Memeriksa Ulang Tanda-Kuasa
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 14 Mei 2006)
Sejatinya, dalam pembacaan saya, perhelatan ini merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kembali relasi praktik kuasa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakatnya. Orde dan order. Tatanan dan pesanan atau perintah. Dua terminologi yang saling bertaut melekat, yang senantiasa beroperasi ulang-alik antarkeduanya. Puluhan bahkan ratusan obyek atau artifak renik yang dijumput dari masa lalu itu dikumpulkan kembali. Dielus kembali. Dilap dan dibersihkan dari puing-puing pola makna masa lalu yang dibangun oleh negara Orde Baru, untuk kemudian direkonstruksi dengan modus, sistem, dan cara pandang pemaknaan yang berbeda – untuk tak mengatakan baru.
Dengan demikian, pameran dengan tajuk Orde & Order yang berlangsung 5 Mei hingga 3 Juni mendatang di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta ini, saya kira, juga mengagendakan kembali proses mengingat untuk merancang – atau setidaknya meraba-raba – masa depan. Bukan sok heroik tentu saja, karena dengan cara sikap suprahistoris (ubergeschichtlicht) seperti yang diperkenalkan oleh kerangka berpikir Nietzsche ini ada penggalian atas makna-makna yang melampaui perubahan sejarah. Pencecapan terhadap makna-makna yang melampaui sejarah itulah yang kemudian memunculkan mental Dionysian, yakni mental yang berani berkata "ya" terhadap kehidupan. Keberanian mengatakan "ya" terhadap kehidupan berarti memiliki nyali untuk menggugat diri. Menggugat diri merupakan awal untuk membangun order yang bukan sepenuhnya dikendalikan oleh negara sebagai pengklaim tata aturan yang tunggal.
Kekuatan Tersembunyi
Dalam implementasinya, pameran ini bukanlah pameran konvensional yang dengan serta-merta menampilkan seniman atau perupa dengan senjata lukisan atau obyek seni pada umumnya setelah membaca tema kuratorial. Seniman yang terlibat di dalamnya adalah para "pembaca (teks) sejarah relasi kuasa negara atas rakyatnya". Ada arsitek, peneliti, dan seniman-kurator, yang membongkar-bongkar kembali koper sejarah berisi lembar-lembar artifak dengan sistem makna ala Orde Baru yang telah lapuk. Sebelumnya, tim kurator di sini – Pius Sigit dan Nuraini Juliastuti – memberi guide-line berupa fakta-fakta produk kebudayaan (visual) yang diorder oleh negara kepada publik atau para pekerja seni visual dalam relasi yang tidak setara. Artinya posisi negara begitu dominatif atas rakyat yang terdomestifikasi (terjinakkan). Inilah yang kemudian dibaca lebih lanjut oleh para pembaca teks sebagai seniman.
Misalnya Mahatmanto, seorang arsitek yang dosen sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Dia menggali kembali para hero yang namanya banyak berjejalan di jalan-jalan seantero negeri. Materi teks visual yang dijajarkan sebagai subyek pengingat dalam konteks ini adalah poster-poster pameran, foto-foto jalan penting di beberapa kota. Ada poster pameran fotografi, pameran sketsa arsitektur dan semacamnya. Juga dokumentasi perubahan nama-nama jalan di Surabaya dan Malang mulai dari jaman penjajahan Belanda hingga era Orde Baru (kini).
Mahatmanto membaca bahwa pemberian nama jalan di suatu kota, antara lain merupakan bagian penting dari spatialisasi kekuasaan yang tengah beroperasi dalam komunitas penghuninya. Sehingga beragam perubahan yang terjadi di ruang publik perkotaan dapat dimaknai sebagai perubahan pada distribusi kekuasaan dalam komunitas tersebut. Sementara itu, gelagatnya, wajah kota kita dewasa ini lebih ditentukan oleh kekuatan tersembunyi yang tidak secara formal menduduki pemerintahan setempat – tetapi tetap bersekongkol dengan negara.
