Biennale (untuk) Publik
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini dimuat dalam katalog post event Biennale Jogja IX yang terbit akhir Juli 2008)
/1/
Biennale Jogja (BJ) kembali hadir di pengujung akhir tahun 2007 dan berakhir di awal 2008. Pada perhelatan ke-9 dengan tajuk kuratorial Neo-Nation, BJ digelar tidak dalam kapasitas tunggal yang selama ini seolah telah cenderung menjadi konvensi, yakni berupaya secara rigid (hanya) menampilkan puncak-puncak kekuatan aktor seni rupa berikut pencapaian estetik dalam kekaryaannya pada kurun dua tahun terakhir. BJ IX mencoba sedikit keluar dari pola tersebut.
Ini menjadi pilihan yang jelas berisiko karena, pertama, publik seni rupa di Indonesia—minimal di Yogyakarta—sudah begitu kental dibebani oleh pandangan mainstream dan mengerucut bahwa perhelatan biennale seolah-olah (atau malah harus) merupakan tempat berkumpulnya (dalam satu ruang) para seniman (mega)bintang untuk mempertontonkan karya-karyanya. Kita seperti memiliki patokan yang baku dan beku bahwa yang laik masuk dalam biennale seolah “harus” didasarkan hanya pada aspek keterkenalan (prominence) seniman, dan menyingkirkan seniman “kemarin sore” meski yang bersangkutan memiliki karya dengan pencapaian artistik dan estetika yang memadai.
Dan kedua, berkait dengan hal pertama, biennale seperti terlanjur menjadi perhelatan yang dihasratkan sebagai “alat ukur” atau buku raport perkembangan dan dinamika seni rupa dalam kurun dua tahun terakhir, dan bukan ditengarai sebagai “alat baca” atau etalase untuk melihat kecenderungan kreatif yang banyak digeluti dan dicermati oleh para kreator dalam kurun tertentu. Ini dua cara melihat yang tentu berbeda.
Ya, kalau biennale diandaikan sebagai sebuah “alat ukur”, maka dia seolah-olah menjadi forum untuk melihat puncak-puncak yang menonjol (dari aspek nama-nama) dalam seni rupa. Maka, di sini, yang terlihat adalah bintang-bintang yang—bisa jadi—membangun atau terbangun kebintangannya atas dasar serapan pasar terhadap karyanya, misalnya, dan bukan bintang karena progres kreatifnya. Sedang kalau mengandaikan biennale sebagai “alat baca” maka hal yang terpampang dalam event tersebut adalah pola untuk menunjukkan gejala-gejala atau kecenderungan yang tengah atau mulai menyeruak dalam medan seni rupa, baik yang bergerak di tingkat pemikiran, maupun yang muncul sebagai artefak. Ini bisa menumpu pada seniman tertentu yang membawa trend baru meski belum tentu diserap baik oleh pasar. Kita tahu bersama, perbenturan kepentingan antara nilai (value) dan harga (price) dalam seni rupa dewasa ini telah masuk dalam kompleksitas persilangan yang penuh sengkarut satu sama lain.
Maka pola cutting edge yang menjumput pilihan-pilihan kecenderungan kreatif yang dibawa oleh beragam seniman (baik yang secara sosial telah “terkenal” maupun yang “kemarin sore”) berupaya mengatasi problem tersebut, meski tak bisa diekspektasikan mulus secara menyeluruh. Sekali lagi, BJ tidak harus dimaknai sebagai arena bagi berkumpulnya para bintang, namun ruang untuk menyodorkan gejala-gejala. Pandangan ini bukan anti-bintang, tapi bintang atau bukan bintang, itu hanya implikasi dari konsep atas sodoran gejala yang diajukan oleh kerangka kuratorial.
Risiko-risiko yang mengemuka itu, apapun, telah menempatkan perhelatan BJ sebagai salah satu lembaga yang masih mampu diharapkan untuk menggerakkan progresivitas dan dinamika seni rupa di kawasan Yogyakarta. Dinamika ini terlacak dengan memadai pada ihwal kreasi, ihwal mediasi, dan akhirnya ihwal resepsi yang melingkungi perhelatan BJ.
