Asia yang Terus Membaca Dirinya
Karya Laksmi Shitaresmi yang telah dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 2013. (Foto: kuss indarto)
Oleh Kuss Indarto
(Tulisan ini telah dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, Minggu Pon, 3 Februari 2013)
Secuil data-data
kuantitatif bisa dirujuk untuk memberi tengara atas fenomena tersebut. Sebuah
lembaga informasi dan riset pasar seni rupa dunia yang berkedudukan di Paris, Artprice, awal Januari 2013 mengeluarkan
sebuah data menarik perihal perkembangan pasar seni. Data-data itu merupakan
hasil pencatatan selama setahun, mulai triwulan akhir 2011 hingga triwulan akhir
2012, yang sumber datanya berasal dari berbagai balai lelang besar di seluruh
dunia. Meski sumber data terbatas, namun sedikit banyak bisa memberi gambaran
sederhana tentang peta pasar seni rupa dunia.
Artprice mencatat bahwa dari seluruh penjualan karya seni rupa kontemporer di
jalur lelang di seluruh dunia, diperkirakan nilai transaksinya mencapai angka €
860 juta. Menariknya, dari capaian angka tersebut, 41,46% nilai transaksi
terjadi di benua Asia—terutama di daratan China yang menyumbang angka hingga
38,79%. Transaksi besar lain di Asia terjadi di Taiwan, Singapura, Uni Emirat
Arab. Sementara nilai transaksi lelang di Amerika Serikat sebanyak 26,10%,
Inggris 22,66%, Perancis 2,47%, dan negara-negara lain kurang dari 1%. Data-data
tersebut berbeda dengan capaian 2 tahun sebelumnya, yakni pada kurun 2009/2010
ketika Amerika Serikat masih cukup dominan dengan profite share hingga 42,43%, Inggris mencapai 33,35%, dan China
“baru” mencapai angka 30,63%.
Menaiknya trend pasar seni rupa di Asia pada kurun
2011/2012, terutama di daratan China ini ditandai begitu kentara dengan
menurunnya trend pasar seni rupa
dunia, apalagi bila dibandingkan pada saat booming
seni rupa ketika the peak of the bubble-nya
terjadi pada 2007/2008 yang angka transaksi di balai lelang
mencapai kisaran € 976,9 juta. Hal yang lebih membuat geleng-geleng kepala
tentu saja daftar 500 seniman kontemporer yang harga karyanya paling tinggi di
pasar lelang. Artprice menyebut ada sekitar
200-an nama perupa China masuk dalam daftar 500 seniman laris tersebut! Sedang
nama seniman papan atas dunia dalam daftar itu antara lain Jean-Michel Basquiat, Damien Hirst,
Christopher Wool, Jeff Koons, Takashi Murakami, Yoshitomo Nara, Anish Kapoor,
dan lainnya.
Lalu, bagaimana dengan
perupa Indonesia? Kali ini ada 9 nama seniman Indonesia masuk daftar 500 Besar
seniman terlaris di balai lelang, yang 7 di antaranya lulusan Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta. Mereka adalah I Nyoman Masriadi yang kali ini
berada di urutan nomer 95, lalu Rudi Mantofani (223), Samsul Arifin (250),
Handiwirman Saputra (375), Indieguerillas (388), M. Irfan (393), serta Putu
Sutawijaya (488). Sementara 2 nama lain adalah lulusan Fakultas Seni Rupa ITB,
yakni Ay Tjoe Christine berada di urutan 90, dan Agus Suwage 355.
Deretan data sederhana
di atas tidak saya ajukan sebagai satu-satunya parameter untuk menilai
perkembangan seni rupa di Indonesia, Asia maupun dunia. Namun ini sekadar salah
satu jendela kecil untuk menimbang gejala seni rupa dunia yang secara evolutif
mulai merangsek titik sumbu pergerakannya di belahan Asia. Karena di luar
angka-angka kuantitatif itu, ada beragam gejala pendukung lain yang pantas untuk
dicermati.
Pertama, munculnya
banyak perhelatan besar seni rupa yang berkualitas yang muncul dan menguat di
luar Eropa dan Amerika. Misalnya Gwangju Biennale di Korea Selatan, Beijing
International Art Biennale, Taipei Biennale, hingga Bangladesh Biennale, juga
Asia Pacific Triennale, Sao Paolo Biennale, Havana Biennale. Itu semua seperti
bergerak pelahan untuk mengonstruksi “aksi” dewesternisasi atau pengingkaran
atas dominasi kuasa Barat.
Kedua, penciptaan Asia
sebagai salah satu kantung pasar seni rupa dunia. Shanghai Art Fair dengan
terang-terangan digagas untuk “memindahkan” Art Basel yang lebih melegenda
namun mulai surut reputasinya. Belum lagi Art Stage di Singapura, Art Hongkong,
Art Korea, Art Dubai, dan berbagai art
fair berkelas di luar AS dan Eropa. Asia sekarang dianggap sebagai pemilik
kapital besar yang bisa digelontorkan ke dunia seni rupa.
Ketiga, identitas Asia
dengan keragaman dan kekayaan sejarah serta kultural kini kembali menjadi daya
tarik yang eksotik untuk dijadikan sebagai sumber gagasan dan praktik kreatif
para perupa Asia sendiri. Inilah spirit zaman yang secara simultan terjadi pada
diri seniman-seniman Asia dalam “membaca dirinya” (looking inward).
Apakah “air bah”
kebangkitan seni rupa Asia ini akan sekadar trend
sesaat di tengah krisis Eropa dan Amerika Serikat, atau akan menjadi fenomena
permanen ke depan? Tampaknya, hal terakhir itulah yang terus menguat. ***
Kuss Indarto, kurator Galeri
Nasional Indonesia,
pendiri situs www.indonesiaartnews.or.id,
tinggal di Yogyakarta.