Pameran Nusantara 2013 Memanggil Seniman
KEMBALI, Galeri Nasional Indonesia (GNI) akan menghelat pameran dua tahunan, yakni Pameran Nusantara (PamNus) 2013, yang rencananya berlangsung bulan Mei 2013 mendatang. Seperti biasa, pameran ini terbuka bagi seniman dari mana saja di seantero wilayah Indonesia untuk mendaftar dan mengaplikasi, di samping tentu saja panitia juga memberi undangan khusus bagi beberapa seniman yang selama ini berkarya dengan kecenderungan karya yang pas dengan karakter tema kuratorial.
Adapun tema kuratorial PamNus kali ini adalah “Meta-Amuk”, yang secara harfiah kurang lebih berarti “melampaui aksi kekerasan amuk” (lihat detilnya di pengantar kuratorial di lampiran bawah). Tema ini dirasakan pas dengan kurun waktu sekarang ini ketika bangsa dan Negara Indonesia tengah masuk dalam masa peralihan kekuasaan dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke pemimpin berikutnya tahun 2014 depan. Tema ini tentu tidak berarti ketat membincangkan perihal politik karena ada pendar-pendar persoalan sosial budaya kemasyarakatan yang berkait dengan soal tersebut. Di sinilah peran seniman peserta diharapkan bisa memberi pengayaan tafsir atas tema ini, yang berkaitan dengan budaya kritik, protes serta perlawanan dalam tradisi di banyak kalangan di Nusantara.
Tim kurator yang bekerja bagi PamNus kali ini adalah Kuss Indarto dan Asikin Hasan, keduanya kurator Galeri Nasional Indonesia. PamNus sebelumnya, yakni tahun 2011 bertema “Imaji Ornamen” dan tahun 2009 bertajuk “Menilik Akar”. Berikut detil dari ketentuan Pameran Nusantara 2013:
Pengantar Kuratorial Pameran Nusantara 2013:
Meta-Amuk
SECARA historis, “tradisi” mengritik, atau protes sebagai bagian dari sebuah perlawanan telah muncul sejak lama. Tapa pepe atau bertapa dengan jalan berjemur diri di bawah panas sinar matahari adalah contoh kasus yang pernah terjadi pada zaman Majapahit. Dalam novel “Gajah Mada”, penulis Langit Kresna Hariadi mengisahkan bahwa Raja Majapahit kala itu, Ra Kuti, mendapatkan tampuk kekuasaan dengan cara-cara yang dianggap rakyat tidak sah. Lewat intrik dan jalan kelicikan, Ra Kuti merebut kursi kerajaan dari Raja Jayanegara. Ra Kuti memang bukan orang lama dalam pemerintahan. Dia memiliki jabatan elit di kerajaan, yakni sebagai anggota Dharmaputera.
Kenyataan itu membuat geram rakyat. Selain meraih kekuasaan dengan cara yang tidak sah, kebijakan yang dibuatnya juga merugikan rakyat. Sistem ekonomi kacau balau dan terjadi krisis pangan yang luar biasa. Maka, rakyat memberontak dengan menggelar aksi tapa pepe. Sayang, ketika tapa pepe digelar, Ra Kuti mengerahkan pasukan dan menyapu demonstran dengan kekerasan. Namun sejarah mencatat, tak lama setelah itu, Ra Kuti berhasil digulingkan. Inilah gambaran kecil betapa tapa pepe sebagai bentuk perlawanan rakyat telah ada dalam sejarah kultur demokrasi ala Nusantara.
Tapa pepe ini juga terjadi atau berlanjut sebagai kebiasaan yang muncul di bentang waktu berikutnya dan di kawasan lain, seperti di masa pemerintahan kerajaan Mataram (Islam) hingga pecah menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.
Di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, tradisi dan kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Tempat aksi protes acap kali dilakukan di alun-alun keratin, atau halaman depan istana raja.
Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau tapa pepe itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku tapa pepe hanya perorangan, tak jarang raja langsung merespons dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.
