I Made Toris Mahendra: "Hidden Passion"
Role Play, salah satu karya I Made Toris Mahendra yang dipamerkan dalam pameran tunggal "Hidden Passion".
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini termuat dalam katalog pameran tunggal I Made Toris Mahendra, "Hidden Passion". Pameran ini berlangsung selama sebulan mulai tanggal 19 Februari 2012, di Galeri Apik, Jakarta)
I Made Toris Mahendra,
saya kira, belum atau tidak pernah menabalkan diri sebagai seorang laki-laki
(aktivis) feminis atau male feminist.
Dia, barangkali, juga tak mengenal, atau bahkan tak tahu, nama-nama besar nan
“seram” semacam Mary Woolstonecraft, Betty Friedan, Dorothy Dinnerstein, Simone
de Beauvoir, Iris Young, Helene Cixous, Luce Irigaray, Julia Kristeva, Vandana
Shiva, Maria Mies, dan berderet-deret lagi para pemikir feminisme dunia, entah
itu feminisme liberal, feminisme radikal, feminisme Marxis-Sosialis, feminisme
eksistensialis, feminisme posmodern, ekofeminisme, dan lainnya.
Dia, barangkali juga, melewatkan
perhatian pada nama-nama aktivis atau pemikir feminisme lokal yang sesekali
berkelebat disebut media massa seperti Ratna Megawangi, Gadis Arivia, Maria
Hartiningsih, Maria Pakpahan, Mariana Aminudin, dan segudang nama lainnya. Dia
bisa jadi juga tak banyak tahu bagaimana peta ataupun titik hubung antara
dataran teoritik yang diproduksi oleh para pemikir feminisme itu dan derivatnya
di tingkat praktik yang dibawa oleh para aktivis di diskusi-diskusi yang rumit
ataupun pada demonstrasi yang memacetkan jejalanan itu.
Tapi justru di sinilah
titik menarik dari garis pemikiran perupa Toris, nama panggilan karib seniman
ini, yang terepresentasikan lewat bahasa visual. Belasan karyanya berupa lukisan
yang tengah dieksposisikannnya ini, dalam gradasi tertentu, memberi nilai dan
makna yang selaras dengan pemikiran para feminis dalam menyoal hak-hak dan
nilai-nilai keperempuanannya, tentu dengan cara pandang khas Toris sebagai
seorang perupa—dan, terlebih lagi, berjenis kelamin laki-laki. Memang tak semua
karya secara tegas mengusung nilai-nilai yang diuar-uarkan oleh para feminis
itu, namun jejak-jejaknya cukup membekas pada beberapa karya. Tak ada runtutan
kajian ilmiah dan akademis tentang perlawanan terhadap kultur patriarki yang
dominatif terhadap perempuan, tapi secara tersamar atau tegas pada beberapa
karya, Toris mencoba mengorek pengalaman batinnya untuk mengungkapkan hal
serupa dengan pendekatan estetik.
Budaya
dan Kuasa Laki-laki
Sebelum jauh menyimak
karya-karya Toris, sekilas bisa kita segarkan ingatan tentang praktik dominasi
patriarki. Seperti kita tahu, kalau dikuak lagi dalam perspektif historis ihwal
superioritas dan dominasi laki-laki atas perempuan bisa dirunut mulai dari
kisah penciptaan manusia dalam kitab suci yang sangat umum dikenal: Adam
diciptakan terlebih dahulu, dan Hawa dimunculkan dari tulang iga sang Adam.
Jadi Adam adalah kreator dari Hawa, dan Hawa diciptakan untuk membantu Adam.
Secara sosial dan moral, Adam lebih superior karena Hawa, dalam perspektif ini,
dianggap sebagai penyebab kenapa mereka berdua terusir dari surga.
Phytagoras pun,
seperti dikisahkan oleh Aristoteles, membuat tabel pengklasifikasian hal-hal
atau elemen-elemen yang berlawanan (oposisi biner, binary opposition). Dari tabel yang dibuat oleh Phytagoras ini
terlihat bahwa laki-laki dan perempuan tidak hanya ditempatkan sebagai
“berbeda” tapi juga “berlawanan”. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tidak hanya diasosiasikan dari perbedaan-perbedaan fisik saja tapi juga bisa
dihubungkan dari persoalan lainnya. Misalnya saja laki-laki diasosiasikan
dengan segala yang bermakna light, good, right,
dan one. Semua metafora yang dikenakan
pada lak-laki adalah berkenaan dengan makna Tuhan. Sementara perempuan
misalnya, diidentifikasikan dengan segala sesuatu yang bad, left, oblong, dan darkness. Seperti Phytagoras,
Aristoteles pun berangapan bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dari
perempuan. Menurutnya, secara natural, laki-laki itu superior, dan perempuan
itu inferior.
