“Post-Techno”, Kehendak untuk Melampaui Teknologi
Oleh Kuss Indarto
(Catatan ini telah dimuat dalam katalog pameran seni rupa "Post-Techno". Pameran ini berlangsung di GO Art Space, Surabaya, Juni 2012)
[satu]: Teknologi dan Kreasi Artistik
MEREKA datang dari
ketinggian antara 700 hingga 1.100 meter, dari kawasan sejuk yang dikepung oleh
gunung Panderman (2020 m), dan gegunung lain yang lebih jauh jaraknya: gunung
Anjasmoro (2.277 m), gunung Arjuno (3.339 m), gunung Kawi (2.652 m), gunung
Welirang (2.156 m), dan gunung Banyak. Ya, di kota Batu yang berimpitan dengan
kota Malang, seniman Abdul Rokhim, Andri Suhelmi Soeid, Djoeari Soebardja, Isa
Ansory, Suwandi Waeng, Watoni, dan Zhirenk, menetap, berproses kreatif, serta terus
menghidupi jalan keseniannya bertahun-tahun. Hingga kini. Hingga pada jaman
ketika teknologi menjadi aura penting dalam tiap tarikan nafas keseharian semua
orang—tak terkecuali di Indonesia, tak terkecuali juga yang banyak dialami
orang-orang di kawasan Batu.
Para seniman ini “turun
gunung” untuk mengabarkan banyak hal yang berkait dengan problem teknologi,
sebuah pokok soal yang memberi basis pijakan sehingga peristiwa pameran
kelompok ini ditengarai dengan tajuk kuratorial “Post-Techno”. Tema “Post-Techno”
dipilih dan dimaksudkan sebagai sebuah sikap, cara pandang, dan opini para
seniman ini dalam melihat maraknya perkembangan teknologi di lingkungannya.
“Post-Techno” bisa disederhanakan sebagai “pasca-teknologi”, yakni upaya psikologis
dari individu untuk melampaui problem teknologi (dengan segenap kelebihan dan
kekurangannya, keuntungan dan kerugiannya) dalam bersiasat demi menghadapi
jeratan perkembangan teknologi.
Sebagaimana diketahui,
teknologi adalah suatu kreasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari manusia sebagai makhluk yang mampu melepaskan diri dari
ketergantungan terhadap insting atau naluri atau dorongan dasar (basic drive). Tentu berbeda dengan
binatang yang menyandarkan perilaku dan hidupnya pada kekuatan insting, maka
manusia menggunakan otak dan nalarnya dalam merancang dan mencapai tujuan
sehingga teknologi yang berkembang dalam peradaban manusia pun merupakan hasil
pembelajaran serta kemampuannya dalam membangun dan menentukan sistematika bernalarnya
yang pada akhirnya menjadi salah satu unsur dari peradaban dan kebudayaan
universal.
Pencapaian dan
perkembangan teknologi itu sendiri—sebagaimana yang bisa ditemui dan dialami
dewasa ini—sebenarnya telah mengalami suatu proses evolusi yang teramat
panjang. Teknologi merupakan gugusan akumulasi dari pembelajaran manusia pada
masa sebelumnya yang terus dicoba untuk disempurnakan. Perkembangan dan
percepatan teknologi tersebut—seperti yang dicatat oleh Alfathri Adlin (dalam Lifestyle Extacy: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia, 2001)—secara umum dibagi ke dalam beberapa
fase, yaitu (1) fase penggunaan otot,
yang telah berlangsung pada kisaran satu juta tahun lalu, serta menghasilkan
alat bantu berupa batu, palu, tombak, busur, dan lainnya. Berikutnya (2) fase penggunaan binatang, budak, air, juga
angin. Ini diperkirakan berlangsung sekitar 3.000 SM hingga 1.700 Masehi,
dan menghasilkan alat pembajak, gerobak, kincir, perahu layar, huruf dan
percetakan.
