Membongkar “Mitos” dalam FKY
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu Legi, 25 Maret 2007, dengan banyak editing oleh pihak redaksi hingga tinggal kira-kira 70% dari teks semula. Foto di sebalah adalah lukisan karya Iwan Hartoko)
TAWARAN isu pembubaran FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) oleh Bambang JP (KR, 14/01/2007) tampaknya tidak cukup populer karena delapan penanggap sebelum ini, tegas atau tersamar, telah memberi respons yang mengerucut bahwa FKY tidak perlu dibubarkan. Rekomendasinya soal penggantian tajuk Festival Kesenian Yogyakarta menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta pun tidak menjadi hal yang solutif karena sebagian besar penanggap berasumsi kuat bahwa perkara substansial dan elementer justru menjadi titik persoalan yang mesti dikuak dan dibongkar untuk pembenahan.
Hal-hal substansial dan elementer itu antara lain tentang pemberdayaan fungsi dan peran Dewan Kebudayaan (DKY) yang lebih serius seperti disarankan Saut Situmorang (21/01/2007). Atau tentang reformatting ala Akhir Luso No (4/02), juga ihwal perlunya mengedepankan keterlibatan komunitas seperti ditawarkan Sigit Sugito (11/02). Sedang Eddy Purjanto mengetengahkan kemungkinan mengadopsi pola penyelenggaraan festival iklan (25/02), hingga problem transparansi manajemen (keuangan) versi Lephen Purwaraharja. Atau pembenahan via spirit Trikon-nya Ki Hajar Dewantara seperti dikemukakan Kuswarsantyo (18/03). Sementara tanggapan Kasidi Hadiprayitno (28/01), terus terang, belum spesifik gagasan serta sikapnya, sedang Bambang Susilo (11/03)masih emosional dan minim gagasan.
Bagi saya sendiri, tawaran isu Bambang JP malah sangat dimungkinkan menyimpan hidden agenda. Misalnya, bisa jadi, sebagai sebuah “pembunuhan karakter” (secara eufemistik) terhadap (panitia) FKY periode sekarang. Atau bisa jadi sebagai upaya pengalihan isu tentang mismanagement yang dilakukan oleh ketua umum FKY periode dua tahun terakhir – yang telah dimundurkan itu. Kalau dugaan ini benar, maka pewacanaan Bambang JP justru memberi legitimasi bahwa dirinya merupakan bagian penting dari kroni sang ketua umum yang dilengserkan tempo hari. Kecurigaan semacam ini jelas tak terelakkan karena “wacana” yang dibangunnya praktis merupakan isu lama (seperti dikatakannya sendiri sembari mengutip pernyataan Sultan HB X) tanpa dibenahi dengan argumentasi yang konseptual. Namun, andai tanpa hidden agenda apapun di balik teks Bambang, justru menguatkan pemahaman bahwa FKY selama ini hanya direcoki oleh “gosip” yang patologis.
Memang, sebagai provokasi, catatan Bambang agak menarik. Dan untunglah para penanggap lebih menarik lagi dengan berusaha konstruktif menguliti persoalan lewat kapasitas dan pengalaman masing-masing. Dalam jalur optimistik inilah saya ingin menambal beberapa hal yang lebih elementer lagi yang perlu dibaca ulang untuk bekal perhelatan FKY di masa sekarang. Ini berangkat dari poin-poin yang telah melekat dan cenderung menjadi “mitos” yang menyertai keberadaan FKY. Pertama, perlu kembali mendudukkan persoalan bahwa FKY bukanlah semata-mata sebagai pestanya para seniman (seperti “dimitoskan” selama ini), melainkan pesta seni dari dan untuk masyarakat secara keseluruhan. Cara pandang tersebut akan menempatkan perhelatan tahunan ini sebagai event yang lebih populis dan inklusif, bukan lagi eksklusif dan berjarak dengan masyarakatnya. Mereka yang tidak dilegitimasi sebagai seniman, baik secara akademis atau sosial, bisa terlibat aktif di dalamnya. Bukan sekadar jadi penonton. Peluang semacam inilah yang perlu diciptakan. Misalnya mengakomodasi club-culture yang lebih spesifik ketimbang sub-culture seperti komunitas scooter-mania, si pitung, kelompok sepeda lawasan, para blogger, dan para pehobi lain yang mewarnai kota dan jaman sekarang.
