Hero-is-me dalam Spirit Komik

(Naskah ini telah dimuat dalam katalog pameran Hero-Is-Me yang berlangsung di Mon Decor Gallery, 25 Maret s/d 14 April 2009. Image di atas karya Andi Wahono, Hero of the Day (Alone) yang juga dipamerakan dalam pameran tersebut)
Oleh Kuss Indarto

[1: Komik dan Substansi]

Ada dua hal penting yang coba dikemukakan dalam pameran ini, yakni (1) ihwal komik sebagai genre dalam seni rupa dan (2) cara pandang seniman (peserta pameran ini) dalam menilik kembali persoalan nilai-nilai heroisme. Tentu pokok-pokok soal ini, idealnya, merupakan dua hal yang perlu pemilahan tegas dalam pembahasannya agar lebih detail dan fokus. Namun, apa boleh buat, beberapa keterbahasan memungkinkan dua hal itu akan saya singgung sedikit dalam ulasan pendek ini. Pada soal komik, aspek tinjauan historis akan memberi warna pada tulisan ini untuk memberi sedikit pemahaman tentang keberadaan komik di Indonesia. Sementara pembahasan ihwal heroisme merupakan hal substansial yang menjadi tali ikat untuk menghubungkan karya-karya yang dipresentasikan oleh para seniman yang tengah memamerkan puluhan lukisan ini.

Dunia komik Indonesia sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ini, masih memiliki problem mendasar yang menyebabkan tidak cukup berkembang. Ada tiga persoalan mendasar yang bisa saya tengarai. Pertama adanya problem daya akomodasi dan daya resepsi yang minim pada diri komikus lokal masa kini (entah yang berpola industrial atau pun underground) dengan disiplin ilmu lain semisal sastra, antropologi, ilmu sejarah, kriminologi, dan sebagainya, sehingga belum banyak komik yang menghasilkan cerita memikat dan berkarakter sangat kuat. Tidak sedikit komik yang masih bergelut dengan problem teknis, belum sampai ke soal substansial.

Kedua, problem proses kreatif yang masih mengedepankan pola kerja individual dan bukan kolektif atau komunal. Realitas ini, dalam perspektif industrial, mengakibatkan komik(us) Indonesia gagal masuk dalam jaringan mata rantai sistem produksi massa karena tidak mampu melakukan kontinuitas produksi dengan jangka waktu dan kualitas yang relatif baik dan terjaga.

Ketiga, problem lambatnya komikus Indonesia untuk melakukan percepatan atas pola dan sistem pengetahuan serta teknologi yang begitu cepat berkembang. Poin ini terlihat dengan jelas pada komikus tahun 1980-an. Sementara kecenderungan sekarang ini berkebalikan, yakni pada persoalan pengaplikasian teknologi yang relatif kurang menemukan efektivitasnya.

Tiga hal dasar tersebut kemudian berkembang dalam rimba persoalan yang penuh kompleksitas. Misalnya sistem produksi (karya komik) yang menunggal hanya pada diri komikus tanpa ada struktur kerja yang tersistematisasikan sehingga kurang memberi pengayaan pada hasil produksi – seperti tiadanya riset (lapangan, foto, pustaka) untuk penguat jalinan cerita komik.

[2: Miskinnya Pewacanaan Komik]

Perkara ini lambat-laun berimbas terhadap adanya missing link sejarah komik dengan generasi (komikus) sekarang. Missing link atawa putusnya sejarah itu terpetakan dengan jelas “kemacetan” perkembangan komik lokal pada akhir 1980-an hingga akhir 1990-an. Memang masih ada komik yang sesekali muncul, tetapi kehadirannya sangat tak memadai dan signifikan dibanding banjir besar komik Jepang pada dasawarsa 1990-an itu.

