Ketamuan Teman Lama
Selasa malam aku kedatangan tamu, pasangan teman lama. Ya, mas Praba Pangripta dan mbak Yuning, yang sudah kukenal sekitar 16 tahun lalu. Mas Praba dulu kakak kelas (jauh) saat kuliah di seni grafis ISI Yogya. Persisnya, dia kakak kelasnya mas Warno Wisetrotomo, Butet Kertarajasa, dan adik kelasnya mas Ong Hari Wahyu dan Age Hartono. Angkatan 1981 kali ya. Aku hanya tau dia mondar-mandir di kampus saat aku mengawali kuliah. Mungkin dia lagi urusi kelulusannya di bagian administrasi kampus.
Istrinya, mbak Yuning, kukenal karena dia adalah kakak kandung adik kelasku, Fajar Sungging. bapaknya, jelas kukenal jauh2jauh hari sebelum aku masuk kembali ke Yogya tahun 1989. Ya, nama bapaknya pak Wid NS, komikus Gundala Putra Petir yang kesohor itu. Aku juga kenal lebih dekat lagi sama mbak Yuning karena dia teman sekantor saat aku kerja sebagai kartunis di harian Bernas dulu, antara 1991-2001.
Mereka datang karena mas Probo pengin ngobrol soal kartun. Persisnya museum kartun. Katanya, ada seorang pengusaha sukses di Bali yang sedang kebelet pengin bikin museum di Denpasar. Aku gak tau apa aja core business-nya, tapi sang pengusaha itu pernah kuliah hingga rampung di seni rupa IKIP Yogyakarta. Nah, mas Praba pengin cari masukan sebelum ketemu sang pengusaha mingu depan. Walah, tau apa aku tentang museum!
Jadi ya kami ngobrol ngalor-ngidul dengan mas Praba nyimak serius sambil mencatat di buku yang telah disiapkannya dari rumah. Wah, jadi gak enak, kayak narasumber aja! Apalagi aku sudah lama gak aktif di jagat kartun-mengartun. Jadi yang kutawarkan ya cuma hal mendasar, seperti pemahaman definitif soal kartun yang perlu dibaca ulang untuk konteks substansi museum kelak. Lalu problem material dan relasinya dengan ihwal pembabakan atau pemilahan kalau akan ditempatkan di museum dengan pola kuratorial. Ini soal yang cukup pelik tapi mendasar, bahwa museum adalah medium untuk mengawetkan masa lalu, termasuk masa lalu kartun yang pernah berkembang di Indonesia/Nusantara. Kukira banyak di anatara kita sudah lupa kalau dulu banyak orang Belanda yang juga bikin kartun ketika mereka tinggal di Hindia Belanda ini. Lalu juga Bung Karno pernah menjadi karikaturis yang karya-karyany begitu galak melawan kolonialis. Sampai pula pada karya2 Sibarani yang sangat kiri. Musuhnya antara lain Harmoko (bekas Menpen) di kubu yang berseberangan. Tahun 70-an pun kritikus Sanento Yuliman sempat menjadi kartunis dengan karyanya yang secara estetik bagus banget. dan seterusnya, dan seterusnya.
Ah, tak banyak yang bisa kuomongkan ke mas Praba. Tapi obrolan semalam yang hingga menghabiskan waktu 2,5 jam berlangsung begitu hangat. Banyak ingatan yang kembali terkuak setelaah sekian lama terendap di semak-semak kealpaanku. Termasuk, aha, aku sembilan tahun lalu tuh telah menerbitkan buku kumpulan karikatur! Ha!
Istrinya, mbak Yuning, kukenal karena dia adalah kakak kandung adik kelasku, Fajar Sungging. bapaknya, jelas kukenal jauh2jauh hari sebelum aku masuk kembali ke Yogya tahun 1989. Ya, nama bapaknya pak Wid NS, komikus Gundala Putra Petir yang kesohor itu. Aku juga kenal lebih dekat lagi sama mbak Yuning karena dia teman sekantor saat aku kerja sebagai kartunis di harian Bernas dulu, antara 1991-2001.
Mereka datang karena mas Probo pengin ngobrol soal kartun. Persisnya museum kartun. Katanya, ada seorang pengusaha sukses di Bali yang sedang kebelet pengin bikin museum di Denpasar. Aku gak tau apa aja core business-nya, tapi sang pengusaha itu pernah kuliah hingga rampung di seni rupa IKIP Yogyakarta. Nah, mas Praba pengin cari masukan sebelum ketemu sang pengusaha mingu depan. Walah, tau apa aku tentang museum!
Jadi ya kami ngobrol ngalor-ngidul dengan mas Praba nyimak serius sambil mencatat di buku yang telah disiapkannya dari rumah. Wah, jadi gak enak, kayak narasumber aja! Apalagi aku sudah lama gak aktif di jagat kartun-mengartun. Jadi yang kutawarkan ya cuma hal mendasar, seperti pemahaman definitif soal kartun yang perlu dibaca ulang untuk konteks substansi museum kelak. Lalu problem material dan relasinya dengan ihwal pembabakan atau pemilahan kalau akan ditempatkan di museum dengan pola kuratorial. Ini soal yang cukup pelik tapi mendasar, bahwa museum adalah medium untuk mengawetkan masa lalu, termasuk masa lalu kartun yang pernah berkembang di Indonesia/Nusantara. Kukira banyak di anatara kita sudah lupa kalau dulu banyak orang Belanda yang juga bikin kartun ketika mereka tinggal di Hindia Belanda ini. Lalu juga Bung Karno pernah menjadi karikaturis yang karya-karyany begitu galak melawan kolonialis. Sampai pula pada karya2 Sibarani yang sangat kiri. Musuhnya antara lain Harmoko (bekas Menpen) di kubu yang berseberangan. Tahun 70-an pun kritikus Sanento Yuliman sempat menjadi kartunis dengan karyanya yang secara estetik bagus banget. dan seterusnya, dan seterusnya.
Ah, tak banyak yang bisa kuomongkan ke mas Praba. Tapi obrolan semalam yang hingga menghabiskan waktu 2,5 jam berlangsung begitu hangat. Banyak ingatan yang kembali terkuak setelaah sekian lama terendap di semak-semak kealpaanku. Termasuk, aha, aku sembilan tahun lalu tuh telah menerbitkan buku kumpulan karikatur! Ha!
Comments
Hasmi yang melahirkan gundalan putra petir yang kesohor itu
he he
foto2 mu belum ta' mintain dari nashir..., soon ya
salam
yassir