Erotika Mendoktorkan Edi Sunaryo
Dr. Edi Sunaryo bersama para mahasiswanya seusai Ujian Terbuka berlangsung di kampus ISI Yogyakarta. (foto: kuss)
oleh Kuss Indarto
PROBLEM erotika telah mengantarkan seniman Edi Sunaryo meraih jenjang akademik doktor. Dalam sidang terbuka di ujung akhir studi program doktor penciptaan seni pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, seniman yang juga staf pengajar Fakultas Seni Rupa (FSR) ISI Yogyakarta ini berhasil mempertahankan disertasinya yang bertajuk “Sublimasi Erotika”.
Senin siang, 16 Januari 2012, hampir 200 pasang mata menjadi saksi penabalan Edi di altar akademik yang terhormat itu. Ada rektor ISI Yogyakarta Prof. Dr. AM. Hermien Kusumayati, SST. SU., Dekan FSR Dr. Suastiwi Triatmojo, MDes, hingga para dosen senior di lingkungan ISI Yogyakarta seperti Wardoyo Sugianto, Subroto SM, Anusapati MFA., Alexandri Luthfi, Suwarno Wisetrotomo, Prof. Dr. Kasidi, dan masih banyak lagi. Juga tampak para seniman seperti Tisna Sanjaya, Ong Hari Wahyu, Hermanu, Dr. Narsen Alfatara, hingga para mahasiswa S2 dan S3 di lingkungan almamater ISI Yogyakarta.
Sementara di altar akademik Edi Sunaryo “dikepung” oleh 9 penguji yang dipimpin oleh Prof. Dr. Johan, MSi. Para penguji lain masing-masing Prof. Dr. I Made Bandem, MA, Prof. Drs. M. Dwi Marianto, MFA, PhD, Prof. Drs. Soeprapto Soedjono, MFA, PhD, Prof. Drs SP. Gustami SU, Prof. Dr. Andrik Purwasito, DEA, Prof. Dr. Setiawan Sabana, MFA, Dr. M. Agus Burhan, M.Hum dan Dr. St. Sunardi.
Artefak Erotik
Dalam paparan awal yang berdurasi sekitar hampir setengah jam seniman kelahiran Banyuwangi, 4 September 1951 ini memberi gambaran dasar bahwa “sublimasi” diartikan sebagai usaha atau proses perubahan ke arah penampakan keindahan bentuk yang lebih tinggi dan halus. Sembari mengutip gagasan si Bapak Psikoanalisa Freud, pak kumis ini menjelaskan bahwa sublimasi merupakan pemindahan yang menghasilkan prestasi kebudayaan yang lebih tinggi. Dari sublimasi dapat ditempuh arah yang ditentukan oleh dua faktor penting, yakni pertama, kemiripan objek pengganti dengan objek aslinya, dan kedua, sanksi-sanksi serta larangan-larangan yang diterapkan oleh masyarakat. Sedang pemahaman perihal erotik, dari sekian banyak definisi, Edi merumuskannya sebagai bentuk penggambaran hubungan laki-laki dan perempuan dalam persekutuan seksual sebagai ungkapan perasaan cinta birahi dengan bersuka ria. Dan realitas erotik itu sendiri adalah sebuah konstruksi sosial yang bersubjek pada percintaan.
Bertitik berangkat dari figura definisi tersebut kemudian karya-karya yang digubah dan dipresentasikan oleh Edi membuahkan beragam bentuk yang mengungkapkan simbol erotik seperti bentuk-bentuk deformatif figuratif, terutama bentuk-bentuk kuno (archaic) seperti patung, ukiran pada papan kayu dan lambang-lambang lama dalam candi Hindu, dan sebagainya.
