Masdibyo, Facebook, dan Lone Ranger

Oleh Kuss Indarto 



Sosok pelukis Masdibyo bersama karya-karyanya. (foto: koleksi seniman)
Pada akhirnya, hidup itu ditentukan bukan oleh pengetahuan, tapi oleh tindakan. (Thomas Huxley)

MEMAHAMI dinamika pemikiran dan gejolak batin Masdibyo antara lain bisa disimak dari dunia visual kreasinya, karya-karya lukisannya. Ini salah satu representasi yang sangat populer dan lazim tatkala hendak “membedah” seorang perupa atau dalam hal ini pelukis. Dalam karya visual tersebut terdapat dunia gagasan dan dunia bentuk.

Dunia gagasan lebih bertumpu pada aspek rasionalitas dan imajinasi yang memuarakan substansi karya sebagai pokok soal (subject matter) yang ada dalam karya. Dalam rentetan sejarah seni rupa yang telah berlangsung berabad-abad bisa dibaca bahwa dunia gagasan dalam karya seni rupa dapat dimungkinkan sebagai alternatif untuk membaca spirit zaman (zeitgeist), problem dan realitas sosial, sekaligus dunia pemikiran seniman dalam menanggapi beragam perkara pada zamannya. Sementara dunia bentuk lebih menitikberatkan pada aspek ketrampilan teknis dan kreativitas untuk menerjemahkan dunia gagasan yang masih di ranah konsep menuju konkretisasi karya di ranah wadag yang kasat mata. Proses menerjemahkan dari dunia gagasan tersebut tentu saja menuntut kreativitas dan sensibilitas seorang seniman. “Rute estetik” yang diawali dari dunia gagasan hingga menuju dunia bentuk inilah kemudian orang Barat senantiasa memiliki tuntutan kesempurnaan pada 3-H (Head, Heart, Hand): seorang seniman diidealkan mempunyai kecerdasan logika (di kepala, head), peka dalam melihat realitas dan menyaringnya sebagai sumber ide (heart), dan kemudian mengalih-ubah hal-hal yang ada tersebut ke dalam medium seni rupa lewat ketrampilan teknisnya (hand).

Sebagai sebuah kemungkinan, memahami potongan pemikiran seorang seniman melalui karya-karyanya akan berisiko pada reduksi dan bias yang hampir pasti terjadi. Konsep berkarya, artist statement, atau judul karya bisa pula menjadi jendela untuk menelusuri jejak pemikiran sang seniman. Namun itu bisa jadi merupakan sikap formal kesenimanan seseorang, termasuk Masdibyo, yang dimungkinkan “menyembunyikan” sikap lain yang, siapa tahu, lebih “real”.

Kurator(ial) Mbilung dan Tafsirnya

Bertitik berangkat dari realitas ini saya mencoba mencari celah lain untuk memahami kecamuk pemikiran dan dunia batin Masdibyo, yakni lewat jejaring sosial yang sangat populer di dunia, Facebook. Tampaknya Facebook menjadi medium yang sangat dekat, karib, dan representatif untuk meluapkan segenap perasaan dan pemikiran sekian banyak orang, termasuk bagi pribadi Masdibyo. Saya sendiri menjadi friend dengan Masdibyo di Facebook sejak hari Selasa, 7 Desember 2010. Dan sejak itu saya bisa mengintip banyak hal yang menjadi ketertarikan Masdibyo lewat status-status yang ditulisnya, atau lewat foto-foto yang di-upload-nya, juga melalui komentar-komentarnya atas status yang saya buat atau status friend(s) lain.

Dari sini kemudian dua hal yang kontradiktif terlihat bertumbuk satu sama lain: Facebook merupakan derivat dari dunia maya namun bisa dimungkinkan merepresentasikan dunia nyata, atau sebaliknya. Saya hanya bisa mencoba untuk berpikir positif bahwa pada medium dunia maya itu orang atau seniman seperti Masdibyo mencoba menampilkan diri dengan potongan-potongan realitasnya, juga petilan-petilan representasinya.

Facebook tampaknya menjadi sahabat yang baik bagi Masdibyo. Saya cukup kerap menyimak wall-nya baik sengaja atau tidak dan beroleh kesan bahwa ternyata seniman lulusan Jurusan Seni Rupa IKIP (sekarang Universitas Negeri Surabaya, UNESA) ini relatif sangat produktif melansir status, foto, komentar balik, dan sebagainya. Ada kalanya dalam satu hari (24 jam) dia bisa mengeluarkan 10 status, bahkan lebih, plus meng-upload foto-foto berikut catatan kecil yang serupa status. Dalam sebulan yang 28 hingga 31 hari Masdibyo mampu “memproduksi” ratusan status. Sebagai Facebooker atau pengguna Facebook, tentu seniman ini bisa dibilang sangat aktif dan produktif.

