekali kaum intelektuil Islam lantas berfaham
setuju kepada rethinking of Islam.
Dan nyatalah secularisatienya negara dan agama Turki
itu sudah lama "diangsur" oleh sejarah sendiri. Pada tahun 1920
Sheik-ul-Islam itu masih menjadi anggauta Kabinet, meskipun sudah dengan nama
lain yang tidak begitu "muluk": Ia diganti nama "Komisaris buat
syari'at", sebagaimana tiap-tiap menteripun diganti nama
"Komisaris" seperti adat kebiasaan di Rusia zaman sekarang. Maka
baru pada 3 Maart 1924-lah "Komisariat buat syari'at" itu dihapuskan
sama sekali, – baru dari saat itulah Turki bukan sahaja tidak mempunyai
"Kalifatul Islam" lagi, tetapi tidak mempunyai
"Sheikul-Islam" pula. Tetapi perhatikan: pada waktu itu agama belum dicoret
sama sekali dari buku-urusannya negara, belum dikeluarkan sama sekali dari
tanggungannya negara. Pada waktu itu urusan agama masih diperhatikan oleh
negara: benar Komisaris buat syari'at diberhentikan, tetapi di bawah ia punya
kantor masih diteruskanlah di bawah penilikannya perdana-menteri dengan nama
"kantor urusan agama".
Kemudian datang lagi
"angsuran-angsuran" lainnya sebagai sudah saya ceritakan tahadi: di
tahun 1924 itu juga semua sekolah-sekolah agama yang dibelanjai oleh negara
ditutup, di tahun 1925 orang dilarang memakai fez, rumah-rumah darwisj,
kuburan-kuburan keramat ditutup, di tahun 1926 familierecht diganti dengan
Civiele Code Swis. Dan akhirnya baru pada 10 April 1928 jatuhlah putusan yang
penghabisan; kalimat di dalam undang-undang dasar, bahwa agama Islam ialah
agama negara dicoret dari undang-undang dasar itu sama sekali. Negara Turki
bukan lagi negaranya agama, Islam di Turki bukanlah lagi agamanya negara. Di
dalam bukunya "Turkey faces West" maka Halide Edib
Hanoum menulis sebagai berikut (kecuali apa yang sudah saya sitirkan):
"Geef de. Keizer wat des Keizers is,
en God wat Godes is", – berikanlah kepada Allah apa yang bagi Allah. Orang
Turki telah mempersembahkan apa-apa yang diperuntukkan bagi raja atau bagi
negara: tetapi negara ini masih sahaja memegang apa-apa yang sebenarnya diperuntukkan
bagi Allah. Kecuali jikalau "kantor urusan agama" dimerdekakan.
Keccuali jikalau kantor tidak lagi di bawah penilikan kantornya
perdana-menteri-menteri, maka kantor urusan agama itu akan tetaplah menjadi
perkakas pemerintah. Di dalam perkara ini umat Islam tidak begitu beruntung
dan tidak begitu merdeka seperti golongan-golongan Nasrani. Golongan-golongan
Nasrani itu adalah badan-badan yang merdeka menentukan sendiri segala hal-hal
yang mengenai iman dan mengenai agama, menurut keyakinan mereka sendiri-sendiri.
Tapi umat
Islam adalah terikat dengan rantai kepada politiknya pemerintah. Keadaan yang
demikian ini adalah satu halangan besar buat kesuburan Islam di Turki, dan
selalu mengandung bahaya, bahwa agama dibuat perkakas-keperluan-keperluan
politik … Kalau pemerintah campur tangan di dalam bagian yang paling suci dari
hak-hak-manusia itu, maka hal itu akan membawa akibat-akibat yang amat
berbahaya. Itu akan merantai
peri-kemanusiaan-kehidupan agama bangsa Turki, …
it would fetter the religious life of the Turks …
Dan kemerdekaan agama ini disambutlah pula dengan
gembira oleh golongan kaum muda Asia. Atas nama kaum muda itu seorang studen
berkatalah dengan gembira: "Kini kita merdeka dan bertanggung-jawab
sendiri buat menentukan apakah kehendak-kehendak agama kita yang sebenarnya.
