Bermain Ikon Sejarah

Oleh Kuss Indarto

(Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia, Minggu 8 Oktober 2006)

Sore mulai berangin tatkala beberapa perupa yang beranjak gaek asyik mengobrol ngalor-ngidul di depan Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Hari itu, Selasa 19 September 2006. Di antara reriuhan itu ada Haris Purnomo, Ronald Manulang, dan Hari Budiono, yang pada 1978-an membikin heboh dengan mendirikan kelompok seni rupa PIPA (Kepribadian Apa). Ada juga Bonyong Munny Ardhi, Hardi, dan lainnya – yang pada tahun-tahun sebelumnya tak kurang heroiknya dengan aksi yang melegenda, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Ada gelak tawa yang membuncah pada pertemuan nostalgis mereka. Dan di ujung persuaan itu, mereka saling berucap dan berharap untuk kembali bertemu menuntaskan kangen di malam harinya, di Jogja Gallery. Namun Hari Budiono tidak mengiyakan. Dia tak akan datang pada pembukaan pameran sekaligus launching perdana galeri di Jalan Pekapalan di ujung timur laut alun-alun utara kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut.

Tampaknya Hari merasa cukup punya alasan untuk tak nongol malam itu. Meski sebenarnya dia tak punya acara yang lebih penting dan berharga ketimbang perhelatan di galeri itu. Tapi barangkali dalih ini lebih dikarenakan oleh rasa tak enak, sungkan atau malah galau. Bagaimana tidak, garis panjang “kesejarahan estetik” dirinya yang setara dengan rekan-rekannya seperti Haris Purnomo atau Ronald Manulang, ternyata “disembunyikan” oleh kurator M. Dwi Marianto dan Mikke Susanto yang membesut pameran bertajuk kuratorial Icon: Retrospective tersebut. Dirinya tidak dilibatkan sebagai peserta pameran yang sebenarnya layak untuk menempatkan nama dan karyanya di pameran itu. Entahlah, apakah kurator alpa atau melupakannya, atau – itu tadi – ada konstruksi dan agenda “khusus” untuk “menyembunyikannya”.

Padahal dia tetap berdiam di Yogyakarta, bukan di Jakarta atau kota lain seperti Ronald Manulang atau Haris Purnomo, sehingga (sebenarnya) gampang untuk memantaunya. Padahal dia juga tetap konsisten berproses kreatif, bahkan medio tahun ini berpameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta (dan di dua kota lain), seperti halnya rekan-rekannya, sehingga masih terlacak garis dinamik kreatifnya. Kalau kurator alpa, bagaimana proses pembacaan dan penelusuran mereka atas “sejarah dasar” seni rupa tiga puluh tahun terakhir? Tapi kalau ada agenda dan disain “khusus”, pada titik mana mereka hendak mengonstruksi subyektivitasnya (ingat, bukan obyektivitas) dalam memandang sejarah?

Hari Budiono tenyata tidak sendirian. Masih banyak perupa atau apresian seni yang, misalnya, mempertanyakan kemunculan perupa A dan absennya seniman B pada perhelatan kali ini. Atau kelompok seni Z diketengahkan, namun kelompok X malah dikesampingkan. Demikianlah kiranya bagian paling dinamis tapi riskan dari sebuah pameran berbingkai kuratorial penuh jaring risiko, yakni menampilkan sebuah pembabakan sejarah dengan pilahan para lakon sejarah yang dikonstruksinya. Apa boleh buat, kebenaran dalam ilmu sejarah – yang dari awal menolak prinsip keilmiahan dalam bingkai positivisme – memang tidak bersifat universal, tapi temporal dan spasial. Di dalamnya, kebenaran pun sulit untuk bersifat obyektif, namun intersubyektif dan ideografis.

Pada titik inilah sebenarnya pengharapan begitu menggelembung atas pameran “kolosal” yang rencananya berlangsung hingga 19 November mendatang. Puluhan karya dari sekian puluh nama seniman yang dipilih kurator bertaburan di sekujur ruang. Mereka adalah seniman yang dianggap berproses kreatif di Yogyakarta. Pembabakan dihasratkan untuk memudahkan pelacakan sejarah, yakni dalam kelompok kurun sepuluh tahunan atau dasawarsa. Mulai dari dasawarsa 1970-an yang memunculkan nama-nama dosen ASRI yang diasumsikan memberi pengaruh pemikiran, seperti Fadjar Sidik, Widayat, Edhi Sunarso dan Aming Prayitno. Kemudian kehadiran Sanggar Dewata Indonesia (SDI) dengan representasinya Nyoman Gunarsa dan Made Wianta. Hingga menampilkan “representasi” ikon peristiwa penting masa itu, yakni pameran “Nusantara-Nusantara!”, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB), dan pameran kelompok “Kepribadian Apa (PIPA)”.