Secara kultural pun,
kemudian patriarki dikonstruksikan, dilembagakan, dan disosialisasikan lewat
institusi seperti keluarga, sekolah, masyarakat, agama, tempat kerja sampai
kebijakan negara. Seorang feminis, Sylvia Walby, membuat teori menarik tentang
patriarki, yakni membedakannya menjadi dua: patriarki privat dan patriarki
publik. Inti dari teori ini adalah telah terjadi ekspansi wujud patriarki, dari
ruang-ruang pribadi dan privat seperti keluarga dan agama ke wilayah yang lebih
luas yaitu negara. Ekspansi ini menyebabkan patriarki terus-menerus berhasil
mencengkeram dan mendominasi kehidupan laki-laki dan perempuan.
Dari teori yang
dikembangken Walby tersebut kita bisa mengetahui bahwa patriarki privat
bermuara pada wilayah rumah tangga. Wilayah rumah tangga ini sebagai dasar awal
utama kekuasaan laki-laki dan perempuan. Sedangkan patriarki publik menempati
wilayah-wilayah publik seperti lapangan pekerjan dan negara. Ekspansi wujud
patriarki ini mengubah baik pemegang “struktur kekuasaan” dan kondisi di
masing-masing wilayah (baik publik maupun privat). Dalam wilayah privat
misalnya, yang memegang kekuasan berada di tangan individu (laki-laki), tapi di
wilayah publik, yang memegang kunci kekuasaan berada di tangan kolektif (manajemen
negara dan pabrik tentunya berada di tangan banyak orang).
Perupa semacam Toris
barangkali, secara bawah sadar, cukup bisa merasakan bagaimana wujud kultur
patriarki ini beroperasi di wilayah yang bersentuhan dengan diri dan
lingkungannya, di wilayah privat ataupun publik seperti yang disinyalir Walby.
Langsung atau tak langsung. Frontal atau tak terasa namun jelas tersistem. Di
sinilah pengalaman empiriknya sebagai seorang dari kultur Timur yang dianggap relatif
patriarkhis. Realitas seperti itu membawa kegelisahan yang kemudian dijadikan
titik berangkat bagi kemunculan sekian banyak karyanya, terutama dalam pameran
tunggalnya kali ini. Posisinya sebagai laki-laki yang tergerak untuk
membincangkan problem “ideologis” perempuan coba didedahkannya di sini.
Kegelisahan tentang tema ini diaduknya dengan rasionalitas yang memungkinkan
memproduksi sintesis pemikiran, tentu saja, lewat pendekatan estetik. Dalam
penampakan visual karya-karya Made Toris relatif tidak terlalu “berteriak”
secara frontal, namun dengan modus penyampaian yang cukup kritis namun eufemistik
ala Timur dengan tetap konsisten menampilkan ironi yang dirasa efektif.
Maka berseraklah
idiom-idiom visual yang dipinjam untuk memberi penekanan pada “target ironi”
yang diinginkannya. Idiom tersebut relatif sudah populer dalam kerangka
pemahaman publik sehingga dimungkinkan gampang untuk diserap.
Idiom Visual
Pada belasan karya
Toris, nyaris semuanya “dikunci” dengan satu idiom visual penting yang muncul
pada tiap bentang kanvas, yakni citra tubuh perempuan tanpa busana dengan
gestur tubuh yang dinamis, terutama pada bagian tungkai. Di ujung bawah
tubuh-tubuh itu, di telapak kaki, sosok perempuan tersebut nyaris selalu
mengenakan sepatu hak tinggi (high heel).
Satu-dua ujung bawah tungkai itu mengenakan sepatu boot yang masih tetap memperlihatkan sisi keperempuanan sang
pemakainya. Sementara pada bagian kepala, sebagian besar divisualisasikan samar
atau teraduk dengan cecitraan lain seperti pusaran angin yang terbentuk dari
beragam warna. Atau pemunculan citra kepala satwa, terutama harimau, yang
relatif cukup dominan. Sementara pada beberapa karya lain dikemukakan juga
citra-citra simbolik yang menunjukkan benda-benda konsumsi perempuan seperti
parfum, lipstik, juga sepatu high heel mewah.
