Meraba Alur, Menilik Struktur
(Tulisan ini, Meraba Alur, Menilik Struktur: Sebuah Praduga Awal atas Seni Rupa di Jawa Timur, telah dimuat dalam kataloh pameran Biennale Seni Rupa Jawa Timur II yang dibuka 11 Desember lalu. Ini tulisan yang aku rasa masih bertele-tele dan terburu-buru. Yah, biasa, banyak yang sedang kupikirkan. Jadi ya cukup ruwet hasilnya hehehe... Sementar foto kujepret kira2 dua tahun lalu saat listrik mati, dan sendiri!)
Oleh Kuss Indarto
O vos doctores, qui grandia nomina fertis,
Respicite antiquos patris, jurisque peritos.
Non in candidulis pensebant dogmata libris,
Arte ses ingenua sitibundum pectus alebant.
(Wahai kalian orang-orang terpelajar yang menyandang nama-nama besar,
Lihatlah kembali kepada bapa-bapa pendahulu yang belajar dalam hukum.
Mereka tidak menimbang-nimbang dogma dalam cahaya buku-buku putih,
Namun memuaskan kehausan hati mereka dengan kemampuan alamiahnya).
Sebastian Brant, Stultifera navis, 1497
/1/
TERUS TERANG, saya cukup gamang terhadap tawaran untuk menulis ihwal seni rupa (di) Jawa Timur dalam konteks seni rupa Indonesia. Karena membincangkan perkembangan seni rupa sebuah kawasan dalam kaitan dengan konteks dinamika yang lebih luas lagi semacam seni rupa Indonesia, bagi saya, sungguh memiliki banyak risiko.
Risiko pertama, tingkat pemahaman yang minimal dan hanya berbekal pengamatan sekilas – bukan lewat penelitian serius dengan metodologi yang rigid, juga tanpa studi pustaka yang memadai – dimungkinkan akan menghasilkan capaian teks yang “turistik”. Artinya, cara pandang yang hendak dihasilkan tak beranjak jauh dengan kesan seorang pelancong yang sejenak melihat lanskap di permukaan sebuah kawasan, untuk lalu berkesimpulan (bersama deretan klaim-klaim prematur) bahwa aspek surface itu seolah merupakan representasi atas realitas kondisi keseluruhan. Kulit dikelirukan sebagai substansi, isi diprasangkakan sebagai sampiran. Ini akan berbahaya ketika ekspektasi yang mengemuka adalah sebuah kedalaman dalam menguliti jagad seni rupa Jawa Timur yang terus berbiak dan menunjukkan gelagat dinamikanya dalam kurun waktu terakhir.
Risiko kedua, mengikuti logika pertama di atas, pengamatan yang sekilas dan lalu mendudukkan teks seni rupa Jawa Timur dalam konteks seni rupa Indonesia, bagi saya, akan berisiko untuk terjerembab dalam proses dan upaya komparasi yang subyektif dan, bisa jadi, melakukan repetisi teks yang kontraproduktif. Pembandingan tersebut, kalau berasal dari saya sebagai bagian dari komunitas seni di Yogyakarta (yang diasumsikan oleh banyak pihak sebagai salah satu titik pusat perkembangan seni rupa di Indonesia), sangat mungkin akan terjebak dalam upaya “orientalisasi” kepada seni rupa Jawa Timur. Ini tak ubahnya seperti halnya para orientalis di Barat yang senantiasa menganggap diri sebagai superior sekaligus memandang secara inferior terhadap apapun yang dicapai oleh kultur Timur. Pada titik ini, sebenarnya saya tak hendak membincangkan secara heroik posisi seni rupa (di) Jawa Timur sebagai “the other”, sang liyan, yang harus diketengahkan dalam kerangka pandang poskolonialisme agar masuk dalam altar terhormat seni rupa Indonesia. Pemikiran Edward Said ataupun Homi Bhabha mungkin masih tarik-ulur mengatur titik kesesuaiannya dalam konteks perbincangan kali ini.
