Dyan dan Hasrat Menemu Diri


Oleh Kuss Indarto

 
PERUPA Dyan Anggraini masuk kuliah di STSRI “ASRI” Yogyakarta dalam situasi yang sangat menguntungkan secara kreatif. Dia memulai kuliah pada tahun akademik 1976. Teman seangkatannya antara lain perupa Haris Purnama, Ivan Haryanto, almarhum Hardjiman, dan sekian banyak nama lain. Dikatakan cukup menguntungkan karena tahun-tahun itu menjadi kurun penting dari potongan sejarah seni rupa Indonesia, persisnya sekitar setahun setelah geger “Peristiwa Desember Hitam”.

“Pernyataan Desember Hitam” ditandatangani pada 31 Desember 1974 oleh sekelompok seniman muda, di antaranya FX Harsono, Hardi, Bonyong Munni Ardhi, M. Sulebar, Siti Adiyati, D.A. Peransi, Muryotohartoyo, Juzwar, Baharudin Marasutan, Ikranegara, Abdul Hadi WM, dan lainnya, setahun sebelum Dyan Anggraini masuk kuliah. Itulah peristiwa budaya dengan subjek seni rupa yang bergaung keras hingga tahun-tahun setelah itu, bahkan sampai sekarang. Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) kemudian semakin menguatkan peristiwa budaya tersebut. Salah satu inti dari “Pernyataan Desember Hitam” itu, pada poin kelima atau poin terakhir disebutkan: “Bahwa yang menghambat perkembangan seni lukis Indonesia selama ini adalah konsep-konsep usang, yang masih dianut oleh establishment, pengusaha-pengusaha seni budaya dan seniman-seniman yang sudah mapan. Demi keselmatan seni lukis kita, maka kini sudah saatnya kita memberi kehormatan pada establishment tersebut, yakni kehormatan purnawirawan budaya”.

Pengingkaran terhadap konsep-konsep usang dan anti-establishment tersebut banyak mengemuka pada gejala munculnya karya-karya generasi muda seni rupa kala itu yang konseptual, dan memberi perluasan gagasan seni yang termanifestasikan lewat karya dengan beragam medium. Conceptual art, seni instalasi, dan berbagai variasi karya seni rupa yang ekstrem, tidak konvensional tampak menggejala, dan kampus STSRI “ASRI” merupakan basis utama dari fenomena tersebut.

Sebagai mahasiswa baru, Dyan Anggraini tidak bisa lepas dari sergapan fenomena kreatif yang ditularkan oleh para kakak kelas yang memberi atmosfir berbeda itu. Konvensi-konvensi di jalur akademik yang mendasar dalam dunia penciptaan kreatif memang tetap ada, namun di sebalik itu gugatan-gugatan atas konvensi juga menguat. Dalam catatan kecil sejarah seni rupa bisa disimak bahwa pro-kontra terhadap “Pernyataan Desember Hitam” dan Gerakan Seni Rupa Baru dalam kampus relatif begitu riuh. Misalnya, ada perang pena yang keras antarsesama staf pengajar di lingkungan STSRI “ASRI”, yakni Koesnadi (yang dianggap konservatif) dan Soedarmadji (yang membela progresivitas anak muda) di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta waktu itu. Semua itu dirasakan sebagai pemicu kreativitas anak muda, termasuk Dyan Anggraini sebagai mahasiswa baru.

Artefak karya-karya Dyan yang sangat terpengaruh oleh gejala pengingkaran atas konvensi-konvensi dalam seni rupa itu bisa terbaca pada, misalnya, Scenario. Karya ini dibuat tahun 1979 atau tahun ketiga setelah Dyan kuliah dan dipamerkan dalam pameran “Kelompok Lima Putri” di gedung galeri seni Senisono, Yogyakarta. Waktu itu, Dyan bergabung dengan 4 teman lain yakni Tri Nawangwulan, Aisyah Thibron, Ria Andaryanti, dan Hartina Aziz. Karya ini sesungguhnya “hanya” dua dimensi dengan ukuran 70x70 cm, namun di dalamnya menyertakan material tiga dimensi berupa boneka-boneka mainan berujud tentara dan gadis kecil. Penggabungan material tersebut tentu bukan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk memvisualkan objek benda tertentu, namun kiranya lebih karena problem perluasan kreativitas untuk memain-mainkan batasan dua dan tiga dimensi. Kecakapan teknis melukis tampak relatif sudah memadai, dan pembubuhan material tiga dimensi seperti dihasratkan memberi kesan dramatis karya tersebut.