Setelah itu, terabalah
(3) fase penggunaan uap, pembakaran,
listrik atau kemunculan Revolusi Industri, yang berlangsung pada kurun
sekitar 1700 M hingga 1940 M. Manusia pada masa ini menghasilkan perangkat
teknologi seperti listrik, mesin uap atau mesin bakar, pesawat terbang, foto
dan film. Beranjak dari situ lalu berawallah (4) fase penggunaan nuklir, elektronik, juga matahari, berlangsung
kira-kira pada 1940-an hingga 2000 M, dengan pencapaian yang mengemuka seperti
pesawat ruang angkasa, televisi, nuklir, dan komputer. Fase tersebut telah
memberi inspirasi untuk dikembangkan lebih lanjut pada masa berikutnya, yakni
(5) fase teknologi informasi. Ini
kecenderungan yang terus marak dan meningkat pada abad ke-21 dengan gelagat
kemunculan cyberspace yang dengan
teramat cepat mengimbas pada seluruh aspek kehidupan manusia di belahan bumi
manapun.
Fase-fase perkembangan
teknologi tersebut memberi imbas pada sistem dan tata nilai sosial, kultural dan
terutama terhadap psikologi seseorang, termasuk seniman. Pada diri seniman,
respons kreatif dimungkinkan akan bisa muncul karena pergeseran sistem dan tata
nilai ini. Untuk konteks perbincangan seni rupa Indonesia, kita bisa menyimak
salah satu contoh figur seniman yang bisa diingat tentang proses kreatif dan
kaitannya dengan perkembangan teknologi, yakni (almarhum) Fadjar Sidik, seorang
perupa dengan kecenderungan abstrak pada karya-karya lukisnya. Dengan
bentuk-bentuk rekaannya yang abstrak, perupa senior yang dulu menjadi dosen di
ISI Yogyakarta ini menampilkan simbol-simbol baru, simbol-simbol dunia
teknologi maju. Inilah salah satu antisipasinya terhadap perkembangan teknologi
(Sun Ardi, 1991). Fadjar merasakan produk teknologi baru itu mendominasi
lingkungan hidupnya. Batinnya bergejolak, ia merasakan kehilangan akan
objek-objek artistik yang selama ini melingkungi dan digelutinya. Dari situlah
seniman kelahiran Surabaya tersebut berpikir dan kemudian bereaksi atas adanya
perubahan itu. Kemudian sikap melukisnya pun berubah.
Gejala kreatif seperti
yang dialami oleh Fadjar Sidik itu merupakan gejala yang wajar dan naluriah
sifatnya bagi manusia. Manusia hidup memang tidak berada di dalam dunia fisik
semata, namun juga berada dalam dunia simbol yang dikonstruksi(kannya sendiri).
Dunia tidak hanya meliputi benda-benda fisik atau biologis belaka, namun di
dalamnya juga hadir produk-produk yang non-fisik. Singkatnya, dunia yang
non-fisik itu juga merupakan suatu dunia budaya. Bermaknanya isi dunia ini
sejatinya tergantung pada kemampuan manusia (dalam konteks ini adalah seniman) untuk
menciptakan, menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol tersebut.
Dalam relasinya dengan
ihwal kreativitas, kemampuan manusia (= seniman, perupa)—sekali lagi—tak bisa
dipisahkan dari lingkungan sosial budayanya yang senantiasa menemukan
kebaruan-kebaruan selaras dengan perkembangan jaman. Dalam buku Heteronomia (1977), Fuad Hassan memberi
tengara yang menjelaskan adanya korelasi tertentu antara situasi-situasi sosial
budaya (termasuk di dalamnya akibat perkembangan teknologi) dengan manifestasi artistik.
Tipologi pertama adalah kreasi-kreasi
artistik yang diilhami oleh realita masa kini dan oleh karenanya mempunyai
kualitas kontemporer. Tipologi kedua
merupakan kreasi-kreasi artistik yang ditandai dengan kerinduan kepada masa
silam. Karya-karya itu masih memiliki landasan empiri(k), yakni
pengalaman-pengalaman dan kesenangan-kesenangan masa lalu, yang kini dirasakan
begitu mesra, sehingga seniman terdorong untuk mengungkapkannya kembali. Lalu, tipologi ketiga adalah kreasi-kreasi artistik
yang ditandai oleh keinginan untuk memberi bentuk pada angan-angan masa yang
akan datang.
[dua]: Yang Menubuh Hingga Yang Diduga “Surealistik”
Tentu, saya tidak akan
secara rigid mengamini tipologi yang
telah dipetakan oleh Fuad Hassan di atas, dan terlebih lagi menempatkannya
sebagai cetak biru (blue print) untuk
memberi figura atas karya-karya para seniman asal Batu ini. Namun tipologi itu
dimungkinkan menjadi pemetaan awal yang masih global namun cukup representatif
untuk memberi perspektif lain dalam memaknai karya-karya lukis yang ada dalam
pameran ini.
