Djon, Affandi, dan "Maestro Hati"
Pak Djon, mantan sopir dan asisten pribadi maestro Affandi di depan
rumahnya di bilangan Pingit, Yogyakarta. Tanggal 8 Maret kemarin usianya
menginjak 78 tahun. (foto: kuss indarto)
Oleh Kuss Indarto
Oleh Kuss Indarto
MAESTRO Affandi sudah berpulang ke haribaan pada 23 Mei 1990, atau hampir 23 tahun lalu. Jasadnya dimakamkan di halaman museum yang didirikannya, Museum Affandi, di Jalan Laksda Adisucipto 167, Yogyakarta. Pemikiran-pemikiran tentang seniman kelahiran Cirebon tahun 1907 ini telah banyak digaungkan oleh kalangan seniman, sejarawan, kritikus, atau para intelektual lain yang pernah bersentuhan dengan dunia gagasan dan jagad kreatif Affandi.
Namun di celah pendapat dan pemikiran mereka yang mengonstruksi kebesaran Affandi, tak banyak muncul di permukaan orang-orang kecil yang berperan besar bagi perjalanan hidup Affandi. Djon adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berada di lingkar kehidupan dan lingkup dunia kreatif sang maestro. Suhardjono, nama lengkapnya. Dia lahir di bilangan Pingit, Yogyakarta, 8 Maret 1935. Hingga di usianya yang ke-78 tahun, tubuhnya relatif masih sehat. Giginya masih utuh. Bersepeda adalah aktivitas olahraga yang acap dilakukannya hingga kini. Bahkan, belum lama ini pak Djon mengaku mengunjungi salah satu anaknya yang menetap di Salatiga, yang berjarak lebih dari 80 km dari Yogyakarta, dengan bersepeda. Tampaknya, pada bentang usianya yang jauh dari muda masih menyisakan kegesitannya seperti tatkala dia menjadi asisten pribadi seniman besar Affandi.
Laki-laki yang murah senyum ini memiliki peran yang tak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan karier Affandi sebagai seniman yang “banyak maunya”. Ya, Affandi termasuk sosok manusia yang begitu impulsif, mudah mengubah keputusan-keputusan dalam aktivitasnya sehari-hari berdasarkan suara hatinya yang datang tiba-tiba. Kondisi psikologis seperti ini tentu tak mudah untuk diikuti oleh orang yang ada didekatnya. Namun tidak demikian dengan Djon. Dia mampu mengakomodasi hampir tiap kemauan Affandi yang sering di luar dugaan dan rencana.
Awalnya, Djon didaulat untuk menjadi sopir pada tahun 1962 setelah sopir Affandi sebelumnya, Yitno, telah uzur. Bapak 5 anak yang sebelumnya menjadi sopir truk ini langsung menerima tawaran tersebut. Namun justru Affandi yang hati-hati. Maklum, kala itu, seniman flamboyan ini baru membeli mobil sport baru: Impala, keluaran pabrikan Chevrolet, Amerika Serikat. Tentu dia tak ingin mobil kebanggaannya tersebut dikendarai dengan sembrono oleh sopir muda yang waktu itu baru berusia 27 tahun.
“Testing” mengemudi bagi Djon dilakukan secara tak sengaja dan mendadak oleh Affandi. Dia tiba-tiba, nyaris tanpa persiapan, langsung bilang: “Ayo, kita ke Bandung!” Setelah ke kota Kembang mengunjungi keluarga dan sahabat-sahabatnya, tanpa direncana lebih dahulu, Djon diminta untuk mengarahkan mobil menuju Jakarta. Demikian juga ketika sampai di ibukota seusai mendatangi koleganya, Affandi secara tiba-tiba ingin bersilaturahmi ke keluarganya di Semarang. Baru setelah itu kembalilah ke Yogyakarta. Perjalanan yang memakan waktu beberapa hari itu memberi keyakinan kepada sang maestro bahwa Djon memang pantas untuk mendampinginya sebagai sopir.