Risiko ketiga, teks ini berpotensi akan berkubang dengan beragam narasi dan deskripsi yang berakhir bersama rentetan justifikasi. Ini menggendong kemungkinan untuk memajalkan pemahaman terhadap realitas yang utuh.
Dengan demikian, kondisi semacam ini – yakni membombardir dengan teks penuh justifikasi – dicoba untuk dihindari. Namun sebaliknya, justru berupaya untuk menelorkan teks yang (sebisa mungkin) analitis sekaligus evaluatif. Saya kira ini penting kalau kita mengandaikan bahwa teks-teks yang analitis dan evaluatif akan menjadi sebuah tuntutan ketika terjadi kontradiksi-kontradiksi yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam sebuah tatanan (entah seni rupa, entah sosio-kultural) yang ada pada suatu kawasan atau komunitas.
Kondisi ketidakseimbangan ini dapat disebut sebagai krisis. Tanpa krisis, maka sebetulnya teks atawa wacana yang kritis juga tidak dibutuhkan. Oleh karena itu, dengan mengandaikan ada kondisi krisis dalam wilayah seni rupa di Jawa Timur, maka hal urgen yang dibutuhkan – sembari memungut terminologi F. Budi Hardiman (1993) – adalah teks atau wacana yang emansipatoris: teks atau wacana yang selain bersifat deskriptif dan analitis juga mengungkapkan dan menyumbangkan gagasan terhadap perbaikan distorsi-distorsi dalam proses interaksi dan komunikasi. Teks atau wacana yang dibutuhkan adalah sesuatu yang menawarkan gagasan yang lebih baik dari kondisi sebelumnya, untuk pendewasaan senimannya, maupun memberi wawasan kepada publik tentang suatu karya. Singkatnya, teks diidealkan mengambil posisi emansipatoris: memberi dorongan menuju perubahan. Meski tentu saja ini bukan perkara yang mudah, walau bukan tidak mungkin.
/2/
SEPERTI halnya kawasan lain, sebenarnya Jawa Timur atau Surabaya secara khusus, bukannya senyap dari sejarah perkembangan seni rupa. Ada rentetan geliat pertumbuhan seni rupa di kawasan ini yang bisa dipetakan sebagai tanda penting historik yang diduga memberi pengaruh dinamika seni lukis di kota buaya tersebut.1 Dan rentetan sejarah itu berlangsung telah cukup lama. Untuk menyegarkan ingatan beserta memberi peta yang lebih luas, sejarah itu pantas untuk dituliskan kembali secara sekilas beserta peristiwa lain di kawasan berbeda atau yang lebih luas lingkupnya.
Sebutlah misalnya keberadaan Perkumpulan Seni Raden Saleh. Perkumpulan ini merupakan kelompok seniman pertama di Surabaya. Didirikan oleh Maskan pada tahun 1923, dan didukung ole beberapa seniman di kawasan itu, yakni Supardi, Pik Gin, Slamet dan Djojowisastra. Perkumpulan ini menyelenggarakan banyak kegiatan seni rupa, hingga akhirnya tutup buku dua belas tahun kemudian pada tahun 1935.
Kalau benar, fakta ini menjadi penggalan catatan menarik karena pada kurun ini seni rupa di Indonesia belum diramaikan oleh seniman yang berkomunitas. Baru setelah 1938 muncul Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang dimotori oleh S. Soedjojono dan Agus Djaja. Lewat kelompok ini kita kemudian bertemu dengan corak ekspresi estetik yang kental dengan isu politik. Selain itu, mereka juga dikenal sebagai seniman yang menentang keras corak Mooi Indie, yang dianggap sebagai corak kesenian kolonial.2 Dua fakta (yang bisa jadi kontras) ini dijejerkan untuk membangkitkan sebuah pertanyaan: Struktur berpikir seperti apakah yang mendasari kelahiran Perkumpulan Seni Raden Saleh? Adakah ia juga bagian penting dari kecenderungan Mooi Indie yang ditentang oleh Persagi?
