Joko “Gundul” Sulistiono: Menyangkal dari Stereotyping Robot
MANUSIA BARU (140 x 190 cm, mixed media, 2000). Itulah karya yang menjadi tonggak penting bagi perjalanan kreatif Joko “Gundul” Sulistiono. Lewat lukisan tersebut, seniman berperawakan mungil ini bagai memuntahkan magma kreatif yang seolah bertahun-tahun terpendam di balik tubuh dan lupa. Ya, bahkan Joko sendiri juga sahabat-sahabat dekatnya barangkali lupa bahwa dirinya memiliki potensi besar untuk melahirkan karya penting. Setidaknya penting bagi perjalanan kreatif dirinya.
Lukisan kolase (collage) itu menemukan momentum yang tepat pada perhelatan Indonesia Art Award (IAA) 2000 yang waktu itu masih disponsori oleh Philip Morris Group. Manusia Baru tidak sekadar masuk menjadi finalis (70 Besar), namun bahkan terpilih menjadi 10 Besar Karya Terbaik. Waktu itu, Tim Juri (yang terdiri dari M. Dwi Marianto, Sulebar Soekarman, Nyoman Erawan, Asmudjo J. Irianto, Mudji Sutrisno, Rita Widagdo, dan Didier Hamel) memilih 10 Besar Karya Terbaik yang masing-masing adalah karya Joko “Gundul” Sulistiono sendiri, lalu karya Budi “Ubrux” Haryono, Hayatuddin, “Cubung” Wasono Putro, Catur Bina Prasetyo, Yusron Mudhakir, Agapetus A. Kristiandana, Sumardi, Yayat Surya, dan A. Putu Wirantawan.
Pada tahap berikutnya dari kompetisi IAA 2000 itu, karya Manusia Baru juga menggapai pencapaian dengan masuk sebagai 5 Besar Karya Terbaik. Ini menjadi tiket utama untuk menerbangkan Joko dan 4 seniman lain menuju Negeri Singa, Singapura, sebagai peserta event serupa di level ASEAN, yakni ASEAN Art Award. (Perhelatan IAA tahun 1994-2000 memang menjadi event yang berjenjang hingga ke tingkat Asia Tenggara. 5 Besar di tiap negara “diadu” di tingkat ASEAN. Namun mulai tahun 2001 Philip Morris tak lagi mensponsori IAA, meski di beberapa negara ASEAN lain masih). Apapun pendapat banyak pihak tentang pro-kontra sebuah kompetisi seni rupa, faktanya, perhelatan ini juga bisa menjadi salah satu alat ukur bagi seorang seniman dalam membaca perkembangan kreatifnya. Apalagi, kala itu, kompetisi IAA 2000 diikuti oleh 1.227 seniman dari seluruh Indonesia. Tak berlebihan bila ajang kompetitif ini juga menjadi perangkat penting untuk menanamkan reputasi seorang seniman, termasuk Joko Sulistiono.
Dari pencapaiannya itu memang kemudian respons muncul cukup terasa, langsung ataupun tidak langsung. Meski tidak sangat deras, namun undangan untuk berpameran pun mulai datang dari sana-sini. Pada kurun waktu tersebut seniman yang masuk kuliah di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (FSR ISI) Yogyakarta tahun 1990 ini mulai banyak bersentuhan dengan pihak lain yang berkait dengan profesi kesenimanannya. Atas persentuhannya dengan pihak lain itu, sudah barang pasti, ada plus-minus yang menyertainya. Joko hanya berusaha keras untuk menggali nilai positif atas hubungan dengan pihak lain itu. Positive thinking diyakininya akan menjadi energi kuat bagi proses kreatifnya ke depan. Setidaknya, pada dimensi yang lain, Joko merasa telah sekian lama berjalan cukup lambat pada rel kesenimanannya. Dia ingin ngebut. Dia tak ingin terpaut sangat jauh dengan rekan-rekan seangkatannya di FSR ISI Yogyakarta—semisal Putu Sutawijaya, I Nyoman Sukari (almarhum), Samuel Indratma, Zulkarnaini, Budi Kustarto, dan lainnya—terutama dalam aspek pencarian dan penggalian kemampuan kreativitas. (Kalau soal rezeki sih, pasti sudah ada yang mengatur).