Keduanya saling menemukan kecocokan secara psikologis. “Berjodoh”. Lama kelamaan persenyawaan kejiwaan antara Affandi dan Djon seperti menemukan garis “kesetaraan” karena saling membutuhkan. Affandi begitu percaya pada Djon. Maka, kemudian Djon seperti diposisikan dalam tiga hal: sebagai sopir pribadi, sebagai juru masak, dan sebagai asisten. Ini yang bisa dibahasakan sebagai “asisten pribadi” oleh Djon. Affandi juga merasa beruntung karena mempekerjakan Djon sudah seperti mengkaryakan tiga orang sekaligus.
Sebagai sopir, Djon bisa berhati lapang dan sabar untuk menghadapi Affandi yang sangat impulsif. Misalnya, ketika mobil melaju dengan kencang di kawasan Jawa Timur (hendak menuju Bali), ayahanda pelukis Kartika Affandi itu bisa dengan tiba-tiba minta berhenti untuk makan setelah melihat sekilas bangunan warung makan yang unik. Atau, dalam kasus serupa, tiba-tiba Djon diminta untuk berhenti di suatu tempat yang lanskapnya dianggap bagus, dan melukislah di tempat “temuan” dadakan tersebut. “Temuan” itu, sudah barang pasti, menghapuskan rencana-rencana yang sudah disusun sebelumnya. Sikap Djon yang akomodatif inilah yang membuat Affandi merasa nyaman.
Lalu, dalam kapasitas sebagai juru masak, tak pelak, memberi sumbangan bagi rasa aman Affandi ketika harus menghadapi lingkungan baru dalam perjalanan di dalam dan di luar negeri, atau setidaknya saat Sang Sukrasana ini berada di luar rumah. Dalam perjalanan ke kawasan favorit, Pulau Dewata, kehadiran Djon di sekitar Affandi sangat membantu untuk menyelamatkan gairah makan yang sedikit banyak akan berpengaruh pada hasratnya untuk merampungkan tugas estetiknya di depan kanvas demi kanvas sebagai seniman. Djon paham betul dengan makanan kesukaan sang maestro, seperti tempe bakar, sayur asem, sayur ca tahu putih campur tauge, ditambah sambal terasi.
Dan sebagai asisten seniman, porsi tugas Djon nyaris tanpa batas. Semua hal yang bersinggungan dengan aktivitas kreatif Affandi, banyak dikerjakan oleh Djon. Mulai dari membuat spanram berikut tingkat presisinya yang akurat, memasang kanvas dengan kekencangannya yang tepat, menyediakan tube-tube warna cat minyak saat melukis, dan sebagainya, semua dikerjakan juga oleh Djon. Dalam kasus-kasus tertentu, saking melarutnya perasaan terhadap “dunia batin” Affandi, Djon bahkan hafal betul warna-warna apa yang dibutuhkan saat melukis. Umpamanya, saat Affandi menginginkan cat warna “biru bagus”, maka yang dimaksudkan adalah “ultramarine blue”, dan bukan “Prussian blue”. Bila sang pelukis membutuhkan “kuning bagus”, maka diberikannya “Indian yellow”, bukan “Lemon Yellow” atau “Chrome yellow”. Semuanya telah berlangsung secara reflektif karena saking sering mengiringi kebiasaan Affandi. Bahkan, terkadang, Djon juga memutuskan untuk memilih warna tertentu untuk bidang gambar yang belum tersentuh cat. Dan Affandi mengiyakan tanpa banyak alasan.
“Jodohnya” batin Affandi dan asisten pribadinya Djon membuat mertua seniman Sapto Hudoyo (almarhum) itu begitu bermurah hati dalam memberikan fasilitas—sejauh itu juga untuk kepentingan Affandi sendiri. Tak tanggung-tanggung. Dalam berbagai kesempatan melawat ke mancanegara, Djon banyak diikutkan dalam rombongan. Affandi pertama kali mengajak Djon ke Expo 70 di Osaka, Jepang, tahun 1970. Setelah itu, berbagai kota di dunia masuk dalam pengalaman batin Djon karena betul-betul disambanginya atas ajakan sang juragan. Djon mengenyam pengalaman di Mesir, Paris, Venesia, Bangkok, New Delhi, hingga kira-kira ada 30 kota disinggahi Djon.
