Menatap Perubahan Suryo Papat
Oleh Kuss Indarto
(sekadar catatan ringan untuk pengantar pameran 4 perupa yang mau pameran Tugas Akhir di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, akhir Juli 2008)
(sekadar catatan ringan untuk pengantar pameran 4 perupa yang mau pameran Tugas Akhir di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, akhir Juli 2008)
[satu]: perubahan itu kemajuan?
Setidaknya sekitar dua belas tahun lalu saya membaca kalimat bijak ini di sebuah koran: “Tidak semua perubahan akan menghasilkan kemajuan. Tapi tak akan ada kemajuan tanpa perubahan.” Ini bagai sebuah mantra yang mengindikasikan pentingnya daya dan upaya manusia untuk mengatasi kebekuan dalam lingkaran roda nasib, posisi, keberuntungan serta keadaan. Sayang, saya lupa nama koran itu, dan tak terlacak lagi dalam ingatan, pada konteks apa kalimat itu menyeruak. Dan sepertinya itu tak begitu penting.
Saya hanya bisa sesekali menjumput dan mengontekstualisasikan kembali dua kalimat tersebut tatkala menapaki sebuah peristiwa atau kasus tertentu. Misalnya kali ini, saat berhadapan dengan empat seniman sekaligus mahasiswa yang tengah menuntaskan Program Pascasarjana (S2) ISI Yogyakarta. Mereka ini masing-masing Adam Wahida, Miswar, M. Pramono IR, dan M. Shaifuddin, yang menabalkan diri dalam wadah berlabel Suryo Papat. Kira-kira, diekspektasikan sebagai “empat matahari” yang sanggup bergabung menyatu.
Istilah perubahan, bagi mereka berempat, seolah selalu terngiang dan menjadi tuntutan mutlak saat masuk dalam program pendidikan ini. Bukan sekadar tuntutan dasariahnya sebagai seniman, namun secara akademik pun, pihak kampus juga menaruh pengharapan begitu besar untuk menjadikan proses pembelajaran di jenjang pascasarjana ini sebagai fase penting untuk melakukan perubahan. “Karyamu harus berubah selama dan setelah masuk di S2 ini!” begitu kira-kira tuntutan dosen yang diamini oleh mereka.
Saya kurang tahu persis bagaimana istilah (dan kemudian menjadi seperti kata perintah) perubahan ini diserap dan lalu dimaknai oleh masing-masing dari kuartet ini. Apakah perubahan dipahami sebagai sebuah mutasi yang kira-kira berarti “menjadi sesuatu yang lain”, atau sebuah transisi atau peralihan dari satu bentuk eksistensi menuju ke bentuk eksistensi yang lain.
Tampaknya ini bukan perkara yang sederhana. Setidaknya kalau merujuk pada pandangan Loren Bagus (Kamus Filsafat, 2002), ada dua macam kemungkinan perubahan, yakni ekstrinsik dan intrinsik. Pada perubahan ekstrinsik sesuatu hal menerima sebuah penandaan baru, karena adanya perubahan yang sesungguhnya terjadi dalam hal lainnya yang dengan cara tertentu berhubungan dengannya. Matahari, misalnya, tetaplah matahari, tetapi yang “berubah” adalah matahari yang terbit ke matahari yang terbenam. Ini bisa juga dikatakan sebagai perubahan aksidental yang bersifat kuantitatif, kualitatif dan lokal, yang pengaruhnya tidak sampai menyentuh pada problem yang paling esensial. Artinya, perubahan “sekadar” suatu realitas yang tidak sempurna sejauh ia menandakan suatu transisi dari kemungkinan (potensi) ke aktualitas suatu keadaan. Sementara perubahan intrinsik adalah suatu determinasi dari suatu hal menjadi determinasi yang lain. Ini lebih menukik dan dikatakan sebagai perubahan substansial karena esensinya bisa menjadi sesuatu yang lain.