Hiduplah agama Islam!"
Akh, saya punya kalam mau terus menulis sahaja, tetapi
saya musti ingat bahwa "Panji Islam" bukan
"monopoli" saya sendiri. Penulis-penulis yang lainpun meminta
tempat. Saya musti ingat kepada tuan-tuan, yang barangkali sudah mulai jengkel
dan jemu, – sudah mulai berkata di dalam hati: "kapankah obrolan ini
habis."
Akh, saudara-saudara pembaca, barangkali memang benar
kalau saya itu hanya mengeluarkan obrolan sahaja, kalimat-kalimat yang
menjemukan, perkataan-perkataan yang membikin kepala pusing. Tetapi saya
peringatkan kepada Tuan-tuan dengan segenap saya punya keyakinan, dengan
segenap saya punya ketandesan, dengan segenap saya punya jiwa yang selalu
hendak menyala-nyala: soal yang maha-maha-penting, soal yang saya bicarakan,
ini adalah soal yang maha-maha-penting, sepuluh, seratus,
seribu kali lebih penting daripada soal furu' remeh-temeh yang seringkali kita
perdebatkan dengan muka yang merah udang dan tangan yang memukul-mukul di atas
meja. Soal ini adalah soal yang penting, di dalam sejarah Islam seribu tahun yang
akhir, di sampingnya soal baik tidaknya rasionalisme di dalam agama. Sungguh,
perbuatan Kamal Ataturk memisahkan agama dari negara itu adalah satu perbuatan
yang 100% mengenai sejarah-dunia, satu perbuatan van wereldhistorische
beteekenis. Tradisi Islam yang sudah puluhan abad lamanya, ia matikan
dengan satu coretan kalam sahaja! Ia punya keputusan akan menyelesaikan
pemisahan Islam dari negara itu, yang barangkali mengkilat di dalam ia punya
jiwa di dalam waktu yang hanya satu detik sahaja, ia punya keputusan itu
adalah satu putusan yang menentukan nasib Islam buat ratusan
tahun. Dengan meminjam perkataan Trotsky, ia punya putusan itu adalah
detik-detik yang menentukan roman-muka sejarah buat berabad-abad: ogenblikken,
die het lot van eeuwen bepalen!
Saya menanya kepada Tuan: adakah getaran jiwa Than
berkata juga, bahwa soal ini adalah soal yang menentukan hari-kemudiannya agama
Islam? Adakah getaran jiwa Than berkata juga, bahwa sekali soal ini di kelak
kemudian hari akan dihadapi juga oleh tiap-tiap rakyat Islam di muka bumi ini?
Dan saya berkata kepada Tuan: siapa yang tidak insyaf akan maha-pentingnya soal
ini, dia tidak ada rasa-sejarah setetespun jua di dalam ia
punya darah, dia tidak ada "historisch instinct" sebesar
kumanpun di dalam ia punya jiwa, – dia adalah seorang togog, seorang knul.
Mufakat atau tidak mufakatnya kepada tindakan ‘Carnal, itu adalah lain; mufakat
atau tidaknya itu, itu bolehlah kita perdebatkan terus, meskipun sampai merah
kita punya muka atau hampir pecah kita punya urat-urat. Tetapidjangan
sekali-kali, saya minta kepada Than, jangan sekali-kali, tuan tarik tuan punya
selimut, putarkan tuan punya badan, tutupkan lagi tuan punya mata di atas
bantal, sambil setengah-berfikir setengah-tidak: nou ya, selamat malam!