Bahkan, pengalaman yang tak pernah dilupakannya adalah ketika Affandi menerima penghargaan dari Yayasan Dag Hammerskoeld di kota Florence, Italia, tahun 1977. Ketika ada pembicaraan penting dalam sebuah ruang antara Affandi dengan Dr. Stifano, petinggi Yayasan Dag Hammerskoeld, Affandi merasa perlu membawa masuk Djon dan memperkenalkan pada pejabat tersebut. Justru bukan Duta Besar Indonesia untuk Italia waktu itu, Sumarya Sastrowardoyo.
Kedekatan sang maestro juga dikisahkan oleh Djon dengan penghormatannya pada posisinya sebagai “asisten pribadi” itu. Affandi memberi gaji yang sangat cukup. Bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan gaji rata-rata sopir pribadi di Yogyakarta waktu itu. Belum lagi pada kebaikan hati yang lain yakni dengan memberikan tambahan gaji berupa lukisan. Bagi Djon itu sangat berharga dan untuk bekal pensiun. Sayang memang, tambahan gaji berupa lukisan itu sekarang telah habis dijual ke beberapa kolektor ataupun kolega Affandi, di antaranya menjadi koleksi Soenaryo (Surabaya), Dicky Tjokrosaputro, Agung Tobing, dan di beberapa kolektor lain yang merupakan kolega Affandi.
Narasi tentang kedekatan Affandi dan Djon kiranya bisa menjadi inspirasi yang bagus bagi masyarakat seni rupa—atau masyarakat umum—dalam membangun relasi kemanusiaan antara “juragan dan pekerja”. Sang maestro telah menunjukkan kemaestroannya tidak hanya pada dunia kreatif saja, namun juga dalam dunia sosial kesehariannya. Ada aspek kemanusiawian yang melekat pada Affandi ketika dia membutuhkan bantuan orang lain untuk mendukung daya hidup dan spirit kreatifnya pada satu sisi. Dan di sisi lain, ada sosok Djon yang tak memiliki kemampuan kreatif dan intelektualitas yang sepadan dengan Affandi, namun mampu mengimbangi kekuatan sang maestro lewat kesetiaan dan pengabdiannya yang besar. Pertemuan dua jiwa dengan kesetaraan karena pembagian peran ini sungguh sangat sulit ditemui sekarang, termasuk di dunia seni rupa. Kini, pola patron-klien yang memberi batas tegas atas kelas sosial tampak begitu jelas.
Perjalanan Djon selama puluhan tahun mendampingi Affandi sebagai “aspri”, sesungguhnya, saat ini bermanfaat bagi dunia seni dan pendidikan seni. Konkretnya, Djon bisa diposisikan sebagai salah satu saksi yang tahu banyak tentang potongan sejarah tentang lukisan Affandi. Setelah Affandi wafat, sebenarnya Djon masih sering membantu Museum Affandi. Namun hanya bertahan beberapa tahun saja, dan memilih pensiun. Djon memilih datang bila dirinya diperlukan oleh Musium Affandi. Misalnya, ketika suatu kali dipanggil oleh Kartika Affandi untuk diajak membicarakan dan melihat keaslian lukisan “Affandi”. Menurut Djon lukisan itu sangat bagus, tapi ternyata bukan karya Affandi. Dan Kartika percaya pada pendapat Djon.
Kedekatan sang maestro juga dikisahkan oleh Djon dengan penghormatannya pada posisinya sebagai “asisten pribadi” itu. Affandi memberi gaji yang sangat cukup. Bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan gaji rata-rata sopir pribadi di Yogyakarta waktu itu. Belum lagi pada kebaikan hati yang lain yakni dengan memberikan tambahan gaji berupa lukisan. Bagi Djon itu sangat berharga karena itu bisa untuk memberi bekal hidup bagi kelima anaknya.