Berikutnya, tahun 1950, berdiri Keluarga Prabangkara (sebelumnya bernama “Prabangkara”). Komunitas ini dirintis oleh Karyono Js, Bandarkoen dan Wiwiek Hidayat, dengan para anggotanya: Imam Sunaryo, Sunarto Timur, Sunaryo, Harjo, dan Mulyono. Perkumpulan yang aktivitasnya didanai oleh subsidi dari Jawatan Kebudayaan RI ini menemukan pusaranya pada tahun 1957.
Di kawasan lain, pada kurun 1938 hingga 1950, banyak pelukis Indonesia yang membekali diri dengan belajar secara otodidak ataupun di sanggar-sanggar. Contohnya ada di kota Bandung yang juga bermunculan kunstkringen (asosiasi seni) seperti St. Lucas Gild (1948 s/d 1953) yang beranggotakan orang-orang Belanda, Jiwa Mukti (1948) yang dimotori oleh Barli, Karnadi, dan Sartono, serta Tjipta Pantjaran Rasa atau TPR (1953) yang dirintis oleh R. Waluyo, Abedy dan Angkama Setjadipradja.3
Kurun waktu tersebut, memang, ditengarai oleh bermunculannya banyak sanggar seni rupa yang menandai permulaan babak baru seni rupa di Indonesia. Setelah ibukota negara berpindah ke Yogyakarta tahun 1949, sanggar-sanggar dengan visi kerakyatan yang paling besar dan menonjol adalah sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM) yang sebelumnya telah berdiri tahun 1946, dan sanggar Pelukis Rakyat (1947) yang secara eksplisit mempunyai slogan “seni untuk rakyat”. LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sebagai onderbouw PKI pun, yang mengonsepsikan bahwa “rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan, dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia-baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat”, berdiri pada 17 Agustus 1950.4 Fenomena pada periode ini, puluhan tahun kemudian, dicatat secara khusus oleh oleh Sanento Yuliman bahwa “identifikasi dengan perjuangan bangsa, tiadanya pranata penyangga kecuali pelukis dan perkumpulan pelukis, pergolakan situasi militer, politik dan sosial, serta pandangan seni lukis adalah ungkapan diri dan kehidupan, menumbuhkan seni lukis yang emosional, tegang, dinamis, dan mencitrakan dunia sekeliling”.5
Berikutnya, ada pula sosok Pik Gan yang pada tahun 1952 mendirikan Pik Gan Gallery di rumahnya di Jalan Pasarbesar, Surabaya. Aktivitas yang sempat berlangsung di sana antara lain pameran, pertemuan dan sebagai wahana untuk belajar melukis yang cukup dikenal kala itu.
Kehadiran sebuah galeri kala itu patut ditengarai sebagai proses komodifikasi seni yang mulai (atau telah?) menggejala di pelataran seni rupa Indonesia, dalam banyak ragamnya. Ini terlihat dari “aksi” Presiden Soekarno, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, dan beberapa orang penting seperti Bambang Sugeng dan Overste Prajoga, yang mengoleksi lukisan. Ini menjadi kebijakan pemerintah (melalui Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan Kementrian P.P. & K di Yogyakarta) sejak tahun 1951 untuk mulai mengoleksi lukisan tiap tahun.6 Para seniman kian banyak yang ketiban rejeki karena pada tahun-tahun itu sanggar Pelukis Rakyat, dalam skala lebih besar dan terorganisasi lebih baik, telah menerima order dari pemerintah untuk mengkreasi berbagai monumen: Tugu Muda di Semarang, Monumen Nasional di Kakarta, patung Sudirman di Yogyakarta, dan lainnya.7
Kemudian, pada kurun yang belum beranjak jauh, tahun 1957, sekelompok anak muda Surabaya bergabung diri dalam komunitas Sanggar Angin. Para tokoh yang terlibat dalam kelompok ini di antaranya Tedja Suminar, Daryono, Supono, Krishna Mustajab, Sriwidodo, Ik Loro Kuning, C.J. Ali, dan Jap King Koen. Komunitas ini juga didukung olah banyak seniman muda dari Yogyakarta, Solo, dan Surabaya sendiri.