Dalam eksekusinya, peraih penghargaan Jakarta Art Award 2008 ini banyak mengumpulkan informasi tentang hal yang berkait lewat mendokumentasikan foto-foto erotik. Eksplorasi ini berlanjut dengan “mundur kembali ke masa lalu” lewat pengamatan atas artefak-artefak erotik yang banyak terdapat dalam candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terutama candi Sukuh dan candi Cetho. Juga pengamatan atas realitas masayarakat yang telah marak terjadi ketika tidak sedikit perempuan—dalam pengamatan Edi—yang dengan terbuka mempertontonkan balutan kostum yang menerbitkan pesona erotikanya di ruang publik seperti mal, galeri, jalan, dan sebagainya. Ini semua menjadi bahan yang diserap sebagai materi penting gagasan karya-karyanya.
Apa Beda Rasa Perempuan Asia?
Dalam sesi pengujian setelah paparan Edi berakhir, suasana tegang hanya sedikit terjadi. Tanya-jawab berlangsung dalam situasi yang tidak terlalu angker seperti lazimnya sebuah ujian terbuka seorang (kandidat) doktor. Hanya Dr. Agus Burhan yang dengan tertib (dari awal sampai akhir) menyapa dan “memanggil” Edi Sunaryo dengan sebutan formal: “saudara promovendus”. Prof. Made Bandem memanggil “Mas Edi”, demikian juga Prof. Sabana, dan lainnya. Demikian juga Edi Sunaryo menyebut para pengujinya dengan sebutan “Pak Bandem” atau “mas Soeprapto” tanpa menyebutkan gelar (kehormatan) akademiknya: “Profesor Doktor”, dan seterusnya.
Kesempatan pertama untuk menguji adalah Prof. Made Bandem. Dia antara lain mempertanyakan basis teoritik dan filsafat tentang erotika. Kemudian giliran kedua Prof. Dwi Marianto yang mempertanyakan ihwal erotika yang selalu hanya menunggal pada problem genital yang terlalu fisikal, bahkan hingga ke aspek eksekusi karya. Dia juga mempertanyakan perasaan Edi sendiri ketika hendak membuat karya yang cukup terbuka, “takut atau tidakkah Anda?” Edi mengaku masih ada ketakutan dengan landasan etika dan moral. Sayang sekali, atas pertanyaan Dwi Marianto juga pertanyaan para penguji lain yang berkait dengan hal tersebut, Edi masih melandaskan jawabannya dengan masalah etika. Bukan, misalnya, problem estetika yang kiranya bisa mengayakan jawaban yang menyentuh pada masalah kekaryaan itu sendiri.
Pertanyaan awal penguji selanjutnya, Prof. Soeprapto Soedjono juga berdekatan dengan hal yang dipertanyakan oleh Dwi Marianto, yakni kenapa erotika masih dibatasi pada problem visual semata, bukan merasuk pada ihwal tekstual. Lebih jauh, pada pertanyaan lanjutan, Soeprapto mempertanyakan eksekusi karya-karya Edi yang “belum begitu dalam” dan bahkan uncohesiveness (tidak nyambung lagi) dengan sejarah kreatif karya-karya sebelumnya. Ini dirasakan oleh doktor perbandingan seni lulusan Amerika Serikat tersebut pada banyak karyanya kali ini. Namun Edi berkelit bahwa masih cukup kuat ciri yang ada pada karyanya kini bila dibandingkan dengan karya-karya lamanya, yakni adanya unsur ornamen, warna-warna yang cerah, dan unsur abstraksi sebagai bagian yang selalu melekat.
Pada menit-menit berikutnya, ruang sidang terbuka yakni gedung concert hall ISI Yogyakarta menjadi cukup hingar, penuh canda tawa dan celotehan kecil. Ada yang masih terkikik tertahan karena rikuh dengan suasana siding. Namun tak sedikit yang mulai lepas tertawa. Ini terjadi untuk merespons pertanyaan-pertanyaan “usil” dari Prof. Andrik Purwasito: “Saudara Edi, apakah Anda bisa membedakan rasa perempuan Jawa dan perempuan Asia lain?”