Tak heranlah kalau Affandi suatu ketika, seperti dituturkan dengan penuh haru oleh Djon, memeluk “aspri”-nya itu sambil berujar: “Djon, kita seperti dua jiwa dalam satu tubuh. Aku adalah Bethara Kresna yang memiliki kepala dan tangan, sementara kamu adalah Arjuna yang memiliki badan dan kaki.” Pengakuan itu, bagi Djon, adalah pengakuan Affandi untuk menyetarakan nilai-nilai kemanusiawian orang lain, apapun kelas sosial ekonominya. Kini, masih adakah Affandi-Affandi lain yang maestro pada karya dan hatinya? ***
*) Kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.
Namun di celah pendapat dan pemikiran mereka yang mengonstruksi kebesaran Affandi, tak banyak muncul di permukaan orang-orang kecil yang berperan besar bagi perjalanan hidup Affandi. Djon adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berada di lingkar kehidupan dan lingkup dunia kreatif sang maestro. Suhardjono, nama lengkapnya. Dia lahir di bilangan Pingit, Yogyakarta, 8 Maret 1935. Hingga di usianya yang ke-78 tahun, tubuhnya relatif masih sehat. Giginya masih utuh. Bersepeda adalah aktivitas olahraga yang acap dilakukannya hingga kini. Bahkan, belum lama ini pak Djon mengaku mengunjungi salah satu anaknya yang menetap di Salatiga, yang berjarak lebih dari 80 km dari Yogyakarta, dengan bersepeda. Tampaknya, pada bentang usianya yang jauh dari muda masih menyisakan kegesitannya seperti tatkala dia menjadi asisten pribadi seniman besar Affandi.
Laki-laki yang murah senyum ini memiliki peran yang tak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan karier Affandi sebagai seniman yang “banyak maunya”. Ya, Affandi termasuk sosok manusia yang begitu impulsif, mudah mengubah keputusan-keputusan dalam aktivitasnya sehari-hari berdasarkan suara hatinya yang datang tiba-tiba. Kondisi psikologis seperti ini tentu tak mudah untuk diikuti oleh orang yang ada didekatnya. Namun tidak demikian dengan Djon. Dia mampu mengakomodasi hampir tiap kemauan Affandi yang sering di luar dugaan dan rencana.
Awalnya, Djon didaulat untuk menjadi sopir pada tahun 1962 setelah sopir Affandi sebelumnya, Yitno, telah uzur. Bapak 5 anak yang sebelumnya menjadi sopir truk ini langsung menerima tawaran tersebut. Namun justru Affandi yang hati-hati. Maklum, kala itu, seniman flamboyan ini baru membeli mobil sport baru: Impala, keluaran pabrikan Chevrolet, Amerika Serikat. Tentu dia tak ingin mobil kebanggaannya tersebut dikendarai dengan sembrono oleh sopir muda yang waktu itu baru berusia 27 tahun.
“Testing” mengemudi bagi Djon dilakukan secara tak sengaja dan mendadak oleh Affandi. Dia tiba-tiba, nyaris tanpa persiapan, langsung bilang: “Ayo, kita ke Bandung!” Setelah ke kota Kembang mengunjungi keluarga dan sahabat-sahabatnya, tanpa direncana lebih dahulu, Djon diminta untuk mengarahkan mobil menuju Jakarta. Demikian juga ketika sampai di ibukota seusai mendatangi koleganya, Affandi secara tiba-tiba ingin bersilaturahmi ke keluarganya di Semarang. Baru setelah itu kembalilah ke Yogyakarta. Perjalanan yang memakan waktu beberapa hari itu memberi keyakinan kepada sang maestro bahwa Djon memang pantas untuk mendampinginya sebagai sopir.
Keduanya saling menemukan kecocokan secara psikologis. “Berjodoh”. Lama kelamaan persenyawaan kejiwaan antara Affandi dan Djon seperti menemukan garis “kesetaraan” karena saling membutuhkan. Affandi begitu percaya pada Djon. Maka, kemudian Djon seperti diposisikan dalam tiga hal: sebagai sopir pribadi, sebagai juru masak, dan sebagai asisten. Ini yang bisa dibahasakan sebagai “asisten pribadi” oleh Djon. Affandi juga merasa beruntung karena mempekerjakan Djon sudah seperti mengkaryakan tiga orang sekaligus.