Sehingga, berikutnya, produksi seni visual di ruang publik juga tidak lebih dari tempelan-tempelan yang akan mengikut saja ke mana kekuatan tersembunyi tersebut menghendaki tampil. Dengan pola pengelolaan tata ruang kota yang tidak transparan, tidak memberi ruang partisipasi pada penduduk kota, sehingga pemberian nama pada fasilitas publik hanyalah label yang direkatkan untuk sementara dan siap untuk diganti dengan yang lain. Sementara wajah visual kota tetap di luar kendalinya. Fakta tersebut nyaris seragam terjadi di kota-kota di Indonesia.
Sedang keseragaman yang bersifat ideologis, lebih lanjut dipersoalkan kembali oleh Primanto Nugroho, seorang peneliti sosial. Dia mencomot artifak pengingat seperti seragam sekolah, juga seragam batik Korpri warna biru tua yang logonya dulu dikreasi oleh seniman senior Yogyakarta, Aming Prayitno. Terpampang juga poster Bung Karno, poster pameran tunggal Yuswantoro Adi "Bermain dan Belajar" yang berseragam pelajar SD.
Bagi Primanto, pola penyeragaman yang terjadi dalam berbagai ranah tersebut tidak lagi bisa dibaca sebagai bagian dari militerisasi masyarakat dengan Angkatan Darat selaku motornya. Dengan militerisasi maka yang ditunjuk ialah proses diletakkannya militer sebagai acuan dalam berbagai segi kemasyarakatan yang bukan militer. Asumsi ini bisa dipalingkan oleh kenyataan sejarah bahwa pada masa penjajahan Belanda atau Jepang dulu pun, ternyata pola penyeragaman telah terjadi. Modusnya yang menguat (antara lain) adalah bayangan tentang "kemajuan" yang menjadikan pakaian seragam (entah sekolah, entah kantoran) sebagai alat ukur utama. Ini terjadi, menurut Primanto, sejak awal Abad 20.
Penggalian Episteme Masa Lalu
Karya-karya lain yang berserak dalam ruang pajang dibaca oleh Ronald Apriyan. Dia menguak kembali ritus 17 Agustusan, hari kemerdekaan Indonesia itu, sebagai kenduri nasional yang berlangsung sebagai perhelatan tahunan untuk membangun dan meneguhkan sakralitas negara. Juga Bambang "Toko" Witjaksono yang mencoba menakar relasi antara produk visual yang diprakarsai (dan memang menjadi kewenangan) negara – seperti perangko dan uang – sebagai narasi mungil terhadap situasi sosial kemasyarakatan nasional sebagai narasi besar di seberangnya.
Secara umum, pameran ini cukup menarik sebagai alternatif untuk mempersuasi publik dalam menafsirkan, membayangkan, menciptakan, mengontrol, mengatur dan memperlakukan pengetahuan tentang praktik kuasa negara di masa lalu untuk bersikap di masa sekarang dan ke depan. Lebih lanjut – meminjam kalimat Budiawan dalam buku Mematahkan Pewarisan Ingatan (2004: 26) – penelusuran historis dapat dikatakan sebagai penggalian episteme (pengetahuan) tentang masa lalu, untuk membedakan bagaimana kejadian masa lalu itu dijelaskan kepada orang-orang kepada diri mereka sendiri melalui struktur narasi yang dominan dan terpinggirkan.
Hanya sayang, pergerakan dari tingkat konseptual menuju operasional, karya-karya yang tersaji masih lumayan jauh dari sempurna. Misalnya ada patung Abdi Setyawan yang tiba-tiba seperti "nyelonong" karena sama sekali tak tematik, sehingga kehadirannya di ruang itu menjadi sangat ahistoris. Dan hal yang juga menguat kelemahannya adalah proses rekoleksi artifak-artifak sebagai materi pameran yang masih terbatas dan tak semua representatif. Dengan menghadirkan para seniman "pembaca teks sejarah" yang disertakan dalam proyek ini sebenarnya memungkinkan mereka untuk memungut teks-teks visual yang jauh lebih banyak di luar koleksi yayasan Seni Cemeti.
Apa boleh buat, "sejarah" pembacaan atas sejarah masa lalu telah terjadi. Toh "sejarah" berikutnya bisa kembali didesain dengan perspektif yang lebih fokus.
Kuss Indarto, kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.