Akhir 1990-an hingga dewasa ini komik terasa mulai bergeliat ditandai dengan tumbuhnya beberapa komunitas komik underground di berbagai kota. Ia agak berhasil menjadi indikator kreatif tapi terlepas dari sejarah yang dulu pernah “melahirkannya”. Perkembangan dan dinamika komik Indonesia seperti berlari di “gang buntu”.

Masalah pun berlapis-lapis. Ada missing link lain yakni kurangnya media (cetak) berbasis komik atau pun yang mengakomodasi komik-kartun lokal. Memang pada tahun 2001 dan 2002 pernah terbit tabloid Komikku dan Komik SAP. Juga ada majalah KumKom (Kumpulan Komik, terbitan Gramedia 1994), majalah HuMor (1990) yang bermetamorfosis dua kali pada tahun 1980-an setelah berganti nama dari majalah Stop, majalah Eppo (juga tahun 1980-an) dan yang tertua majalah Pop-Comics. Pun sempat populer Lembergar atawa Lembaran Bergambar suplemen dalam harian Pos Kota sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1990-an yang tak dapat dilupakan kontribusinya dalam sejarah komik lokal dengan menghadirkan tokoh Doyok kreasi Keliek Siswoyo, Budi (Otoy) serta tokoh lain yang tak kalah populer seperti Kubil, komik karya Martono, Dhika Kamesywara, dan lainnya. Sayangnya suplemen ini “terguling” oleh krisis moneter 1998.

Sampai kini komik strip cenderung kurang berkembang. Kalaupun ada hanya dimiliki grup besar saja seperti Kompas, atau media yang memang peduli seperti Suara Merdeka di Semarang, Bali Post di Denpasar, koran Sindo, Jawa Pos, dan lainnya. Sesungguhnya jika penerbit sedikit memberi kesempatan, dapat membantu perkembangan komik lokal.

Uniknya, perkembangan kartun dan karikatur – genre yang dekat dengan komik – cenderung lebih baik ketimbang komik. Perkumpulan kartunis di Indonesia – entah masih solid atau sekadar “papan nama” – bahkan menjadi sindikat tersendiri seperti Kelompok Kartunis Kaliwungu yang disebut “Kokkang”. Sindikat yang bergerak sejak awal 1980-an ketika media cetak memberi perhatian cukup besar pada kartun ini memiliki akses cukup kuat sehingga karya-karyanya mendominasi banyak media massa. Para anggota Kokkang pun ada juga yang menjadi komikus. Kokkang sendiri pun diam-diam menjelajah mancanegara. Beberapa karyanya ada yang dimuat di Yomiuri Shimbun Jepang selain aktif mengikuti festival kartun seperti Nasreddin Hodja Contest (Turki), The Magna Cartoon Exhibition Hokaido Japan, dan lain-lain. Selain Kokkang, ada Pakyo (Paguyuban Kartunis Yogyakarta), Terkatung (Terminal Kartunis Ungaran), Pakarso (paguyuban Kartunis Solo), Kelakar (Keluarga Kartunis Purwokerto), SECAC (Semarang Kartunis Club), dan lainnya. Sedang untuk level nasional ada Pakarti (Perkumpulan Kartunis Indonesia).

Buku telaah tentang komik atau kartun pun minim. Sampai kini yang baru terbit hanya beberapa judul, misalnya Komik Indonesia (Marcel Bonneff, 1998), Karikatur dan Politik (Augustin Sibarani, 2001), Menakar Panji Koming (Muhammad Nashir Setiawan, 2002), dan Kartun (I Dewa Putu Wijana, 2004). Selebihnya sekadar tinjauan singkat yang terselip sebagai pengantar buku komik dan kartun saja seperti Wimar Witoelar (pada buku Lagak Jakarta), Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Tebusan Dosa karya Teguh Santosa), Goenawan Mohamad (Palestina karya Joe Sacco edisi Indonesia, Mizan 2003), Hikmat Darmawan (Dari Gatotkaca Hingga Batman, Orakel 2005) dan lain-lain. Ini indikator miskinnya perhatian dan pewacanaan komik kita.

