Ada yang Komplain...



(Ini foto tentang karya keramik yang dikreasi oleh Jenny Lee. Karya ini merupakan salah satu karya dalam Biennale Jogja IX-2007/Neo-Nation dan berada venue Taman Budaya Yogyakarta)

Ternyata, hari Minggu sore, 20 Januari 2008 kemarin ada yang nengok weblogku ini, dan komentar banyak. Tampaknya beliau, seorang bapak, kecewa dan kemudian komplain atas salah satu catatanku yang kutulis pada tanggal 7 Februari 2007 lalu (klik aja http://kuss-indarto.blogspot.com/2007_02_01_archive.html). Sang bapak ini berkomentar dari, mungkin, weblog anak atau keponakannya di http://stupidenough.blogspot.com/. Isi kekecewaan dan komplain yang diposting 5 tahap itu bunyinya adalah sebagai berikut:

Setelah membaca artikel anda yang berjudul "kasihan lomba lukis anak" yang dipoting pada februari 2007, saya selaku subjek yang anda bicarakan karena waktu itu yang berdiskusi dengan anda adalah saya dan istri saya. apa yang anda tulis itu SAMA SEKALI TIDAK BENAR DAN MENYALAHKAN SAYA.

apalagi anda menulis "istrinyapun nyerocos jauh lebih dahsyat, lebih bawel dengan membombardir banyak pertanyaan dan pertanyaan" (paragraf 5, jika anda lupa). Kapan istri saya berbicara seperti yang anda TUDUHKAN. Makanya, kalau diskusi, buka telinga lebar lebar, kalau perlu bersihkan dulu dari kotoran yang ada. HATI-HATI BUNG, JIKA ANDA MEMPOSTING ARTIKEL DI INTERNET! INGAT! ANDA SEORANG KURATOR! MESTINYA ANDA MEMILIKI INTELEGENSI YANG SANGAT TINGGI! BUKAN MENGOBRAL ARTIKEL MURAHAN DAN TIDAK BERMUTU SERTA SUMBENYA HANYA SEPIHAK

Jika ingatan anda masih tajam (saya harap begitu), waktu itu saya menanyakan kepada 2 anak peserta lomba dihadapan saudara, "gimana gambar pemenangnya dik?" mereka (anak2 itu) menjawab,"GAMBAR KAYAK GITU KOK MENANG?" itu jawaban MURNIdari anak-anak yang belum mengerti teori Victor Lowensfeld, ataupun PABLO PICASSO. Waktu itu saya menyarankan agar proses penjurian yang sepeti ini jangan terulang lagi. Kasihan anak-anak yang telah bekerja keras mengekspresikan seninya. Kalau mereka tegang dalam melukis, bukan karena tekanan dari orang tua, tapi karena PEMBATASAN WAKTU. Pelukis mana yang bisa membuat lukisan seperti apa yang mereka lakukan dalam waktu 1 jam dan tidak tegang?

maaf saya baru sempat membaca blog ini karena baru-baru ini tersebar artikel anda di kalangan masyarakat seni anak. dan sebenarnya waktu itu sudah saya anggap selesai karena hanya diskusi, tapi tenryata anda membuat opini lain yang menyudutkan saya dan menyulut emosi para orang tua komunitas seni anak melalui artikel yang diposting di blog anda ini.

Trimakasih.

atas nama komunitas seni anak.


*menggunakan salah satu blog milik agrineta fera.


Wah! Hahahaha!

Kalau benar bahwa tulisanku ini tersebar di "kalangan masyarakat seni anak", berarti aku boleh bersyukur karena hal yang aku pikirkan dan sebarkan tidaklah sia-sia. Telah ada yang baca, menyerap, meski tidak harus di koran, atau media lain yang lebih populis.

Namun beberapa hal yang bisa aku catat di sini, sekaligus untuk menggarisbawahi komplain sang bapak itu, antara lain bahwa:

1. Saya ingin memberi penegasan bahwa pengharapanku tentang pembenahan lomba lukis anak di Yogyakarta (juga kota lain) bisa terus dilakukan dengan lebih maju dan menyeluruh. Problem juri yang tidak berkompeten, dan tidak berkualitas, tapi punya banyak kepentingan negatif, masih saja sering "bergentayangan" di lomba lukis anak. Juga penyelenggara yang tidak profesional, hanya menangguk keuntungan semata, semoga bisa cepat-cepat dikoreksi oleh publik, termasuk oleh peserta lomba sendiri.

2. Cara berpikir mundur ihwal minat untuk mengikuti lomba lukis anak dengan target mendapat juara mesti dipangkas dalam pikiran sang anak dan orang tuanya. Si bapak yang komplain di atas, sayang sekali, tidak memberi penjelasan tentang hal itu. Dia tidak menyanggah soal "tuduhanku" bahwa sang anak diajari untuk memiliki "mental siap kalah", bukan hanya "mental juara". Ini titik soal paling penting dalam ritus lomba lukis anak di sekitar kita dari waktu ke waktu yang kini semakin industrial saja.

3. Oleh karenanya, sudah saatnya sistem pemeringkatan (ranking) dalam lomba lukis anak sudah saatnya dihilangkan. Kalau toh masih ada, cukup penentuan 10 karya terbaik, atau 5 karya terbaik, tanpa harus ada juara 1, 2, 3, dan seterusnya. Sistem ini telah sekian lama menjebak pola pikir para anak dan orang tua, juga para pengasuh sanggar lukis anak, sebagai bahan legitimasi tunggal atas "prestasi" mereka. Padahal "prestasi" itu, bisa jadi, penuh intrik mafiosi di dalamnya. Yang jelas, belum tentu mendidik.

4. Saya tak peduli dengan komplain si bapak kecewa itu soal detil peristiwa itu. Masing-masing punya perspektif. Tapi hal paling urgen, aku tidak menyebut nama dengan terang, sehingga tidak menyudutkan seseorang secara transparan. Ini hubungannya dengan soal hukum, dan aku cukup sadar dengan kemungkinan itu. Dan, kenapa sang bapak tidak menulis secara lebih lengkap di weblog sendiri, atau di surat kabar, entah artikel atau surat pembaca? Biar sepadan, gitu loh! Dan argumentatiflah, jangan cuma marah-marah, ya pak! Negeri ini sudah terlalu banyak pemarah yang tak ada gunanya.

5. Kenapa sang bapak ini mengatasnamakan komunitas seni anak? Kenapa tidak atas nama pribadi saja? Ini langkah berbahaya kalau suara keberatan atau komplain pribadi dengan serta-merta dicampur-adukkan sebagai suara komunitas atau sekelomok orang? Apakah bapak ini cukup representatif menjadi perwakilan orang banyak?

Waduh, waduh. Marilah bercermin bersama!

Comments

Anonymous said…
jigur ki ..., karaoke plus?...., sik iki guide...masuk budget ra?

yassir

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?