Dari sekian banyak status dan teks foto yang di-share di-wall-nya, saya mencoba mengumpulkan secara random 100 buah sebagai contoh kasus untuk diamati. Dari jumlah itu, di-upload pada tahun 2011 dan 2012 dan hampir 60% di antaranya saya pilih yang berkait dengan dunia seni rupa. Selebihnya merupakan status berisi komentar Masdibyo tentang keluarga, keadaan politik kontemporer, agama, dan sekian banyak persoalan lain.

Hal menonjol dari status-statusnya tentang persoalan seni rupa adalah sikap dan opininya tentang sepak terjang sosok kurator seni rupa. Di bawah ini ada lima (5) kutipan status Masdibyo:

kepada ytc.
Kritikus seni rupa
Indonesia,

Dengan hormat,
Bersama ini saya sarankan anda pensiun saja menikmati sakit hati, ato meleburkan diri menjadi calo/pelacur seni sekalian, sebab jamannya sudah berubah, sekarang ini jamannya jaman pesta para Calo Seni yg dikemas dengan merk KURATOR. Berminat?? Bergabunglah dengan mereka, dan selamat menikmati pesta .
Hormat saya,

m a s d i b y o

(June 28, 2011)

Ada yg sms aku:
"masdibyo, kok berani mengkritisi situasi seni rupa saat ini apa ga takut disirik/dibenci KURATOR?"
Kujawab:
"KURATOR bener tak mungkin membenciku, justru makin akrab, sbb kita sama2 punya tanggungjawab jaga WIBAWA SENIRUPA, tak sekedar cari untung dari seni rupa, kalo yg membenci KURATOR yg lakukan praktek2 penipuan macam itu, ngapain takut? Kalo perlu ANTEM-ANTEMAN PISAN GELEM AKU MAS!!
Top of Form

"mas, sampeyan itu kok antipati banget se ama kurator Mbilung ,, dia itu doktor lho!"
"MESKI DOKTOR, KALO DISEMATKAN PADA MBILUNG, YA TETAP SAJA "DOKTOR MBILUNG", DANCUK!! SAMPEYAN KI, SULIT JADI PELUKIS SAMA JADI KURATOR ITU!! JADINYA DOKTOR KAN KARENA TUNTUTAN/KEHARUSAN DARI WILAYAH KERJANYA, GELARNYA ITU CUMA UNTUK PRESTIS ATAS BIAYA UANG RAKYAT!! KALO SETELAH JADI DOKTOR LANTAS KEMETHAK GITU ITU,, AKU LEBIH MENGHARGAI GIMAN SI PETANI UTUN ITU MAS !!"
"repot omong sama masdibyo"
"REPOT EMANG, SAMPEYAN SE,,, TEMA PERTANYAANNYA TENTANG MBILUNG, DANCUK!!"
"ya wis,,, ya wis,, ngobrol liyane,,, hahahaha…”

Top of Form(December 5, 2011)

"Seni lukis Indonesia mulai th 2000an, secara kuantitas luar biasa, tapi kualitas tidak. Hal ini terjadi justru karena maraknya sistem kuratorial"
"ANDA KOK TAHU??"
"Saya menyukai karya2 pelukis Indonesia, dan mulai mengoleksi th 1993 sampe lukisan terakhir yg saya beli karya Made Jirna 1999 dan Putu Sutawijaya 2004, setelah itu lelang di Indonesia rame, beberapa kali saya datang, tapi setelah itu tidak lagi, karena permainannya nampak sekali, saya tak mau terjebak ke dalam permainan mereka."
"BAGAIMANA DENGAN KARYA PERUPA INDONESIA SEKARANG??"
"Saya memilih mengoleksi karya perupa muda China, orisinalitasnya terjaga dan saya bisa memilih langsung ke studionya, perupa Indonesia susah karena mereka sudah menjadi karyawan galeri"
"SAYA TIDAK,,,"
"Saya punya satu karya anda, dapat dari lelang Balindo th 1998, ada sertifikatnya lucu, saya suka, kapan anda Pameran saya diundang".

Lalu dia memberiku kartu nama, dia kolektor dari Singapura yg sangat tidak suka dengan buih2 kurator Indonesia . Hmmmmm,,,, TERNYATA MASIH ADA. Kepada teman2 yg tak masuk dalam lingkaran itu JANGAN KECIL HATI YA??? Ayo terus berkarya!!!
Top of Form

(November 22, 2011)

PAMERAN ITU SEBUAH PERTANGGUNGJAWABAN KEPADA PUBLIK, JADI TEMA HRUS JELAS DAN HARUS ADA KURATORIAL!!
Preeeeett pret epret epreeeeeet,,
Publik yg mana maaas??? Tanggungjawab sama penyelenggara itu ta!! Publik ga pernah peduli sampeyan mau mamerkan apa!! Kalo bagus diliat, kalo jelek ga direken!! Gitu aja,,, publik ga kakean cangkem kaya sampeyan iku!!