Gejala visual seperti ini juga masih tampak berpendar, setidaknya hingga tahun 1981 atau setahun sebelum status kemahasiswaannya berakhir (tahun 1982). Fenomena kreatif yang dialami Dyan dan sekian banyak mahasiswa serta perupa muda masa itu selain berangkat dari peristiwa “Desember Hitam”, juga—lebih jauh lagi—oleh kuatnya pengaruh pop art yang antara lain dicetuskan oleh Andy Warhol satu dasawarsa sebelumnya di Barat. Itu menjadi arus kuat yang kemana-mana, termasuk di Yogyakarta. Dyan pun mengakui. Bahkan bersama teman seangkatannya, Ivan Haryanto menghelat pameran berdua tahun 1980 di Taman Budaya Surabaya dengan tajuk “Conduct the Pop Art”.

Keluarga yang Mengubah Keadaan

Gairah kreatif Dyan sebagai seniman muda, setelah lulus kuliah dan tak lama kemudian menikah, mau tak mau “harus” mengendur. Padahal, keinginan Dyan Anggraini untuk menjadi seniman sebenarnya sangat kuat sejak dini. Secara genetis pun telah “given”, bahwa dunia Dyan adalah dunia seni rupa: eyangnya, Djayengasmara, dan ayahnya, Rais Rayan, semuanya pelukis, yang telah dengan sadar atau tak sadar memberi pembekalan dan pemahaman bagi Dyan tentang keluasan jagat seni rupa.

Namun apa boleh buat, pilihan untuk mengikuti menikah dan lalu mengikuti suaminya, Hutomo yang seorang dokter gigi, ke kecamatan Tambelangan di pedalaman Sampang, Madura, memiliki risiko bagi perjalanan kreatifnya. Dyan dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan  baginya untuk intensif berkarya seperti waktu-waktu sebelumnya. Setidaknya kurun 6 tahun (antara 1982 hingga 1988) Dyan lebih memilih suntuk terlibat dalam perkara domestiknya bersama suami dan anak-anaknya yang mulai lahir dan berkembang, ketimbang larut dalam dunia keatif yang telah cukup memberi banyak hal—terutama saat-saat kuliah. Nyaris tak ada karya kreatif yang lahir, kecuali aktivitas Dyan dengan anak-anak kampung di lingkungan perumahannya di Tambelangan yang diajarinya untuk melukis, menyulam, dan aktivitas kecil seni rupa lainnya.

Tahun 1989 menjadi titik balik bagi Dyan untuk kembali menekuni perjalanan kreatif. Tahun itu Dyan resmi kembali dari Madura, dan masuk bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Taman Budaya Yogyakarta. Ini pilihan yang pragmatis namun strategis karena dengan posisi itu Dyan mengandaikan bisa masuk dalam lingkungan yang masih tetap bersentuhan dengan orang-orang seni, dan tetap mampu menyisihkan waktu untuk beraktivitas seni.

Benar. Lambat laun peluang untuk comeback sebagai seniman bertumbuh. Ada peluang untuk berkarya, berpameran secara rutin, dan terus mengasah progresivitas kreatifnya bersama lingkungan pergaulan seniman di Yogyakarta.