Dalam pandangan saya,
lewat karya-karya seni lukisnya pada pameran bertajuk kuratorial “Post-Techno” ini, 7 seniman ini mencoba mengejawantahkan gagasannya yang berisi
sikap, cara pandang, dan opininya terhadap teknologi yang telah menjadi bagian
penting kehidupan ini. Maka, yang muncul adalah keberagaman visualisasi. Ada
yang membincangkan soal dampak teknologi (seperti terlihat pada karya Djoeari
Soebardja dan Zhirenk), ada yang membicarakan perihal imajinasi dan pengandaian
dengan melibatkan unsur teknologi (tampak pada karya-karya Isa Anshory, A.
Rokhim, Suwandi Waeng), ada pula yang menempatkan peran teknologi untuk
menjejakkan persoalan-persoalan yang melampaui unsur teknologi itu sendiri
(sekilas muncul pada lukisan-lukisan Watoni, Andri Suhelmi Soeid).
Kita bisa menyimak
karya-karya Djoeari. Pada lukisan-lukisannya yang berjudul “Ambigu #I” dan
“Ambigu #II” bisa menjadi representasi kecil yang mempertontonkan sikapnya atas
relasi kehadiran teknologi dan akibat yang ditimbulkannya. Tampak di sana batang-batang
pohon yang terjungkal, yang tercerabut dari akarnya dan melahirkan kegersangan.
Pada latar depan “Ambigu #I” ada sesosok perempuan tua penuh kerut wajah yang
nampak wajah bimbang. Seolah ada ambiguitas ketika hendak menentukan sikap:
apakah teknologi ini membawa berkah, atau sebaliknya, musibah? Secara
konseptual bahkan Djoeari menyuratkan negasi sekaligus antisipasi atas
munculnya teknologi itu, bahwa karya-karyanya itu “terinspirasi pada pascatehnologi dan dampak-dampak tehnologi yang akan
dihadapi anak cucu di hari esok. Penghancuran alam semesta secara membabi buta
karena akibat kecanggihan tehnologi di segala lini. Anak dan cucu harus cerdas
berimaji menghadapi hari-hari yang akan dilalui.” Sementara pada “Ambigu
#II”, pada latar depan di sebelah kiri bidang gambar, Djoeari memunculkan dua
“buah” pir besar di balik punggung seseorang. Visualitas ini sepertinya sengaja
disorongkan Djoeari sebagai perangkat simbol sinisme dalam gradasi yang halus
bahwa hasil teknologi pun tetap ada/banyak hasilnya, seperti buah yang
berukuran jumbo namun dengan kualitas alamiahnya yang berbeda.
Masih dalam cara
pandang yang relatif serupa namun dengan penyikapan berbeda, Zhirenk berbincang
tentang meluapnya gelombang teknologi yang merasuk dalam keseharian banyak orang
kini, yakni dunia permainan game online.
Ini merupakan jenis pleasure yang
lintas batas usia, gender, negara, dan sekat-sekat lain. Hampir pada tiap
karyanya menampilkan titik-titik kontras yang sengaja dipertarungkan dalam tiap
kanvas. Nilai kontras itulah salah satu substansi tema karya yang hendak
disodorkannya ke apresian. Sebagai sampel, kita bisa menyimak karya “Rifle from a Banana Leaf #2”. Zhirenk
sengaja memperhadapkan secara diametral antara sosok tokoh dalam sebuah lakon game online dan seorang bocah kecil
berseragam sekolah lengkap dengan mainan senapan terbuat dari pelepah daun
pisang. Dua persoalan dikemukakan pada belantara simbol visual ini. Pertama,
adanya pergeseran kultur dan sistem nilai-nilai (sosial) yang merebak pada
anak-anak era sekarang. Permainan tradisional telah menjadi romantisme dan
memori masa lalu yang tak lagi dijamah, dan digantikan oleh permainan baru,
termasuk game online—lengkap dengan
pahlawan dan idola barunya yang datang dari jarak sosial budaya yang terentang
jauh. Kedua, perangkat teknologi permainan telah menjadi perangkap bagi anak-anak
untuk menghabiskan banyak waktu dan uang. Dia telah menjelma menjadi adiksi
atau candu yang seduktif bagi anak-anak.