[3: Relasi Mutualistik]

Hal menarik yang kerap tercecer dari perhatian adalah bahwa kehadiran karya komik banyak dihidupi oleh komunitas penggemar tersendiri. Komunitas dengan karakternya (yang dibentuk dengan latar kultural, sosial, pendidikan, dan lainnya) ini kemudian memberi pengaruh kepada sistem cara berpikir komikusnya. Ada relasi imbal-balik yang mutualistik di sini. Dengan demikian apresiasi terhadap karya komik diimbangi oleh penghargaan komikus terhadap “masukan” dari audiens.

Misalnya ketika memasuki dekade 70-an hingga 80-an dengan kehadiran komik-komik impor dan terjemahan Barat (Eropa dan Amerika) komik lokal melahirkan tokoh superhero adaptasi Barat ala Marvel (Gundala, Maza, dan Godam) walau di masa itu ada komik wayang R.A Kosasih. Kosasih sendiri bahkan pernah terpengaruh superhero dengan menciptakan superhero wanita Sri Asih. Disusul dekade 90-an hingga saat ini serbuan dari komik terjemahan asal Jepang membentuk pengaruh pula pada komikus. Mulai dari Kungfu Boy hingga Sinchan dan lainnya. Dalam konteks perbincangan kali ini kita tidak sedang berbincang secara sinis ihwal epigonisme karya seni.

Persoalan keterpengaruhan komik impor justru dapat disebut sebagai indikasi positif karena kemudian muncul kegairahan komikus mengeksplorasi karya barunya. Memang ada risiko terjadinya stereotiping karena komik yang terbit waktu itu rata-rata memiliki identifikasi serupa atau stereotip: tokoh-tokoh superhero (untuk komik tahun 70-an dan 80-an yang banyak terisnpirasi oleh komik Amerika Serikat) dan manga (pada komik 90-an sampai sekarang. Jelas terpengaruh oleh komik Jepang). Dari sini bisa diandaikan bahwa jika tak terjadi missing link, komikus masa kini dapat melakukan ”perlawanan” seperti Hasmi dan Wid N.S. yang membuat komik fiksi ilmiah-superhero ketika di masa itu sedang tren komik silat karya Ganes Th. Seperti kita tahu Hasmi dan Wid N.S. banyak melakukan resistensi atau perlawanan kreatif (bahkan) atas komik yang diadopsinya dengan mockery atau mengejek bahkan mimikri – istilah acap dipakai oleh kalangan poskolonialis bagi minoritas yang “melawan” dominasi budaya kaum mayoritas. Misalnya tokoh Godam yang heroik itu (sebagai tokoh yang diadopsi dari sosok Flash) dalam kesehariannya adalah sopir truk AKAP yang jauh dari pencitraan “suci” atas heroisme Godam tersebut.

Ruh “perlawanan” ala Hasmi dan Wid N.S., sayangnya, belum banyak ditangkap oleh banyak komikus Indonesia saat ini. Sehingga belum banyak karya komik kuat yang muncul dewasa ini. Namun, dalam ranah yang berbeda, muncul kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan pencapaian yang menarik untuk dicermati. Misalnya Benny Rachmadi yang memunculkan seri Lagak Jakarta tahun 1998 dan seterusnya menjadi kreator komik-strip Mice di Kompas edisi Minggu. Demikian juga Ahmad ”Sukribo” Ismail. Karyanya mulai spesifik terlihat pada komik Ayam Majapahit. Sayang tidak didukung oleh jalur distribusi yang baik sehingga komik itu sepi dalam perbincangan yang lebih luas. Karya-karya lainnya sekarang yang banyak diserap oleh LSM atau instansi pemerintah, tapi dengan diseminasi terbatas pula.