Kedua, mereduksi “mitos” bahwa FKY tidak selalu berarti festival bagi seni(man) yang ada di Yogyakarta, tetapi sebagai event seni budaya yang diselenggarakan di Yogyakarta. Pemahaman ini mengekspektasikan kemungkinan FKY sebagai perhelatan dan ruang terbuka bagi banyak seni(man), termasuk dari luar Yogyakarta. Dengan kepesertaan yang meluas, maka target goal dari poin ini adalah rasa kepemilikan yang lebih luas melampaui batas geografis Yogyakarta. FKY tidak hanya dinanti kehadirannya oleh warga Yogyakarta, tapi juga warga di luar Yogyakarta.
Ketiga, sebagai gerak lanjut yang linier dari poin pertama dan kedua, FKY perlu menyeimbangkan diri sebagai event yang kepesertaannya partisipatif dan kompetitif. Ini dua hal yang bisa jadi kontradiktif, tetapi bisa dikelola dengan baik. Aspek partisipatif memungkinkan sebuah perhelatan yang inklusif dan populis, sementara aspek kompetitif memungkinkan panitia atau apresian memiliki alat ukur estetik ketika melihat suguhan acara di FKY. Pada kurun tertentu, banyak item acara FKY lebih mengedepankan senioritas dalam kepesertaan dengan mengabaikan pencapaian kreatif-estetik. Modus seperti ini merupakan bentuk penghormatan semu terhadap senioritas yang justru patologis bagi FKY. “Mitos” bahwa yang senior pasti selalu lebih hebat harus diurai ulang, antara lain, dengan mengedepankan FKY sebagai ruang persemaian kreatif-kompetitif bagi yang yunior.
Dengan memberangkatkan diri dari fakta yang tak terelakkan tersebut, maka berikutnya, poin keempat, lebih menekankan pada penguatan atas metodologi kuratorial dan penentuan tematik. Ini problem mendasar yang selama belasan tahun keberadaan FKY sekadar menjadi sampiran, bukan sebagai titik pijak bagi rencana program perhelatan. Seandainya ada survei atau riset memadai yang mendahului perhelatan, maka penyusunan kuratorial dan penentuan tema menjadi titik penting untuk menempatkan FKY tidak sekadar sebagai pergelaran kesenian, melainkan juga sebagai sebentuk siasat dan strategi politik kebudayaan yang memberi impact dan implikasi lebih jauh terhadap masyarakat dan penentu kebijakan publik. Oleh karenanya, tak perlulah mengubah tajuk “festival kesenian” menjadi “festival kebudayaan”, karena kesenian dalam konteks ini diposisikan sebagai nucleus penting atas kebudayaan. Ini problem strategi, bukan soal gonta-ganti nama tapi konsep dan subtansinya masih kosong.
Kelima, meminggirkan “mitos” struktur kepanitiaan yang dianggap konvensional yang tak mampu mengakomodasi perkembangan sebuah festival masa sekarang. Ini merupakan aplikasi atas gagasan tentang pembaruan manajemen festival. Maka perlu adanya posisi seperti Direktur Festival, Kurator, Tim Riset, dan lainnya yang lebih relavan untuk menjawab kompleksitas persoalan masa kini. Ini bukan masalah nama, tapi lebih pada spesifikasi bidang kerja yang lebih jelas dan efektif. Bukan menumpuk sekian banyak nama dengan model kepanitiaan yang kuno seperti “mitos” FKY selama ini. Lihat misalnya, untuk konteks yang sedikit bergeser, pada Venice Bienalle 2007 di Italia ada Francesco Bonami sebagai curator in chief, atau ada Hou Hanru sebagai curator in chief di Istanbul Biennale 2007 di Turki.
Keenam, membalikkan “mitos” bahwa FKY seolah “pengemis” yang selalu menengadahkan tangan kepada negara. Ini merupakan “mitos” keblinger karena sebenarnya negaralah yang secara historis menghendaki adanya FKY untuk menunjang kepariwisataan di Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan kemudian menderivasikan hal tersebut kepada masyarakat seni. Maka, tuntutan terhadap negara untuk tetap mendanai FKY, pertama-tama, lebih sebagai tuntutan terhadap komitmen kultural negara (termasuk Sultan HB X sebagai gubernur sekaligus pemimpin kultural Jawa). PSIM atau PSS bisa mendapatkan dana hingga lebih dari 8 miliar per tahun, kenapa FKY hanya dikucuri Rp 300 juta saja?
Maka, berhasil atau gagalnya perhelatan Festival Kesenian Yogyakarta tidak bisa ditimpakan hanya terhadap panitia FKY itu sendiri, melainkan juga merupakan cermin penting untuk mengukur komitmen dan kebijakan kultural dari Sri Sultan HB X, DPRD Yogyakarta, juga Dewan Kebudayaan Yogyakarta. Silakan bercermin!