Ihwal kreasi banyak dibentuk (karakternya) oleh spirit komunalitas Yogyakarta yang amat kondusif. Kesenimanan para (calon) seniman banyak dibantu oleh situasi ini. Dan tentu saja di-back up dengan cukup akomodatif oleh lembaga pendidikan seni di tingkat perguruan tinggi dan sekolah menengah, juga komunitas-komunitas yang merimbun di kawasan ini. Spirit komunalitas yang terbangun secara antarpersonal dan antarkomunitas dalam dunia internal seni rupa, juga dengan disiplin (ilmu, profesi) lain telah melahirkan jejaring interkoneksitas yang konstruktif untuk mengayakan jagad citra kreatif perupa Yogyakarta.
Sementara ihwal mediasi menempatkan keluaran kreatif seniman yang dipresentasikan ke ruang publik masuk dalam ruang-ruang sosial(isasi) yang lebih luas. Sosialisasi karya seni kepada masyarakat lewat peran mediator seperti jurnalis, kurator dan kritikus/pengamat seni sedikit banyak telah membantu mendistribusikan ide kreatif dan pemikiran seniman. Tak sedikit pameran berkualitas berlangsung di Yogyakarta—termasuk BJ tentu saja—yang kemudian dimediasikan dengan baik dan meluas oleh media massa, jauh melampaui batas-batas geografis Yogyakarta. Mediasi ini lalu beranak-pinak melahirkan pewacanaan yang dibawa oleh karya kreatif. Di satu sisi seniman “mengabarkan” hasil representasinya atas realitas sosial dan realitas imajinasinya lewat karya. Sedang di sisi lain, representasi itu telah “beralih rupa”—oleh pembacaan publik (seni) di kawasan yang sama atau kawasan lain—menjadi wacana realitas kreatif. Di sinilah kemudian pewacanaan seni rupa berlangsung dengan lebih luas dan bertingkat-tingkat.
Sedangkan ihwal resepsi yang melibatkan publik seni dan masyarakat luas dalam mengapresiasi atau menonton karya seni rupa, karena merekalah salah satu tujuan utama hasil proses kreatif dimuarakan. Seperti halnya poin kedua, resepsi (serapan) publik ini dibayangkan akan merebakkan pewacanan yang meluas dan inspiratif bagi publik. Meski demikian, ada kesadaran awal yang mesti lebih dulu dipahami bahwa publik memiliki keragaman (latar belakang pendidikan, sosial, intelektualitas, dan lainnya yang berkait) dalam membaca karya seni.
Publik—seperti “pemilahan” Roland Barthes dalam Image-Music-Text (1977)—ada yang membaca karya dalam tahap perseptif, yakni berupaya melakukan transformasi gambar ke kategori verbal atau membangun imajinasi sintagmatik. Lalu tahap kognitif, yaitu membangun konotasi atas gambar dengan bekal pengetahuan kultural tertentu beralaskan imajinasi paradigmatik. Dan berikutnya tahap etis-ideologis, yakni tahap pembacaan konseptual yang didasarkan oleh imajinasi simbolik.
/2/
Paparan terbatas ihwal resepsi di atas pantas untuk dikemukakan di tengah kecamuk pergulatan pemikiran yang makin intens pada sebagian publik seni rupa di tanah air, termasuk resepsi yang seolah-olah paling “kritis” dan paling “cerdas” terhadap BJ IX sehingga menafikkan resepsi pihak lain—yang lebih mayoritas—yang justru lebih bersahaja, inspiratif dan mengayakan perhelatan tersebut. Memang, Biennale Jogja IX telah menjadi perhelatan yang direspons dengan begitu antusias, riuh-rendah, bahkan hingar-bingar hingga pada beberapa sisi—karena beberapa komentar yang seolah paling “kritis” itu—dimungkinkan menggeser esensi makna dan persoalan yang sesungguhnya ingin dicapai.
