Pertautan Psikologis Sebuah Angkatan



(Aku lagi makan gudheg di depan mas Heri Dono di lantai 3 gedung Seni Murni)

Jumat malem kemarin, 14 Desember, aku lihat pembukaan pameran di eks kampusku di kampung Gampingan, Wirobrajan. Sayang agak telat, jadi aku cukup kehilangan kelebat atmosfir waktu ’80-an yang tentu dibawa oleh para seniman yang tengah berpameran. Yah, mereka adalah para alumni Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI “Asri”) Angkatan ’80. Aku sendiri adik kelas jauh mereka, yang baru kuliah 9 tahun kemudian setelah mereka masuk pertama kali. Dan ketika aku masuk, kampus telah berubah nama, Fakultas Seni Rupa dan Disain ISI Yogyakarta.

Malam itu, banyak tetamu yang riuh menyambangi pameran di gedung Seni Murni lantai 2. Mungkin ada sekitar 20-an alumni Angkatan ’80 pada datang. Aku kenal beberapa, seperti Eddie Hara yang masih suka melucu dengan plesetan ala Jogja, Heri Dono yang ramah dan tetap doyan tertawa, Arwin Darmawan yang masih kental logat Batak-nya, Totok Ireng alias Basuki Sumartono yang friendly meski berwajah sangar, Yus Ibrahim yang tegas dan tetep cool kayak saat Ngospek alias melonco aku dulu, Sujatmiko yang kebapakan, Anugerah Eko T yang tampangnya tetap mbambung. Beberapa lainnya aku kenal belum lama. Seperti bli Ardhana yang rapi. Mungkin karena bawaan seorang dosen ya. Dia ngajar di IKIP Singaraja dan kini tengah ngambil S-2 di ISI Yogya. Juga ada Ms Yuno Baswir yang kerja di Voice of America. Dia sangat ramah dan memperkenalkan ke aku kakak kandungnya yang sudah sangat kukenal wajah dan analisis ekonomi-politiknya: Revrisond Baswir, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Aku tiba-tiba cukup dekat karena ikut membantu menuliskan pengantar untuk pameran mereka ini.

Tetamu lain, bisa diduga, kalangan seni rupa yang selalu aku temui dari pameran ke pameran. Ada mas Biantoro (Nadi Gallery) yang selalu ngajak ngobrol dalam bahasa Jawa, Pak Oei Hong Djien yang rajin tertawa lepas, juga beberapa kolektor lain dari Magelang, Semarang dan Jakarta. Para dosen ISI juga banyak: Edi Sunaryo, Suwarno, Dwi Marianto, Agus Burhan, dan lainnya.

Cukup menyenangkan. Aku seperti diseret oleh gelombang waktu pada kurun 17 tahun lalu saat awal-awal kuliah di kampus penuh kesablengan itu. Gedung tempat pameran itu, tempat kuliahku dulu itu, begitu rimbun menyimpan memori. Aku tiba-tiba ingat ketika ada tugas Menggambar Bentuk. Aku hanya bikin sketsa sebentar, lalu kubaca sebuah buku tebal yang kupinjam dari perpustakaan sambil tiduran di atas meja. Dan, oh my gosh, aku ternyata terlelap hingga terbangun jam 2 siang saat ruang kelas telah senyap. Teman2 sekelas berkongkalikong meninggalkanku sendiri…

Ups! Balik lagi ke pameran Angkatan ’80. Pameran ini, kalau dari aspek estetik memang belum banyak menawarkan capaian yang tinggi. Kecuali jelas para bintangnya, seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Eddie Hara, Arwin Darmawan, Sujatmiko, atau Totok Ireng. Kukira, pameran ini tak bisa dibaca secara serius dan ketat dengan paradigma estetik. Cukup pakai paradigma “relasi sosial” aja, bahwa bahwa komunitas Angkatan ’80 masih menyisakan energi mereka untuk merenda tali komunikasi. Untuk tetap mempertautkan aspek psikologis bahwa mereka pernah berproses di satu atap. Itu titik soalnya, kukira.

Makanya, aku lebih tertarik menyimak dokumentasi jadul mereka. Ada kartu mahasiswa, blangko pembayaran SPP, kuitansi sewa kamar kost, KRS (kartu rencana studi), hingga foto2 mereka yang jadul. Ada yang lucu, njijiki, norak, tapi pasti sangat berkesan bagi mereka. Akupun juga menikmati keping-keping atmosfir masa lalu mereka…

Comments

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?