Kendi Sindiran Totok?
Oleh Kuss Indarto
“GERABAH”
sederhana itu berujud kendi, tempat untuk menyimpan air minum. Posisinya
menjulang meski agak memiringkan diri hingga cucuk atau moncong lubangnya
seperti hendak menuangkan cairan dari kendi itu. Julang tubuhnya seperti hendak
menantang angin yang terus mendesak-desak tubuhnya. Sekitar 9 meter titik
paling atas kendhi itu berada. Gembung tubuhnya berdiameter kira-kira 5,4
meter. Di bawah, di sekitar kendi berserak 8 “gerabah” berujud genthong
yang seolah bergerak melingkar. Kendi berada di tengah dan tinggi memenara,
sementara genthong-genthong yang bertinggi sekira 125 sentimeter bagai bergerak
melindungi sang kendi.
Pemandangan
itu sejak akhir Januari 2012 menyedot perhatian bagi siapapun yang melintasi
titik seratusan meter menjelang pintu utama TPI (Tempat Pelelangan Ikan) di
pantai Depok, Bantul, Yogyakarta. Letaknya di sebelah timur jalan, atau di kiri
jalan kalau Anda datang dari arah Yogyakarta. Persis beberapa senti sebelum
gerbang tembok “klasik” buatan Pemda Bantul.
“Gerabah” itu didisain oleh Totok Sudarto, seorang pensiunan kolonel TNI Angkatan Udara yang kini ingin menikmati masa tuanya dengan aktif berkarya seni. Memang bukan gerabah atau keramik karena sesungguhnya kendi raksasa dan genthong-genthong itu diwujudkan dari semen yang masif. Sedikitnya 130 kantong semen dihabiskan untuk itu. Totok berkolaborasi dengan teman perupa lain, Azf. Tri Hadiyanto. Pada awalnya, sebenarnya, gagasan awal muncul secara kolaboratif bersama beberapa perupa muda lainnya. Kepentingannya untuk diikutkan pada program parallel event Biennale Jogja (BJ) XI 2011 lalu. Disain awal yang juga berujud gerabah telah disetujui oleh panitia BJ XI. Namun tak ada proses eksekusi.
“Gerabah” itu didisain oleh Totok Sudarto, seorang pensiunan kolonel TNI Angkatan Udara yang kini ingin menikmati masa tuanya dengan aktif berkarya seni. Memang bukan gerabah atau keramik karena sesungguhnya kendi raksasa dan genthong-genthong itu diwujudkan dari semen yang masif. Sedikitnya 130 kantong semen dihabiskan untuk itu. Totok berkolaborasi dengan teman perupa lain, Azf. Tri Hadiyanto. Pada awalnya, sebenarnya, gagasan awal muncul secara kolaboratif bersama beberapa perupa muda lainnya. Kepentingannya untuk diikutkan pada program parallel event Biennale Jogja (BJ) XI 2011 lalu. Disain awal yang juga berujud gerabah telah disetujui oleh panitia BJ XI. Namun tak ada proses eksekusi.
Disain
pun kemudian bergerak dengan konsep yang bergeser. Totok menekankan visualisasi
kendhi sebagai unsur utama dan dominan dalam proyek seni ini. Kendhi membimbing
pada ingatan ikon masa lalu tentang solidaritas sosial yang begitu karib dengan
masyarakat di Jawa, setidaknya yang pernah dialami langsung dalam fase masa
silam Totok. Dulu, banyak orang Jawa menyediakan tempat untuk kendhi berisi air
minum yang diletakkan di ujung halaman rumahnya yang mepet dengan jalan umum.
Para musafir atau siapapun yang lewat bisa singgah dan memanfaatkan air minum
itu tatkala dia kehausan setelah bepergian jauh. Kisah-kisah seperti ini
sekelebat dapat disimak dalam novel panjang S.H. Mintardja, “Nagasasra Sabuk
Inten” dan judul lainnya. Kendhi itu menjadi representasi masa lalu atas
karib hubungan batin antarwarga dan kuatnya garis kesetiakawanan dalam
masyarakat (Jawa) tempo dulu. Titik inilah yang kembali ingin diangkat oleh
Totok Sudarto sebagai sebuah spirit yang kiranya dapat dikontekstualisasikan
dengan masa kini: pentingnya kebersamaan dan kesetiakawanan sosial.
Kendi
dan genthong-genthong itu diturunkan dari fase gagasan menuju ke ranah
karya secara fisik mulai 9 Desember 2011. Sejak saat itulah, nyaris tiap hari
Totok Sudarto dan kawan-kawan “ngantor” di utara pantai Depok—hanya
sepelemparan batu dari kantor polisi—untuk berkarya bersama beberapa tukang
yang membantunya. Selama satu setengah bulan lebih proses itu dilalui. Panasnya
udara pantai menjadi sahabat bagi mantan wakil bupati Bantul—yang dijabatnya
(hanya) sekitar 2 tahun pada periode pertama kepemimpinan bupati Idham Samawi.
Panas udara itu pula yang kemudian, tampaknya, ikut menguji kesetiaan pada
komitmen bersama. Awalnya beberapa seniman terlibat aktif dalam proses
pembuatan karya itu. Tapi tak berlangsung lama karena lambat-laun, satu
persatu, mereka mbrodholi, “tumbang” seorang demi seorang dengan berbagai
alasan. Dan tinggalah Totok Sudarto dan Tri Hadiyanto.