(Top of FormSeptember 10, 2011)

Lima status Facebook Masdibyo tersebut bisa memberi potongan pemahaman pada pembacanya atas sikap personal dan kesenimanannya terhadap sosok kurator seni rupa. Sikap itu berupa penolakan sekaligus resistensi atas kehadiran kurator dalam praktik kreatif seni rupa. Bahkan kalau menyimak statusnya yang bertanggal 5 Desember 2011 nampak sekali bahwa penolakan itu sudah menjurus sebagai sebuah “serangan personal” tertentu (karena telah menyebut atribusi yang cukup definitif) yang barangkali sudah menjadi rahasia umum di Jawa Timur tempat seniman ini menetap. Namun status-status tersebut bisa pula ditanggapi sebagai sebuah kritik konstruktif bagi para kurator seni rupa yang barangkali gagasan-gagasannya tentang praktik dan peran kurator(ial) kurang terbumikan dengan baik dan memadai di sini, setidaknya pada telinga Masdibyo, sehingga muncul respons yang cukup negatif.

Kasus semacam ini tentu bukan yang pertama, dan kemungkinan masih juga terjadi hingga sekarang. Banyak perhelatan seni rupa yang memakai bingkai kuratorial dan bersifat kompetitif nyaris selalu direaksi oleh publik seni rupa sendiri dengan pandangan minor berbau penolakan. Seolah hadirnya kurator dan bingkai kuratorial yang ditawarkan dengan serta-merta hendak menjadi “algojo” yang sewenang-wenang meminggirkan (kelompok) seniman tertentu dan memunculkan (kelompok) seniman tertentu lainnya berlandaskan kedekatan emosional, kelekatan sosial, jaring-jaring koncoisme dan sebagainya. Dugaan adanya praktik nepotisme hampir selalu menjadi titik dasar persoalan dalam praktik kerja kurator(ial).

Asumsi ini tentu cenderung cukup menyesatkan, meski tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Minimalnya upaya mediasi serta sosialisasi akan pentingnya kurator berikut bingkai kuratorial dalam tiap perhelatan seni rupalah yang menjadi kunci atas asumsi-asumsi miring tersebut. Selama ini pemahaman atas praktik kerja kuratorial seolah sekadar dipahami sebagai EO (event organizer) seni rupa yang berorientasi sempit seperti hanya mengarah ke upaya komersialisasi seni(man) semata, atau kerja-kerja parsial sebatas menyeleksi karya pameran, bahkan diasumsikan hanya sebatas menulis kata pengantar dalam katalogus pameran.

Padahal, praktik kerja yang selalu diupayakan dibangun oleh kurator adalah mencoba membuat disain pameran secara komprehensif. Dalam disain ini seorang kurator menentukan intellectual framework (kerangka kerja intelektual), yakni gagasan dan basis pemikiran yang menjadi titik berangkat untuk memproyeksikan pameran terhadap target yang akan dituju. Intellectual framework itu berasal dari dua kemungkinan.

Pertama, berangkat dari riset, survei atau pembacaan kurator tentang tema dan problem tertentu (sosial, politik, budaya dan sebagainya) yang kemudian diimajinasikan untuk diturunkan (derivasikan) dalam praktik kerja visual seniman. Dari sinilah kemudian kurator memiliki hak sepenuhnya untuk memilih karya seni atau seniman yang sesuai dengan intellectual framework. Dalam tahap ini sangat dimungkinkan kurator menyeleksi karya yang tidak sekadar indah dan bagus dengan parameter estetik saja, melainkan juga menempatkan karya yang menarik sebagai subyek untuk menyuarakan persoalan tertentu. Teks visual diberi konteks persoalan. Atau dalam istilah Direktur Apexart-Curatorial Program, New York, Steven Rand (2002), dikatakan bahwa: “Seseorang bisa menunjukkan seniman dan karya seninya, sedang kurator (mestinya) bisa menunjukkan karya seni dan konteksnya”. Dalam level ini, pemahaman kurator terhadap teori dan sejarah seni, karya yang artistik, berikut kemampuannya dalam displaying karya diasumsikan telah cukup paripurna.

Kemungkinan kedua, berasal dari artifak karya seni yang sudah ada atau tersedia dengan kecenderungan tertentu untuk kemudian dibaca ulang oleh kurator dengan beragam kemungkinan modus, sistem dan perspektif pembacaannya. Pada titik inilah kreativitas seorang kurator diuji untuk lebih jauh menggaungkan artifak karya seni tersebut. Upaya membongkar dan menyubversi sistem (pe)makna(an) yang telah menjadi mainstream atas karya tersebut sangat dimungkinkan terjadi. Misalnya eksposisi tubuh-tubuh dan potret diri dalam kanvas-kanvas Masdibyo, tidak lagi hanya bisa sebagai sebungkah praktik narsisisme, melainkan dapat juga dikerangkai secara konseptual sebagai subyek perlawanan terhadap dominasi praktik kuasa konsumsi. Belum lagi ihwal pemajangan karya yang dilakukan tidak di galeri melainkan di kafe atau hotel berbintang, misalnya, dimungkinkan akan mampu menciptakan ruang diskursif yang lebih kompleks dan kaya.