Sebagai sopir, Djon bisa berhati lapang dan sabar untuk menghadapi Affandi yang sangat impulsif. Misalnya, ketika mobil melaju dengan kencang di kawasan Jawa Timur (hendak menuju Bali), ayahanda pelukis Kartika Affandi itu bisa dengan tiba-tiba minta berhenti untuk makan setelah melihat sekilas bangunan warung makan yang unik. Atau, dalam kasus serupa, tiba-tiba Djon diminta untuk berhenti di suatu tempat yang lanskapnya dianggap bagus, dan melukislah di tempat “temuan” dadakan tersebut. “Temuan” itu, sudah barang pasti, menghapuskan rencana-rencana yang sudah disusun sebelumnya. Sikap Djon yang akomodatif inilah yang membuat Affandi merasa nyaman.
Lalu, dalam kapasitas sebagai juru masak, tak pelak, memberi sumbangan bagi rasa aman Affandi ketika harus menghadapi lingkungan baru dalam perjalanan di dalam dan di luar negeri, atau setidaknya saat Sang Sukrasana ini berada di luar rumah. Dalam perjalanan ke kawasan favorit, Pulau Dewata, kehadiran Djon di sekitar Affandi sangat membantu untuk menyelamatkan gairah makan yang sedikit banyak akan berpengaruh pada hasratnya untuk merampungkan tugas estetiknya di depan kanvas demi kanvas sebagai seniman. Djon paham betul dengan makanan kesukaan sang maestro, seperti tempe bakar, sayur asem, sayur ca tahu putih campur tauge, ditambah sambal terasi.
Dan sebagai asisten seniman, porsi tugas Djon nyaris tanpa batas. Semua hal yang bersinggungan dengan aktivitas kreatif Affandi, banyak dikerjakan oleh Djon. Mulai dari membuat spanram berikut tingkat presisinya yang akurat, memasang kanvas dengan kekencangannya yang tepat, menyediakan tube-tube warna cat minyak saat melukis, dan sebagainya, semua dikerjakan juga oleh Djon. Dalam kasus-kasus tertentu, saking melarutnya perasaan terhadap “dunia batin” Affandi, Djon bahkan hafal betul warna-warna apa yang dibutuhkan saat melukis. Umpamanya, saat Affandi menginginkan cat warna “biru bagus”, maka yang dimaksudkan adalah “ultramarine blue”, dan bukan “Prussian blue”. Bila sang pelukis membutuhkan “kuning bagus”, maka diberikannya “Indian yellow”, bukan “Lemon Yellow” atau “Chrome yellow”. Semuanya telah berlangsung secara reflektif karena saking sering mengiringi kebiasaan Affandi. Bahkan, terkadang, Djon juga memutuskan untuk memilih warna tertentu untuk bidang gambar yang belum tersentuh cat. Dan Affandi mengiyakan tanpa banyak alasan.
“Jodohnya” batin Affandi dan asisten pribadinya Djon membuat mertua seniman Sapto Hudoyo (almarhum) itu begitu bermurah hati dalam memberikan fasilitas—sejauh itu juga untuk kepentingan Affandi sendiri. Tak tanggung-tanggung. Dalam berbagai kesempatan melawat ke mancanegara, Djon banyak diikutkan dalam rombongan. Affandi pertama kali mengajak Djon ke Expo 70 di Osaka, Jepang, tahun 1970. Setelah itu, berbagai kota di dunia masuk dalam pengalaman batin Djon karena betul-betul disambanginya atas ajakan sang juragan. Djon mengenyam pengalaman di Mesir, Paris, Venesia, Bangkok, New Delhi, hingga kira-kira ada 30 kota disinggahi Djon.
Bahkan, pengalaman yang tak pernah dilupakannya adalah ketika Affandi menerima penghargaan dari Yayasan Dag Hammerskoeld di kota Florence, Italia, tahun 1977. Ketika ada pembicaraan penting dalam sebuah ruang antara Affandi dengan Dr. Stifano, petinggi Yayasan Dag Hammerskoeld, Affandi merasa perlu membawa masuk Djon dan memperkenalkan pada pejabat tersebut. Justru bukan Duta Besar Indonesia untuk Italia waktu itu, Sumarya Sastrowardoyo.