Selain di Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sejarawan Bugis, Prof. Dr. Mattulada bahkan mencatat bahwa hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem dan norma. Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal terminologi demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”, seperti tersirat di bawah ini:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)
Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang,
lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)
Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:
1. Mannganro ri ade’: hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.
2. Mapputane‘: hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.
3. Mallimpo-ade’: protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.
4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) andaikan raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.
5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “suaka politik” ke negara lain.
Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.
***
KIRANYA, perca-perca contoh sederhana di atas bisa memberi gambaran betapa masyarakat telah lama memiliki tradisi untuk bersuara memberi masukan, kritik bahkan protes terhadap penguasa. Dan ruang atau sistem untuk itu juga tersedia.
Dalam dunia kreatif seni rupa, tradisi kritik, protes, atau pun perlawanan juga mendapat tempat. Kita bisa mencomot sedikit contoh untuk ditampilkan sebagi deret kecil representasi atas kecenderungan itu. Lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarief Boestaman adalah contoh legendaris betapa sang seniman sebagai nasionalis ingin memberi perlawanan kultural dengan memberi perspektif bandingan atas lukisan “Penyerahan Diri Diponegoro kepada Kapten De Kock” (1830) karya Nicolaas Pieneman.
Lebih dari seabad setelah itu, muncul karya serigrafi karya Hardi, “Presiden R.I. 2001” yang menjadi salah satu ikon Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) sekitar tahun 1974. Karya ini telah memberi sinyal tentang otoritarianisme Soeharto yang perlu dikritisi dengan munculnya para pemimpin baru. Sosok Hardi dalam karya tersebut seperti sebuah personifikasi masyarakat yang mulai butuh pemimpin alternatif yang tidak tiranik. Sinyal itu ternyata menemu pembenaran dalam realitas politik karena Soeharto baru jatuh 24 tahun setelah karya itu dibuat, yakni tahun 1998.
Dan dalam ranah seni rupa, salah satu penanda penting dari kejatuhan rezim Soeharto dua tahun sebelum pergantian milenium itu adalah kelahiran lukisan “Berburu Celeng” gubahan Djoko Pekik. Karya tersebut menjadi penanda, komentar, sekaligus kritik betapa kepemimpinan yang lalim telah dibiarkan bertahun-tahun lamanya berkuasa dan menghabiskan sekian banyak nilai-nilai mulia yang berkembang dalam perikehidupan berbangsa.
Kuratorial pameran ini kiranya mencoba menyoal perihal persoalan mendasar dari fungsi seni rupa selain sebagai ekspresi pribadi, yakni sebagai memiliki fungsi sosial dengan menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan yang lebih luas. Tajuk “Meta-Amuk” dihasratkan menjadi gambaran bagi seniman untuk mengurai persoalan tentang dunia dan tradisi kritik, protes, atau perlawanan sebagian yang melekat dalam budaya di Nusantara. Kata “meta” (melampaui) dan “amuk” (perilaku mengamuk untuk melakukan praktik kekerasan fisik) memberi semacam landasan bahwa karya-karya yang diharapkan lahir lewat tema ini telah melampaui masalah-masalah fisik, namun diandaikan begitu simbolik. Membincangkan sebuah perubahan kekuasaan, misalnya, tak harus digambarkan dengan darah, pedang terhunus, dan sebagainya.
Tema tersebut kiranya sangat relevan dengan kondisi sosial kemasyarakatan akhir-akhir ini yang hendak menjemput datangnya pemerintahan dan sosok pemimpin baru tahun depan. Ada sekian banyak kasus anarkhisme dan situasi khaotik/khaos (kacau), namun diharapkan justru akan melahirkan karya-karya yang mampu melampaui anarkhisme tersebut dalam penggambaran dan penyampaian lewat sistem representasinya. ***
Tim Kurator:Kuss Indarto
Asikin Hasan
A. CATATAN BAGI PESERTA PAMERAN• Calon peserta terdiri dari para perupa perorangan atau kelompok dari berbagai wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator dan juga berdasarkan undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.
