Bayangan Layer Pertama
Iqro Ahmad Ibrahim, Lahan Baru, 2014, marker on acrilyc, 27 x 21 cm
Oleh Kuss
Indarto
DI pekarangan yang tak
begitu luas itu, beberapa penari melakonkan sebuah theatrical dance yang berkisah tentang bayangan. Halaman rumah yang
berhimpitan dengan kandang sapi tersebut, Sabtu malam itu, 29 Maret 2014,
diriuhi oleh hampir seratusan orang yang menonton theatrical dance garapan Ari Ersandi dan disutradarai oleh Iqro
Ahmad Ibrahim. Ada panggung segitiga kecil tempat empat perempuan penari meliuk-liukkan
tubuh. Ada pula sebuah palang yang dikaitkan pada dua pohon melinjo tempat
seorang penari laki-laki mengeksplorasi gerak tubuh dengan bertelanjang dada.
Di kampung itu, Tempuran, DK VII, Brajan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta,
persisnya di venue seni rupa bernama Perahu Art Connection, tengah berlangsung
hajatan seni rupa. Dan theatrical
dance itu adalah satu bagian dari
rangkaian perhelatan pembukaan pameran tunggal seni rupa “Shadow” yang
mengetengahkan karya-karya perupa muda Iqro Ahmad Ibrahim.
Ada Prof. Dr. Dwi
Marianto, guru besar ISI Yogyakarta, di antara reriuhan para pengunjung. Juga
Zalans Ilgvars, perupa Latvia yang sedang melakukan program residensi seni di
Perahu Art Connection, dan sekian banyak perupa juga para mahasiswa ISI
Yogyakarta serta penduduk kampung setempat. Tak ada tokoh yang ditunjuk sebagai
pembuka seperti lazimnya seremonial pameran seni rupa. Namun para penari itulah
yang menggiring para penonton dari halaman atau pekarangan venue Perahu Art
Connection menuju ke uang pameran tempat puluhan karya rupa Iqro digelar. Pokok
soal tentang bayangan menjadi tema karya-karya Iqro kali ini.
Wayang & Budaya Bayangan
ANDAI ingin sedikit
membubungkan soal bayangan dalam pengandaian yang filosofis, maka saya meyakini
bahwa: bayangan adalah sintesis dari perkawinan antara cahaya dan gulita.
Bayangan adalah implikasi sekaligus subyek utama dari pertemuan antara
benderang dan kegelapan. Ini setara dengan sebuah hukum keseimbangan. Yin dan Yang. Cahaya baru menemukan eksistensinya ketika dia hadir dalam
kegelapan. Sebaliknya, kegelapan menemukan maknanya ketika berada “di samping”
cahaya. Cahaya lilin atau lampu teplok, misalnya, tak menemukan fungsinya yang
optimal tatkala dinyalakan di bawah benderang matahari di siang bolong.
Sebaliknya, cahaya-cahaya kecil itu serupa reproduksi cahaya matahari yang
mampu berkilau juga berpendar seusai senjakala dan sebelum fajar tiba ketika
matahari bersembunyi.
Sintesis cahaya dan
gulita ini kemudian banyak dikelola manusia untuk membentuk peradaban dan
menguatkan kebudayaannya. Wayang kulit purwa—salah satu capaian penting seni
budaya di Nusantara (yang diduga akar awalnya dari India)—tak lepas dari problem
bayangan sebagai salah satu elemen utama dalam presentasinya ke hadapan
penonton. Sedikit berbeda dengan tampilan pertunjukan wayang potehi, wayang
golek, hingga wayang suket atau yang setara dengannya, wayang kulit purwa
sejatinya lebih mengedepankan efek bayangan sebagai basis utama cara menontonnya.
Dengan lampu blencong di depan-atas
kepala seorang dalang, wayang digerakkan dan dilakonkan di depan kelir putih yang tergelar di hadapan
sang dalang. Di balik kelir itulah,
para penonton melakukan rekreasi dan re-kreasi dengan menyimak bayangan wayang
kulit. Saya katakan rekreasi karena penonton berhasrat menyimak lakon atau
cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Dan dibilang re-kreasi karena penonton
bisa melakukan tafsir atas tontonan itu dengan menerka siapa persisnya tokoh
yang sedang tampil lewat kelebat bayangannya di balik kelir. Sunggingan wayang kulit yang penuh detail menemukan
eksotismenya ketika berujud siluet—dari terpaan cahaya lampu blencong dan
terpapar di kelir putih.
Begitulah. Wayang atau
dunia kehidupan lakon-lakon yang disusun dari pertunjukan bayang-bayang itu telah
banyak diapresiasi, diresepsi (diserap), hingga melahirkan inspirasi baru.
Karya-karya Iqro Ahmad Ibrahim pada pameran tunggalnya kali ini, tak pelak,
juga mengerucut dari dunia bayangan dan wayang sebagai ide dasarnya. Ini
menjadi kesadaran awal yang kemudian ditautkannya dengan bentuk-bentuk
kreativitas lain yang mengisi memori Iqro, antara lain film animasi atau yang
lazim dengan istilah populis: film kartun.