Problem
tambahan, bahkan utama, yang menyusul dihadapi Totok adalah masalah klasik:
dana. Anggaran tentu sudah dirancang dari awal, namun pada kenyataannya tak
sesuai perkiraan. Improvisasi, kemungkinan-kemungkinan tak terduga, seperti
biasanya, banyak bermunculan. Untung Totok pernah memegang jabatan penting di
kabupaten Bantul dan memiliki kemampuan pendekatan yang relatif baik sehingga
topangan dana yang dibutuhkan dapat dikucurkan. Dari pemda Bantul, setelah
melobi sang bupati Ida Idham Samawi, proyek patung kendi itu dibantu dana segar
Rp 14.000.000,- plus dana pribadi bupati Rp 5.000.000,-. Kemudian ada lembaga
Laboratorium Geospasial Pesisir yang hingga proyek itu selesai telah
mengucurkan dana Rp 5.000.000,- dari rencana sekian belas juta rupiah. Secara
keseluruhan, kebutuhan dana untuk itu sekitar Rp 40.000.000,-, dan Totok
Sudarto beserta Tri Hadiyanto yang bahu membahu berpatungan untuk mewujudkan
obsesinya tersebut.
Apapun
kualitas karya ini, ada hal positif yang bisa diapresiasi dari pencapaian Totok
Sudarto dan Tri Hadiyanto ini. Totok bukanlah seniman dari jalur akademik dan
karyanya sama sekali tidak atau belum diperhitungkan. Selama ini pula belum
banyak karya-karyanya yang “lepas” dan diapresiasi oleh kolektor dengan harga
yang memadai. Apakah proyek ini sebagai jalan untuk membuka akses dirinya
menuju altar kesenimanan yang lebih terhormat dan dilirik oleh banyak kalangan?
Ya, eksistensi diri seniman tentu penting, namun belum tentu Totok menganggap
ini sebagai sebuah jalan untuk menanamkan eksistensi, meski kecurigaan ke arah
itu sudah barang pasti bertebaran.
Justru
poin penting yang bisa ditangguk dari karya Totok ini adalah pertanyaan perihal
kontribusi seniman atau perupa dewasa ini terhadap lingkungan sosialnya:
seberapa banyak seniman sebagai homo socius (makhluk sosial) mampu
memberi sumbangsih bagi pengayaan gagasan dan seni terhadap masyarakatnya? Ini
pertanyaan klasik namun bisa kembali diangkat ke permukaan. Apalagi ketika kini
banyak perupa yang telah dihidupi oleh seni sebagai pilihan hidupnya, apakah
bisa berbalik seniman menghidupi dunia seninya? Jawabannya tentu banyak.
Pilahan kontribusi pun juga pasti beragam. Dan Totok Sudarto mencoba memberi
“sinyal” kecil atas hal itu dengan cara menghadirkan karya seni beserta
filosofi yang diusung di dalamnya lewat karya kendi raksasa. Masyarakat
dipersuasi—meski barangkali kecil pengaruhnya—untuk memulai mengapresiasi karya
seni di ruang publik. Sebaliknya, sosok seperti Totok mencoba melakukan “proyek
estetisasi” di tengah masyarakat yang tak cukup karib dengan benda yang
dikonstruksi dan dilabeli sebagai karya seni.
Pasti
Totok tidak sedang menyindir para seniman yang telah kaya secara finansial di
sekitarnya agar mereka juga memiliki krenteg (ketergugahan hati) untuk
berbuat hal yang serupa. Pasti toh mereka punya kepekaan dan kreativitas yang
berbeda untuk memberi kontribusi pada masyarakatnya, kecuali seniman bebal yang
hanya rajin mengagungkan egosentrismenya. Karya kendi ini seolah juga
mengkili-kili telinga para pemuka seni dan budaya di kawasan Bantul, semisal
mereka yang aktif di Masyarakat Tradisi Bantul (MTB), Dewan Kebudayaan Bantul
dan lainnya, sembari bertanya: sudah bikin apa engkau dengan dana ratusan juta
rupiah lebih selama ini?
Pertanyaan-pertanyaan
itu mungkin juga segera tertelan gemuruh ombak Laut Selatan. Tapi karya Totok
dalam beberapa waktu ke depan dimungkinkan akan memberi secuil inspirasi bagi
lingkungan sekitar, entah secara sosial, estetik, dan sebagainya. Dan pensiunan
kolonel TNI AU dengan tiga orang putra ini tak bisa berbangga hati
terus-menerus karena masih punya tanggung jawab yang mengiringi karya tersebut,
yakni masalah maintenance. Kendi dan genthong-genthong itu harus dirawat terus,
dicat ulang secara rutin, dibersihkan dari rumput-rumput liar agar tak
mengulang kebiasaan lama: karya seni di bulan-bulan pertama, setelah itu sampah
visual! Apalagi kendi itu berpotensi menjadi landmark di kawasan pantai Depok
itu.
Kendi-kendi
itu sekarang telah cukup kokoh berdiri di atas areal sekitar 100 meter persegi
di depan gapura yang agak kumal karena cat murahan yang ditempel oleh pemda
Bantul. Sayang di depan-bawah kendi raksasa itu ada tulisan dari logam yang
cukup masif dan mencuri perhatian: “Laboratorium Geospasial Pesisir”. Memang
lembaga itu punya andil sebagian dana untuk pembuatan kendi raksasa. Tapi
apakah itu bukan seperti klaim kepemilikan atas sang kendi? Atau pola-pola
semacam itu sudah lazim dilakukan oleh lembaga seperti itu: Nyumbang dikit tapi
nyerobot-nya banyak? Ah, Indonesia…
Rencananya,
penyelesaian kendi raksasa ini akan diresmikan dengan seremoni pada hari Sabtu,
11 Februari 2012, pukul 14.00 WIB dengan pertunjukan seni. Ikut? ***