• Setiap calon peserta WAJIB MENDAFTARKAN DAN MENGISI FORMULIR yang disediakan panitia PALING LAMBAT tanggal 10 April 2013, melalui email pameran.nusantara2013@gmail.com
Alamat pengembalian Formulir Pendaftaran/Kesediaan calon peserta adalah:
Panitia Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no. 14
(depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/ FAX : 021 - 34833954 / : 021 - 3813021
Email : pameran.nusantara2013@gmail.com
u.p. Zamrud Setya Negara (081314821331)
Tunggul Setiawan (HP : 085780825275 )
• Setiap peserta WAJIB menyertakan keterangan CV/Biodata dan konsep karya dalam BAHASA INDONESIA sebagai DATA FILE (Word Document). Biodata terdiri dari: data diri, alamat lengkap, prestasi, dan photo diri serta image karya yang akan dipamerkan (high resolution).
• Bagi Peserta yang belum melengkapi data guna keperluan cetak katalog pada waktu yang telah ditentukan panitia, maka panitia akan menggunakan data seadanya.
B. CATATAN TENTANG KARYA
• Pengerjaan dan penyiapan karya adalah tanggung jawab peserta
• Karya yang diajukan untuk dipamerkan merupakan karya yang dibuat dalam rentang waktu dari tahun 2012 hingga 2013 serta milik masing-masing peserta.
• Karya yang dipamerkan merupakan hasil tanggapan terhadap tema “Meta-Amuk”.
• Karya peserta berupa: lukisan, patung, seni cetak, fotografi, video art, object, instalation art
• Media dan teknik pembuatan karya tidak mengikat/BEBAS.
• Setiap peserta kengirimkan dua buah karya dalam bentuk image/foto ukuran 10 R (dikirim via pos) atau dalam bentuk soft data image resolusi minimal 500 kb dan maksimal 4 mb (dikirim via email) untuk bahan seleksi tim kurator.
• Ukuran karya:
Karya 2 dimensi (minimal 1x1 m dan maksimal lebar 3x4m)
Karya 3 dimensi (minimal 50 cm3 dan maksimal 3 m3)
Karya instalasi (maksimal 3 m3)
Dengan diperbolehkan pilihan formatnya, yakni secara vertikal ataupun horisontal.
• Pilihan ukuran, materi dan bentuk karya yang bersifat khusus harus dibicarakan dengan pihak kurator.
C. PENGEPAKAN DAN PENGIRIMAN KARYA• Pengepakkan dan pengiriman karya ke Galeri Nasional Indonesia (Jakarta) adalah tanggung jawab peserta pameran.
• Masing-masing perserta disarankan menyiapkan kemasan bungkus atau kotak karya yang memadai sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan karya saat proses pengiriman karya
• Peserta wajib mengirimkan karyanya dalam kondisi finish siap pajang/displai.
• Bagi karya peserta yang menggunakan pigura, maka peserta WAJIB mengirimkan karyanya dalam kondisi SUDAH DIPIGURA (frame)/finish.
• Karya paling lambat diterima di Galeri Nasional Indonesia tanggal 30 April 2013
• Alamat pengiriman karya:
Panitia Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no. 14
(depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/ FAX : 021 - 34833954 / : 021 - 3813021
Email : pameran.nusantara2013@gmail.com
u.p. Zamrud Setya Negara (081314821331)
Tunggul Setiawan (085780825275)
• Pengepakkan kembali dan pengiriman ulang karya kepada perupa/peserta adalah tanggung jawab pihak Galeri Nasional Indonesia.
D. DISPLAI KARYA• Displai karya adalah hak dan tanggung jawab kurator pameran dan Galeri Nasional Indonesia.
• Pemasangan atau display karya yang bersifat khusus akan didiskusikan oleh kurator dengan pihak perupa/peserta yang bersangkutan.
• Pengadaan alat yang digunakan untuk presentasi karya adalah tanggung jawab masing-masing peserta yang menggunakannya.