Lalu, apa yang hendak dicapai dalam BJ kali ini? Bagaimana pula relasi antara gagasan, rancangan dan implementasinya dalam perhelatan ini?
Ini bukan rentetan pertanyaan mudah karena setiap perhelatan seni rupa semacam biennale sudah pasti memiliki spesifikasi dan kecenderungan tertentu. Baik antara biennale satu dengan biennale lainnya, atau bahkan pada sebuah biennale, antara periode satu dengan periode berikut atau sebelumnya. Masing-masing membopong interest yang disesuaikan dengan karakter biennale itu sendiri, minat sang kurator, situasi aktual yang tengah berkembang, dan tentu saja tema kuratorial sebagai basis pijakannya. BJ IX mencoba membuat spesifikasi dengan menyodorkan tema kuratorial Neo-Nation yang menggagas ihwal identitas dan kebangsaan serta mengontekstualisasikannya dengan situasi sosial, budaya dan politik yang sedang berkembang.
Isu perihal kebangsaan, yang kemudian melekat dengan problem identitas, memang menjadi isu yang tetap aktual, “seksi’, dan menggairahkan untuk terus dibaca dan dimaknai ulang. Apalagi momentum perhelatan BJ IX beriringan dengan konteks Indonesia yang tengah menghadapi “cermin” besar, yakni peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional (lahirnya gerakan Boedi Oetomo, 1908) dan 10 tahun Reformasi (jatuhnya rezim Soeharto, 1998). Membincangkan ihwal kebangsaan, terkhusus pada terminologi negara-bangsa ini, maka gagasan kuratorial merujuk pada pandangan bahwa “nasion” dan “nasionalisme” sebagai sesuatu yang terkonstruksi, hasil rekayasa, dan produk dari syarat-syarat kemodernan seperti negara modern, birokrasi, sekularisme, dan kapitalisme. Atau dengan kata lain, nation-state tidak lagi dipahami—oleh pandangan lain yang—berdasar pada hubungan kepurbaan, atau cenderung menganggap bahwa bangsa sebagai sesuatu yang primordial, sebuah kodrat manusia yang telah terberi (given), yang memandang nasion sebagai sesuatu yang menyejarah dan nyaris tak terlacak dari ingatan atau immemorial (B. Herry-Priyono, 2002).
Sementara Benedict Anderson, sebagaimana telah banyak dikenal, secara moderat “mendamaikan” dua pandangan di atas dengan memaknai nasionalisme sebagai komunitas terbayang (imagined community). Artinya, sebuah spirit yang sama, yang meski tak pernah bertatap dan bersapa tetapi ter(di)satukan dan ter(di)ikat oleh suatu bayangan tentang “entitas”, “ruang” dan “batas-batasnya”. Persaudaraan yang direka-reka dan proses fabrikasi bayangan ini ter(di)mediumi oleh perkembangan pesat kapitalisme cetak (print capitalism) yang membubung mulai abad 16. Asumsinya, perkembangan dunia cetak menjadi medium bertemunya antarperson atau antarkomunitas. Bahasa yang tadinya hanya dinikmati oleh sekelompok “golongan agung” kemudian dapat dinikmati oleh banyak kalangan. Di sinilah batas-batas semu terbelah oleh kehadiran buku, surat kabar, dan terbitan semacamnya.