Apa yang telah terjadi di belahan lain di seni rupa Indonesia? Affandi telah melesat menjadi bintang seni rupa Indonesia dengan menjadi seniman peserta undangan di Sao Paolo Biennale (Brasil) dan Venesia Biennale (Italia) pada tahun 1953-1954. Atau di Bandung telah “ribut-ribut” dengan kecenderungan “mazhab Bandung”, yakni gaya abstrak-geometris yang terkait dengan gaya Ecole de Paris dan secara khusus pada gaya Kubisme yang dibawa oleh seniman Belanda yang mengajar di ITB, Ries Mulder. Ini memberi pengaruh besar pada para muridnya, seniman : But Mochtar, Ahmad Sadali, Srihadi Sudarsono, Popo Iskandar, Mochtar Apin dan Sudjoko.
Pada awal dasawarsa 1960-an, persisnya tahun 1961, seniman Surabaya memunculkan kelompok baru lainnya, yang motornya juga berasal dari komunitas Sanggar Angin. Namanya Kegiatan Kebudayaan Indonesia (KKI) yang dirintis dan didukung seniman semacam Krishna Mustajab, Tedja Suminar, Boedi Sr, Ipe Ma’roef, Harjono, juga Soedjono Sw.
Lalu ada pula Kelompok, sebuah komunitas seniman bentukan para tokoh yang juga menjadi eksponen komunitas Sanggar Angin dan KKI. Mereka di antaranya Karyono, Supono, Daryono, Krishna Mustajab, Wiwiek Hidayat, Rudi Isbandi, Tedja Suminar, Amang Rahman, Budi Sr, serta Ruslan. Ada beberapa kegiatan pameran yang sempat dilakoni mereka setelah komunitas Kelompok ini didirikan tahun 1966.
Perjalanan sejarah seni rupa di Surabaya menjemput momentum penting ketika beberapa senimannya membidani berdirinya Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Tahun 1967 itu, seniman Krishna Mustajab, Amang Rahman, Gatut Kusumo, Daryono, M. Ruslan, serta lainnya, menyatukan visi maupun pikiran dalam satu kubu, dan pendirian Aksera dipretensikan sebagai upaya untuk mencari solusi atas kebutuhan nyata demi perkembangan dan perkembangan kehidupan seni rupa di Surabaya. Lembaga ini mampu memberi kontribusi bagi jagad seni rupa di Surabaya bahkan Indonesia secara umum, dengan melahirkan banyak seniman yang namanya masuk dalam peta semisal Nunung Ws, Nurzulis Koto, Dwijo Sukatmo, Makhfoed, dan lainnya.
Rentang waktu dasawarsa 1960-an merupakan kurun kritis berisi tegangan politik beserta kondisi transisi yang mengikuti gerak sosial politik setelah peristiwa G30S tahun 1965. Di sana, antara lain, ada pertarungan ideologis yang keras antara Manikebu (Manifest Kebudayaan, yang memaklumatkan diri di majalah Sastra Jakarta edisi September 1963) dan LEKRA.
Gerak berikutnya, masuk dalam kurun penting dinamika seni rupa Indonesia secara umum, yakni ujung akhir dasawarsa 1970-an. Di Surabaya, ada sekelompok mahasiswa jurusan seni rupa IKIP Surabaya yang mendeklarasikan Sanggar Sangkakala pada tahun 1979. Penggeraknya antara lain Setyoko, juga pelukis Heri Suyanto dan Tiko Hamzah. Salah satu kontribusinya antara lain memberi ruang bagi seniman yang dipinggirkan, yakni M. Daryono, untuk berpameran tunggal (pada tahun 1987) setelah seniman tersebut vakum beraktivitas selama 17 tahun.
