Biennale di Antara Kebanalan
(Hehehe, foo yang cukup narsis. Duduk di bawah pohon beringin sisi selatan gedung Ajiyasa, bekas Kampus Seni Rupa ISI Yogyakarta, yang kini akan dijadikan Jogja National Museum. Dari kanan ke kiri: aku, Mbak Dyan Anggraini, kepala Taman Budaya Yogyakarta, Mbak Anggie Minanrni, Direktur Karta Pustaka, Mas Warno Wisetrotomo, Sujud Dartanto, dosen muda ISI Yogya dan salah satu kuratorBiennale Jogja, dan Iin, bagian manajemen Biennale Jogja 2007. Ini tulisan yang akan dimuat di Buletin Biennale Neo-Nation)
Oleh Kuss Indarto
/I/
Awal November lalu, dalam sebuah mailing-list yang beranggotakan sekitar 5.400-an pemilik e-mail, seorang rohaniwan yang bertugas di Paroki Semarang, Romo Tulus Sudarto, mengaku terhenyak. Pasalnya, tetangga seberang desanya memberi tengara “Andreas Surya Saputra” untuk ditabalkan sebagai nama pada anak pertama. Padahal orang itu adalah pemeluk Islam ketat. Sebaliknya, sang romo ini juga terkejut tatkala menemukan nama “Ibn Fajar Muhamad” sebagai nama seorang pastor di Semarang. Dua hari kemudian, sastrawan dan pengamat media, Veven Sp. Wardhana, menimpali e-mail Romo Tulus bahwa temannya di sekolah lanjutan atas dulu bernama tak kurang “keren”-nya, yakni “Rudy Mohammad Yesus”. Saya sendiri ketika menyelesaikan SMA di Banyumas, berteman akrab dengan seseorang berlabel diri “Tobing” meski, ternyata, dalam silsilah keluarganya tak ada setetespun darah Batak mengalir. Apalagi bersaudara dengan penyanyi Gordon Tobing, kolektor seni Agung Tobing, pesinetron Lulu Tobing, atau lainnya. Anda pun pasti punya banyak pengalaman serupa.
Secuil realitas ini memberi sebuah ilustrasi ihwal identitas yang bisa diasumsikan “kabur” (justru) karena bergerak dalam dinamika yang terus-menerus mengalami proses pencarian. Nyaris tanpa henti, dan tak akan pernah berhenti. Identitas personal yang melekat dalam diri seseorang, seperti nama, sekarang ini tidak lagi merupakan blok hitam-putih untuk merepresentasikan sebuah golongan tertentu. Sebuah “nama klise” tidak lagi menyokong garansi kepemilikan atau identifikasi dari sebuah kelompok, agama, atau suku tertentu. Sementara itu, nama lain masuk dalam wilayah pendakuan satuan primordial tertentu, dan “merusak” bangunan klise-klise dan stereotipe itu.
Sebutan "romo" tak lagi hanya untuk pastor, tetapi – pada beberapa kawasan – juga menjadi identifikasi untuk sesosok kiai. Kata “tahbisan” tidak lagi khas menandai seseorang dilantik menjadi hierarki. Sementara kata “mesias” sudah tidak begitu keramat lagi eksklusif untuk menunjuk pribadi tertentu. Kini, seorang striker (penyerang) klub sepakbola Juventus, Alessandro del Piero dengan sangat mudah diberi gelar oleh tabloid olahraga dengan julukan sebagai "sang mesias".
Dalam tradisi agama tertentu, nama mencerminkan suatu periode liminal khusus yang unik. Seseorang diinisiasi dalam suatu komunitas besar. Itulah paguyuban yang mengidentifikasi diri dengan berbagai pernik khas. Berkaitan dengan proses demikian, nama semacam "Andreas" termasuk satu dari sekian santo-santa yang dijadikan penanda inisiasi seseorang ke dalam gereja Katolik. Ada latar sejarah tertentu mengenai pribadi orang yang dianggap suci untuk diteladani. Sejauh ini pengambilan nama pelindung tidak bisa serampangan.
Hanya saja, secara kebetulan nama pelindung itu kebanyakan dari Eropa. Perkembangan berikutnya, entah siapa yang dulu membonceng dan menunggangi “genealogi” nama-nama Eropa yang kemudian mewabah dalam kultur masyarakat di belahan lain, termasuk Indonesia. Globalisasi sekadar mendorong identitas kesetaraan masyarakat Indonesia yang inferior. Nama Barat, bisa jadi, dipresumsi mendongkrak sindrom eksistensial untuk melampiaskan kejengkelan sebagai penyandang status subordinat kultural.
Kita, rasanya, perlu bersama-sama belajar untuk tidak terlalu terkaget-kaget dengan banalitas masyarakat di sekitar kita dalam memilih nama untuk anak-anak mereka. Mungkin kita memang sedang digerus kegalauan sekaligus kecemasan dalam stadium akut karena ketidakmudahan daya-ucap eksplorasi kata-kata yang membanjir. Dengan begitu mudah sebuah kata menjadi populer, dan segampang itu pula artikulasi plus bobot semiotiknya tereduksi. Budaya nir-aksara kita begitu subur dengan proyek kudeta-mengudeta kata, persis di saat kita tidak bisa memilah dengan pasti marka antara reduksi atau progresi atas Eropanisasi nama-nama dalam masyarakat kita.
Oleh karenanya, tak salah kalau ada guyonan bahwa bangsa kita ini adalah salah satu anak cabang dari budaya Eropa. Kultur franchise rasanya tidak berlebihan untuk mengilustrasikan budaya negeri ini. Keberadaan nama-nama yang berbau Eropa adalah salah satu penampang mungil dari gejala tersebut.
