Pasar Widodo, Sebuah Petilan Catatan Personal


Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini dimuat di katalog pameran tunggal seni rupa Widodo, Flea Market, 17-26 Maret 2009, di Taman Budaya Yogyakarta. Bus dalam foto di atas adalah salah satu materi pameran tersebut)

[1]: Posisi Kesenimanan Widodo

Dalam posisi apakah kesenimanan Widodo kini berada? Kalau bergegabah dengan pilihan dualisme yang menjebak, apakah Widodo menjadi seniman yang berhasil atau gagal?

Pertanyaan itu muncul, tentu, dengan sederet risiko. Pertama, publik (kemudian hanya) akan digiring untuk masuk dalam perangkap kategorisasi yang banal dalam melihat ukuran-ukuran keberhasilan seorang seniman, baik dalam proses kreatifnya, maupun kontribusinya (yang berelasi dengan praktik seni dan sosial) dalam lingkungan sekitar yang menghidupinya. Ini pola-pola mainstream yang baku dan biasa terjadi. Kedua, dualisme berhasil-gagal dan semacamnya, tampaknya, menjadi kurang penting ketimbang persoalan lain seperti: berbuat atau tidak, kemampuan untuk berbagi peran atau bersikukuh pada egosentrisme, dan lainnya.

Kita bisa berkaca dari nukilan sejarah yang sedikit banyak berbicara ihwal itu. Contoh klasik, tentu saja, adalah Vincent van Gogh yang dianggap sebagai seniman gagal pada jamannya karena spirit jaman di lingkungannya waktu itu tak berpihak padanya. Karyanya nyaris tidak banyak diapresiasi. Hanya satu kanvas karyanya yang direspons pasar, itupun dibeli secara diam-diam oleh saudara kandungnya, Theo. Atau dalam gradasi yang berbeda, publik seni Indonesia mengenal seniman Nashar yang mengetengahkan Konsep Tiga Non dalam praktik kreatifnya. Karyanya oleh sementara pihak dianggap tak cukup penting bagi perkembangan seni rupa, terlebih jika dikaitkan oleh parameter lain yang naïf dan menyesatkan, yakni diukur dari respons pasar. Tentu Anda, siding pembaca, masih memiliki stok kisah dan contoh yang lebih kontekstual untuk kasus semacam ini.

Saya tidak mencoba menempatkan garis kesejajaran yang utuh antara para “pendekar” di atas dengan Widodo. Masih sangat jauh dan kontras. Saya berusaha obyektif untuk mengatakan bahwa Widodo bukanlah (atau belumlah menjadi) seniman yang penting di medan sosial seni rupa Yogyakarta, apalagi di Indonesia. Belum banyak pencapaian penting yang telah ditorehkannya ketimbang rekan seangkatannya di ISI Yogyakarta angkatan 1984, seperti Bambang “Benk Mobil” Pramudyanto, Gusti Alit, Ichlas Taufik, dan lainnya yang telah cukup berkibar. Namun justru di titik inilah yang perlu untuk dibahas.

Proses menjadi seniman tidak harus selalu diukur pencapaiannya secara tunggal dalam kerangka ekonomis dan eksistensial. Dia tak harus bermuara pada kemapanan yang begitu melimpah-ruah pada segi ekonomis, juga pada pencatatan (sebagai pembuktian eksistensi) yang bertabur di banyak indeks buku atau entry dalam mesin pencari di situs-situs penting.

Lalu apa yang dicari dan bagaimana mengukurnya? Saya kira, kesetiaan untuk terus-menerus melakoni itulah salah satu titik penting yang perlu direkomendasi untuk diajukan sebagai sampel. Dalam banyak keterbatasan, Widodo tetap berusaha untuk melakukan praktik kreatif dalam kerangka mengaktualisasikan “baju seragam” kesenimanannya. Mungkin Widodo tak cukup peduli dengan ihwal pencapaian-pencapaian, dan itu bisa dikatakan sebagai kenaifan. Namun titik penting yang bisa ditelusuri dari laku kreatifnya adalah: Widodo begitu lepas dari ketertekanan yang menjerat posisinya sebagai seorang kreator. Pasar tak banyak mendikte dan menekan! Saya kira bukan sekadar karena kualitas out-put kreatifnya yang bermasalah, namun lebih pada aspek kebebalan Widodo terhadap hal yang berupaya meringkus kebebasannya. Seniman ini tak cukup peduli untuk kemudian habis-habisan berkompromi dengan pasar. Garis keyakinannya untuk bebal, saya kira, adalah juga garis kesenimanannya. Inilah point “kewaguan” Widodo yang tidak banyak ditemui di kerumunan seniman Yogyakarta kini.