(Tulisan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Minggu Legi, 25 Maret 2007, dengan banyak editing oleh pihak redaksi hingga tinggal kira-kira 70% dari teks semula. Foto di sebalah adalah lukisan karya Iwan Hartoko)
TAWARAN isu pembubaran FKY (Festival Kesenian Yogyakarta) oleh Bambang JP (KR, 14/01/2007) tampaknya tidak cukup populer karena delapan penanggap sebelum ini, tegas atau tersamar, telah memberi respons yang mengerucut bahwa FKY tidak perlu dibubarkan. Rekomendasinya soal penggantian tajuk Festival Kesenian Yogyakarta menjadi Festival Kebudayaan Yogyakarta pun tidak menjadi hal yang solutif karena sebagian besar penanggap berasumsi kuat bahwa perkara substansial dan elementer justru menjadi titik persoalan yang mesti dikuak dan dibongkar untuk pembenahan.
Hal-hal substansial dan elementer itu antara lain tentang pemberdayaan fungsi dan peran Dewan Kebudayaan (DKY) yang lebih serius seperti disarankan Saut Situmorang (21/01/2007). Atau tentang reformatting ala Akhir Luso No (4/02), juga ihwal perlunya mengedepankan keterlibatan komunitas seperti ditawarkan Sigit Sugito (11/02). Sedang Eddy Purjanto mengetengahkan kemungkinan mengadopsi pola penyelenggaraan festival iklan (25/02), hingga problem transparansi manajemen (keuangan) versi Lephen Purwaraharja. Atau pembenahan via spirit Trikon-nya Ki Hajar Dewantara seperti dikemukakan Kuswarsantyo (18/03). Sementara tanggapan Kasidi Hadiprayitno (28/01), terus terang, belum spesifik gagasan serta sikapnya, sedang Bambang Susilo (11/03)masih emosional dan minim gagasan.
Bagi saya sendiri, tawaran isu Bambang JP malah sangat dimungkinkan menyimpan hidden agenda. Misalnya, bisa jadi, sebagai sebuah “pembunuhan karakter” (secara eufemistik) terhadap (panitia) FKY periode sekarang. Atau bisa jadi sebagai upaya pengalihan isu tentang mismanagement yang dilakukan oleh ketua umum FKY periode dua tahun terakhir – yang telah dimundurkan itu. Kalau dugaan ini benar, maka pewacanaan Bambang JP justru memberi legitimasi bahwa dirinya merupakan bagian penting dari kroni sang ketua umum yang dilengserkan tempo hari. Kecurigaan semacam ini jelas tak terelakkan karena “wacana” yang dibangunnya praktis merupakan isu lama (seperti dikatakannya sendiri sembari mengutip pernyataan Sultan HB X) tanpa dibenahi dengan argumentasi yang konseptual. Namun, andai tanpa hidden agenda apapun di balik teks Bambang, justru menguatkan pemahaman bahwa FKY selama ini hanya direcoki oleh “gosip” yang patologis.
Memang, sebagai provokasi, catatan Bambang agak menarik. Dan untunglah para penanggap lebih menarik lagi dengan berusaha konstruktif menguliti persoalan lewat kapasitas dan pengalaman masing-masing. Dalam jalur optimistik inilah saya ingin menambal beberapa hal yang lebih elementer lagi yang perlu dibaca ulang untuk bekal perhelatan FKY di masa sekarang. Ini berangkat dari poin-poin yang telah melekat dan cenderung menjadi “mitos” yang menyertai keberadaan FKY. Pertama, perlu kembali mendudukkan persoalan bahwa FKY bukanlah semata-mata sebagai pestanya para seniman (seperti “dimitoskan” selama ini), melainkan pesta seni dari dan untuk masyarakat secara keseluruhan. Cara pandang tersebut akan menempatkan perhelatan tahunan ini sebagai event yang lebih populis dan inklusif, bukan lagi eksklusif dan berjarak dengan masyarakatnya. Mereka yang tidak dilegitimasi sebagai seniman, baik secara akademis atau sosial, bisa terlibat aktif di dalamnya. Bukan sekadar jadi penonton. Peluang semacam inilah yang perlu diciptakan. Misalnya mengakomodasi club-culture yang lebih spesifik ketimbang sub-culture seperti komunitas scooter-mania, si pitung, kelompok sepeda lawasan, para blogger, dan para pehobi lain yang mewarnai kota dan jaman sekarang.