Dalam proses implementasi atas modus kuratorial seperti ini, kurator tidak secara arbitrer (sewenang-wenang) melakukan kerja kuratorialnya, tetapi tetap mengedepankan seniman sebagai pokok soal (subject matter) dan sumber utama gagasan. Dengan demikian pola kerja yang simbiose mutualistik kurator-perupa menjadi agenda terdepan. Proses komunikasi yang intens dan setara menjadi lebih penting – seperti diungkapkan oleh kurator Whitney Museum, AS, Lawrence Rinder (2002) –ketimbang bekal teori yang dipahami oleh kurator dari buku yang tidak akan banyak berguna tanpa inisiatif untuk terus-menerus melihat karya seni dan peka melihat ruang-ruang baru yang spesifik. Di sinilah ada titik temu yang relevan dari pandangan kurator Judith Tannenbaum yang memberi penegasan bahwa tiap pameran perlu nyali dari sang kuratornya untuk menghadirkan garis kuratorial yang penuh nilai curiosity, contradiction, collaboration, and challenge (dalam tulisan “C is for Contemporary Art Curator”, Art Journal, 1994). Curiosity (rasa ingin tahu) mengandaikan kegelisahan kurator untuk mendalami lebih lanjut karya dan praktik kerja seniman; contradiction (kontradiksi) mengandaikan pentingnya membenturkan nilai kontras antara yang mainstream dan yang hidden (tersembunyi), yang beredar dalam praksis dan teori; collaboration (kolaborasi) mengandaikan kerja kuratorial merupakan praktik kerja yang disemangati oleh praktik kolaborasi yang egaliter; dan challenge (tantangan) yang mengandaikan pentingnya progres yang dinamis sebagai sebuah tantangan utama.

Dari cara dan praktik kerja kuratorial yang mutualistik dan didasarkan riset yang komprehensif, maka kehadiran perupa terkenal dalam pameran bukanlah menjadi alat ukur utama keberhasilan sebuah pameran. Reputasi perupa peserta dalam perhelatan seni rupa bukannya tidak penting, tetapi hal yang jauh lebih signifikan adalah peran kurator dalam memfokuskan melihat karya-karya yang dikreasi seniman dan menempatkan konteks-konteks karya itu ke dalam ruang-ruang pemahaman sosial, politik, dan budaya secara lebih luas dan progresif. Dari sinilah dimungkinkan kerja kuratorial akan secara otomatis berimbas pada pemunculan nama-nama perupa baru dalam gelanggang pemetaan yang lebih tinggi. Maka akan mengemukalah the new rising stars. Ini menjadi pola konstruksi yang dapat disadari akan terjadi dalam pameran dengan intellectual framework yang baik berikut garis implementasinya di lapangan.

Sehingga, kalau pada sebuah pameran yang bersifat kompetitif semisal biennale memunculkan nama-nama perupa yang tak memiliki garis reputasi yang jelas, kecurigaan dan dugaan adanya praktik nepotisme bisa dipenggal oleh pertanyaan yang lebih konseptual terhadap garis gagasan kuratorial seperti apa dan target kultural bagaimana yang memungkinkan mencomot perupa dengan reputasi “yang tidak jelas” itu. Di sinilah titik tanggung jawab kurator dipertaruhkan. Inilah sedikit keterangan tentang garis kerja seorang kurator dan praktik kerja kuratorial yang tampaknya belum termediasikan dengan baik sehingga bias di lapangan, seperti yang barangkali dilihat sekilas oleh Masdibyo.

Seniman Penindas dan “Artisan”

Kembali kepada status-status Masdibyo dalam di wall Facebook-nya, saya memperoleh beragam informasi dan “sikap politik” seniman ini dengan lebih kaya lewat cara ungkap yang informal dan sulit didapatkan dalam katalog-katalog pamerannya yang biasanya cenderung resmi, kaku dan tak mengulik berbagai sisi persoalan tertentu dengan emosi yang hangat bahkan meledak-ledak. Sebaliknya, dalam status di Facebook Masdibyo bisa dengan lugas dan sinis melakukan kritik serta sesekali menyisipkan gairah humornya.

Selain sosok kurator yang banyak diserangnya, Masdibyo juga “menyerang” dengan sinis seniman atau kelompok seniman yang praktik artistiknya dianggap telah masuk dalam perangkap industrial yang mengedepankan aspek produksi dan mengabaikan etika pola kreatif seniman yang “adiluhung”, yakni mengandalkan tangan dan kemampuan sendiri sebagai “alat produksi” karya seni. Simaklah dua contoh statusnya tentang hal ini:

Pelukis sekarang banyak yang jadi PENINDAS!! Maksudnya: obyek yg mau dilukis di-PRINT di kanvas, lalu DITINDAS dengan cat. Panteeeees bocah durung iso sisi lukisan realise kok maut-maut tenan,,,, diamput, ketipu aku. Hehe,,,,, www.ndomblong.co.id


