"Pentas" Sang (Calon) Doktor



(Ini foto mah aku lagi dipotret saat motret (calon) istriku, Maret 2006)

Senin, 26 November lalu aku diundang untuk mengikuti acara sidang pengukuhan doktor di gedung Pascasarjana UGM. Aku lupa nama persisnya acara itu. Sedang tema disertasinya tentang perkembangan jagad wisata di Gianyar, Bali, kurun 1930-2000. Pasti mengasyikkan karena bisa jadi ini sebuah “pentas ilmiah” yang akan memunculkan perbincangan dan perdebatan intelektual. Tentu inspiratif untuk menyumbang meruncingkan akalku yang telah mulai jarang berdiskusi dengan intens. Apalagi dewan penguji dalam sidang itu ada 8 profesor doktor ilmu budaya dan humaniora. Di UGM lagi, salah satu kampus paling terhormat di republik ini. Hmm, ini bagai seperangkat aktor dan aksesoris “pentas ilmiah” yang menjanjikan.

Aku datang terlambat beberapa menit. Dan setelah belasan menit menyimak “pentas” itu, fiuhhh, ternyata ekspektasiku terlalu melambung jauh dari realitas yang kutemui di ruang ber-AC dengan kapasitas kursi hingga 300-an itu. Sang calon doktor itu, yang S1-nya di Jurusan Kriya ISI Yogyakarta, dan saat ini tercatat sebagai staf pengajar di Universitas Negeri Medan (Unimed), dalam pandanganku, masih “jauh panggang dari api”. Beliaunya ini, alamak, tak menampakkan cercah-cercah intelektualitasnya yang berlevel (calon) doktor!

Tiap pertanyaan atau tanggapan dari dewan penguji, diresponsnya dengan daya ungkap yang kurang menarik pelafalannya, dan kosa bahasa yang terlalu bersahaja. Dan yang lebih penting, secara substansial, kurang mampu menampilkan kecakapannya dalam membeberkan kajian teoritik atau temuan di lapangan dalam lingkup penelitiannya. Beberapa kali para penguji bertanya, dan jawaban yang terlontar tidak connect, hingga bapak-bapak profesor itu memberi penandasan seperti: “Maksud pertanyaan saya adalah begini…”

Sepertinya, tingkat penguasaan atas materi disertasi itu begitu rendahnya, hingga kemudian beberapa penguji menurunkan level pertanyaannya. Maka terlontarlah pertanyaan seperti: “Apa beda seni kriya dan seni murni?”, “Siapakah Walter Spies itu dan apa sumbangannya terhadap seni rupa di Bali?”, atau “Sebagai pemusik, Walter Spies pernah bikin pentas besar di mana di Pulau Jawa?” Juga pertanyaan elementer semisal: “Apa relevansi teori Anu dalam kajian Anda ini?”

Bagiku, itu pertanyaan yang kejam karena merendahkan standar sang calon doktor. Karena sebagai “warga” seni rupa, pertanyaan serupa itu laiknya muncul dalam kuliah-kuliah awal bagi mahasiwa strata 1. Tapi ternyata, rentetan pertanyaan itu pun tidak bisa dijawab dengan sederhana, tepat dan cerdas. Banyak jawabannya bertele-tele, ruwet, dan meninggalkan akar persoalan yang dibahas. Aku merasa seperti mengikuti ujian skripsi (S1). Otakku seperti mengkerut karena pengharapan yang besar telah tercuri dalam “pentas alamiah” yang tidak menyegarkan itu.

Inikah etalase penting dari jagad pendidikan Indonesia? Betulkah kegersangan intelektualitas telah meluas menyita altar-altar terhormat lembaga pendidikan kita? Telah bersepakatkah kultur kita pada asumsi bahwa gelar doktor bagi seseorang lebih sebagai gelar dalam ranah sosial dan bukan dalah lingkup akademik-intelektual?

Atau jangan-jangan aku telah dicekik oleh ekspektasiku yang berlebihan?

Comments

Anonymous said…
begitulah kuss
kalo gelar doktor cuma jadi pemenuhan 'kuota' tuk tujuan akreditasi, tuk jenjang kepangkatan, dan sejenisnya....

udah kayak lingkaran setan kalo ngomongin siapa yg salah dan benar...
emang perlu kerja keras mengoptimalkan energi positif tuk mewujudkan sistem pendidikan yg bermakna di lingkungan kita

kuss....aku langganan komentarin ni....
yg lain mana ya...
biennlaejogja said…
Hehehehe....
Begitulah, yol. Nggemesin banget yah lihat keblo'onan macem gitu.

Oke deh, sante aja. Tetep kutunggu komentar2mu. Tengkiu. Kuss

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?