E. PUBLIKASI• Galeri Nasional Indonesia akan memproduksi katalog pameran.
• Publikasi kegiatan akan dilakukan melalui berbagai saluran promosi dan interaksi elektronik.
• Undangan dan poster pameran akan diproduksi Galeri Nasional Indonesia.
• Galeri Nasional Indonesia akan menyelenggarakan kegiatan press conference dan menyebarkan press release menjelang pelaksanaan kegiatan.
F. RANGKAIAN KEGIATAN• Kegiatan pameran akan dilengkapi oleh rangkaian kegiatan :
1. Diskusi/Sarasehan mengenai Seni Rupa Nusantara
CATATAN : TENGGAT WAKTU PENTING (TIME FRAME)1. Pendaftaran Kesertaan Peserta Pameran,Pengumpulan Biodata Seniman dan Pengumpulan Image/photo karya, Proses berkarya
14 Maret - 10 April 2013
2. Proses seleksi tim kurator
15 - 16 April 2013
3. Pengumuman Karya/Peserta terpilih
17 April 2013
4. Pengiriman Karya ke GNI
18 - 30 Mei 2013
5. Displai Karya
3 - 7 Mei 2013
6. Pembukaan Pameran
8 Mei 2013
7. Pameran Seni Rupa Nusantara 2011 “Imaji Ornamen”
8 - 24 Mei 2013
8. Pembongkaran Display Karya
25 - 26 Mei 2013
9. Pengembalian Karya pada Peserta
29 Mei – 29 Juni 2013
LEMBAR KESEDIAAN PESERTA*)
Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
GALERI NASIONAL INDONESIA 8 - 24 MEI 2011Setelah membaca dan memahami butir-butir keterangan penyelengaraan kegiatan,
maka dengan ini:
Nama : __________________________________________________________________________
Alamat : _________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________
Tel/Fax : ___________________________________________________________________________
email : ___________________________________________________________________________
menyatakan bersepakat dengan seluruh ketetapan yang telah ditentukan dan bersedia menjadi peserta pameran dan akan menyertakan foto/image karya dengan data sebagai berikut:
Judul Karya : __________________________________________________________________________
Tahun : _______________________________________________________________________
Medium/Teknik : ____________________________________________________________________
Ukuran : _______________________________________________________________________
Konsep karya (bisa dalam bentuk lampiran word dokumen) : _________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
Demikian pernyataan dan keterangan yang dapat saya sampaikan.
Terima kasih.
_______________________________ , 2013
[ _______________________________ ]
*) Formulir Kesedian Peserta PALING LAMBAT DIKEMBALIKAN TANGGAL 10 APRIL 2012
Adapun tema kuratorial PamNus kali ini adalah “Meta-Amuk”, yang secara harfiah kurang lebih berarti “melampaui aksi kekerasan amuk” (lihat detilnya di pengantar kuratorial di lampiran bawah). Tema ini dirasakan pas dengan kurun waktu sekarang ini ketika bangsa dan Negara Indonesia tengah masuk dalam masa peralihan kekuasaan dari presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke pemimpin berikutnya tahun 2014 depan. Tema ini tentu tidak berarti ketat membincangkan perihal politik karena ada pendar-pendar persoalan sosial budaya kemasyarakatan yang berkait dengan soal tersebut. Di sinilah peran seniman peserta diharapkan bisa memberi pengayaan tafsir atas tema ini, yang berkaitan dengan budaya kritik, protes serta perlawanan dalam tradisi di banyak kalangan di Nusantara.