/II/
Bagaimana sih kita memandang komunitas Indonesia kini?
Andai kita membayangkan sebuah komunitas bersama yang dibatasi oleh wilayah teritorial dan pengandaian tentang sejarah yang dianggap sama, meminjam cara pandang Ben Anderson, akan menghasilkan satu rasa tersatukan sebagai bangsa. Maka, pada dasarnya apa yang kita tunjuk dengan istilah bangsa akhirnya tidak lebih dari sejumlah pengandaian, atau impian. Dan itu bisa berarti semu belaka. Sebab antara saya dengan "saudara" saya si Tengku di Meulaboh, Cak Rojaki di Bangkalan, Madura, atau si Mangge dari suku Kaili di Sulawesi Tengah, tidak diikat oleh garis apa pun selain oleh adanya pengandaian tentang sebuah nasib yang kurang-lebih sama. Pembayangan tentang sebuah sejarah praktis disamakan: bangsa. Pembentukan kerangka imajiner untuk terus mempertahankan dan menerjemahkan "bayangan" atau khayalan kita itu di antaranya adalah dengan pendirian negara.
Negara menjadi realitas yang seolah aktual karena memiliki daya dukung untuk mengoperasikannya, menjadi jalinan relasi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Negara hadir secara faktual lewat serangkaian operasi (entah via media atau perangkat kuasa lain) yang dibahasakan setiap hari sehingga menjadi realitas yang langsung berhadapan dan teralami bersama kita. Negara dan bangsa adalah contoh termudah untuk melihat bagaimana sesuatu yang pada dasarnya semu, kemudian diperlakukan sebagai kenyataan nyaris tanpa bantahan. Kita seperti menerima itu sebagai sesuatu yang given (terberi).
Alhasil, negara bagai sebuah impian yang (kadang) menjadi kenyataan, karena kita bisa terlibat secara (inter)aktif dengan kerangka imajinernya itu sendiri. Negara menjadi nyata karena kita masuk ke dalamnya, menjadi bagian darinya, dan sebaliknya kalau perlu, ramai-ramai menafikkannya. Maka, dengan demikian, memandang Indonesia kini, bisa jadi, layaknya memberlakukan sebuah mimpi seperti halnya mengelola sebuah permainan. Dibutuhkan banyak eksplorasi dan eksperimentasi untuk menjadi anggota di dalamnya. Bukan statis seolah semuanya serba terberi tanpa kita berupaya untuk mencoba “mengonstruksi”.
/III/
Biennale Jogja 2007 yang bertajuk Neo-Nation ini, sesungguhnya hendak mengelola kembali tema perbincangan ihwal identitas yang belum cukup tuntas diringkas dalam sebuah perhelatan seni rupa. Selalu saja ada eksperimentasi dan eksplorasi di dalamnya. Dan itu yang hendak banyak didedahkan dalam tajuk yang kiranya merangsang hasrat kreatif seniman.
Sebelum ini, setidaknya dalam pengamatan saya yang terbatas, banyak seniman yang mengelola tema ihwal identitas sebagai nucleus penting dalam kerangka kreatifnya. Karya-karyanya banyak dieksposisikan dalam beragam medium, dalam berbagai perhelatan penting tidak hanya di Indonesia, namun juga di mancanegara. Menariknya, kian intensif seorang seniman membayangkan ihwal identitas dalam karya kreatifnya, kian kaya pula cara pandangnya tentang identitas. Mungkin ini relatif sifatnya. Namun bagi beberapa karya seniman terlacak dengan kuat bagaimana identitas itu dikritisi dengan perspektif yang senantiasa melahirkan gairah baru. Seolah perkara identitas yang dimiliki itu dijumput, dipelihara, dibaca ulang, ditentang sendiri, untuk kemudian diberi matra baru dengan definisi yang telah melampaui pemahaman stereotipe sebelumnya. Lihat misalnya pada karya-karya Nindityo Adipurnomo yang acap "menguliti" ihwal sanggul atau konde Jawa. Atau Budi Kustarto yang seolah berteriak memamerkan diri sekaligus bertanya, "Who am I?" Atau wayang-wayang karya Herlambang Bayu Aji a.k.a. Bayu "Gundul". Atau pabrik kaos Dagadu yang senantiasa memain-mainkan ikon dan frasa lokal Jawa (=Yogyakarta) untuk dikelola sebagai bagian penting dari spirit orang Jawa (Baru?) yang resisten terhadap kemandegan.
Dalam kerangka seperti inilah sebenarnya tema Neo-Nation dihadirkan untuk publik seni visual di Yogyakarta dan Indonesia secara umum. Perhelatan ini tak bisa secara tunggal hanya dipahami sebagai sebuah "alat ukur" atas progres seni visual di kawasan Yogyakarta, namun juga sebagai kemungkinan "alat baca" atas kecenderungan peristiwa seni visual dan kehidupan sosial budaya yang berkembang di sekitarnya.
Oleh karenanya, tak hanya seniman atau kelompok seniman semata yang terlibat dalam peristiwa Biennale Jogja Neo-Nation kali ini, melainkan juga pribadi atau komunitas lain yang selama ini tidak diasumsikan masuk dalam "peta seni visual". Dan memang, "peta baru" harus selalu diciptakan untuk memotong "peta-peta mainstream" yang kadang lupa memperbarui cara pandangnya yang uzur dan siap terlipat waktu.
Neo-Nation dimungkinkan menjadi celah untuk mengagas problem sosial politik dari/dalam kerangka acuan seni visual. Setidaknya kita membayangkan bahwa karya seni visual bukanlah karya senyap dari kerangka sosial budaya yang memeluknya. Selamat bersaksi!
Kuss Indarto, salah satu kurator Biennale Jogja 2007/Neo-Nation.
Comments