Dengan merujuk pada pemahaman definitif ala Loren Bagus di atas, saya menemukan dualitas yang “beradu” dalam upaya untuk menemukan “jalan” atau menengarai perubahan yang hendak dikemukakan oleh Kelompok Suryo Papat ini. Apakah betul tengah bahkan telah melakukan perubahan yang aksidental atau ekstrinsik pada karya-karya seni rupanya? Pada dimensi ini, apa yang kemudian diimplementasikan dengan perubahan tersebut? Apakah, misalnya, M. Pramono IR sekadar mengganti idiom-idiom visual yang baru namun secara umum tetap berpegang teguh pada tema utama yang selama ini dikukuhinya sebagai sebuah hal substansial? Atau malah sebaliknya, dimana dia secara drastis merombak subject matter dari kecenderungan tema dan ketertarikannya selama ini menjadi sesuatu yang berbeda sama sekali? Apakah ini juga berlaku bagi ketiga seniman lainnya? Atau kalau kita mencoba tidak taat menuruti tinjauan definitif yang dualistis tersebut, apa yang lebih diserap oleh mereka sebagai bentuk perubahan? Apakah itu “jalan ketiga” yang berarti sebuah upaya kreatif “berujud” pendalaman? Atau eksplorasi, penggalian yang latent dan terus-menerus terhadap subject matter, teknis, corak bahkan tema yang sama?
Apapun makna perubahan itu bagi mereka, bagi saya, tak terlalu masalah, sepanjang hal itu banyak bertumbuh dari problem dan kebutuhan internal yang sanggup bertumbuh dengan perubahan itu sendiri. Namun, sebenarnya, hal penting untuk dikemukakan pada kesempatan ini adalah: apakah aspek perubahan muncul secara dominan dari perkara eksternal (termasuk dari tuntutan akademik) yang sekadar mengangankan perbedaan tanpa memahami kebutuhan-kebutuhan kreatif dari seniman/mahasiswa itu sendiri? Kalau ini yang banyak terjadi, maka bisa jadi perubahan itu hanya akan terjadi secara spasial dan temporer ketika berada di bangku kuliah untuk kemudian kembali lagi pada “selera asal”. Atau yang justru mengkhawatirkan, perubahan sekadar menghasilkan “perbedaan” yang bukan (atau tidak selalu) berarti perkembangan atau bahkan kemajuan. Atau ekstremnya, waton beda. Ini yang perlu dicermati terus-menerus.
Kiranya, sang seniman punya ukuran-ukuran tersendiri untuk menyeimbangkan hal tersebut. Namun, di seberang itu, publik seni pun nantinya akan memiliki alat ukur tertentu guna memberi nilai penyeimbang atas hasil yang diperoleh seniman pascastudi. Dan ini sangat memungkinkan muncul persepsi yang setara dengan kalimat bijak di awal tulisan ini, bahwa perubahan belum tentu menghasilkan kemajuan. Apa boleh buat!
***
[dua]: menuju stereotipisasi?
Kita bisa beranjak untuk menyimak karya-karya Adam Wahida yang membawa tema khusus Bermain Persepsi dan Tanda. Seniman asal Solo ini mengedepankan aspek kebebasan mencipta dan semangat bermain sebagai spirit untuk menjelajah kreativitas sehingga dapat memunculkan karya-karya yang mengandung nilai kebaruan.
Tilikan saya atas karya-karya Adam, juga seniman lain, diniscayakan akan cukup ahistoris karena belum pernah menyimak karya-karya mereka yang lain sebelum ini. Pada kasus karya Adam memang tidak mengedepankan kesatuan tematik. Semuanya berusaha merayakan kebermainan seperti yang dikonsepkan oleh senimannya. Namun kalau ditengarai dari tilikan visual, sedikit banyak memunculkan sesuatu yang relatif serupa, yakni menyisakan aspek dekoratif atau yang “berbau” menghias yang cukup kuat dari kanvas satu ke kanvas berikutnya. Misalnya, ada batik motif Parangrusak pada karya Kudung (Ter)kurung yang porsinya cukup dominan sebagai latar belakang. Atau logo ISI Yogyakarta yang disimplifikasi serupa motif isen-isen pada batik di latar belakang karya bertajuk Idealistis. Atau noktah-noktah serupa rana kamera HP yang tertata rapi pada Eksyen he..he… Demikian juga motif tekstil yang tertata dengan rona feminin dalam karya Demi Karier, hingga motif-motif batik pada Ambigu. Sementara subyek utama karya-karyanya beragam.
Pertanyaan untuk Adam adalah: dalam dimensi apakah “rasa bermain” itu banyak bergerak? Apakah pada ketidakpatuhan terhadap satu tema tertentu yang terimplementasi pada beragamnya visual? Ataukah pada ketertarikan memainkan ikon-ikon populer yang kemudian dibekuk dalam konteks berbeda yang berseberangan dari teks asalnya, dengan mensubversi atau mengolok-olok (mocking)? Kiranya konsep Adam ini menjadi kuat ketika dikaitkan dengan konsep homo ludens-nya Johan Huizinga yang meyakini bahwa kebudayaan manusia itu pada awalnya muncul dalam bentuk permainan. Manusia yang bermain adalah sumber peradaban manusia.