(Tulisan ini dimuat di harian Suara Merdeka Semarang, Minggu 14 Mei 2006)
Sejatinya, dalam pembacaan saya, perhelatan ini merupakan salah satu upaya untuk memeriksa kembali relasi praktik kuasa yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakatnya. Orde dan order. Tatanan dan pesanan atau perintah. Dua terminologi yang saling bertaut melekat, yang senantiasa beroperasi ulang-alik antarkeduanya. Puluhan bahkan ratusan obyek atau artifak renik yang dijumput dari masa lalu itu dikumpulkan kembali. Dielus kembali. Dilap dan dibersihkan dari puing-puing pola makna masa lalu yang dibangun oleh negara Orde Baru, untuk kemudian direkonstruksi dengan modus, sistem, dan cara pandang pemaknaan yang berbeda – untuk tak mengatakan baru.
Dengan demikian, pameran dengan tajuk Orde & Order yang berlangsung 5 Mei hingga 3 Juni mendatang di Kedai Kebun, Jalan Tirtodipuran 3 Yogyakarta ini, saya kira, juga mengagendakan kembali proses mengingat untuk merancang – atau setidaknya meraba-raba – masa depan. Bukan sok heroik tentu saja, karena dengan cara sikap suprahistoris (ubergeschichtlicht) seperti yang diperkenalkan oleh kerangka berpikir Nietzsche ini ada penggalian atas makna-makna yang melampaui perubahan sejarah. Pencecapan terhadap makna-makna yang melampaui sejarah itulah yang kemudian memunculkan mental Dionysian, yakni mental yang berani berkata "ya" terhadap kehidupan. Keberanian mengatakan "ya" terhadap kehidupan berarti memiliki nyali untuk menggugat diri. Menggugat diri merupakan awal untuk membangun order yang bukan sepenuhnya dikendalikan oleh negara sebagai pengklaim tata aturan yang tunggal.
Kekuatan Tersembunyi
Dalam implementasinya, pameran ini bukanlah pameran konvensional yang dengan serta-merta menampilkan seniman atau perupa dengan senjata lukisan atau obyek seni pada umumnya setelah membaca tema kuratorial. Seniman yang terlibat di dalamnya adalah para "pembaca (teks) sejarah relasi kuasa negara atas rakyatnya". Ada arsitek, peneliti, dan seniman-kurator, yang membongkar-bongkar kembali koper sejarah berisi lembar-lembar artifak dengan sistem makna ala Orde Baru yang telah lapuk. Sebelumnya, tim kurator di sini – Pius Sigit dan Nuraini Juliastuti – memberi guide-line berupa fakta-fakta produk kebudayaan (visual) yang diorder oleh negara kepada publik atau para pekerja seni visual dalam relasi yang tidak setara. Artinya posisi negara begitu dominatif atas rakyat yang terdomestifikasi (terjinakkan). Inilah yang kemudian dibaca lebih lanjut oleh para pembaca teks sebagai seniman.
Misalnya Mahatmanto, seorang arsitek yang dosen sebuah kampus swasta di Yogyakarta. Dia menggali kembali para hero yang namanya banyak berjejalan di jalan-jalan seantero negeri. Materi teks visual yang dijajarkan sebagai subyek pengingat dalam konteks ini adalah poster-poster pameran, foto-foto jalan penting di beberapa kota. Ada poster pameran fotografi, pameran sketsa arsitektur dan semacamnya. Juga dokumentasi perubahan nama-nama jalan di Surabaya dan Malang mulai dari jaman penjajahan Belanda hingga era Orde Baru (kini).
Mahatmanto membaca bahwa pemberian nama jalan di suatu kota, antara lain merupakan bagian penting dari spatialisasi kekuasaan yang tengah beroperasi dalam komunitas penghuninya. Sehingga beragam perubahan yang terjadi di ruang publik perkotaan dapat dimaknai sebagai perubahan pada distribusi kekuasaan dalam komunitas tersebut. Sementara itu, gelagatnya, wajah kota kita dewasa ini lebih ditentukan oleh kekuatan tersembunyi yang tidak secara formal menduduki pemerintahan setempat – tetapi tetap bersekongkol dengan negara.