Lahirnya Sangkakala, tak pelak, bisa diduga berkait erat dengan kemunculan peristiwa Desember Hitam 1974 dan kemunculan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang dipelopori oleh 11 seniman muda dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta pada tahun 1975. Sangkakala muncul ketika GSRB justru membubarkan diri pada tahun 1979 itu, dimana komunitas lain juga bertumbuh, seperti kelompok seni rupaq Kepribadian Apa (PIPA). Bahkan beberapa eksponen GSRB dan PIPA pun, pada tahun 1985, masih bergabung dan menggelar perhelatan dengan “ideologi kreatif” yang serupa, lewat wadah pameran “Proses ‘85”. Mereka antara lain Bonyong Munni Ardhi, Haris Purnama, F.X. Harsono, Gendut Riyanto, dan Moelyono.8
Pada kurun yang sejajar, di Surabaya, bertubi-tubi komunitas atau kelompok timbul tenggelam dengan frekuensi yang relatif kian kerap, seperti halnya yang terjadi di banyak kawasan. Di kota buaya ini, pada dasawarsa 1980-an muncul Himpunan Pelukis kontemporer Surabaya yang diprakarsai oleh Mas Dibyo, Satya Budhie. Sempat menyeruak juga nama Forum Perupa Muda Surabaya yang ditokohi oleh Andre Setiawan. Forum ini, pada tahun 1989, sempat menggelar perhelatan yang memberi penghargaan bagi seniman terbaik, tentu versi forum tersebut. Yang sempat menerima penghargan ini antara lain Asri Nugroho, Hening Purnamawati, Anang Timoer dan lainnya.
Kemudian pada tahun 1992 sempat berdiri Hipbaya, Himpunan Pelukis Surabaya, yang dimotori oleh Ivan Hariyanto, Andhie L. Hamsan, Cak Kandar, Heri Suyanto, Anang Timoer, dan beberapa lainnya. Mereka relatif lebih agresif dalam melakukan aktivitas berpameran, terutama di sekujur kota Surabaya. Juga yang perlu dicatat adalah mengemukanya Solisaritas Pelukis Muda Surabaya yang berdiri karena responsibilitasnya terhadap maraknya aksi demokrasi jalanan pada Mei 1998. Kelompok yang mampu menghimpun sejumlah pelukis muda ini dipelopori oleh Amdo Brada.
Di Yogyakarta dan Bandung, juga beberapa kota lain, pergerakan seni rupa kian masif dan dinamis. Tahun 1992, kelompok seniman muda di Yogyakarta melakukan resistensi yang kuat terhadap perhelatan Biennale Jogja yang diasumsikan masih memakai batasan-batasan teknis konservatif dan konvensional, serta tak memberi ruang akomodasi yang memadai bagi progres kreatif anak-anak muda. Heri Dono, Dadang Christanto, Hedi Hariyanto, dan lainnya memparodikan sekaligus melakukan mockery terhadap kemapanan Biennale Jogja dengan perhelatan Kuda Binal yang lebih seru dan kreatif.
Lebih jauh, pada dasawarsa itu, paham kontemporerisme yang antara lain dibaca sebagai cairnya pengkotakan dalam seni seperti yang bekukan pada paham modernisme, didekonstruksi oleh “ideologi kreatif” anything goes (apapun bisa) dalam laku kreatif seniman. Paradigma lama tentang sekat-sekat, dibongkar. Everyday object yang diasumsikan hanya sebatas low art diinkorporasikan atau diangkat sepenuhnya menjadi karya seni. Konsep dan ideologi estetik yang menempatkan pemahaman tunggal bahwa keteraturan dan keindahan berada dalam puncak struktur hierarkhi, dikaji ulang.
/3/
KILASAN catatan historik yang mengisyaratkan riuhnya Surabaya atau Jawa Timur dalam ragam dinamika pergulatan seni rupa, melahirkan pertanyaan: Apakah ini sebuah “dimensi benjol” yang berimplikasi pada minimalnya kawasan tersebut masuk dalam peta perbincangan secara lebih kuat? Adakah konstruksi politik kesenian yang timpang yang kemudian menempatkan Jawa Timur lebih sebagai follower, bukan trendsetter? Benarkah Jawa Timur adalah the other, sang liyan?