Berseberangan dengan Adam, M. Pramono IR justru menyuntuki sebuah tema sentral yang menjadi ketertarikannya kini, yakni tentang tubuh-tubuh perempuan. Sepertinya tak ada unsur main-main seperti yang dikonsepkan Adam. Sebaliknya, Pramono justru serius berpaling pada problem kultural yang membebat menjadi pangkal persoalan bagi perempuan, yakni budaya patriarkhi. Memang, budaya ini tidak muncul secara given tapi asumsikan sebagai bagian dari proses konstruksi kultural yang terjadi terus-menerus yang meminggirkan posisi perempuan.
Dari sinilah kemudian Pramono (dengan tema utama Pembebasan Tubuh Perempuan) seperti mengambil salah satu titik konklusi penting bahwa peran dan posisi perempuan dilemahkan. Dianggap lemah ketimbang laki-laki. Maka, dalam kanvas-kanvasnya Pramono mencoba membuat konstruksi sesuai persepsinya bahwa sejatinya perempuan itu juga ”kuat, macho, atau perkasa” seperti halnya laki-laki. Maka keresahan personal Pramono pun terejawantahkan dalam karya-karya seperti A Jakartan Girl of the Lastest Style, Macho, Gadis Pisang, Super Hero Woman. Kita bisa melacak tendensi “machoisasi” secara visual pada karya-karya tersebut. Ada rentetan gadis atau perempuan berpenampilan dan berkostum seksi yang dikontraskan dengan simbol laki-laki untuk menopang tendensi dan upaya “machoisasi” yang saya maksud tadi, yakni senjata api atau pistol! Atau simbol kelelakian lain yang lebih luas cakupan pemahamannya, misalnya bayang-bayang Monas yang dulu dianggap sebagai simbol phalosentrisme Bung Karno.
Karya-karya tersebut sepertinya tak banyak mengandung persoalan. Tubuh-tubuh perempuan itu bagai tengah digali untuk menumpuk esensi, eksistensi, wacana, dan wahana yang menunggal dengan mesra. Namun kalau saya coba mengulik kembali gagasan tentang “politik representasi” yang tak jarang menjemput dualisme, apakah karya-karya Pramono ini juga berpotensi menyodorkan sisi kontradiksi? Bisa jadi, karena di sini kita akan menyaksikan bertemunya tendensi (seniman) dan persepsi (apresian) yang sudah lumrah berseberangan. Persepsi tersebut, seperti juga yang saya khawatirkan: apakah karya Pramono tanpa sadar malah justru mereproduksi spirit patriakhi? Tubuh perempuan yang ditonjolkan keseksiannya, apakah ini bukannya justru sebagai eksploitasi atas kelemahan perempuan yang berdiri di ujung simbol lelaki seperti senjata api serupa pistol? Tentu ini akan menjadi pokok bahasan yang lebih menarik terlebih lagi dimunculkan sosok perempuan yang menjadi ikon dunia (atas soal) seks seperti Marilyn Monroe. Pertanyaan lain, apakah tak ada lagi ikon dunia yang lebih baru yang lebih memberi penguatan atas imaji perempuan, semisal Bjork, Frida Kahlo, Jodie Foster, Maria Sharapova, atau lainnya?
Lepas dari problem tematik atau substansi, karya-karya kedua seniman ini, Adam dan Pramono, secara umum seperti beranjak menuju kecenderungan kekaryaan para perupa kita dewasa ini. Kita bisa melacak gejala visualnya, yakni subyek visual utama yang berukuran besar, diguratkan secara realistik, dan kebanyakan diposisikan persis di tengah bidang gambar, bahkan cenderung amat simetris-bilateral. Lalu latar belakang simplistik bahkan polos dengan sentuhan warna tunggal dan cerah-ceria. Ini “formula” sederhana yang ndilalah mewarnai banyak kanvas seniman di Indonesia, setidaknya di Yogyakarta. Gelagat tersebut terjadi tidak lagi berdiri sebagai kasus namun telah menguat sebagai fenomena. Apakah ini sekadar kebetulan, ataukah sebuah “gerakan bersama” (collective movement) para perupa kita menuju stereotipisasi visual? Lebih dari itu, apakah landasan berpikir, konsep berkarya, bahkan ideologi kreatif para seniman kita, termasuk juga Adam dan Pramono juga mengalami perubahan, pergeseran, ataukah pendalaman dalam kaitannya dengan gejala visual yang mereka tampakkan?