Inilah wajah buruk teknologi yang ingin ditampilkan oleh Zhirenk.
Tiga seniman lain,
yakni Isa Anshory, A. Rokhim, Suwandi Waeng, menjadikan teknologi dengan
berbagai unsurnya sebagai pemicu awal untuk membicarakan perihal imajinasi dan
pengandaian yang berkelebat dalam ruang kreatifnya. Isa Anshory mengungkapkan keterpukauan
sekaligus kegalauannya pada produk teknologi informasi yang paling berpengaruh
dalam segala kisi kehidupan pada satu dasawarsa terakhir: handphone.
Menurutnya, perbincangan mengenai hal ini terlepas dari persoalan dampak baik
buruk dari perkembangan tehnologi itu terhadap sebuah kebutuhan. Isa menengarai
betapa kebergantungan manusia modern dewasa ini terhadap perangkat handphone
sudah sangat besar dan tak terelakkan. Semua itu demi jalinan komunikasi
antar-manusia, meski berbarengan dengan kecederungan itu, hal yang kontradiksi
terjadi secara bersamaan, yakni adanya idiom “mendekatkan yang jauh, sekaligus
menjauhkan yang dekat”. Karya-karya Isa mengandaikan bahwa perangkat teknologi
itu telah menubuh (embodiment) pada hampir
semua manusia yang mengenalnya, sehingga kode-kode visual yang ditampilkannya
mengarah pada “penubuhan” perangkat teknologi tersebut. Anak perempuan dari pelukis
lulusan IKIP Malang ini menjadi subyek utama atas karya-karyanya dimana
representasi visual perihal teknologi informasi itu “ditubuhkan”. Dengan
kecakapan teknis yang begitu memadai menjadikan karya-karya Isa ini menguatkan
gagasan awal untuk memperbincangkan tema yang dimaksudkannya.
Sementara pada
karya-karya A. Rokhim upaya untuk mereka-reka imajinasi atas kenyataan yang ditemuinya
sehari-hari begitu kental. Sebagai orang yang dilahirkan dan dibesarkan di
kawasan penghasil tanaman buah dan sayur, tak pelak, berbagai perkembangan yang
berkait dengan dinamika tanaman terserap dalam memorinya. Mulai dari harga
lahan apel, varietas sayuran hingga teknologi okulasi. Okulasi adalah salah
satu teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan menempelkan mata tunas
dari suatu tanaman kepada tanaman lain yang dapat bergabung (kompatibel) yang
bertujuan menggabungkan sifat-sifat yang baik dari setiap komponen sehingga
diperoleh pertumbuhan dan produksi yang baik. Nah, gagasan estetik yang
disodorkan Rokhim pada pameran ini adalah “teknokulasi”, sebuah penggabungan dua kata—yang berbau plesetan—yang
dihasratkan sebagai rekayasa teknologi okulasi terhadap berbagai macam tanaman hias. Secara visual, seniman ini
membayangkan sebuah perpaduan dua (atau lebih) jenis tanaman hias yang secara
faktual sulit, bahkan mustahil, untuk dikembangkan dengan okulasi. Dan
imajinasi Rokhim mencoba mengatasi ketidakmungkinan faktual itu lewat
“teknokulasi”-nya yang imajiner. Capaiannya adalah dua karya serial
“Technokulasi” yang menarik sebagai eksperimen awal.
Kelokalan yang
diketengahkan oleh Rakhim, setidaknya yang saban hari disimak di balik tiap
dengus nafasnya, sebaliknya, justru cukup berjarak dengan yang dialami dan
diterakan pada proses kreatif Suwandi Waeng. Seniman paling muda dalam kelompok
ini lebih banyak menjumput ikon-ikon visual dari mancanegara atau setidaknya
yang berjarak cukup jauh dengannya, yakni ihwal musik modern. Misalnya pada
karya “Musik #1” yang memunculkan
sosok Vanessa Mae, violist Asia yang
menanam eksistensi di Barat. Wajah Vanessa yang realistik oleh Suwandi ditopang
oleh tubuh yang secara gradual berujud biola, alat musik yang identik dengan sosok
tersebut. Tergambar pula semacam citra chip
pada pinggang Vanessa. Karya ini bisa menjadi salah satu representasi atas arah
karya-karya lainnya yang—seperti halnya yang terjadi pada Isa Anshory—bahwa
dunia musik kini telah “menubuh” (embodiment) dengan manusia. Musik menjadi
bagian yang melekat, inheren, dengan diri dan aktivitas manusia—tanpa
batas-batas apapun. Kemampuan teknis Suwandi yang sangat memadai memungkinkan
dia untuk menorehkan pencapaian-pencapaian ke depan, asal mampu menajamkan
lebih jauh aspek substansi karya-karyanya: ya temanya, ya narasinya, dan
sebagainya.