Kurang lebih selama satu dasawarsa, 1989-1999, karya-karya lukis Dyan banyak memvisualkan sosok-sosok perempuan. Karyanya cenderung ilustratif, menekankan subyek perempuan di tengah bidang kanvas, dan lewat teknik penggambaran yang sedikit deformatif (bukan sangat realistik). Pada paruh pertama dasawarsa 1990-an secara teknik terlihat sekali Dyan masih harus belajar banyak karena tampak sudah lama absen melukis. Lalu proses pencarian “identitas kreatif” baru dimulai. Ada kalanya wajah-wajah yang menempel di kanvasnya serupa sosok-sosok karya Amedeo Modigliani atau Jeihan Sukmantoro dengan penggambaran mata-mata yang menghitam. Dunia keseharian Dyan sebagai ibu muda juga tak lepas dari pengamatannya yang kemudian dialih-ubah ke dalam lukisan: ibu yang memomong anak-anaknya, persentuhan mesra sang bunda saat memeluk buah hatinya, dan seputarnya. Tampak sekali bahwa problem pelukisan dari karya-karya Dyan ini masih minimal kecuali ingin menampilkan sisi dasariah dari relasi kemanusiaan antara ibu dan anak. Masih umum, dan telah menjadi gejala kreatif sekian banyak seniman di sekitarnya. Gairah untuk melakukan eksperimentasi visual seperti yang dilakukannya saat masih muda dalam status mahasiswa bertahun-tahun sebelumnya tidak kentara sama sekali pada periode ini.

Membunyikan Lukisan

Baru setelah masuk paruh kedua dasawarsa 1990-an, kesadaran untuk memberi substansi karya-karya lukisnya mulai menjadi agenda persoalan kreatifnya. Dan topeng tampak menjadi subyek persoalan yang dijadikan sumber gagasan. Pada karya “Dialog” (125x145 cm, cat mintak di atas kanvas) yang dibuatnya pada tahun 1996 Dyan menampilkan sosok perempuan berkostum putih duduk di sebuah kursi. Sementara kursi di sebelah kanannya kosong, tanpa orang di sana, tapi tergeletak sebungkah topeng. Apresian bisa mengandaikan bahwa perempuan itu kesehariannya adalah seorang penari topeng yang selalu dikelilingi keriuhan saat pentas, namun kembali menemu kesenyapan saat berada di rumah, di luar panggung. Maka, topeng itulah mitranya dalam berdialog.

Pada kurun waktu berikutnya, kemunculan sosok dan tema topeng pada lukisan-lukisan Dyan silih berganti dengan visual perahu kertas. Ini sebetulnya bisa menjadi dua hal yang terpisah sama sekali, namun untuk beberapa kasus oleh Dyan disengaja untuk diketengahkan dalam satu kesempatan.

Lukisan dengan subyek visual perahu kertas seperti hendak dijadikan perangkat komunikasi bagi Dyan kepada penontonnya. Perahu kertas adalah amsal tentang jiwa, juga perihal sebuah representasi tentang komunitas yang rentan untuk terombang-ambing di tengah prahara masalah. Saya hanya bisa menduga-duga kaitan tentang perahu kertas itu dengan posisinya sebagai satu di antara “belantara” birokrasi yang kekuatannya semu. Seolah bisa bergerak lepas namun dengan gampang bisa ditenggelamkan. Seolah perahu kertas itu putih namun dengan mudah ditulisi, dicoreng-morengi, dikotori dengan berbagai catatan atau bercak di tubuh perhau kertas itu.

Subyek perahu kertas banyak dikreasi oleh Dyan dengan mengetengahkan “kekosongan”. Ya, Subyek itu muncul sendiri, atau sedikit bergerombol, namun secara acap kali berada dalam keluasan “ruang kosong” yang lengang, senyap, dan terkucil. Apakah ini menjadi bagian dari representasi perasaan Dyan sebagai anggota PNS?

Di antara “pertarungan” subyek visual utama perahu kertas dan topeng, tampaknya, pada pilihan yang terakhirlah Dyan banyak menumpahkan segenap gagasannya. Puluhan karya lahir, berbagai pameran—baik tunggal maupun kolektif—diikutinya dengan menyodorkan karya lukis bertema topeng sebagai pilihan kreatif yang dominan akhir-akhir ini.