***
[tiga]: belajar, pencapaian, eksisten
Sebagai catatan pamungkas, ketika menyimak karya dua seniman lain dalam Suryo Papat ini, yakni Miswar dan Shaifuddin, tak pelak, diidealkan memakai “alat ukur” tertentu yang memadai untuk menilik lebih jauh. Ini karena karya mereka relatif berlainan karakternya dibanding Adam dan Pramono. Standar estetikanya relatif berbeda karena Miswar dan Shaifuddin tidak mengetengahkan karya dengan pendekatan realisme seperti dua seniman lainnya.
Miswar, yang membawa tema Irama Bentuk dalam Seni Lukis, tampak seperti bergairah untuk mengolah dengan intensif tema-tema ritme atau irama dalam kanvasnya. Visualisasinya berupa formasi serombongan citra ikan berukuran renik yang seolah mengalun, bergerak menyusun ritme. Citra ikan yang dikreasinya, juga citra benda yang lain, dibuatnya dengan sederhana namun tetap tertangkap esensinya. Trend visual seperti ini memang banyak juga ditekuni oleh seniman di Yogyakarta yang kebetulan berasal dari etnik Minang seperti halnya Miswar. Ketekunan untuk mengerjakan detail visual dari gagasan yang sederhana, sesuatu yang remeh, bahkan sesuatu yang oleh sebagian seniman diasumsikan “tidak penting”, menjadi titik yang berpotensi kuat pada karya Miswar ini.
Dengan menyimak karya-karya Miswar, kemudian saya bisa katakan bahwa sesuatu karya seni bisa dikatakan indah secara artistik bukan hanya/karena pengulangan atau tindakan dari hal-hal yang terdapat dalam alam. Sebaliknya, tugas seni adalah membiarkan ide-ide tampil dengan kedalaman dan kekuatan yang (sebisa mungkin) sama sekali baru serta merefleksikan kemungkinan dari “rahasia-rahasia” terdalam dari realitas dalam karya-karya kreatif seni. Karena sebenarnya, dalam dataran tertentu maksud dan tujuan pokok seni ialah menyajikan dan menggambarkan gagasan-gagasan, dan bukan sekadar menghasilkan artefak-artefak, benda-benda atau barang-barang semata. Inilah tantangan yang barangkali cukup sulit untuk dikembangkan oleh Miswar. Bisa jadi, ini sekadar pilihan.
Hal serupa juga bisa kita tengarai pada karya-karya visual M. Shaifuddin yang dibungkusnya dengan tema pokok Gunung Sebagai Sumber Ide Lukisan. Sebuah tema sederhana namun juga dimungkinkan memadai bagi Udin yang harus terus bekerja keras mengasah kepekaan artistik dan estetik guna menguatkan capaian karya-karyanya. Tema gunung ini sebenarnya bukan tema yang baru atau orisinal, namun justru banyak tantangan kreatif yang bisa dikembangkan oleh Udin. Seperti halnya almarhum Achmad Sadali yang terus-menerus “menggali” gunung pada kanvasnya dulu, Udin pun juga berpotensi untuk mengorek-ngorek subject matter ini dari banyak segi, misalnya kedalaman filsafat Jawa tentang gunung atau yang direfleksikan dalam gunungan di dunia wayang purwa pada kebudayaan Jawa. Kita tahu, wayang juga memiliki “sistem” metafisika dan etika yang menggendong banyak titik sambung dengan situasi dan keadaan dalam alam semesta. Ada relevansi yang kuat, saya kira, antara gunungan (kekayon) dalam jagad pewayangan dan gunung di alam semesta, yang terhubung dalam “sistem” representasi visual dan pemaknaan yang dalam. Kekayon yang selalu membuka pergelaran wayang, bukanlah itu memiliki makna yang dalam sebagai muasal semua kehidupan, sekaligus segala konflik dan ending-nya yang terpapar kemudian.
Semua ini, tentu, akan dikembalikan seutuhnya kepada seniman, “sang pemilik kuasa” atas gagasan di depan kanvas atau medium seni rupa lain. Seniman diekspektasikan adalah juga seorang pengamat yang diduga meresapi rahasia-rahasia terdalam dari setiap eksisten. Seniman bisa jadi seorang kreator yang mampu mengungkapkan visinya lewat karya. Karena itu, di sela keterbatasan-keterbatasan temporal dan personal, seniman acap diandaikan mampu mengatasi dirinya dan tampil di antara sesama manusia sebagai seorang yang menghargai (dan mengagungkan) eksistensi. Waow!
Selamat berpameran, selamat (berusaha) berubah untuk kemajuan!
Kuss Indarto, penulis kritik seni rupa, tinggal di Yogyakarta.