Sedangkan dua seniman
lain berikutnya, Watoni dan Andri Suhelmi Soeid, mencoba memperluas cakupan
pemahaman tentang keterkaitan teknologi pada subyek tema dalam karya-karyanya. Tentu
dengan cara dan perspektif subyektif mereka masing-masing. Watoni, alumnus Seni
Grafis ISI Yogyakarta mendasarkan tema perihal kartun pada lukisan-lukisannya.
Dia tidak mengalih-ubah karyanya dalam perspektif kartunal atau komikal seperti
halnya karya-karya seni rupa kontemporer dewasa ini yang terjangkit wabah new pop art dengan kartun dan komik
sebagai basis kreatifnya. Watoni sekadar mengambil satu-dua ikon atau tokoh
sentral dari lakon komik/kartun yang telah populer dan memasukkannya dalam
kanvas sebagai bahan untuk mengontraskan narasi. Ya, Watoni menganggap bahwa
kartun atau komik merupakan sintesa imajinasi manusia yang kemudian menjadi
produk hiburan lewat bantuan teknologi (cetak, animasi, dan lain-lain). Pengontrasan
itu diwujudkan dalam visualisasi yang relatif cair: pertemuan dan persentuhan
manusia dalam dunia faktual dan tokoh kartun yang turun dari dunia imajinasi
yang telah diteknologikan. Ada karya bertajuk “Stronger” yang mempertemukan seorang lelaki yang tersenyum ceria
sambil dua tangannya memegang tokoh Popeye berukuran kecil. Ada pula lukisan “Friendship” yang memperlihatkan seorang
lelaki yang tergelak hingga terpejam mata dengan tangan kanannya tengah memeluk
sosok Tintin. Memang masih ringan, belum banyak memberi beban narasi yang bisa
menguatkan substansi karya.
Dan terakhir, Andri
Suhelmi menggelar karya-karya lukisnya yang menggubah tema visual pisang dalam
sudut pandang “surealistik”. Kata “surealistik” perlu diberi tanda kutip karena
Andri tidak sebenar-benarnya memaksudkan gubahan karyanya menuju ke arah tersebut.
Namun pembacaan saya menjadi terarah ke sana karena ada upaya pembiasan ukuran
dari subyek utama dibanding obyek yang lain dalam karya-karya Andri. Pola
visual ini acap terjadi dan menjadi “pola baku” dalam seni lukis “surealistik”
yang terjadi di Indonesia, terutama di Yogyakarta—yang sempat menjadi trend di pengujung dasawarsa 1980-an
hingga paruh pertama 1990-an lalu. Pemunculan pola serupa saat ini pada karya
Andri, bagi saya cukup menarik karena memberi keragaman visual pada kelompok
ini. Pada satu sisi Andri menghasratkan tema karyanya sebagai bagian dari
“campur tangan tehnologi dalam merekayasa genetika, khususnya genetika buah
pisang sehingga menghasilkan pisang berukuran super-jumbo. Namun visualitas
tersebut bisa dibaca sebagai upaya untuk melampaui problem yang tertera dalam
judul, seperti “Pisang 1” atau “Think About It”. Tampaknya, pendalaman
tema dalam karya Andri pun juga perlu dikemas hingga pada penemuan judul karya
yang perlu lebih enigmatic, penuh
teka-teki. Bukan judul an sich yang
hanya menjelaskan obyek dominan yang ada dalam lukisan, tapi beyond of the fact, melampaui fakta yang
tergambarkan.