Topeng-topeng itu oleh Dyan diangkat kembali dalam berbagai rona estetis, untuk kemudian dijadikan sebagai alat ucap untuk membincangkan berbagai problem budaya dan sosial kemasyarakatan yang menggalaukan pikirannya, tentu dengan titik asosiasi dan konotasi makna seperti yang diekspektasikannya. Inilah potongan representasi lewat citra topeng yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi titik inti atas pilihan kreatif Dyan.

Tampak sekali bahwa pilihan kreatif semacam ini bukan merupakan output estetik yang tiba-tiba atau hadir begitu saja. Bukan sesuatu yang given. Dia, dugaan saya, mengemuka sebagai simpul sintesis atas berbagai tesis dan antitesis lewat pergulatan kreatif sang seniman yang sudah melakukan intensitas berkarya sekian lama dan dan dengan beragam eksperimentasi estetik sekian banyak. Di dalamnya, bisa diduga, pola dan modus pencarian itu telah acap dilakukan dengan berbagai survei dan riset lewat metodologi yang khas seniman. Bukan seperti halnya ilmuwan atau peneliti yang berkutat di laboratorium ataupun di ruang-ruang perpustakaan yang senyap, melainkan dengan berbagai pengamatan lewat perbincangan, pencarian referensi foto, menonton langsung tarian topeng, dan berbagai cara lainnya. Maka, topeng-topeng yang sekarang ini bisa kita saksikan telah menjadi titik simpul atas alur kreatif yang evolutif yang berlangsung dalam rentang waktu panjang untuk kemudian bertumpu pada satu titik yang dirasakan senimannya telah tepat. Yakni topeng-topeng yang konotatif atau asosiatif, sebuah gambaran atas topeng dengan pola pemaknaannya yang telah melampaui fisik topeng itu sendiri. Bagi Dyan, output kreatif ini telah tepat atau pas dalam hal aspek visualitas dan pada jagat gagasannya.

Topeng Pegawai Negeri Sipil

Dalam tinjauan visual, kalau kita amati dengan seksama dari satu karya ke karya lainnya, Dyan nampaknya membubuhkan intensi yang berlebih pada bentuk dan citra topeng. Dari sini saya menduga adanya pola konnaturalitas afektif (affective connaturality), sebuah konsep pendekatan kreatif yang diperkenalkan oleh Jaques dan Raissa Maritain, sepasang filosof Perancis, lewat bukunya The Situation of Poetry: Four Essays on the Relatons between Poetry Mysticism, Magic, and Knowledge, yang dirilis tahun 1955. Meski konsep itu telah lama dan mereka catat untuk menelaah karya sastra, kiranya masih cukup relevan untuk konteks waktu kini dan bisa pula diadopsi untuk membincangkan semua bentuk karya kreatif, termasuk kaya seni visual. Konsep konnaturalitas afektif ini menyoal bahwa “korespondensi atau persangkut-pautan di antara seseorang atau seniman dengan apa yang diketahuinya tidaklah dilakukan oleh hubungan antara pikiran dengan obyek yang diamati, melainkan oleh hubungan antara obyek tersebut dengan perasaan dan kemampuan indrawi seniman/pengamatnya”.

Konsep ini dengan segera dapat terpantul lewat karya-karya topeng versi Dyan yang telah “larut” dan kemudian membentuk sejenis identifikasi estetik tersendiri. Misalnya, topeng karya Dyan tentu beda dengan topeng karya perupa Suwadji, atau karya perupa lain. Ini dimungkinkan terjadi karena pendekatan Dyan terhadap topeng sebagai obyek atas karyanya dilakukan bukan sebagai “cara mengetahui”, melainkan menempatkannya sebagai suatu pengetahuan melalui insting dan kecenderungan, melalui resonansi dalam diri subyek, yang bergerak menuju penciptaan suatu karya. Maka lahirlah topeng-topeng yang cukup fasih dikuasainya dalam beragam bentuk, pencitraan yang tepat dengan sosok manusia yang mengenakan topeng tersebut.