Layer-layer Eksplorasi
Dengan merujuk pada
dunia pewayangan, karya-karya Iqro mencoba memberi porsi yang cukup untuk
menghadirkan bayangan sebagai bagian penting citra artistik atas drawing yang telah dibuatnya di atas
panel-panel akrilik bening. Drawing hitam-putih dibuatnya dengan tendensi
sebagai karya yang datar (flat). Maka
tak ada teknik “dusel” yang lembut di
sana yang berupaya untuk membentuk citra volume. Nyaris semuanya dengan arsir
tipis. Kemudian tata lampu diperhitungkan dengan kecermatan tertentu (jarak,
presisi, dan kekuatan lampu) yang disorotkan ke karya di atas panel akrilk
bening tersebut. Figura hanya berada di tepi karya, dan tak ada papan gelap di
belakang akrilik. Maka, cahaya lampu (spot)
menerpa karya hingga kemudian menghasilkan bayangan di tembok—yang berjarak
sekian sentimeter di belakang akrilik bening itu. Maka, drawing hitam-putih ditambah bayangan di belakang karya itulah
pencapaian karya yang diinginkan Iqro.
Tentu, efek bayangan itu beda dengan jagad wayang karena drawing yang dibuat seniman kelahiran Kendal, Jawa Tengah, 24 Oktober 1983 ini, ditempatkan di
bagian depan dari keseluruhan karya. Bukan seperti wayang yang berkebalikan
dari karyanya. Tapi semangat untuk memanfaatkan dan menggali bayangan dan
efeknya inilah yang ditimba inspirasinya dari wayang.
Tapi, apakah kehadiran bayangan bukannya justru
mengganggu keutuhan karya drawing
Iqro? Bukankah itu seperti kertas-kertas yang dicetak ofset dan belum sempurna
presisi film negatifnya sehingga masih bergeser kemana-mana? Tentu, ini akan
melahirkan persepsi yang subyektif pada tiap apresiator. Pasti akan
berbeda-beda. Iqro malah menyengajakan diri agar ada tumbukan antara drawing
dan bayangan yang berasal dari lampu. Pada beberapa karya, efek yang
ditimbulkannya adalah memberi citra gerak dinamis pada karya. Kesadaran ini
berangkat dari memori Iqro ketika menyimak karya film animasi. Bayang-bayang
itu seperti lapis-lapis (layers)
gambar yang ditumpuk sekian banyak dan kemudian membentuk gerak. Kira-kira
seperti itu imajinasi yang diangkan perupa lulusan Fakultas Seni Rupa, ISI
Yogyakarta tahun 2011.
Pameran ini, apapun
pencapaian dan apresiasi pengunjung, tetaplah memberi salah satu titik penting
dari perjalanan kreatif Iqro Ahmad Ibrahim. Anak muda ini, dalam kilasan
pengamatan saya, seperti tak bosan untuk melakukan eksperimentasi kreatif
secara tertata, bahkan relatif cukup serius dan mungkin juga cukup sistematis. Seperti
pada pameran “Expo-Sign” yang
berlangsung di Jogja Expo Centre tahun 2009 lalu. Karyanya itu, yang secara
konseptual juga menjadi bagian dari karya Tugas Akhir di jalur akademisnya di
tahun 2011, merupakan karya yang relatif penuh eksperimen. Karya itu jelas,
basis utamanya adalah karya dua dimensi, namun Iqro memberinya “tulang” berupa
span-span dan kerangka pada kanvas-kanvas kecil yang terhubung satu sama lain,
sehingga ketika dipajang, jelas berbeda dengan lukisan konvensional.
Karya serupa itu,
dengan pengolahan yang lebih eksploratif juga saya dapati ketika menyeleksi
ribuan karya dalam rencana Pameran Nusantara 2009 di Galeri Nasional Indonesia,
yang bertema “Imaji Ornamen”. Maka, tak ayal, saya meluluskan karya tersebut
sebagai peserta pameran itu. Saya kira beberapa perhelatan seni rupa yang juga
kompetitif telah menyerap karya-karya Iqro. Bahkan tak hanya di Indonesia,
namun juga mulai beranjak ke negeri seberang. Bagi saya ini sebuah kewajaran
sekaligus kewajiban seorang seniman untuk selalu mengejar “another form of art”. Seniman sudah selayaknya berburu
bentuk-bentuk, modus berkarya, hingga konsep-konsep seni yang berbeda dari
sebelumnya. Spirit inilah yang akan menghidupkan airah kreativitas seni(man).
Konsep dasar pameran
ini memang belum sangat kuat, namun masih berpeluang begitu besar untuk digali
lebih jauh dengan pencapaian kreatif yang juga lebih eksperimentatif. Kukira,
ini baru layer pertama Iqro dengan
karya seperti ini. Selamat terus menggali, Iqro! Iqro! Bacalah! Bacalah tiap
tanda dalam kehidupan di sekitarmu. ***
Kuss Indarto, pendiri dan editor
in chief situs www.indonesiaartnews.or.id