Deret pertanyaan itu tampak seperti “mengutuk” jagad eksternal yang diasumsikan sebagai kekuatan pemberi bentuk dan penyedia-akibat bagi “merah-hitamnya” seni rupa di Jawa Timur. Barangkali kecurigaan sejenis juga (akan) terjadi di kawasan lain, di luar kekuatan seni rupa Indonesia semisal Yogyakarta dan Bandung. Namun kalau dikembalikan pada fakta historik di atas, asumsi-asumsi “kutukan” itu ada baiknya direduksi dengan kesediaan untuk berpaling ke dalam (looking inward).
Ini berkait dengan kehadiran komunitas, sanggar, kelompok seni rupa, dan dugaan pentingnya kehadiran tokoh, agen atau aktor di satu sisi, dan/atau struktur di sisi lain. Dua sisi ini, aktor dan struktur, memang terasa kontradiktif ketika disandingkan secara integratif. Seperti kita tahu, kalau sedikit menengok kajian teori sosiologi, telah dimafhumi ada dua paham besar yang saling bertarung selama puluhan tahun. Paham pertama berasumsi bahwa beragam fenomena sosial dapat didekati dari sudut aktor, pelaku, atau agennya, atau yang disebut agency, sebagai titik sentralnya. Sementara paham kedua menekankan bahwa berbagai fenomena sosial tersebut diidealkan didekati dari aspek struktur sosial dimana aktor-aktor itu berada. Paham mana yang lebih penting, entah agency atau struktur, telah menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung berkesudahan. Faktor agency banyak ditengarai oleh para ilmuwan sosial sebagai hal penting yang ditekankan oleh Max Weber dan para pengikutnya. Sedang di seberang paham tersebut, sebagian besar pengikut Karl Marx menganggap ilmuwan Jerman keturunan Yahudi itu sebagai seorang strukturalis.
Namun, kecenderungan paham yang diduga dianut oleh Marx dan Weber tersebut sesungguhnya berpotensi reduksionis. Marx juga sangat mementingkan peranan agency. Ini terlihat, misalnya, ketika ia menggambarkan peranan kelas pekerja sebagai aktor pengubah sejarah. Sedangkan Weber juga sangat mementingkan peranan struktur tatkala ia berbicara tentang birokrasi sebagai “kerangkeng besi“ (iron cage). Makanya filsuf Jerman, Jurgen Habermas, menunjukkan dialektika antara agency dan struktur dalam teorinya tentang perubahan sosial. Begitu pula, ilmuwan sosial Inggris, Anthony Giddens, menggambarkan dialektika antara agency dan struktur dalam teori strukturasinya. Habermas dan Giddens pada hakikatnya menguraikan bahwa perubahan sosial tidak dapat didekati hanya dari sudut agency atau hanya dari sudut struktur, sebab perubahan struktur membawa perubahan agency, begitu pula sebaliknya.9
Dengan demikian mengintegrasikan dua paham tersebut dalam kerangka dialektika sebagai “model ketiga” untuk memberi dugaan atas pembacaan historik seni rupa menjadi hal yang tak bisa ditolak begitu saja. Keduanya mampu diasumsikan sebagai alat baca untuk mengulik titik kritis (seperti misalnya yang ada dalam rentetan kronologi sejarah).
Kita ambil contoh munculnya Persagi tahun 1938. Di sana ada aktor bernama S. Soedjojono dan Agus Djaja. Posisi mereka sentral di tengah komunitasnya, yang bertindak sebagai leader sekaligus “ideolog” untuk memediasikan dengan cerdas “ideologi” anti-Mooi Indie. Kondisi krisis identitas dan nasionalisme dalam aspek sosio-kultural dipahami sebagai struktur yang mengungkung seniman untuk melakukan gerakan kritis. Maka, Persagi-lah jawaban yang disodorkan (oleh para aktor itu) sebagai alternatif solusi atas kebuntuan aksi kultural yang berangkat dari kritisisme estetik.