Entahlah, Edi seperti terkesiap dan tersipu mendengar pertanyaan itu. Tentu ini seperti pertanyaan Andrik dalam konteks sebagai teman yang paham bahwa Edi pernah berkunjung beberapa lama ke Taiwan untuk berpameran, dan mungkin “mengeksplorasi” gagasan awal tentang “sublimasi erotik”. Edi sempat menjawab di tengah keriuhan para undangan, hingga kemudian seperti melempar wajah dan jawaban ke hadapan forum: “Yo, piye iki yo, dik?” Undangan pun riuh.
Pada bagian lain Prof. Andrik sempat memberi pengayaan pemahaman bahwa kata “sublime” itu sendiri berkait dan akan merujuk pada konteks lain yang mendukung seperti pure (memurnikan), solid (memadatkan), modify (menggubah), change (mengubah), dan beberapa kata lain yang setara.
Sangat Memuaskan
Setelah situasi cair, pertanyaan-pertanyaan relatif makin substansial dan mengarah pada pokok bahasan, meski ada juga yang cukup elementer. Pada giliran Prof. Setiawan Sabana, guru besar FSRD ITB ini mempertanyakan positioning Edi Sunaryo: “Dalam posisi untuk membahas ihwal erotika ini, Anda lebih mengedepankan sebagai orang Jawa, pemeluk agama Kristen, sebagai laki-laki, atau seniman?”
Kemudian giliran Prof. Gustami. guru besar dari Jurusan Kriya ini mempertanyakan ihwal positioning juga, yakni bagaimana sih kondisi kreatif yang bisa dibangun ketika Edi berkarya sebagai seniman “biasa”, dan ketika Edi menjadi seniman yang berkarya dalam tuntutan akademik di level doktor? Pertanyaan serupa juga ditanyakan oleh Prof. Johan Salim di ujung ujian berlangsung.
Sedangkan Dr. Agus Burhan kembali menegaskan tentang posisi “integrated professional artist” pada diri Edi, dan pertanyaan mendasar yang juga dibutuhkan ketika seorang seniman atau (calon) doktor mendalami sebuah tema penting: “Apa yang telah Anda temukan dari sekian lama menggeluti tema “Sublimasi Erotik” ini?” Namun, entah sengaja atau karena kurang puas dengan sekian banyak jawaban Edi, penguji terakhir, Dr. St. Sunardi justru membuka kemungkinan temuan yang tak disadari oleh Edi sendiri. Kata Sunardi, dari sekian banyak karya-karya baru bertema tentang Sublimasi Erotik ini, justru ada yang tampak tersublimasikan dalam karya, yakni salib. Salib seperti tersublimasikan pada tubuh-tubuh perempuan, pada visualisasi tentang mandala, pada karya-karya yang menyoal tentang “imaji tabu”, dan lainnya. Ini menjadi menarik karena “temuan” Sunardi ini tidak begitu disadari dan dikonstruksi dari awal (justru) oleh sang seniman sendiri.
Secara umum, Edi memberi jawaban yang berkisar pada ilustrasi dan contoh, belum banyak menyentuh pada substansi pertanyaan yang dimaksud oleh para penguji. Tak heran, ketika tengah memberikan detil ilustrasi, beberapa penguji seperti tak sabar sehingga memotong keterangan Edi dan menegaskan dengan pertanyaan kembali, atau mengajukan pertanyaan baru.
Akhirnya, Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, meluluskan secara resmi Edi Sunaryo sebagai doktor baru di bidang Penciptaan Seni dengan hasil “Sangat Memuaskan”. Edi menyelesaikan studi hingga 5,5 tahun. Dia menjadi doktor keenam yang telah diluluskan oleh ISI, atau doktor ke-5 dari disiplin Penciptaan Seni. Selamat, pak Doktor Edi! ***