[2]: Tentang Soto yang Jancuk dan Kanalisasi

Kesenian adalah jalan hidup Widodo. Dan, kehidupannya penuh jalan kesenian. Kita bisa melihat petilan fragmen kesenimanannya di rumah tinggalnya di pinggiran barat kota Yogyakarta (persisnya kampung Sonopakis), yang di bagian depan dijadikan sebagai warung soto ala Jawa Timur, “Jiancuk”.

Ya, jiancuk, ancok, jancuk atau dancok adalah sebuah kata khas Surabaya yang telah banyak tersebar hingga meluas ke daerah kulonan (Jawa Timur sebelah barat, Jawa Tengah, dan lain-lain). Jancok berasal dari kata 'encuk' yang memiliki padanan kata bersetubuh atau fuck dalam bahasa Inggris. Berasal dari frase 'di-encuk' menjadi 'diancok' lalu 'dancok' hingga akhirnya menjadi kata 'jancok'. Ada banyak varian kata jancok, semisal jancuk, dancuk, dancok, damput, dampot, diancuk, diamput, diampot, diancok, mbokne ancuk (= motherfucker), jangkrik, jambu, jancik, hancurit, hancik, hancuk, hancok, dan lain-lain. Kata jangkrik, jambu adalah salah satu contoh bentuk kata yang lebih halus dari kata jancok.

Makna asli kata tersebut sesuai dengan asal katanya yakni 'encuk' lebih mengarah ke kata kotor bila kita melihatnya secara umum. Normalnya, kata tersebut dipakai untuk menjadi kata umpatan pada saat emosi meledak, marah atau untuk membenci dan mengumpat seseorang.

Namun, sejalan dengan perkembangan pemakaian kata tersebut, makna kata jancok dan kawan-kawannya meluas hingga menjadi kata simbol keakraban dan persahabatan khas (sebagian) arek-arek Suroboyo. Kata-kata ini bila digunakan dalam situasi penuh keakraban, akan menjadi pengganti kata panggil atau kata ganti orang. Misalnya, "Yak opo kabarmu, cuk", "Jancok sik urip ae koen, cuk?". Serta orang yang diajak bicara tersebut seharusnya tidak marah, karena percakapan tersebut diselingi dengan canda tawa penuh keakraban dan berjabat tangan dong.

Kata jancok juga bisa menjadi kata penegasan keheranan atau komentar terhadap satu hal. Misalnya "Jancok! Ayune arek wedok iku, cuk!", "Jancuk ayune, rek!", "Jancuk eleke, rek", dan lainnya. Kalimat tersebut cocok dipakai bila melihat sesosok perawan cantik yang tiba-tiba melintas di hadapan.

Akhiran 'cok' atau 'cuk' bisa menjadi kata seru dan kata sambung bila penuturnya kerap menggunakan kata jancok dalam kehidupan sehari-hari. "Wis mangan tah cuk. Iyo cuk, aku kaet wingi lak durung mangan yo cuk. Luwe cuk." Atau "Jancuk, maine Arsenal mambengi uelek cuk. Pemaine kartu merah siji cuk."

Ya, akhirnya publik bisa sedikit tahu Widodo, mulai dari nama warungnya yang merupakan kata umpatan Jawa Timuran yang menjadi penanda penting baginya untuk menyodorkan pola komunikasi yang karib terhadap pengunjung dan pelangan di sana. “Jiancuk” menjadi lontaran kata penuh keakraban, bukan sebuah hardikan. Orang yang datang tidak disuguhi dengan nama atau penanda yang eksotik seperti halnya kebanyakan warung lain, semisal “warung Padang” yang menyajikan makanan khas etnis Minangkabau.

Saya kira ini juga menjadi representasi kecil atas perilaku “seenaknya”, atau “slengekan”, yang khas dari sosok Widodo. Rekan-rekan dekatnya, sebagai misal, bisa paham betul betapa problem “pendidikan” seksual bagi anaknya dilakukan secara inheren dalam laku sehari-hari, dan tanpa banyak sekat eufemisme berlebihan khas “keluarga Jawa” yang konservatif. Widodo bisa menyebut nama alat kelamin sekenanya di depan anak-anaknya sejak kecil dengan siasat komunikasi yang karib dan penuh humor, hingga (menurut Widodo) sang anak bisa memahaminya dengan alamiah. Tanpa banyak gejolak dan berimplikasi negatif yang meresahkan Widodo sebagai sang bapak. Artinya, dengan standar dan sistem sosial Kejawaan yang masih melingkupi lingkungan rumah keluarga Widodo, hasil tempaan dan didikannya (ihwal masalah seksual ala Widodo terhadap anak-anak), belum menuai masalah yang membuat sengkarut keluarga dan lingkungannya.