Situasi dan posisi serupa juga terjadi pada Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) tahun 1975. Proses mediasi gerakan tersebut dilakukan dengan sangat efektif dan tepat sasaran oleh para aktornya: Jim Supangkat, Hardi, F.X. Harsono, dan lainnya dalam berbagai polemik di media massa dan berbagai forum lain. Mediasi ini juga di-back up oleh kritikus Sudarmadji yang saling hantam dengan kritikus “anti-GSRB”, Kusnadi. Praktik pewacanaan itu kemudian dengan gamblang mengideologisasikan konsep estetik GSRB. Perkara penting yang kemudian mengemuka adalah adanya pergeseran pemahaman atas karya seni mereka yang melampaui problem estetik-kreatif menjadi problem sosial politik. Ini tak lepas dari struktur sosio-politik yang menguat pada saat mereka muncul, yakni (antara lain) koersi negara yang militeristik terhadap rakyat termasuk seniman. Inilah yang kemudian dieksplorasi.
Lalu, adakah aspek aktor dan/atau struktur yang muncul dengan kuat ketika kita menguliti setiap komunitas, sanggar, atau bahkan gerakan seni rupa yang ada di Jawa Timur? Inilah problem besar yang mesti dikuak dan kemudian diagendakan keberadaannya ke depan. Termasuk juga berbagai tantangan mutakhir ketika arus besar teknologi tak lagi mampu dihindari, yang menawarkan bentuk-bentuk kreatif baru, yakni new media art seperti video art, net art, dan lainnya, dengan pendekatan konsep ‘spectator activated art’ atau pertunjukan pameran yang secara aktif melibatkan partisipasi publik penonton. Sehingga penyikapan kita terhadap teknologi – meminjam pernyataan Donna Harraway – tidak lagi memunculkan pertanyaan mengenai ‘apakah’ melainkan; ‘bagaimana persekutuan antara manusia dan mesin teknologi memiliki konsekuensi di dalam medan transformasi budaya yang semula berkarakter eksklusif menjadi suatu ruang praktek budaya yang bersifat inklusif, khususnya di dalam praktek visual sebagai ‘the art of everyday life’.10
/4/
PROBLEM seni rupa yang terjadi di Jawa Timur, atau mungkin juga di kawasan lain untuk kurun dewasa ini, relatif masih serupa. Beberapa hal di bawah ini saya pretensikan sebagai praduga awal (bukan sebuah pemetaan yang cenderung berkonotasi “metodologis” dan memuat praktik “kekuasaan”) yang memberi kontribusi bagi minimalnya peran kawasan ini dalam ranah keindonesiaan.
Pertama, menguatnya subordinasi wacana. Ini muncul karena masih kuatnya anggapan adanya “pusat-pusat” kekuasaan-kekuatan seni rupa. “Pusat” dibayangkan sebagai produsen yang mengonstruksi wacana, dan kawasan lain, seperti Jawa Timur, hanyalah wilayah lain yang dibekuk untuk berposisi sebagai konsumen wacana. Oleh karenanya, ketika ini terjadi, maka yang menyeruak nantinya adalah homogenisasi wacana. Wacana hanya berjalan satu arah, dari “pusat” menuju “pinggiran”, dan tak terjadi sebaliknya secara mutual dan egaliter. Di sinilah isu-isu lokal juga para jenius lokal (local genius) begitu diharapkan muncul secara oposisional ke permukaan untuk mendinamisasi pewacanaan dan mereduksi sekat-sekat hierarkhis.
Kedua, relatif masih minimalnya patronase komunal (communal support) dalam konteks kekinian. Patronase jenis ini lebih menempatkan peran masyarakat penyangga untuk memfungsikan seni sebagai aktivitas kebudayaan. Manifestasi konkret atas dukungan ini adalah respons masyarakat pada meningkatnya kegiatan pameran yang berkualitas, dan pengamatan para pakar dan kritikus.11 Ini berkait dengan problem mediasi yang ada dalam masyarakat tersebut untuk membantu proses penyadaran dan apresiasi seni. Media massa yang besar menjadi kehilangan fungsinya ketika dia, misalnya, tak mampu memberi komitmen kultural yang memadai.