Kedekatan sang maestro juga dikisahkan oleh Djon dengan penghormatannya pada posisinya sebagai “asisten pribadi” itu. Affandi memberi gaji yang sangat cukup. Bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan gaji rata-rata sopir pribadi di Yogyakarta waktu itu. Belum lagi pada kebaikan hati yang lain yakni dengan memberikan tambahan gaji berupa lukisan. Bagi Djon itu sangat berharga dan untuk bekal pensiun. Sayang memang, tambahan gaji berupa lukisan itu sekarang telah habis dijual ke beberapa kolektor ataupun kolega Affandi, di antaranya menjadi koleksi Soenaryo (Surabaya), Dicky Tjokrosaputro, Agung Tobing, dan di beberapa kolektor lain yang merupakan kolega Affandi.
Narasi tentang kedekatan Affandi dan Djon kiranya bisa menjadi inspirasi yang bagus bagi masyarakat seni rupa—atau masyarakat umum—dalam membangun relasi kemanusiaan antara “juragan dan pekerja”. Sang maestro telah menunjukkan kemaestroannya tidak hanya pada dunia kreatif saja, namun juga dalam dunia sosial kesehariannya. Ada aspek kemanusiawian yang melekat pada Affandi ketika dia membutuhkan bantuan orang lain untuk mendukung daya hidup dan spirit kreatifnya pada satu sisi. Dan di sisi lain, ada sosok Djon yang tak memiliki kemampuan kreatif dan intelektualitas yang sepadan dengan Affandi, namun mampu mengimbangi kekuatan sang maestro lewat kesetiaan dan pengabdiannya yang besar. Pertemuan dua jiwa dengan kesetaraan karena pembagian peran ini sungguh sangat sulit ditemui sekarang, termasuk di dunia seni rupa. Kini, pola patron-klien yang memberi batas tegas atas kelas sosial tampak begitu jelas.
Perjalanan Djon selama puluhan tahun mendampingi Affandi sebagai “aspri”, sesungguhnya, saat ini bermanfaat bagi dunia seni dan pendidikan seni. Konkretnya, Djon bisa diposisikan sebagai salah satu saksi yang tahu banyak tentang potongan sejarah tentang lukisan Affandi. Setelah Affandi wafat, sebenarnya Djon masih sering membantu Museum Affandi. Namun hanya bertahan beberapa tahun saja, dan memilih pensiun. Djon memilih datang bila dirinya diperlukan oleh Musium Affandi. Misalnya, ketika suatu kali dipanggil oleh Kartika Affandi untuk diajak membicarakan dan melihat keaslian lukisan “Affandi”. Menurut Djon lukisan itu sangat bagus, tapi ternyata bukan karya Affandi. Dan Kartika percaya pada pendapat Djon.
Kedekatan sang maestro juga dikisahkan oleh Djon dengan penghormatannya pada posisinya sebagai “asisten pribadi” itu. Affandi memberi gaji yang sangat cukup. Bahkan lebih tinggi bila dibandingkan dengan gaji rata-rata sopir pribadi di Yogyakarta waktu itu. Belum lagi pada kebaikan hati yang lain yakni dengan memberikan tambahan gaji berupa lukisan. Bagi Djon itu sangat berharga karena itu bisa untuk memberi bekal hidup bagi kelima anaknya.
Tak heranlah kalau Affandi suatu ketika, seperti dituturkan dengan penuh haru oleh Djon, memeluk “aspri”-nya itu sambil berujar: “Djon, kita seperti dua jiwa dalam satu tubuh. Aku adalah Bethara Kresna yang memiliki kepala dan tangan, sementara kamu adalah Arjuna yang memiliki badan dan kaki.” Pengakuan itu, bagi Djon, adalah pengakuan Affandi untuk menyetarakan nilai-nilai kemanusiawian orang lain, apapun kelas sosial ekonominya. Kini, masih adakah Affandi-Affandi lain yang maestro pada karya dan hatinya? ***
*) Kurator seni rupa, tinggal di Yogyakarta.