Karya-karya Toris ini,
yang bisa saya tangkap, seperti hendak mengemukakan dua hal penting, yakni: pertama, Toris mencoba mempertontonkan
upaya perempuan untuk mereduksi praktik dominasi laki-laki terhadap perempuan
dengan menjadikan sosok perempuan tampil sebagai subyek. Kedua, berseberangan dengan hal pertama, upaya perempuan untuk meraih
kesetaraan gender berikut hak-haknya tidak sedikit didasari oleh hal-hal yang ironis,
seperti mengeksploitasi tubuh sebagai sebuah kekuatan dan dijadikan sebagai
sumber praktik kuasa.
Hal yang berkait
dengan poin pertama, Toris mengeksekusi hampir semua karyanya dengan
menampilkan citra tubuh-tubuh perempuan. Dan simbol-simbol kekuatan dimunculkan
sebagai “aksesoris pendukung” dengan menjumput citra kepala harimau, kepala
banteng atau kepala kijang yang diletakkan pada bagian kepala dari citra tubuh
perempuan. Seolah Toris ingin membilang bahwa sekuat inilah hasrat (passion) tersembunyi yang niscaya
menempel pada diri perempuan. Lihat misalnya pada karya-karya: Hidden Power of Woman, Instinct, Mind
Conqueror, Nightmare, Psycho Intimidation, juga Role Play.
Sementara pada poin
kedua, hal yang berbau kontradiktif diketengahkan oleh Toris sebagai bagian
yang melekat dari isu praktik kuasa tersebut. Di tengah kepungan dominasi budaya
patriarkhi, semangat perempuan untuk memperjuangkan kesetaraan gender banyak dilakukan.
Namun titik ironi muncul di situ. Dan kontradiksilah yang terjadi. Misalnya, praktik
mengekploitasi tubuh perempuan, dan praktik budaya konsumsi yang berlebihan. Ini
dua hal yang melekat satu sama lain. Misalnya kriteria tentang cantik bagi
seorang perempuan yang didefinisikan secara tunggal dan kemudian menjelma
sebagai “momok” yang dominatif meski itu tak secara kentara terlihat.
Misalnya, cantik bagi
seorang perempuan itu dibentuk oleh kriteria dan standar ala Barat: tinggi,
langsing, berkulit putih, leher jenjang, jari lentik, payudara proporsional,
dan sebagainya. Ini sebuah standar yang stereotipe yang juga dikonstruksi dan
dimanfaatkan secara eksploitatif oleh kekuatan lain, yakni pasar atau produsen
barang konsumsi. Maka, pada karya bertajuk The
Affinity dan Stick No Bills terlihat
Toris ingin membincangkan ihwal praktik konsumsi tersebut. Di situ secara
tersamar menyeruak bahwa prinsip-prinsip barang konsumsi telah bergeser
pemanfaatannya, dari “yang dibutuhkan” menjadi “yang diinginkan” sehingga
membawa implikasi pada upaya seleksi atas produk-produk konsumsi tersebut. Dan
ini lambat laun menjadi satu hal yang “ideologis”. Demi pemenuhan atas “yang
diinginkan” tadi maka kemudian praktik konsumsi untuk mengejar stereotipe tentang
cantik justru bisa dibaca sebagai gejala tereduksinya upaya untuk mencari
kesetaraan gender.
Secara umum,
karya-karya Toris kini bergeser secara tematik dari sebelumnya yang masih “mondar-mandir”
pada tema yang beragam. Kali ini lebih fokus dan berisi. Sedang dalam segi visual
Toris memang belum beranjak sangat drastis dari karyanya yang dikreasi 4-5
tahun lalu yang mulai menggagas tentang citra tubuh-tubuh perempuan. Pilihannya
untuk menggabungkan sisi visual yang realitistik dan beradu dengan yang ekspresif
berikut segala macam teknik ciprat, brush stroke dan semacamnya mampu memberi
pengayaan atas perjalanan kreatifnya selama ini. Keteguhannya untuk tetap konsisten
untuk tidak melompat-lompat pada teknik dan pilahan idiom-idiom visual yang
dianggap mutakhir, saya kira, justru mampu memberi perbendaharaan visual pada
karya-karya seni rupa dewasa ini. Bravo, Toris!
Kuss Indarto, kurator seni rupa.