Meski demikian, kita juga sadar sepenuhnya bahwa pencapaian artistik, estetik dan kreatif bagi seorang perupa terkadang tidak bisa berjalan seiring dengan hal yang lain, misalnya respons pasar. Pasar bisa dengan bebas dikonstruksi sedemikian rupa sehingga garis pencapaian kreatif seorang seniman yang sangat progresif sangat mungkin bisa “dihambat” reputasinya hanya karena dianggap kurang bagus pada sisi respons pasarnya. Joko memang tidak dalam posisi yang ekstrem seperti itu. Namun ada kondisi yang berkait dengan kerja kreativitasnya yang sempat sedikit “disalahtafsirkan”.
Karya Manusia Baru-nya di IAA 2000 banyak dianggap sebagai implementasi pikiran-pikiran seniman kelahiran kabupaten Grobogan, Jawa Tengah ini, atas perkembangan teknologi yang menjadikan sebagian dari perikehidupan manusia menjadi masinal. Semua selalu berkait dengan mesin. Manusia mengalami masinalisasi atau “pemesinan” sehingga serupa robot. Anggapan sebagian publik itu tentu sah untuk memberi penanda atas kecenderungan karya Joko. Namun banyak hal yang dihasratkan olehnya, lewat karya Manusia Baru itu, yakni tentang kultur hedonisme dan konsumtivisme, menjadi pudar dalam perbincangan. Dan sayangnya, asumsi itu cukup menguat dalam kesempatan pameran yang diikutinya kemudian. Ketika karya-karyanya diikutkan dalam pameran, tidak jarang pertanyaan yang stereotipe mampir ke telinga Joko: “Lho, mana robotnya? Kok robotnya mulai nggak ada nih? Kenapa robotnya jadi genit?” Inilah beban atas stereotyping yang terjadi justru setelah muncul pencapaiannya yang kuat di perhelatan IAA 2000. Seolah Joko Sulistiono harus identik dengan sosok-sosok robot dalam karya lukisannya. Inilah yang kemudian coba “disangkalnya”.
Pameran tunggalnya di Koong Gallery tahun 2003 memperlihatkan gejala penyangkalan yang cukup kuat atas stereotyping itu. Tema-tema tentang hedonisme mencuat kian eksploratif pada kesempatan itu. Dan kemudian, pada waktu-waktu berikutnya, terjadi pergeseran atas tema sentral dan pokok soal (subject matter) karya-karyanya. Hedonisme dan konsumtivisme tak lagi menjadi pilihan tema yang disuarakannya, namun mengarah pada tema-tema satwa kuda (Equus caballus atau Equus ferus caballus).
Pilihan ini juga berkait erat dengan kedekatannya bersama pihak lain seperti yang disinggung pada bagian atas tulisan ini. Kuda-kuda yang terpapar pada banyak kanvas Joko memang lebih banyak mengeksplorasi pada aspek kebentukan. Namun juga sesekali dia mencoba mengaitkannya dengan perbincangan secara cukup kritis terhadap aspek sosial kemasyarakatan seperti halnya karya-karya di kurun sebelumnya.
Hal penting yang bertalian antara karya-karya Joko yang terdahulu dengan yang sekarang adalah penggunaan teknik kolase. Ada kolase yang memanfaatkan guntingan kertas dari majalah yang butuh tantangan dalam pengawetan karya seacara keseluruhan. Ada pula kolase dengan memanfaatkan teknologi yang membutuhkan kejelian dalam menempelkan di atas kanvas. Dari pengalaman meniti garis kesenimanannya yang telah masuk pada tahun keduapuluh (kalau dihitung sejak masuk kuliah di ISI Yogyakarta tahun 1990), Joko seperti telah menemukan salah satu perca pemikiran yang bisa mendasari keyakinannya dalam berkarya, yakni: “tema karya tidak selalu penting, namun cara kerja kreatif, itulah yang lebih penting”. Dari sini kita bisa menduga ke arah manakah alur kreativitasnya akan mengalir. Silakan menebak. ***
(Dituliskan kembali oleh Kuss Indarto)