"karya digital itu termasuk apa mas??"
"PRAKARYA"
"kerajianan?"
"BUKAN, PRAKARYA!!"
"masudnya?"
"SEBELUM SENIMANNYA BERKARYA, GAMBARNYA SUDAH JADI DULUAN"
"lho,,, tapi itu kan hasil kreatifitas, itu sebelum gambar ada dipikir dulu itu mas,,,"
"IYA,,, TUKANG BECAKPUN JUGA BERPIKIR LHO, UNTUK AGAR CEPAT SAMPE TUJUAN DAN SEGERA DAPAT DUIT DIA KREATIFITASNYA JUGA JALAN, LEWAT JALAN TEMBUS MANA".
"hahahahaha,,,, hebat de masdibyo".
"LHO,, BARU TAU TA?? KALO GA HEBAT LUKISANKU GA MAHAL MAS!!! DANCUK SAMPEAN KI, PURA-PURA GA NGERTI YA??? "
dia klejingan lalu merangkulku.

Top of For

\



(January 22, 2012)

Dua status di atas bisa dijadikan tengara untuk menyimak pemikiran Masdibyo yang tampaknya masih tegas menolak praktik penciptaan karya seni dengan melibatkan pendekatan dan semangat masinal dalam kreativitasnya. Baginya, kerja kreatif seorang perupa ya sepenuhnya bergelut dengan 3-H (Head, Heart, Hand) seperti diidealkan dalam konsep praktik kreatif seniman di Barat. Dan ketika seniman telah “memotong” salah satu prosedur kreatif dengan meniadakan atau mereduksi ketrampilan teknisnya maka kekomplitannya sebagai seniman akan terkurangi. Bukan atau belum sepenuhnya sebagai seniman.

Fenomena “artisan” (seniman pekerja yang membantu kerja teknis “seniman yang sesungguhnya”) dan “pelukis penindas” hingga lukisan “prakarya” seperti yang dipermasalahkan Masdibyo itu cukup merebak dewasa ini. Dalam dunia seni rupa kontemporer yang secara definitif belum benar-benar tuntas mengamini adagium penting yang kontroversial, yakni “anything goes”, apapun bisa. Adagium ini memberi jendela pemahaman bahwa batas-batas dan pengkotakan-pengkotakan yang ada dalam seni rupa modern(isme) telah cair dan melebur dalam praktik penciptaan seni rupa yang tanpa batas yang jelas dan tegas. Istilah seperti aliran dekoratif, abstrakisme, naturalisme dan semacamnya telah dianggap cukup sesak dan kurang memadai untuk memberi “kurungan” kreativitas seniman atau perupa yang selalu berusaha menciptakan “another form of art” yang baru dan meluas.

Implikasi dari “ideology of anything goes” muncul dalam praktik kerja seniman yang diresahkan oleh Masdibyo. Ada seniman durung iso sisi (belum bisa buang ingus) tapi ternyata lukisan realise kok maut-maut tenan (lukisan dengan pendekatan realismenya kok bagus sekali), dan ternyata Masdibyo terkecoh karena seniman “pengecoh” itu hanya melakukan re-touch atas image foto yang dicetak secara digital (digital printing) dalam kanvas berukuran besar. Diamput, ketipu aku, umpat Masdibyo. Implikasi semacam ini kurang lebih hadir dari perluasan pemahaman bahwa cakupan kerja seorang seniman sekarang bisa saja sekadar dari kemampuannya dalam mengolah dunia gagasannya saja dan kemudian pada penerjemahannya di ranah dunia bentuk ditransfer atau dibantu oleh perangkat teknologis dan atau pekerja seni lainnya dalam kapasitas sebagai “artisan”.

Dalam jagad seni rupa di Indonesia dewasa ini praktik semacam itu sebenarnya sudah mulai lazim dilakukan. Untuk kawasan Yogyakarta dan sekitarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa seniman seperti Deddy PAW melakukan re-touch atas digital printing dari karya-karya fotografinya yang memang artistik. Belum lagi seniman-seniman lain. Juga tak sedikit perupa yang mempekerjakan “artisan” sebagai asisten penting untuk mengeksekusi gagasan artistiknya dengan berbagai medium. Misalnya perupa Rudi Mantofani sempat dibantu oleh Ahmad Syahbandi untuk menyelesaikan lukisan-lukisannya. K.P. Sancoko dibantu oleh Oskar Matano, S. Teddy D. dibantu oleh Khadafi. Patung-patung karya Budi Kustarto beberapa dibantu pengerjaannya oleh Wilman Syahnur yang belakangan menjadi seniman yang mandiri. Karya-karya tiga dimensi berbahan cor aluminium karya Entang Wiharso atau beberapa karya Titarubi, Mella Jaarsma dan seniman papan atas lainnya dikerjakan di studio Ichwan Noor di bukit Sempu, Yogyakarta. Karya-karya Heddy Hariyanto sempat dikerjakan oleh Ambrosius Eddy “Gundul”. Karya-karya 3 dimensi Ivan Sagito dan Heri Dono sedikit banyak dibantu penyelesaiannya oleh Slamet Klintho, dan masih banyak lagi. Ini tak jauh beda dengan salah satu perupa papan atas China sekarang, Yue Min Jun, yang mau tak mau meminta bantuan sekian banyak “artisan” di studio besarnya untuk memenuhi target berpameran tunggal atau memenuhi undangan di perhelatan penting seni rupa di berbagai kota di dunia dalam rentang waktu yang berdekatan.