Sehingga, berikutnya, produksi seni visual di ruang publik juga tidak lebih dari tempelan-tempelan yang akan mengikut saja ke mana kekuatan tersembunyi tersebut menghendaki tampil. Dengan pola pengelolaan tata ruang kota yang tidak transparan, tidak memberi ruang partisipasi pada penduduk kota, sehingga pemberian nama pada fasilitas publik hanyalah label yang direkatkan untuk sementara dan siap untuk diganti dengan yang lain. Sementara wajah visual kota tetap di luar kendalinya. Fakta tersebut nyaris seragam terjadi di kota-kota di Indonesia.
Sedang keseragaman yang bersifat ideologis, lebih lanjut dipersoalkan kembali oleh Primanto Nugroho, seorang peneliti sosial. Dia mencomot artifak pengingat seperti seragam sekolah, juga seragam batik Korpri warna biru tua yang logonya dulu dikreasi oleh seniman senior Yogyakarta, Aming Prayitno. Terpampang juga poster Bung Karno, poster pameran tunggal Yuswantoro Adi "Bermain dan Belajar" yang berseragam pelajar SD.
Bagi Primanto, pola penyeragaman yang terjadi dalam berbagai ranah tersebut tidak lagi bisa dibaca sebagai bagian dari militerisasi masyarakat dengan Angkatan Darat selaku motornya. Dengan militerisasi maka yang ditunjuk ialah proses diletakkannya militer sebagai acuan dalam berbagai segi kemasyarakatan yang bukan militer. Asumsi ini bisa dipalingkan oleh kenyataan sejarah bahwa pada masa penjajahan Belanda atau Jepang dulu pun, ternyata pola penyeragaman telah terjadi. Modusnya yang menguat (antara lain) adalah bayangan tentang "kemajuan" yang menjadikan pakaian seragam (entah sekolah, entah kantoran) sebagai alat ukur utama. Ini terjadi, menurut Primanto, sejak awal Abad 20.
Penggalian Episteme Masa Lalu
Karya-karya lain yang berserak dalam ruang pajang dibaca oleh Ronald Apriyan. Dia menguak kembali ritus 17 Agustusan, hari kemerdekaan Indonesia itu, sebagai kenduri nasional yang berlangsung sebagai perhelatan tahunan untuk membangun dan meneguhkan sakralitas negara. Juga Bambang "Toko" Witjaksono yang mencoba menakar relasi antara produk visual yang diprakarsai (dan memang menjadi kewenangan) negara – seperti perangko dan uang – sebagai narasi mungil terhadap situasi sosial kemasyarakatan nasional sebagai narasi besar di seberangnya.
Secara umum, pameran ini cukup menarik sebagai alternatif untuk mempersuasi publik dalam menafsirkan, membayangkan, menciptakan, mengontrol, mengatur dan memperlakukan pengetahuan tentang praktik kuasa negara di masa lalu untuk bersikap di masa sekarang dan ke depan. Lebih lanjut – meminjam kalimat Budiawan dalam buku Mematahkan Pewarisan Ingatan (2004: 26) – penelusuran historis dapat dikatakan sebagai penggalian episteme (pengetahuan) tentang masa lalu, untuk membedakan bagaimana kejadian masa lalu itu dijelaskan kepada orang-orang kepada diri mereka sendiri melalui struktur narasi yang dominan dan terpinggirkan.
Hanya sayang, pergerakan dari tingkat konseptual menuju operasional, karya-karya yang tersaji masih lumayan jauh dari sempurna. Misalnya ada patung Abdi Setyawan yang tiba-tiba seperti "nyelonong" karena sama sekali tak tematik, sehingga kehadirannya di ruang itu menjadi sangat ahistoris. Dan hal yang juga menguat kelemahannya adalah proses rekoleksi artifak-artifak sebagai materi pameran yang masih terbatas dan tak semua representatif. Dengan menghadirkan para seniman "pembaca teks sejarah" yang disertakan dalam proyek ini sebenarnya memungkinkan mereka untuk memungut teks-teks visual yang jauh lebih banyak di luar koleksi yayasan Seni Cemeti.
Apa boleh buat, "sejarah" pembacaan atas sejarah masa lalu telah terjadi. Toh "sejarah" berikutnya bisa kembali didesain dengan perspektif yang lebih fokus.
Kuss Indarto, kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.
Comments