Kemudian, Dyan, dengan otoritas kreatifnya, menempatkan dunia gagasan di atas cecitraan topeng tersebut. Topeng, sekali lagi, masuk dalam posisi sebagai perangkat atau aparatus tanda penting untuk diisi oleh gagasan yang telah dikantongi Dyan. Maka yang terlahir di atas kanvas-kanvasnya adalah figur-figur manusia bertopeng dengan dinamika dan problematika kemanusiaan yang menggelisahkan sang perupa. Banyak problem sosial politik yang dijadikan pokok soal (subject matter) dengan segala komentar dan pemaknaan yang bisa ditangguk oleh apresian.

Sebagai contoh, dalam sebuah pameran tunggal bertajuk "Beyond the Mask" yang berlangsung di Santrian Gallery, Denpasar, Bali, pada 5-24 Maret 2007. Pada kesempatan itu Dyan menampilkan beberapa lukisan yang menggambarkan manusia-manusia bertopeng dengan kostum Korpri. Ini sebuah representasi yang menarik di balik kenyataan bahwa diri Dyan sendiri adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang tentu saja secara otomatis adalah anggota Korpri.

Salah satu karya itu menarasikan sosok laki-laki bertopeng dengan berpakaian putih yang di bahunya tersampirkan (potongan) kain seragam Korpri yang seolah diberlakukannya tak lebih sebagai kain serbet. Lalu pada tiga karya lain nampak ada sosok laki-laki yang semuanya telanjang dada, semuanya bertopeng dengan beragam ekspresi. Ada yang mengenakan dasi bermotifkan logo Korpri, ada juga yang lehernya terbebat oleh selendang pendek yang bermotifkan kain Korpri juga.

Karya tersebut dengan kuat memberi persuasi pemaknaan kepada penonton atas habitus sebagian besar pegawai negeri di Indonesia yang memiliki etos kerja relatif rendah. Para pegawai negeri yang berjumlah sekitar 4 juta orang dan bertanggung jawab pada semua kisi-kisi birokrasi pemerintahan di Indonesia, diasumsikan oleh Dyan sebagai sosok yang bermental pembantu, atau sosok yang tak dengan benar memposisikan dirinya dalam sistem pelayanan publik. Dengan penggambaran yang ekstrem seperti figur lelaki memakai dasi (berlogo Korpri) dalam ketelanjangan, adakah yang bisa diharapkan dari sebuah sistem kerja yang memadai? Masih kuatkan mereka mengampu manajemen kerja yang profesional seperti yang dituntut masyarakat sesuai dengan percepatan jaman yang kian melaju dan sangat dinamis?
Ini sebuah otokritik yang tandas versi Dyan. Seperti kita tahu, gelombang pasang naiknya jumlah aparat pemerintahan di Indonesia pada jaman rezim Soeharto, terutama pada era 1980-an, sangat transparan karena ditunjang oleh kepentingan politis, yaitu pada upaya penguatan struktur kekuasaan lewat jalur birokrasi. Mereka, para pegawai negeri itu, dilipatgandakan kuantitasnya untuk kemudian dimobilisasi guna menyokong partai berkuasa (rulling party) yakni Golkar sebagai pilar penting rezim Soeharto selain tentara/militer.

Maka, ketika sekarang ini kekuasaan pemerintahan Soeharto sudah berakhir (secara de jure), warisan terpenting dan “busuk” yang ditinggalkannya antara lain adalah melimpahnya jumlah aparat birokrasi dengan job description yang tak jelas dan etos kerja yang relatif buruk. Ini dimungkinkan terjadi arena dulu, ketika berhasil masuk dalam jajaran birokrasi pemerintah, ada asumsi kuat bahwa mereka telah berhasil pula melakukan mobilitas vertikal secara sosial. Inilah repotnya, karena kemudian para birokrat atau pegawai negeri itu seperti menggenggam anggapan kuno sebagai para priyayi baru atau para feodalis baru yang meminta diapresiasi lebih jauh pribadinya berdasar pada kerangka status kepegawaiannya semata, bukan pada prestasi kerjanya. Maka dalam praktik kerjanya pun mereka (meminjam istilah Jawa) tidak menjadi pamong praja (pelayan masyarakat), tapi lebih sebagai pangreh praja (tukang perintah).