Tim kurator yang bekerja bagi PamNus kali ini adalah Kuss Indarto dan Asikin Hasan, keduanya kurator Galeri Nasional Indonesia. PamNus sebelumnya, yakni tahun 2011 bertema “Imaji Ornamen” dan tahun 2009 bertajuk “Menilik Akar”. Berikut detil dari ketentuan Pameran Nusantara 2013:
Pengantar Kuratorial Pameran Nusantara 2013:
Meta-Amuk
SECARA historis, “tradisi” mengritik, atau protes sebagai bagian dari sebuah perlawanan telah muncul sejak lama. Tapa pepe atau bertapa dengan jalan berjemur diri di bawah panas sinar matahari adalah contoh kasus yang pernah terjadi pada zaman Majapahit. Dalam novel “Gajah Mada”, penulis Langit Kresna Hariadi mengisahkan bahwa Raja Majapahit kala itu, Ra Kuti, mendapatkan tampuk kekuasaan dengan cara-cara yang dianggap rakyat tidak sah. Lewat intrik dan jalan kelicikan, Ra Kuti merebut kursi kerajaan dari Raja Jayanegara. Ra Kuti memang bukan orang lama dalam pemerintahan. Dia memiliki jabatan elit di kerajaan, yakni sebagai anggota Dharmaputera.
Kenyataan itu membuat geram rakyat. Selain meraih kekuasaan dengan cara yang tidak sah, kebijakan yang dibuatnya juga merugikan rakyat. Sistem ekonomi kacau balau dan terjadi krisis pangan yang luar biasa. Maka, rakyat memberontak dengan menggelar aksi tapa pepe. Sayang, ketika tapa pepe digelar, Ra Kuti mengerahkan pasukan dan menyapu demonstran dengan kekerasan. Namun sejarah mencatat, tak lama setelah itu, Ra Kuti berhasil digulingkan. Inilah gambaran kecil betapa tapa pepe sebagai bentuk perlawanan rakyat telah ada dalam sejarah kultur demokrasi ala Nusantara.
Tapa pepe ini juga terjadi atau berlanjut sebagai kebiasaan yang muncul di bentang waktu berikutnya dan di kawasan lain, seperti di masa pemerintahan kerajaan Mataram (Islam) hingga pecah menjadi Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.
Di Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, tradisi dan kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi protes pun sudah disiapkan secara khusus. Tempat aksi protes acap kali dilakukan di alun-alun keratin, atau halaman depan istana raja.
Protes ini tidak dianggap “pembangkangan” terhadap raja. Sebab, dengan posisi raja sebagai “pengembang keadilan”—perwujudan Ratu Adil, maka aksi protes atau tapa pepe itu dianggap sah dan diakui sebagai hak dasar rakyat. Menariknya, sekalipun pelaku tapa pepe hanya perorangan, tak jarang raja langsung merespons dengan memanggil dan menanyakan maksudnya.
Selain di Jawa, tradisi protes dan kebebasan berpendapat juga dikenal oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Sejarawan Bugis, Prof. Dr. Mattulada bahkan mencatat bahwa hak protes dalam masyarakat Bugis sudah diatur dalam sistem dan norma. Salah satu prinsip demokrasi Bugis, yang sudah dijalankan jauh sebelum Eropa mengenal terminologi demokrasi, adalah konsep “kedaulatan rakyat”, seperti tersirat di bawah ini:
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat; Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum; Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan Rakyat banyak)
Orang Bugis juga sudah mengenal konsep “kemerdekaan manusia” (amaradekangeng). Ini ditulis dengan jelas dalam Lontarak, naskah kuno beraksara Bugis-Makassar. Di situ sudah tertulis prinsip berikut:
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai’ riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang,
lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan)
Dalam pengakuan mengenai “Hak Protes”, masyarakat Bugis sudah mengaturnya dalam sistim adat. Ada lima bentuk aksi protes yang dikenal oleh masyarakat Bugis:
1. Mannganro ri ade’: hak mengajukan petisi atau permohonan kepada raja untuk mengadakan suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu kehidupan rakyat. Ini adalah model aksi yang mirip dengan pengajuan petisi, pernyataan sikap, atau konferensi pers di jaman sekarang.
2. Mapputane‘: hak untuk menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika perseorangan, langsung menghadap raja. Ini model aksi yang mirip dengan metode negosiasi di jaman sekarang.
3. Mallimpo-ade’: protes yang dilancarkan kepada raja yang bertindak sewenang-wenang atau pejabat kerajaan lainnya. Biasanya, jalan ini ditempuh setelah metode Mapputane’ menemui kegagalan. Pelaku protes Mallimpo-ade’ tidak akan meninggalkan tempat protes sebelum permasalahannya selesai. Ini hampir mirip dengan model-model aksi pendudukan yang menginap berhari-hari bahkan berbulan-bulan di lokasi aksi.