Maka, kalau publik menyimak karya-karyanya yang banyak menampilkan aspek erotisme tubuh atau visualitas seksual yang cukup transparan pada banyak karyanya, saya kira, itulah bagian yang inheren dan “organik” antara antara hidup keseharian dan laku kreatif yang saling melekat dan menunjang satu sama lain dari seniman Widodo. Dia tidak sedang bergenit-genit di atas kanvasnya dengan membincangkan sesuatu yang berupa angan-angan dan berada jauh dari kesehariannya.

[3]: Tentang Pasar

Pameran tunggalnya yang ke 13 ini, problem pasar diangkat Widodo sebagai bagian penting dari kesadarannya untuk membincangkan berbagai persoalan di dalam dan di luar dirinya. Di dalam dirinya sebagai seniman, pasar adalah bagian yang tak terkesampingkan ketika memandang karya seni sebagai barang produksi. Output kreatif adalah juga seonggok barang konsumsi yang acap dihadirkan ke tengah pasar dengan berbagai ragam responnya yang dinamis. Pasar sendiri, dalam pemahaman yang sangat elementer merupakan tempat di mana calon penjual dan pembeli berkumpul dan untuk melakukan tawar-menawar barang dan jasa. Ini kalau dilihat dari segi fisiknya, yang tentu sudah begitu kedaluwarsa kalau dikontekstualusasikan dengan situasi aktual dewasa ini. Dinamika pasar itulah yang membuat perbincangan atas pasar mampu melampaui perbincangan yang hanya bergerak pada aspek fisikal semata.

Booming seni rupa yang hingga akhir tahun lalu mengarus di berbagai kawasan di dunia, termasuk di Indonesia, memberi gambaran yang jelas tentang peran aspek ekonomi yang begitu kental. Karya seni tidak lagi dipandang dalam kerangka yang suci dan berjarak, namun justru menjadi bagian dari mata rantai praktik konsumsi yang telah menggejala di dunia sekian lama. Di tengah kelimun problem tersebut, kompleksitas acap terjadi karena masuknya peran-peran kepentingan seperti aspek politik, pertarungan simbol, kompetisi antar-nilai, dan sebagainya.

Pada kesadaran inilah pameran ini dihadirkan oleh Widodo. Dia dengan sengaja memberi representasi sekaligus memindahkan praktik konsumsi yang biasa terjadi lingkungan yang secara umum disebut sebagai pasar. Dinamika atas representasi pasar juga cukup lengkap dipindahkan dalam ruang pajang karya Widodo ini.

Ada lukisan dengan segala coreng-moreng khas garis estetik Widodo, ada pula onggokan beberapa buah mobil milik seniman ini yang nongkrong sebagai “barang dagangan” sekaligus sebagai presentasi karya estetiknya. Ada pula barang dagangan yang biasa nongkrong di pasar klithikan (berisi barang-barang bekas). Pasar klithikan yang bertumbuh dengan cepat dan meluas di Yogyakarta, seperti kita tahu, berbarengan dengan maraknya praktik konsumsi dan hedonisme yang kian meningkat di satu sisi, serta di sisi lain, menjadi salah satu indikator kecil atas merangkaknya angka pengangguran pada sebagian kelompok masyarakat. Untuk dugaan yang terakhir itu, tertunjukkan pada melimpahnya barang-barang privat pada kelompok masyarakat itu yang dilemparkan ke pasar klithikan untuk ditukar dengan rupiah demi menyambung hidup.

Ada pula, dalam eksposisi Widodo ini, deretan poster dan baliho kecil milik para caleg (calon legislatif) Pemilu 2009 yang meramaikan makna pasar dalam ruang sosial yang lebih luas. Ruang public yang akhir-akhir ini dengan kentara dijadikan medan pertarungan antar-simbol, produk konsumsi hingga parpol dan caleg, dipindahkan ke ruang pamernya sebagai bagian dari dinamika pasar. Inilah jagad pasar yang berbaur antara pihak yang yang santun dan berangasan untuk berkompetisi satu sama lain. Dan Widodo seperti dengan “semena-mena” seolah sedang “menjual” semua yang disimak serta dimilikinya dalam pameran ini. Dia dengan sadar tengah memasarkan sebuah pasar dengan cara yang “tidak pasaran”. Selamat “berbelanja” di Pasar Widodo!

Kuss Indarto, kurator seni rupa. Dapat disapa di kuss.indarto@gmail.com

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?