Kemudian muncul komikus Beng Rahardian Selamat Pagi Urbaz! yang mencoba membawa gaya novel-grafis ala Will Eisner. (Will Eisner sendiri membuat sejarah baru perkomikan dunia dengan memunculkan karya graphic-novel tahun 1978, A Contract with God). Juga trio Ipot, Oyas, Iput (1001 Jagoan) yang karyanya berhasil melicinkan pengaruh referensi komik Amerika dan Jepang sehingga mampu melepaskan dominasi pengaruh anime dan manga sebagai mainstream pasar buku komik Indonesia. Secara acak, nama lain yang berhasil muncul menunjukkan jati diri tanpa pengaruh mainstream bisa disebut Wahyoe (Gibug), Donny Kurniawan (Alakazam) dan Alfi ”Sekte Komik”. Juga perupa Samuel Indratma dan Eko Nugroho di Yogyakarta yang memberangkatkan hasrat berkomik dengan tendensi sebagai karya seni rupa murni (seni visual). Karya-karya lukis atau instalasinya yang telah membawa mereka ke luar negeri ditimba secara langsung dari komik untuk kemudian diberdayakan dalam cara ungkap yang berbeda. Mereka adalah sebagian dari anak-anak muda yang menyuntuki dunia komik dengan tetap memperhatikan semangat jaman masyarakat yang melingkupinya.

Pada tahun-tahun terakhir ini kecenderungan memasukkan unsur komikal dalam karya seni rupa, khususnya seni lukis, kian menderas. Kita bisa menyimak karya-karya tersebut digubah oleh para seniman muda di beberapa kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, dan kota lain.

[4: Bangunan Heroisme Kini]

Pameran kali ini, saya kira, juga memberi penekanan yang lebih khusus pada karya-karya yang bergenre komik. Setidaknya, beberapa di antara seniman yang terlibat dalam pameran ini sebelumnya juga pernah mencecap pengalaman mengeksplorasi karya komik.

Misalny Donny Kurniawan yang telah cukup banyak melahirkan buku-buku komik seperti Alakazam, juga komik-komik yang diproduksi dan diterbitkan di Amerika Serikat. Juga Andi Wahono yang sempat bekerja paruh waktu di perusahaan animasi. Demikian pula dengan Yudi Sulistyo yang hingga kini masih bergelut sebagai ilustrator dan komikus di sebuah perusahaan advertising ternama di Yogyakarta. Pandu Mahendra, menjadi salah satu perupa dalam kelompok ini yang telah cukup lama intens berjibaku dengan dunia kartun dan komik di mana dia juga masuk sebagai salah satu anggota PAKYO (paguyuban Kartunis Yogyakarta). Sedang Indieguerillas (sebuah identitas sekaligus trade mark bagi pasangan suami istri Miko Bawono a.k.a. Bung Otom dan Santi Ariestyowanti) yang selama ini bergerak banyak di dunia disain grafis telah memberi tengara penting bahwa dunia kreatifnya dalam disain bisa dengan mudah mengulang-alik ke ranah seni visual yang melepaskan diri dari problem karya bertendensi industrial. Dan terakhir, Aji Yudalaga, meski tidak sangat kuat mengarahkan karyanya sebagai bagian dari karya yang komikal, namun beberapa karyanya yang telah dikreasinya (seperti karya Tugas Akhirnya untuk kepentingan studi) sedikit banyak bisa ditengarai melibatkan spirit berkomik di dalamnya, meski tak begitu kental.