[tiga]: Mengeksplorasi Nilai Lokal
Kehadiran kelompok ini—apapun
pencapaian yang dipersepsikan oleh publik—terus mencuatkan posisi dan
eksistensi para seniman Batu secara keseluruhan. Dalam peta seni rupa di Jawa
Timur, kehadiran para perupa Batu menempati level yang terbilang penting. Dari
sisi kuantitas, ada seratusan seniman yang puluhan di antaranya masih terus
aktif berproses kreatif. Mereka memiliki wadah besar bernama Pondok Seni, dan
sekian banyak kelompok kecil yang muncul secara tetap atau pun sporadis/insidental
sesuai momentum, ketertarikan, dan alasan tertentu yang menjadi dasar dari
keberadaan kelompok tersebut. Sementara dari sisi kualitas, Batu telah memiliki
beberapa seniman dengan pencapaian yang optimal di level Jawa Timur, bahkan di
tingkat nasional—tentu dengan perspektif yang beragam. Sejumput nama yang telah
menanamkan eksistensi cukup kuat di antaranya Koeboe Sarawan, Bambang B.P.,
Fadjar Djunaedi, juga Isa Anshory dan Djoeari Soebardja (yang tergabung dalam
pameran ini). Lalu muncul nama baru yang berpotensi menjadi besar seperti Iwan
Yusuf. Dan masih banyak nama-nama lain. Mereka bergerak, berproses dan membesar
dari Batu, meski ada yang pernah menempuh studi di jalur akademis di kampus
seni rupa di kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, dan lainnya.
Dalam medan sosial
seni rupa Indonesia kini, sesungguhnya, problem pusat-pinggiran yang mengacu
pada kondisi geografis dan progresivitas seniman sudah banyak diretas dan
dipotong kekentalan perbedaannya. Meskipun kekuatan seni rupa di kawasan
tertentu masih sangat dominan, seperti Yogyakarta, Bandung dan beberapa kawasan
lainnya, namun sebenarnya pola kemunculan kekuatan lain sangat dimungkinkan
terjadi di kawasan lain, termasuk di Batu. Oleh karenanya, sebagai sebuah
entitas yang menyimpan potensi kekuatan, seniman dan komunitas seniman di
kawasan Batu diidealkan untuk mengagendakan persoalan yang bisa lebih
mendinamisasi kekuatan mereka.
Pertama, para seniman Batu—entah secara personal atau komunal—bisa membangun
jejaring kerja (networking) yang
lebih banyak, luas, efektif dan efisien untuk memungkinkan mereka masuk dalam
ruang-ruang penting seni rupa yang lebih kompetitif. Dengan perkembangan
teknologi informasi yang sangat pesat seperti dewasa ini, problem komunikasi
dan pencarian informasi dapat digalang seoptimal mungkin untuk menguatkan
proses bangunan jejaring kerja tersebut. Kedua,
dalam aspek kreatif, perlu menghindari pola stereotipe yang telah begitu
menggejala bahwa melukis yang baik, indah dan diserap oleh sistem pewacanaan
dan pasar seni rupa adalah melukis dengan corak dan gaya realisme.
Kecenderungan ini perlu dikikis agar tidak lambat laun menjadi sesuatu yang
mitologis. Ini adalah upaya untuk menerabas garis mainstream yang seolah
menjadi kebenaran tunggal bahwa karya lukis yang realistik atau beraliran
realism adalah puncak pencapaian dalam seni rupa. Pandangan ini mesti
dipatahkan. Ketiga, sudah sepantasnya
para seniman perlu lebih jauh menggali gagasan kreatif yang bertumbuh dan
berkembang sesuai dengan nilai-nilai lokal yang ada di sekitarnya. Penggalian
atau eksplorasi atas nilai-nilai lokal tentu saja memerlukan kecerdasan dan
kepekaan lanjutan agar nilai lokal yang sudah ada itu dimunculkan dengan
pembaruan, inovasi, yang memiliki nilai diferensiasi tinggi sesuai dinamika
zaman.
Kiranya kelompok ini,
juga para seniman di Batu secara umum, mesti fokus mengedepankan
pencapaian-pencapaian yang mulai ditangguk, memiliki disain yang jelas tentang
pola kreatif, agenda pameran, dan sebagainya. Dengan demikian, momentum yang
baik kelak pasti akan dialami. ***
Kuss Indarto, kurator seni rupa,
editor in chief www.indonesiaartnews.or.id
Comments