4. Mabbarata, hak protes rakyat yang sifatnya lebih keras, yang biasanya dilakukan dengan berkumpul di balai pertemuan (barugae). Aksi protes ini biasanya akan meningkat menjadi perlawanan frontal (pemberontakan) andaikan raja tidak segera menyelesaikan tuntutan rakyat. Ini mirip dengan rapat akbar atau vergadering yang sudah dikenal sejak jaman pergerakan anti-kolonial.
5. Mallekke’ dapureng, aksi protes rakyat yang dilakukan dengan cara berpindah ke negeri lain. Hal ini dilakukan jikalau empat metode aksi di atas gagal menghentikan kesewenang-wenangan sang Raja. Ini mirip dengan gerakan protes sekarang yang disebut “suaka politik” ke negara lain.
Dengan melihat sekelumit sejarah di atas, adalah sangat naïf, bahkan memalukan, jikalau pemerintah sekarang alergi dengan aksi protes. Sebab, aksi protes bukanlah sesuatu yang buruk, justru dipandang perlu untuk “menyehatkan pemerintahan”.
***
KIRANYA, perca-perca contoh sederhana di atas bisa memberi gambaran betapa masyarakat telah lama memiliki tradisi untuk bersuara memberi masukan, kritik bahkan protes terhadap penguasa. Dan ruang atau sistem untuk itu juga tersedia.
Dalam dunia kreatif seni rupa, tradisi kritik, protes, atau pun perlawanan juga mendapat tempat. Kita bisa mencomot sedikit contoh untuk ditampilkan sebagi deret kecil representasi atas kecenderungan itu. Lukisan “Penaklukan Diponegoro” (1857) karya Raden Saleh Sjarief Boestaman adalah contoh legendaris betapa sang seniman sebagai nasionalis ingin memberi perlawanan kultural dengan memberi perspektif bandingan atas lukisan “Penyerahan Diri Diponegoro kepada Kapten De Kock” (1830) karya Nicolaas Pieneman.
Lebih dari seabad setelah itu, muncul karya serigrafi karya Hardi, “Presiden R.I. 2001” yang menjadi salah satu ikon Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) sekitar tahun 1974. Karya ini telah memberi sinyal tentang otoritarianisme Soeharto yang perlu dikritisi dengan munculnya para pemimpin baru. Sosok Hardi dalam karya tersebut seperti sebuah personifikasi masyarakat yang mulai butuh pemimpin alternatif yang tidak tiranik. Sinyal itu ternyata menemu pembenaran dalam realitas politik karena Soeharto baru jatuh 24 tahun setelah karya itu dibuat, yakni tahun 1998.
Dan dalam ranah seni rupa, salah satu penanda penting dari kejatuhan rezim Soeharto dua tahun sebelum pergantian milenium itu adalah kelahiran lukisan “Berburu Celeng” gubahan Djoko Pekik. Karya tersebut menjadi penanda, komentar, sekaligus kritik betapa kepemimpinan yang lalim telah dibiarkan bertahun-tahun lamanya berkuasa dan menghabiskan sekian banyak nilai-nilai mulia yang berkembang dalam perikehidupan berbangsa.
Kuratorial pameran ini kiranya mencoba menyoal perihal persoalan mendasar dari fungsi seni rupa selain sebagai ekspresi pribadi, yakni sebagai memiliki fungsi sosial dengan menggagas perkara sosial kemasyarakatan dalam cakupan yang lebih luas. Tajuk “Meta-Amuk” dihasratkan menjadi gambaran bagi seniman untuk mengurai persoalan tentang dunia dan tradisi kritik, protes, atau perlawanan sebagian yang melekat dalam budaya di Nusantara. Kata “meta” (melampaui) dan “amuk” (perilaku mengamuk untuk melakukan praktik kekerasan fisik) memberi semacam landasan bahwa karya-karya yang diharapkan lahir lewat tema ini telah melampaui masalah-masalah fisik, namun diandaikan begitu simbolik. Membincangkan sebuah perubahan kekuasaan, misalnya, tak harus digambarkan dengan darah, pedang terhunus, dan sebagainya.