Kemudian dasawarsa 1980-an yang satu di antaranya mengeksposisikan karya Moelyono dengan Kesenian Unit Desa (KUD)-nya, Heri Dono, Eddie Hara, Nindityo hingga para pelukis surealis ala Yogya seperti Agus Kamal, Lucia Hartini, Ivan Sagito dan lainnya. Dilanjutkan 1990-an yang menampilkan Dadang Christanto, Anusapati, Hedi Hariyanto, Djoko Pekik, Entang Wiharso, hingga Apotik Komik dan Nyoman Masriadi. Serta kurun 2000-an diketengahkan karya para “ikon”-nya seperti Komunitas Seni dan Budaya Taring Padi, Ruang Mess 56, Budi Kustarto, Eko Nugroho, Abdi Setyawan, hingga Sigit Santoso. Di luar itu, ada Affandi yang melampaui batas-batas kurun waktu yang dikelompokkan.

Konstruksi kuratorial semacam ini memang bukan pekerjaan gampang dan oleh sebab itu, sekali lagi, berisiko. Ini menyangkut kekuatan konsep kesejarahan yang tampaknya menjadi dasar atas peta kuratorial pameran Icon: Retrospective yang kemudian dipertanyakan publik. Pertanyaan, misalnya, berangkat dari dataran filosofis, di mana ada tiga aspek yang kerap menjadi sasaran kajian historis dalam melihat suatu perkembangan sejarah. Ketiganya masing-masing meliputi latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa, proses dari peristiwa itu sendiri, dan konklusi historis yang dihasilkan oleh peristiwa tersebut (Syamsul Ardiansyah, Pikiran Rakyat, 30/9/2006).

Hal-hal inilah yang terasa mengganjal ketika mengamati rangkaian karya-karya dalam pameran dan mencoba untuk mengonstruksi sistem makna yang ada di dalamnya. Saya kira banyak ditemukan nama dan karya yang menunjukkan cukup kuatnya sistem dan cara berpikir yang disorientatif, untuk tak mengatakan “kebingungan”.
Sebut saja misalnya kehadiran nama dan karya almarhum G. Sidharta yang dikelompokkan sebagai seniman yang mewarnai dinamika seni rupa Yogyakarta kurun 1970-an. Tentu ini sebuah kelucuan karena sejak 1960-an beliau telah menetap di Bandung, bukan di Yogyakarta. Atau Studio Brahma Tirta Sari (Agus Ismoyo dan Nia Fliam) yang masuk dalam kelompok 1980-an. Ini sebuah bias temporal karena mereka memang membentuk diri tahun 1980-an namun baru menemukan “puncak” kreatif dan ke-ikon-annya awal 2000-an. Setidaknya pada Biennal Jogja 2003 lalu. Pun dengan kehadiran Seiko Kajiura dan kawan-kawan yang dipaksa “masuk peta” lewat pameran “Jogjapan-Jepangkarta” April 2005, dan dengan gegabah dikelompokkan sebagai salah satu “ikon” kurun 2000-an. Diduga ini karena relasi personal antara kurator M. Dwi Marianto dengan para “seniman” tersebut yang berpameran di kampus Pascasarjana ISI Yogyakarta, dan bukan lewat pendekatan konseptual tentang “ikonisitas” berdasar karya kreatif mereka. Dengan metodologi seperti ini, maka “tersingkirlah” kelompok Geber Modus Operandi, Yuswantoro Adi, dan lainnya.

Saya tak tahu persis apakah pendekatan metodologis yang diterapkan pada perhelatan ini memakai perspektif neoscientific yang memungkinkan memberi ruang bagi “orang-orang biasa saja” dalam spirit kesetaraan untuk masuk sejarah, atau ini justru menjadi “jebakan-jebakan” yang dibuat kurator sendiri lewat tema kuratorial heroik tersebut. Tentu hal ini lumayan mencederai pameran. Sebuah kerja besar yang semestinya bisa lebih baik, malah terpelanting pada perkara yang elementer. Padahal publik seni Yogyakarta atau bahkan Indonesia mungkin begitu berharap dengan hadirnya galeri publik megah ini. Launching yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono X dengan seremonial meriah tentu menyelinapkan banyak harapan pada ruang baru ini.

Agak sayang memang. Meski dalam pameran ini sudah banyak “ikon” berkelas paus, hiu, atau kakap, ternyata terselip juga “ikon” teri, “ikon" wader… Sebuah dekonstruksi atau destruksi sejarahkah ini?

Kuss Indarto, kritikus seni rupa, tinggal di Yogyakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?