Demikian pula dengan perkembangan mutakhir yang teramat pesat yang menelurkan beragam bentuk media, seperti video, televisi, internet dan lainnya, yang menjadikan dunia berlari begitu tunggang-langgang (runaway-world), dan batas-batas semu yang telah dibayangkan kian terapung. Perkembangan teknologi komunikasi dan media secara cepat mengarah ke dalam pola miniaturization, personalization, integration, dan autonomization (Malcolm Water, 1995). Dengan demikian, teknologi semakin memanjakan manusia dan menjadikan “jarak yang jauh” atau “waktu yang lama” menjadi kurang menemukan relevansinya lagi. Dalam sebuah iklan perangkat telekomunikasi beberapa tahun lalu bahkan mengemuka sebuah slogan yang “arogan” namun meneguhkan situasi seperti sekarang ini: “There will no “there” any more. We will be here”. Melihat realitas sosial dan realitas maya yang demikian, maka tak berlebihan apabila kemudian teknologi menjadi penghubung sekaligus salah satu tulang punggung paling rasional untuk pembentukan konstruksi sosial yang bertali-temali dengan problem nasionalisme.
Lalu, bagaimana wajah nasionalisme kita kini? Bagaimana pula kita menyoal problem identitas? Inilah realitas yang kita bisa simak implikasi dan pembayangannya lewat beberapa karya visual yang bertebaran dalam perhelatan BJ IX yang mengindikasikan pada gejala tersebut. Mereka, para seniman tersebut, mulai/telah bergerak untuk memberi tengara berbeda (untuk tak mengatakan baru) terhadap setiap ikon, sistem simbol, dan gejala-gejala yang berkait dengan mitos-mitos yang selama ini berkembang ketika menyoal perkara nasionalisme dan identitas. Mitos-mitos itu tak lagi hadir secara utuh, namun dikelola dengan mengapropriasi, mensubversi, dan bahkan mengolok-olok (mocking) untuk mendapatkan makna dan nilai yang “baru”. Dan inilah—bisa jadi—sintesis “baru” versi seniman tentang pemahaman mereka atas sodoran soal nasionalisme dan identitas. Apakah ini merupakan petilan representasi pemikiran publik tentang nasionalisme dan identitas, atau tentang “suatu bangsa yang baru” (neo-nation)? Sangat mungkin!
/3/
Sejatinya, perhelatan Biennale Jogja dimungkinkan untuk difungsikan sebagai “laboratorium” guna menguji atau membuat verifikasi atas gejala-gejala seni visual yang mulai dan tengah berkembang dalam masyarakat. Di dalamnya, dimungkinkan juga untuk menjadikannya sebagai etalase untuk mempertemukan disiplin seni dan pengetahuan yang beragam untuk menatap sebuah persoalan. Misalnya, masalah sosial, seperti yang mengemuka pada BJ IX. Kalau meninjau aspek kepesertaan dapat disimak kejamakannya, yakni ada peserta yang “utuh” sebagai pelukis, perupa yang bergerak dengan beragam media ucap ekspresi, fotografer, juga dari komunitas yang bergerak dari lini industri kreatif seperti film maker, disainer grafis dan produk, pengusaha merchandise lokal, pengelola media komunitas, hingga industri t-shirt.
Dari pandangan yang mengasumsikan BJ sebagai “laboratorium” dan etalase kreatif-sosial, kita bisa menjumput keluaran yang (1) bisa membumikan problem-problem sosial dalam kerangka seni visual yang relatif lebih komunikatif dan intim diterima masyarakat ketimbang medium lain, dan sebaliknya (2) menggaungkan secara lebih luas, kreatif dan “berbudaya” atas persoalan-persoalan sosial tertentu yang keluar dari pola mediasi yang mainstream seperti yang acap diekspresikan lewat media massa, rapat-rapat di parlemen, atau para demonstran di jalanan.
Publik seni rupa secara keseluruhan berpeluang untuk melakukannya secara bersama-sama, latent, simultan, dan terus-menerus. Hal kecil yang berserak dan diremehkan di sekitar kita dapat dikerangkakan secara lebih serius lewat BJ agar perhelatan ini menjadi milik publik karena selalu ditunggu kehadirannya (meski tak harus menjadi peserta atau pengelola).
Maxima de nihilo nascitur historia, kisah (sejarah) besar bisa muncul dari sesuatu yang bukan apa-apa. Semoga Anda bersetuju!
Kuss Indarto, kurator seni rupa.