Tema tersebut kiranya sangat relevan dengan kondisi sosial kemasyarakatan akhir-akhir ini yang hendak menjemput datangnya pemerintahan dan sosok pemimpin baru tahun depan. Ada sekian banyak kasus anarkhisme dan situasi khaotik/khaos (kacau), namun diharapkan justru akan melahirkan karya-karya yang mampu melampaui anarkhisme tersebut dalam penggambaran dan penyampaian lewat sistem representasinya. ***
Tim Kurator:Kuss Indarto
Asikin Hasan
A. CATATAN BAGI PESERTA PAMERAN• Calon peserta terdiri dari para perupa perorangan atau kelompok dari berbagai wilayah di Indonesia, berdasarkan proses seleksi tim kurator dan juga berdasarkan undangan khusus dari pihak Galeri Nasional Indonesia.
• Setiap calon peserta WAJIB MENDAFTARKAN DAN MENGISI FORMULIR yang disediakan panitia PALING LAMBAT tanggal 10 April 2013, melalui email pameran.nusantara2013@gmail.com
Alamat pengembalian Formulir Pendaftaran/Kesediaan calon peserta adalah:
Panitia Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no. 14
(depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/ FAX : 021 - 34833954 / : 021 - 3813021
Email : pameran.nusantara2013@gmail.com
u.p. Zamrud Setya Negara (081314821331)
Tunggul Setiawan (HP : 085780825275 )
• Setiap peserta WAJIB menyertakan keterangan CV/Biodata dan konsep karya dalam BAHASA INDONESIA sebagai DATA FILE (Word Document). Biodata terdiri dari: data diri, alamat lengkap, prestasi, dan photo diri serta image karya yang akan dipamerkan (high resolution).
• Bagi Peserta yang belum melengkapi data guna keperluan cetak katalog pada waktu yang telah ditentukan panitia, maka panitia akan menggunakan data seadanya.
B. CATATAN TENTANG KARYA
• Pengerjaan dan penyiapan karya adalah tanggung jawab peserta
• Karya yang diajukan untuk dipamerkan merupakan karya yang dibuat dalam rentang waktu dari tahun 2012 hingga 2013 serta milik masing-masing peserta.
• Karya yang dipamerkan merupakan hasil tanggapan terhadap tema “Meta-Amuk”.
• Karya peserta berupa: lukisan, patung, seni cetak, fotografi, video art, object, instalation art
• Media dan teknik pembuatan karya tidak mengikat/BEBAS.
• Setiap peserta kengirimkan dua buah karya dalam bentuk image/foto ukuran 10 R (dikirim via pos) atau dalam bentuk soft data image resolusi minimal 500 kb dan maksimal 4 mb (dikirim via email) untuk bahan seleksi tim kurator.
• Ukuran karya:
Karya 2 dimensi (minimal 1x1 m dan maksimal lebar 3x4m)
Karya 3 dimensi (minimal 50 cm3 dan maksimal 3 m3)
Karya instalasi (maksimal 3 m3)
Dengan diperbolehkan pilihan formatnya, yakni secara vertikal ataupun horisontal.
• Pilihan ukuran, materi dan bentuk karya yang bersifat khusus harus dibicarakan dengan pihak kurator.
C. PENGEPAKAN DAN PENGIRIMAN KARYA• Pengepakkan dan pengiriman karya ke Galeri Nasional Indonesia (Jakarta) adalah tanggung jawab peserta pameran.
• Masing-masing perserta disarankan menyiapkan kemasan bungkus atau kotak karya yang memadai sehingga tidak akan mengakibatkan kerusakan karya saat proses pengiriman karya
• Peserta wajib mengirimkan karyanya dalam kondisi finish siap pajang/displai.