Praktik-praktik semacam yang dikritisi Masdibyo, entah itu “seniman penindas” atau “seniman artisan”, memang sah dan tampaknya “dibenarkan” oleh sejarah. Namun bukan berarti itu tak ada risiko yang mengikutinya. Antara lain dari perspektif pasar. Ada sekelompok pencinta seni yang dianggap konservatif yang tetap mengedepankan pemahaman dasarnya bahwa karya seni rupa itu diciptakan sepenuhnya oleh sang seniman bersangkutan, dari hulu hingga hilir, tanpa sentuhan tangan pihak atau alat lain. Inilah yang mulai “berjarak” dengan seniman yang “meminjam tangan”. Sementara yang lain tetap berasumsi bahwa seniman bekerja di tahap gagasan sementara eksekusinya bisa dibantu oleh orang atau alat lain. “Pertarungan” dan gesekan antar-keduanya pasti ada dengan membopong argumentasi dan pengaruh masing-masing.

Kepongahan dan Spirit Kesenimanan

Di antara berbagai problem dalam seni rupa yang menerbitkan cercah keresahan, Masdibyo sesekali sengaja membagi kisah-kisah suksesnya yang bisa jadi tidak banyak dialami oleh pelukis lain, apalagi yang berproses dan bermukim di luar “pusat-pusat” seni rupa Indonesia, seperti Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta. Kisah-kisah sukses itu ketika dibaca oleh pihak lain bisa saja ditangkap sebagai ungkapan narsisisme atau semacam kecenderungan psikologis bagi seseorang untuk memuja dan menonjolkan dirinya. Dalam dunia maya khususnya di “blantika” Facebook, gejala narsisisme serupa ini telah sangat lazim. Facebooker men-share deretan album foto yang tengah berpose di antara bintang selebritas, mejeng di landmark tertentu saat piknik di luar negeri, atau mempertontonkan secuil representasi kepemilikan material-properti, dan sebagainya. Semua itu telah menjadi “penyakit kolektif” yang dirayakan bersama-sama. Tidak saja di Indonesia namun Facebooker di setiap sudut dunia yang lain ternyata juga mempraktikkannya.

Masdibyo juga tak luput melakukan narsisisme tersebut. Saya bisa ambilkan 4 status yang pernah di-posting dan saya ambil secara acak:

"Mas, jauh2 dari jakarta cuma untuk lukisannya masdibyo lho,,, Ini tadi kupikir dari bandara ga jauh, ternyata dua jam lebih lho,,, dikasih ya tiga lukisan sekian,,, bajetku cuma ada sekian lho mas,,, plis dong,,,"
"GENGSI AH,, MOSOK SEORANG HENKY KURNIAWAN NAWAR??? GINI AJA DE,,, YANG ADA ITU DITRANSFER SEKARANG,, SISANYA SETELAH LUKISAN KUKIRIM, OK???"
"Tega de Masdibyo,,, kalo bukan karena istri hamil yg minta aku ga belain lho mas,,,"
"NAAAAAAH,, JUSTRU KARENA Si BABY YG MINTA ITU MESTINYA GENGSI DONG,,, BIAR PUTRANYA KELAK PUNYA GENGSI & SELERA YG BAIK".
"gitu ya???"
"YA IYA LAAAAAAAAAH"
"ya udah,, gini aja besok selasa aku transfer, aku dikasih bonus yg item-putih itu, kubawae sekarang ".

hahahahahahahaha,,, akhirnya,,,


Beli lukisanku 50 juta dicicil 3X.
ketika aku ke rumahnya,
kuliat digarasinya ga ada mobil
kecuali Avanza lama yang dipake,
"yaaaah, orang kecil kan juga boleh punya selera seni yang bagus kan mas???"
...Bilangnya ke aku sambil pandangi lukisan, kakinya
selonjor ke meja, dan kedua tangannya dilipat ke belakang kepalanya.
aku terdiam kagum sambil memandanginya,
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Beginilah penggemar lukisanku
murni dari hati,
bukan dari pasang telinga
lantaran kebohongan yg diciptakan
para kapitalis yg tak pernah
merasa cukup, yang didukung
oleh kurap-kurap penjilatnya.


"Masdibyo, kalo diajak pameran kolektornya diundang dong,,"
"LHOOO, KALO AKU... MAU IKUT AJAKAN ANDA INI,, TUJUAN SAYA MENJARING KOLEKTOR BARU, KAN PERCUMA AKU IKUT KALO GA NAMBAH ORANG TUA ANGKAT UNTUK KARYA SAYA”.
"yaaa, siapa tau bisa beli karya pelukis yg lain".
"WANI PIRO?? "
hahahahaha,,,,, kamipun tertawa sambil nyruput wedang jahe Semarang sembari nunggu pesawat yg mau bawa dia balik ke Jkt.