Maaflah seribu maaf, – kalau tuan berbuat begitu, tuan sungguh adalah seorang
knul. Bagi orang yang mengerti maha-maha-pentingnya soal ini, bagi dia
menjadilah satu kenikmatan tidak tidur bermalam-malam karena mempelajarinya
dalam-dalam, satu kenikmatan membicarakan ataupun memperdebatkan hal ini
dengan orang-orang yang "berisi", meskipun sampai merah-muka seperti
udang!
Sungguh, pembaca tanamkan, camkan kepentingannya soal
ini di dalam tuan punya ingatan buat selama-lamanya! Saya ulangi lagi dengan
tandes saya punya harapan tempo hari: manakah studen Indonesia yang
menghadiahkan kepada masyarakat Indonesia satu studi tentang hal ini yang
obyektif dan saksama? Dia, niscaya akan mendapat terimakasihnya bagian umat
Islam Indonesia yang berfikir. Dia menyelesaikan satu kewajiban, satu plicht.
Sebab, – akh, belum pernah soal ini diakui maha-pentingnya oleh umat Islam
Indonesia, belum pernah pula ia dibicarakan zonder dendam dan zonder fitnah.
Sekali lagi saya berkata, Kamal Ataturk telah
memindahkan satu fi'il maha-haibat yang mempunyai arti dalam
sejarah dunia. Ia punya alasan-alasan, sepanjang pengetahuan saya, telah saya
uraikan kepada Tuan: ia berpendapat, bahwa baik di dalam urusan ekonomi, maupun
di dalam urusan politik, nyatalah aturan lama itu satu rem dan satu halangan
bagi ketangkasannya negara, – negara Turki, yang terancam bahaya dari
mana-mana, negara Turki, yang satu-satunya pembelaan-hidup baginya ialah ketangkasan,
kedinamisan, kecepatan – berbuat sebagai kilat untuk menyusun kembali
benteng-benteng jasmani dan rohani yang telah gugur. Negara harus ditangkaskan
dan agamapun harus ditangkaskan, sebab baik negara maupun agama, dua-duanya
menjadi lemah dan tiada daya-upaya karena terikat erat-erat satu kepada
yang lain di dalam aturan yang lama. Bagi Kamal, ini adalah kenyataan. Keadaan-keadaan
yang nyata, feiten dan sekali lagi feiten, yang
tak dapat dibantah dengan alasan-alasan cita-cita atau alasan-alasan
idealisme. Ia adalah orang yang Hil, ia benci kepada orang-orang yang selalu
melamun di awang-awang sambil mengatakan, bahwa di zaman Nabi atau di zaman
kalifah yang empat, agama toch bersatu dengan negara. Karena feiten di
zaman sekarang adalah feiten yang lain daripada empatbelas
abad yang lalu, dan feiten di zaman sekarang itupun memaksa manusia mengambil
tindakan-tindakan secepat kilat. Siapa yang tidak dapat mengambil tindakan
seperti kilat di zaman sekarang ini, dia harus terima sahajalah kalau ia
dipelantingkan oleh kilatnya sejarah ke dalam jurangnya kebinasaan dan
ketiadaan.
Kamal Ataturk, – kita mufakat kepadanya atau kita
tidak mufakat kepadanya, – telah memberi bukti kepada sejarah buat
selama-lamanya, bahwa ia cakap menangkap dan mengerti acinya
sejarah yang telah berlangsung beratus-ratus tahun dan cakap menguasai
acinya sejarah buat ratusan tahun pula. Inilah yang membenarkan
kehaibatannya ia punya nama: Kamal Pasya diganti dengan Kamal Ataturk,
– Ataturk yang berarti Bapak Turki, dan Kamal yang
berarti Benteng!
Benar atau salahnya ia punya perbuatan-haibat itu
bagi Islam, – itu sebenarnya bukan kitalah yang dapat menjadi
hakim. Yang dapat menjadi hakim baginya, hanyalah sejarah kelak kemudian
hari! Sejarah inilah yang kelak memutuskan: Kamal durhaka, atau ”Camal
mahabijaksana! "
Panji Islam", 1940
——