Ketiga, dogmatisasi paradigma. Pembayangan atas sebuah paradigma yang dogmatis, bahkan menguat sebagai sosok mitos/mitologis, dalam konteks seni rupa, menjadikan laku kreatif menemukan titik kemampatannya. Dalam ranah seni rupa dewasa ini, problem pemitosan terhadap paradigma merupakan gejala kemandegan kreatif. Oleh karena itu, goyahnya paradigma bisa dipandang sebagai kuatnya laju progresivitas. Kebaruan (novelty) dalam kerangka konseptual dan paradigmatik merupakan titik penting poin ini.
Saya kira, ini bukanlah sebaris resep untuk mengobati problem seni rupa di Jawa Timur. Ini sekadar sebuah pengandaian, sekelumit praduga.
Onggobayan, Yogyakarta, akhir November 2007
1. Riadi Ngasiran, Iki Lhoo…: Memaknai Seni Rupa Alternatif Indonesia, Dewan Kesenian Jawa Timur dan Pustaka Pelajar, 2001, hal. 5-7. Juga catatan kuratorial Djuli Djatiprambudi pada pameran tunggal Dwijo Sukatmo, Dinamika, di Emmitan Fine Art Gallery, April 2005.
2. Helena Spanjaard dalam Bandung, Laboratorium Barat (Modern Indonesian Art, Three Generations of traditional and Change, 1945-1990), hal 204. (Panitia Pameran KIAS, 1990-1991). Sanoesi Pane mencatat dalam “Pertoendjoekan Loekisan-loekisan Indonesia” di Kunstkring Djakarta (7 sampai 30 Mei 1941), Poedjangga Baroe, Jaarg VIII, No. 11, Mei 1941, bahwa Persagi berdiri pada tanggal 23 Oktober 1938 sebagai organisasi pelukis pribumi pertama di jaman Hindia Belanda dan di tengah-tengah Polemik Kebudayaan yang berlangsung tahun 1935-1939.
3. Claire Holt, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, hal 349. (MSPI, Februari 2000)
4. Yahya Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan dan Kejatuhan Lekra di Indonesia, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pelajaran Malaysia, Kuala Lumpur, 1972, pp. 8-9.
5. Sanento Yuliman, Kelahiran Seni Rupa Modern di Indonesia, dalam Dua Seni Rupa, serpihan tulisan Sanento Yuliman, hal. 55, Yayasan Kalam, Yayasan Adikarya IKAPI, Ford Foundation dan Majalah Berita Mingguan Tempo, 2001.
6. Kusnadi, Sejarah Seni Rupa Indonesia, dari ceramah seminar ilmu dan kebudayaan Universitas Gadjah Mada (22 Djuni 1956), Majalah Budaya, edisi April/Mei 1960 – tahun ke-IX, hal. 137.
7. Agus Dermawan T., Seni Rupa Indonesia dan Gelombang Ekonomi, dalam Paradigma dan Pasar: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, 2003, hal. 60-61.
8. F.X. Harsono, Kerakyatan dalam Seni Lukis Indonesia: Sejak PERSAGI hingga Kini, dalam Politik dan Gender: Aspek-aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, 2003, hal. 70-71.
9. George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa, Yogyakarta: LkiS, 2006
10. Harraway, Donna, 2003 (recollected). “A Manifesto for Cyborgs: Science, Technology, and Socialist Feminism in the 1980s”, dalam Martin-Alcoff dan Mendieta, Identities: Race, Class, Gender and Nationality, Oxford: Blackwell Publishing.
11. M. Agus Burhan, Seni Rupa Modern Indonesia: Tinjauan Sosiohistoris, dalam Politik dan Gender: Aspek-aspek Seni Vial Indonesia, 2003, hal. 21-22.
Comments