• Bagi karya peserta yang menggunakan pigura, maka peserta WAJIB mengirimkan karyanya dalam kondisi SUDAH DIPIGURA (frame)/finish.
• Karya paling lambat diterima di Galeri Nasional Indonesia tanggal 30 April 2013
• Alamat pengiriman karya:
Panitia Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
Galeri Nasional Indonesia
Jl. Medan Merdeka Timur no. 14
(depan Stasiun KA. Gambir)
Jakarta Pusat
TEL/ FAX : 021 - 34833954 / : 021 - 3813021
Email : pameran.nusantara2013@gmail.com
u.p. Zamrud Setya Negara (081314821331)
Tunggul Setiawan (085780825275)
• Pengepakkan kembali dan pengiriman ulang karya kepada perupa/peserta adalah tanggung jawab pihak Galeri Nasional Indonesia.
D. DISPLAI KARYA• Displai karya adalah hak dan tanggung jawab kurator pameran dan Galeri Nasional Indonesia.
• Pemasangan atau display karya yang bersifat khusus akan didiskusikan oleh kurator dengan pihak perupa/peserta yang bersangkutan.
• Pengadaan alat yang digunakan untuk presentasi karya adalah tanggung jawab masing-masing peserta yang menggunakannya.
E. PUBLIKASI• Galeri Nasional Indonesia akan memproduksi katalog pameran.
• Publikasi kegiatan akan dilakukan melalui berbagai saluran promosi dan interaksi elektronik.
• Undangan dan poster pameran akan diproduksi Galeri Nasional Indonesia.
• Galeri Nasional Indonesia akan menyelenggarakan kegiatan press conference dan menyebarkan press release menjelang pelaksanaan kegiatan.
F. RANGKAIAN KEGIATAN• Kegiatan pameran akan dilengkapi oleh rangkaian kegiatan :
1. Diskusi/Sarasehan mengenai Seni Rupa Nusantara
CATATAN : TENGGAT WAKTU PENTING (TIME FRAME)1. Pendaftaran Kesertaan Peserta Pameran,Pengumpulan Biodata Seniman dan Pengumpulan Image/photo karya, Proses berkarya
14 Maret - 10 April 2013
2. Proses seleksi tim kurator
15 - 16 April 2013
3. Pengumuman Karya/Peserta terpilih
17 April 2013
4. Pengiriman Karya ke GNI
18 - 30 Mei 2013
5. Displai Karya
3 - 7 Mei 2013
6. Pembukaan Pameran
8 Mei 2013
7. Pameran Seni Rupa Nusantara 2011 “Imaji Ornamen”
8 - 24 Mei 2013
8. Pembongkaran Display Karya
25 - 26 Mei 2013
9. Pengembalian Karya pada Peserta
29 Mei – 29 Juni 2013
LEMBAR KESEDIAAN PESERTA*)
Pameran Seni Rupa Nusantara 2013 “Meta-Amuk”
GALERI NASIONAL INDONESIA 8 - 24 MEI 2011Setelah membaca dan memahami butir-butir keterangan penyelengaraan kegiatan,
maka dengan ini:
Nama : __________________________________________________________________________
Alamat : _________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________
______________________________________________________________________________
Tel/Fax : ___________________________________________________________________________
email : ___________________________________________________________________________
menyatakan bersepakat dengan seluruh ketetapan yang telah ditentukan dan bersedia menjadi peserta pameran dan akan menyertakan foto/image karya dengan data sebagai berikut:
Judul Karya : __________________________________________________________________________
Tahun : _______________________________________________________________________
Medium/Teknik : ____________________________________________________________________
Ukuran : _______________________________________________________________________
Konsep karya (bisa dalam bentuk lampiran word dokumen) : _________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
Demikian pernyataan dan keterangan yang dapat saya sampaikan.
Terima kasih.
_______________________________ , 2013
[ _______________________________ ]
*) Formulir Kesedian Peserta PALING LAMBAT DIKEMBALIKAN TANGGAL 10 APRIL 2012