Pesen lukisan sejak tgl 9 Maret 1996, baru kuselesaikan tgl 11 Januari 2012!!!
Hahahahahaha,,,,, ga marah, tapi justru senang ,,, dan uniknya, dinding yg disiapkan untuk lukisanku dibiarkan kosong selama 16 th!!
Begitulah,, kolektorpun ternyata ga kalah gendeng ama pelukisnya,,,
Ketika kutanya:
"Kok ga ngamuk pak??? Juga ga pernah mengingatkan???"
Jawabnya: "Ngapain ngamuk?? Ngapain harus ngingatkan??? Berarti lukisan2 Masdibyo sebelum2nya memang belum pantas jadi koleksi saya,,,"
dancuk!! Cerdas juga jawabnya. Hahahahahahaha,,,,


Status-status di atas dengan cukup jelas mempertontonkan sebuah relasi psikologis yang karib antara Masdibyo sebagai seniman dan para pencinta seni atau kolektor sebagai apresian atau konsumen karya-karyanya. Pada status pertama secara jelas tertunjukkan bahwa (calon) kolektornya adalah Henky Kurniawan, seorang bintang sinetron muda asal Jawa Timur yang pernah menjalin cinta dengan penyanyi dan pesinetron imut Bunga Citra Lestari (BCL).

Dari narasi singkat itu pembaca, setidaknya saya, bisa menjumput fakta kecil bahwa (1) Ada dugaan bahwa jaringan pasar atas karya-karya lukis Masdibyo cukup meluas dan tidak terkungkung pada lingkup pencinta seni yang selama ini beredar dari galeri ke galeri yang ada di Jakarta atau kota lain. Lalu, (2) Ada praduga bahwa jejaring pasar seni rupa yang banyak bergerak di antara galeri, rumah lelang dang geng-geng kolektor tertentu tampaknya tak banyak berlaku pada diri Masdibyo. Seniman yang pernah menjadi Finalis Kompetisi Philip Morris Art Award tahun 1996 dan Finalis Kompetisi Indofood Art Award tahun 2003 ini sepertinya telah sedikit demi sedikit menciptakan jaringan pasar tersendiri yang berbeda dengan kebanyakan seniman lain yang sangat bergantung dengan galeri komersial.

Fakta itu relatif makin terjelaskan dengan 3 status di bawahnya. Ada kolektor karyanya yang mengoleksi dengan membayar secara angsuran sebanyak 3 kali hingga lunas Rp 50.000.000,-. Status ini seolah memberi pesan bahwa untuk seorang kolektor seni rupa sejati, bukan kolekdol (mengoleksi karya lalu di-dol, dijual kembali saat harga melambung), Masdibyo tak segan-segan melakukan kompromi dalam transaksi, yakni bisa melepas karya dengan cara dikredit. Dengan menjadikan modus transaksional semacam ini sebagai status di Facebook, secara sadar seniman kelahiran Pacitan, 7 September 1962 ini seperti membagi trik-triknya dalam berbisnis karya seni. Kiranya tak banyak seniman bisa dengan terbuka melakukan hal ini, entah karena problem etik bahwa hal ini terlalu personal sifatnya, atau tak mau dibaca oleh orang lain dalam perspektif berbeda, misalnya hal ini sebagai bentuk narsisisme dan kepongahan pribadi. Atau kemungkinan lain bahwa Masdibyo membeberkan fakta-fakta itu karena senyatanya ada, sementara beberapa seniman lain sulit mengungkapkan banyak hal karena belum memiliki fakta yang bisa di-share ke khalayak. Fakta-fakta tentang relasi Masdibyo dalam dunia pengoleksian karya seni rupa tampak tersurat dalam dua status di bawahnya, tentu dengan varian berbeda.

Lone Ranger dan Ketakutan Keledai

Akhirnya, dengan menyimak sekian banyak status yang terpampang di wall Facebook-nya, publik—setidaknya yang menjadi friend dengannya—dapat sedikit banyak mengonstruksi tafsir tentang sosok seniman yang telah menunaikan ibadah haji tahun 2007 ini. Namun demikian konstruksi tersebut bisa dimungkinkan memiliki kelemahan bila diasumsikan sebagai satu-satunya alat baca atas dinamika pemikiran dan gejolak batin Masdibyo. Apalagi kemudian menjadi alat utama untuk memberi kesimpulan karena dalam status Facebook tidak diperoleh pemikiran yang sangat tuntas, namun baru perca-perca serupa sketsa pemikiran semata. Masdibyo sendiri juga nyaris tidak/belum melansir gagasan yang tuntas lewat fasilitas “Notes” yang menjadi salah satu fitur dalam jejaring sosial yang sudah memiliki account pengguna sejumlah 800 juta itu. Namun jelas bahwa status-status itu sama sekali tak bisa diabaikan sebagai sebuah kemungkinan rangkaian fakta-fakta yang ditekstualisasikan secara sederhana.