Dengan demikian benarlah apa yang menjadi pangkal keprihatinan sekaligus “kegeraman” Dyan lewat karya-karyanya ini. Mereka adalah manusia yang berkedok atau bertopeng pada status kepegawaiannya untuk mendapat pengakuan sosial yang layak, bukan pada apa yang telah dikerjakan sesuai kapasitasnya. Mereka, dengan kemalasan dan mentalitas priyayi-isme atau ningratisme yang destruktif itu, telah menjadi “lahan tidur” yang memboroskan anggaran negara sekian triliun tiap tahun. Untuk sebuah negara yang kaya utang, ini sebuah “mega-ironi”. Dan Dyan sebagai bagian yang ada dalam birokrasi dengan lingkaran persoalan yang telah diketahui dan dialaminya sendiri, hanya bisa berkomentar dan mengritik lewat karyanya ini. Mungkin tak akan banyak berimplikasi positif pada lingkungan kerja terdekatnya sekalipun, tetapi, saya kira, karya semacam ini justru mampu menginspirasi pada Dyan sendiri untuk menjadi cermin diri ala Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt: “Jangan tanyakan apa yang telah negara berikan padaku, tapi tanyakan apa yang telah aku berikan pada negaraku!”

Begitulah, Dyan telah berusaha memberi peringatan (warning) atas banyak kasus dan gejala sosial lewat karya-karya visualnya. Topeng yang selama ini telah menjadi iko tersendiri dalam banyak kultur atau kesenian di Indonesia, di mata Dyan, telah dikristalisasikan kembali dalam ikonisitas yang berbeda. Mungkin tak sangat berbeda, atau tak terlalu istimewa, tetapi dengan bingkai cara pandang yang khas Dyan, topeng-topeng yang lucu atau indah itu telah menyembulkan gejala pembacaan yang tidak lagi lucu dan indah, melainkan bisa jadi penuh kegetiran, ironi dan kemunafikan. Karena kini topeng-topeng itu telah jauh melampaui batas-batas fisikalitasnya sendiri. Topeng itu telah bergerak mencari maknanya yang baru, yang membias dari sebelumnya.

Tema visual karya Dyan niscaya akan terus bergerak mengikuti hasrat kreativitasnya yang belum luruh, belum menghentikan langkah. Seperti misalnya pada bulan-bulan terakhir ini, drawing tentang potret diri cukup menggoda untuk dieksplorasi olehnya. Meskipun belum sangat dominan dan menjadi teman sentral atas karya-karyanya, namun namun itu seperti mengisyaratkan sebuah konsep yang personal. Dyan seperti hendak bercermin, mengaca diri, melakukan introspeksi atas apa yang telah dilakukannya selama puluhan tahun kehidupannya: kepa suami, anak-anak dan keluarga besarnya, kepada lembaga Taman Budaya Yogyakarta atau Dinas Kebudayaan Yogyakarta tempat dia mengabdi hingga puluhan tahun pula, juga kepada dirinya yang berposisi sebagai seniman dalam menemukan eksistensinya. Drawing-drawing potret diri itu seperti dijadikan perangkat untuk menemukan dan membenahi dirinya sebagai manusia yang (berhasrat) paripurna. Meski yang menemu yang paripurna itu bukan perkara mudah kan, Mbak Dyan? Bailah, selamat berupaya menemu diri! ***

(Tulisan ini telah dimuat dalam buku "Threshold/Ambang" yang diterbitkan oleh Dyan Anggraini berbarengan dengan pameran tunggalnya di Sangkring Art Space, Yogyakarta, 16 Januari - 2 Februari 2013)
*) Penulis dan kurator seni rupa.

Popular posts from this blog

Lukisan Order Raden Saleh

Memanah

Apa Itu Maestro?