Ketika masuk dalam kerangka substansi tema yang disodorkan kepada mereka ihwal hero atau (ke)pahlawan(an), maka cara pandang masing-masing perupa ini menjadi kaya dan menarik. Titik menariknya adalah bahwa para perupa berusaha untuk mengembalikan problem kepahlawanan kepada dirinya sendiri. Memang, tidak semua perupa mengarah pada asumsi tersebut secara banal dan transparan secara visual. Namun kita bisa menyimak titik menarik itu pada karya-karya Donny Kurniawan dan Pandu Mahendra. Kedua seniman ini kiranya tidak tengah membangun egosentrisme yang berlebihan dengan mempahlawankan diri-sendiri, namun bagai berusaha menciptakan pertanyaan ihwal keberadaan dan nilai kepahlawanan itu sendiri. Apakah keluarga, anak, atau bahkan diri-sendiri tidak bisa diapresiasi lebih jauh dengan menjadikannya sebagai pahlawan, hero, karena mereka adalah bagian penting dari kebutuhan dan alternatif solusi atas problem kita (= saya) sendiri?

Cara pandang semacam ini tampaknya merupakan sebuah gejala umum yang telah merebak di berbagai belahan dunia. Tak berlebihan kiranya kalau konteks pembicaraan atas menguatnya gejala personalisasi ini dikaitkan dengan pergeseran sistem sosial budaya yang dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi. Ini berimplikasi pada mengendurnya identitas-identitas yang khas pada suatu kelompok hingga pada cairnya identifikasi atas sebutan hero. Hero tidak lagi menjadi sebutan yang mitologis, berada di ujung imajinasi yang mengawang-awang, namun bisa dibumikan sebagai bagian dari diri kita sendiri. Hero bukanlah sosok yang jauh dari diri kita.

Bertalian dengan persoalan ini, kita bolehlah terkejut dengan majalah berita terkemuka Amerika Serikat, Time, yang pada bulan Desember 2006 lalu mengeluarkan edisi akhir tahun dengan memproklamirkan sosok “aneh” Person of the Year. Time tidak menyebut nama-nama tokoh tertentu sebagai Person of the Year (tahun-tahun sebelumnya bertajuk Man of the Year) seperti sebelumnya, namun menunjuk “You” atau “Anda”, “Kamu”, sebagai Person of the Year! Ya, mulai tahun 2006, dunia (setidaknya menurut pengamatan Time) telah mencium gelagat tiap-tiap orang di dunia ini mampu menaikkan peran dirinya dalam lingkungan, atau menjadikan diri (sendiri) sebagai kerangka dasar untuk membincangkan dunia.

Dengan demikian teori sejarah tentang The Great Man, bahwa “sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar dan ternama” seperti yang dikemukakan oleh filosof Skotlandia, Thomas Carlyle, telah mulai meredup dan tak lagi menemukan jalinan kesesuaiannya. Teknologi informasi dan perkembangan yang pesat pada dunia maya telah menyingkirkan secara perlahan teori Thomas Carlyle tersebut. Sekarang, publik yang “biasa-biasa saja” bisa berperan banyak di ruang publik yang baru. Ada Wikipedia yang memungkinkan seseorang dengan kemampuan terbatas dapat mengemukakan “teori” dan “definisi” tertentu. Ada Youtube yang mampu menduniakan dengan lekas sesuatu yang sebelumnya privat, lokal, dan tersembunyi di laci dokumentasi keluarga. Ada MySpace, Friendster hingga Facebook yang menjelmakan seseorang (= Anda, You) menjadi tokoh dengan definisi “baru” di luar pemahaman teori the Great Man-nya Carlyle. Maka, kinilah saatnya “You” atau “Anda” membangun pemahaman “dunia jenis baru” yang tidak harus dikonstruksi oleh para politisi atau para orang besar, namun bisa oleh sesama warga, orang per orang yang “biasa-biasa saja”. Dan dari sini, heroisme atau kepahlawanan pun bisa dibangun oleh, dengan dan untuk diri sendiri.

Sebagian karya dalam pameran ini, kiranya, juga tengah bergulat untuk melakukan pendakuan atas diri mereka sendiri sebagai sosok yang mungkin saja adalah sosok hero. Hero sangat mungkin ada di dalam diri kita, karena dia bukanlah sosok yang terbayang jauh di atas langit mitologis.

Kuss Indarto, kurator seni rupa.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?