Salah satu status yang diduga bisa menjadi representasi sosok seniman Masdibyo adalah status yang di-share awal-awal tahun 2012 ini sebagai berikut:

melawan mafia seni rupa
S . E . N . D . I . R . I . A . N
sebab mayoritas perupa negeri ini pada jadi
K . E . L . E . D . A . I
Sementara yg lain pasrah, membiarkan dirinya tumbang oleh ketakutannya sendiri.

(January 6, 2012)

Status ini seperti amarah yang menggumpal terhadap komunitas yang berada di sekitarnya. Namun secara tersirat juga sekaligus dapat dibaca sebagai sebuah ajakan untuk melakukan resistensi terhadap praktik mafia dalam seni rupa di sekitarnya. Saya kurang tahu persis apakah pernah ada rasa sakit hati yang lalu melahirkan kesumat begitu dalam pada diri Masdibyo terhadap pihak lain yang telah merugikannya.

Praktik mafia seperti yang diduga Masdibyo itu bisa jadi yang membuat dirinya gelisah. Mungkin juga marah. Ada dugaan kuatnya politik kesenian yang dimainkan oleh para mafia tersebut kemudian menenggelamkan eksistensi ayah dari tiga putri yang mulai beranjak dewasa ini. Ruang-ruang geraknya terbatas dan dibatasi sehingga upaya unjuk kreativitasnya terkurangi. Dari secuil data bisa diduga mengarah ke sana. Misalnya, dari 37 kali pameran tunggal yang pernah dilakukan oleh Masdibyo dalam rentang waktu 1987-2008 (21 tahun), hanya 5 kali dilakukan di galeri komersial. Selebihnya dihelat di hotel atau venue seni budaya non-komersial. Ini bisa menjadi tengara bahwa jangan-jangan Masdibyo sengaja melakukan resistensi terhadap praktik mafia dalam seni rupa, atau justru telah sejak awal dipinggirkan sehingga tak memiliki ruang mediasi di venue-venue seni yang bertendensi kepada pasar itu.

Namun kalau kemudian dia mampu mengatasi problem itu hingga secara finansial bisa dikayakan oleh hasil kreativtas seni rupanya, maka hal yang perlu diketahui adalah, dalam jaringan kerja seperti apa Masdibyo banyak bergerak? Publik seni rupa tentu sangat paham bahwa dewasa ini seorang seniman selalu bisa memiliki pencapaian ekonomi-finansial yang memadai dan eksistensi personal sebagai seniman kalau dia masuk dalam jejaring kerja yang dibawa oleh galeri komersial atau sejenisnya. Masdibyo tampaknya absen dari hingar-bingar jejaring kerja dan pasar mainstream yang ada di pasar seni rupa Indonesia. Ketika ramai-ramainya booming seni rupa 2006-2008 lalu, bahkan dalam biodata tidak tercatat ada agenda pameran kolektif yang diikutinya. Namun pameran tungalnya di Hotel Nikko, Jakarta tahun 2008 bertajuk "Di atas Langit Ada Langit” dikatakannya telah menangguk kesuksesan besar dalam aspek market. Kalau fakta itu benar, kiranya ini salah satu titik anomali dalam seni rupa di Indonesia. Jejaring kerja dan jejaring pasar telah dibangunnya sendiri dengan modus yang berlainan dengan kebanyakan seniman lain.

Kondisi ini menarik meski kemudian berisiko bagi keberadaan dan eksistensi Masdibyo. Dalam praktik wacana seni rupa, namanya kurang banyak disebut dan terucapkan di altar level atas. Ini bisa jadi cukup meresahkan, bukan karena namanya tak tercatat, namun lebih karena kuatnya cengkeraman para mafia seni yang memungkinkan adanya praktik politisasi seni yang bisa merugikan bangunan seni rupa itu sendiri secara umum dan jangka panjang. Ada kesadaran atas praktik seperti itu, dan Masdibyo seperti berupaya melawan untuk tak menjadi deretan keledai seperti lainnya.

Apakah seniman yang pernah menjadi kandidat Bupati kabupaten Pacitan ini akan tetap bertahan dengan jalan pilihannya menjadi lone ranger yang konsisten membangun citra dirinya? Dengan segala kepongahan, narsisisme dan kelemahannya, kiranya masih ada beberapa nilai lebih dan positif Masdibyo yang bisa dirunut untuk dijadikan cermin bagi para seniman lain untuk berbuat. Benarlah kalimat Thomas Huxley di awal tulisan ini. Ayo, Masdibyo dan seniman lain, bertindaklah, berbuatlah, action-lah untuk dunia yang jadi pilihan hidup dan menghidupimu! ***

Kuss Indarto, kritikus dan kurator seni rupa. Editor in chief situs www.indonesiaartnews.or.id

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?