Kedua, mereduksi “mitos” bahwa FKY tidak selalu berarti festival bagi seni(man) yang ada di Yogyakarta, tetapi sebagai event seni budaya yang diselenggarakan di Yogyakarta. Pemahaman ini mengekspektasikan kemungkinan FKY sebagai perhelatan dan ruang terbuka bagi banyak seni(man), termasuk dari luar Yogyakarta. Dengan kepesertaan yang meluas, maka target goal dari poin ini adalah rasa kepemilikan yang lebih luas melampaui batas geografis Yogyakarta. FKY tidak hanya dinanti kehadirannya oleh warga Yogyakarta, tapi juga warga di luar Yogyakarta.
Ketiga, sebagai gerak lanjut yang linier dari poin pertama dan kedua, FKY perlu menyeimbangkan diri sebagai event yang kepesertaannya partisipatif dan kompetitif. Ini dua hal yang bisa jadi kontradiktif, tetapi bisa dikelola dengan baik. Aspek partisipatif memungkinkan sebuah perhelatan yang inklusif dan populis, sementara aspek kompetitif memungkinkan panitia atau apresian memiliki alat ukur estetik ketika melihat suguhan acara di FKY. Pada kurun tertentu, banyak item acara FKY lebih mengedepankan senioritas dalam kepesertaan dengan mengabaikan pencapaian kreatif-estetik. Modus seperti ini merupakan bentuk penghormatan semu terhadap senioritas yang justru patologis bagi FKY. “Mitos” bahwa yang senior pasti selalu lebih hebat harus diurai ulang, antara lain, dengan mengedepankan FKY sebagai ruang persemaian kreatif-kompetitif bagi yang yunior.
Dengan memberangkatkan diri dari fakta yang tak terelakkan tersebut, maka berikutnya, poin keempat, lebih menekankan pada penguatan atas metodologi kuratorial dan penentuan tematik. Ini problem mendasar yang selama belasan tahun keberadaan FKY sekadar menjadi sampiran, bukan sebagai titik pijak bagi rencana program perhelatan. Seandainya ada survei atau riset memadai yang mendahului perhelatan, maka penyusunan kuratorial dan penentuan tema menjadi titik penting untuk menempatkan FKY tidak sekadar sebagai pergelaran kesenian, melainkan juga sebagai sebentuk siasat dan strategi politik kebudayaan yang memberi impact dan implikasi lebih jauh terhadap masyarakat dan penentu kebijakan publik. Oleh karenanya, tak perlulah mengubah tajuk “festival kesenian” menjadi “festival kebudayaan”, karena kesenian dalam konteks ini diposisikan sebagai nucleus penting atas kebudayaan. Ini problem strategi, bukan soal gonta-ganti nama tapi konsep dan subtansinya masih kosong.
Kelima, meminggirkan “mitos” struktur kepanitiaan yang dianggap konvensional yang tak mampu mengakomodasi perkembangan sebuah festival masa sekarang. Ini merupakan aplikasi atas gagasan tentang pembaruan manajemen festival. Maka perlu adanya posisi seperti Direktur Festival, Kurator, Tim Riset, dan lainnya yang lebih relavan untuk menjawab kompleksitas persoalan masa kini. Ini bukan masalah nama, tapi lebih pada spesifikasi bidang kerja yang lebih jelas dan efektif. Bukan menumpuk sekian banyak nama dengan model kepanitiaan yang kuno seperti “mitos” FKY selama ini. Lihat misalnya, untuk konteks yang sedikit bergeser, pada Venice Bienalle 2007 di Italia ada Francesco Bonami sebagai curator in chief, atau ada Hou Hanru sebagai curator in chief di Istanbul Biennale 2007 di Turki.
Keenam, membalikkan “mitos” bahwa FKY seolah “pengemis” yang selalu menengadahkan tangan kepada negara. Ini merupakan “mitos” keblinger karena sebenarnya negaralah yang secara historis menghendaki adanya FKY untuk menunjang kepariwisataan di Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan kemudian menderivasikan hal tersebut kepada masyarakat seni. Maka, tuntutan terhadap negara untuk tetap mendanai FKY, pertama-tama, lebih sebagai tuntutan terhadap komitmen kultural negara (termasuk Sultan HB X sebagai gubernur sekaligus pemimpin kultural Jawa). PSIM atau PSS bisa mendapatkan dana hingga lebih dari 8 miliar per tahun, kenapa FKY hanya dikucuri Rp 300 juta saja?
Maka, berhasil atau gagalnya perhelatan Festival Kesenian Yogyakarta tidak bisa ditimpakan hanya terhadap panitia FKY itu sendiri, melainkan juga merupakan cermin penting untuk mengukur komitmen dan kebijakan kultural dari Sri Sultan HB X, DPRD Yogyakarta, juga Dewan Kebudayaan Yogyakarta. Silakan bercermin!
Comments